fbpx

(Diterjemahkan oleh Dedi Sahara dari artikel Antonio Negri berjudul, “Spinoza’s Anti-Modernity, versi bahasa Inggris terjemahan Charles T. Wolfe. Artikel ini pertama kali muncul di Les Temps Modernes, tahun 1991).

Spinoza, Sang Romantik

Paradoks yang menandai kemunculan Spinoza dalam modernitas saat ini telah dikenal luas. Jika Mandelssohn ingin “memberinya suatu kepercayaan baru dengan menggiringnya lebih dekat pada ortodoksi filososfis Leibniz dan Wolff ”, dan Jacobi “dengan melabelinya sebagai sosok heterodoks, dalam arti harfiah ingin menyingkirkannya secara pasti dari Kekristenan modern”—tentu, keduanya gagal dalam melakukan tujuannya, yang merupakan rehabilitasi dari heterodoks Spinoza.1 Perdebatan Mandelssohn-Jacobi dapat dimasukan dalam model krisis filosofis yang spesifik. Hal ini melahirkan sosok Spinoza yang mampu mereduksi ketegangan spiritual yang kemudian diperburuk oleh zamannya, dan membangun suatu awal baru yang sistematis dari relasi antara kekuasaan (power) dan substansi (substance)—antara subjek dan alam. Spinoza, si terkutuk Spinoza, menjadi bentuk kebangkitan moderintas sebagai filsuf Romantik. Dalam hal ini, Lessing nampak menang dengan mengakui ide mengenai alam dalam Spinoza yang dapat menyeimbangkan relasi antara emosi dan intelektual, kebebasan dan kebutuhan, serta sejarah dan akal budi. Herder dan Goethe, menentang subjektif dan kegagalan revolusioner dari Sturm und Drang, dan menyandarkan diri pada citra yang kuat ini dari sintesis objektivitas yang dikonstruksi kembali: Spinoza bukan hanya tokoh Romantisme; ia membangun landasan dan kepenuhan romantisme.

Kebesaran alam tak lagi hanya terbelah dalam tragedi sentimentil, tetapi juga untuk menunjukkan kebesarannya, dengan menentangnya ke dalam bentuk kekuasaan paling utuh. Resepsi pertama Spinoza dalam Romantisisme dengan demikian adalah resepsi estetika, persepsi gerak dan kesempurnaan, dinamika dan bentuk. Dan tetap seperti itu, bahkan ketika kerangka generik dan komponen-komponen tertentu dari Romantisisme menjadi sasaran kritik filosofis. Fitche, sang pangeran sejati filosofi Romantisisme, menganggap sistem Spinoza dan Kant sebagai yang “sangat koheren”,2 dalam gerak ontologis berkelanjutan dari “Aku’ (“I”). Bagi Schelling tahun 1790-an, pernyataan oposisi radikal antara filsafat kritis dan filsafat dogmatis—yaitu, antara filosofi absolut yang penulis temukan dalam filsafat kritis dan filsafat dogmatis dari objek absolut dan Spinozisme—dengan cepat diselesaikan dalam analisis dialektis (Hegel dengan segera mengakui itu) dengan bobot objektivitas.3 Jauh dari antinominal, posisi absolut “Aku” membentuk dirinya dalam proses yang diperlukan, di atas tragedi, mengagungkan “otomatisme spiritual” (“spiritual automatism’)4 dari relasi antara subjek dan substansi.

Dimensi estetika dari sintesis ini, berdiri tanpa henti dan tanpa lelah untuk mengembalikan kekuasaan dan substansi, elemen produktif dan bentuk produksi, menjadi sempurna. Romantisisme, menurut Hegel, dicirikan melalui kapasitasnya dalam mengatasi objektivitas murni dari cita-cita dan alam sebagai ide sejati keindahan dan kebenaran, awalnya untuk menghancurkan penyatuan ide dan realitas, serta untuk menemukan perbedaan (difference) dari yang terakhir, sehingga membawanya dalam inti dari manifestasi dunia subjektivitas absolut dan merekonstruksi objektivitasnya yang mana penyelesaian sensibilitas ditekan dalam karakter absolut yang dihasilkan.5 Filiasi dari proses ini masih berwatak Lessingian, tetapi dialektika yang baru mengekspresikan dan mengartikulasikan motivasi-motivasinya, seraya menekankan propaedeutik (propaedeutic) yang mengagumkan di sepanjang jalan menuju yang absolut. Spinoza menjadi tokoh sentral dalam proses ini.

Modernitas melawan Romantisisme

Apakah ada disonansi dalam pentas ini? Yang pasti—Hegel mengabsorpsi perangkat-perangkat Spinozisme ke dalam Romantisisme dan mengekspresikan disonansi ini. Sebab Romantisisme dan estetika hanya merupakan bagian dari dunia, dan dengan sendirinya melenyapkan kemutlakannya—yaitu, efektivitas, historisitas, dan modernitas. Romantisisme dan estetika menderita karena kurangnya kebenaran, absennya refleksi. Tapi absennya refleksi ini adalah absennya determinasi. Itulah ketidakseimbangan ‘ada’ Spinozist yang merupakan penanda kekurangan [manque] determinasi; hal ini ditandai dengan kurangnya [défaut] kebenaran. Di luar perbaikan orisinal yang ekstrim atau kooptasi ontologi Spinozist, di luar persaingan menyedihkan yang dialami Hegel terhadap Spinoza, terdapat dalam bagian Logic tentang keterukuran (measure) bahwa konfrontasi dan separasi terpenuhi.6 Problemnya di sini bukanlah untuk tidak mengaitkan dengan episode ini secara terperinci: yang dilakukan dengan sangat cemerlang.7 Cukup dengan mengidentifikasi konsep negatif dari ‘ada’ yang oleh Hegel dikaitkan dengan Spinoza, karena di seputar definisi ini (atau, pada akhirnya, di sekitar penyangkalannya), arus esensial tertentu dari perdebatan abad ke-20 tentang ontologi modernitas akan berkembang.

Di sini kritik Hegel berkembang di sepanjang dua jalur. Pertama, dapat dikatakan, fenomenologis: ini menyangkut interpretasi “mode” Spinozian. Kedua, didefinisikan sebagai afeksi (affection) dari substansi yang memposisikan dengan pasti determinasi, yang merupakan sesuatu selain dirinya, dan harus dipahami yang lainnya. Tapi, penolakan Hegel, mode ini diberikan secara langsung, tidak diakui sebaik Nichtigkeit, sebagai ketiadaan (nothingness), dan karena itu perlunya reflesi dialektis. Fenomenologi Spinozian begitu lempeng, bertumpu pada yang absolut. Tetapi dalam kasus ini, dunia mode hanyalah dunia ketidakpastian yang abstrak, yang darinya tak ada perbedaan, justru karena ia ingin mempertahankan dirinya sebagai yang absolut. Mode lenyap dalam disproporsi.8 Tapi—di sini kita beralih dari fenomenologi ke pengadilan ontologi—perbedaan dan disproporsi ini, yang diungkapkan dalam dunia mode, juga berlaku untuk definisi Spinoza tentang ‘ada’ secara umum. ‘Ada’ tidak mungkin mendapatkan kembali dirinya dari ketidakpastian mode. Indiferensi (indifference) dunia mode adalah, apabila secara implisit, seluruh ketidakpastian konstitutif dari ‘ada’, yang larut dalam realitas tersebut. ‘Ada’ dalam Spinoza hadir sebagai Dasein, dan tidak pernah dapat diselesaikan. “Indiferensi absolut adalah determinasi konstitutif dari substansi Spinoza,”9 dan dalam indiferensi ini, apa yang kurang adalah alasan inversi dialektis. Substansi Spinoza adalah ketertutupan absolut atas determinasi pada dirinya sendiri, dalam totalitas kosong yang membedakannya. Substansi Spinoza adalah:

“Penyebabnya, yang dengan ada untuk sendirinya menolak semua invasi, telah menjadi perlunya subjeksi atau takdir, dan subjeksi ini adalah yang paling sulit… Intuisi substansi paling sempurna dalam Spinoza dengan sendirinya adalah pembebasan dari ada terbatas untuk dirinya sendiri adalah kebutuhan kekuasaan dan kebebasan substansial.”10

Sebagai simpulan, dalam substansi Spinoza, Hegel (1) mengakui kapasitas untuk representasi diri sebagai horizon yang tak terhingga dari yang nyata, sebagai presensi ada secera general; (2) ia menegaskan kekuasaan estetika secara langsung dan tak dapat dipisahkan dari substansi Spinoza, dengan bersikeras “dalam karakternya sendiri” (“in itself character”); (3) Atribut substansi Spinoza merupakan ketidakmampuan mendasar untuk ketercakupan dirinya dalam Wirklichkeit, yaitu untuk menyelesaikan dirinya dalam dialektika dari dimensi rekonsiliasi yang sebenarnya. Dengan demikian, bagi Hegel, konsepsi Spinozis tentang ‘ada’ adalah Romantis, tapi karena alasan itu, tidak modern. Tanpa Spinoza, mustahil untuk berfilsafat, tetapi di luar dialektika ketakmungkinan untuk menjadi modern. Modernitas adalah kedamaian yang nyata, merupakan suatu pemenuhan historis. Presensi dan kekuasaan Spinoza tak mampu memberikan hal ini.

Waktu modernitas

Namun, terdapat momen lain, di sekitar tema modernitas, adalah mungkin bagi kita untuk mengevaluasi posisi Hegel yang berhadapan dengan Spinoza. Momen ini terkait persoalan waktu. Kita tahu bahwa waktu bagi Spinoza adalah, di satu sisi, waktu dari presensi, dan di sisi lain, waktu tak terhingga. Waktu berdurasi tak terhingga adalah “upaya yang dengannya setiap hal berusaha untuk bertahan dalam keberadaannya”. Memang nampak absurd jika kekuasaan itu “melibatkan waktu yang terhingga, yang menentukan lamanya waktu segala hal,” sebab kehancurannya tak dapat berasal dari esensi segala hal itu sendiri, tetapi hanya dapat diposisikan oleh sebab eksterior.11 Sementara untuk waktu sebagai presensi—yaitu, sebagai singularitas, sebagai determinasi—ia menjadikan dirinya sebagai residu dari reduksi durasi yang insignifikansi untuk esensi,12 tetapi, pada saat yang bersamaan dan di atas semuanya, sebagai pijakan positif dan transformasi ontologis dari residualitas itu: tubuh, eksistensinya yang aktual, dan jiwa sejauh ia terikat pada tubuh diposisikan bersama menjadi sebuah ide “yang mengekspresikan esensi tubuh dari sub specie aeternitatis”.13 Saat ini, jika tak mengejutkan bahwa Hegel menentang definisi waktu Spinozis sebagai durasi yang tak terhingga, posisinya pada definisi waktu ini tak bebas dari ambiguitas. Polemik Hegelian terhadap durasi yang tak terhingga hanya berfungsi untuk memberi artikulasi baru polemiknya pada indiferensi mode-mode substansi.

Menurut Hegel, memang, yang tak terhingga tak terhindari, tetapi meradikalisasi problem inheren dalam relasi antara yang tak terhingga dan terhingga: konsepnya karenanya harus diatasi. Durasi harus menjadi ukuran (measure), dan karena itu mediasi kuantitas terhadap kualitas, dan ketika hal itu terjadi, yang tak terhingga harus sampai pada realisasi kebutuhannya sendiri.14 Reduksi durasi temporalitas dan temporalitas abstrak ke konkret dan temporalitas historis adalah lajur dari poin Hegel, untuk melenyapkan presensi Spinozian dari nasib teoritisnya, yaitu transformasi menjadi ketiadaan murni. Di sini, dialektika pun akan berada dalam posisi pembalikan presensi realitas dan akan berkontribusi, melalui konkretisasi waktu, untuk menguraikan definisi modernitas. Yang tersisa kemudian definisi Spinozian kedua, sebagai presensi dan membuka kekuasaan, sub specie aeternitatis. Sekarang, bagaimana mungkin seseorang menentang definisi Spinozian tentang Dasein, atau lebih tepatnya dari determinasi mode keberadaaan, yang dalam singularitasnya tak dapat direduksi ke Gewordensein, dan yang secara radikal menentang determinasi ‘ada’ untuk setiap sintetik dialektik? Hegel sangat menyadari posisi ini ketika ia mengklaim bahwa konsep dialektika temporalitas tidak membatalkan determinasi konkret—dengan kata lain, bahwa peristiwa, determinasi (sebagai tindakan, Bestimmung, dan juga akibatnya, Bestimmtheit) tetap dalam kekonkretannya.

Jika waktu moderintas adalah saat pemenuhan, ini pemenuhan yang nyata tak membingungkan atau menyembunyikan kemegahan peristiwa. Dialektika Hegelian dalam hal apapun tak dapat menyerah begitu saja pada singularitas. Namun, di sini menyembunyikan sebuah kesulitan ambiguitas yang tak dapat diatasi. Presensi Spinozian merupakan ‘ada’ yang penuh kekuasaan, dari horizon singularitas yang tak dapat dihancurkan.

Hegel dengan cukup lihai mencoba menginversi kekuasaan, tetapi dengan mengambil jubah dari sofisme, sebab tujuannya untuk menegaskan kembali kekuasaan yang sama. Hegel mungkin memang mencemooh ‘ada’ Spinozian menjadi semacam kekerasan karena presensinya tak dapat direduksi dan mendorongnya ke arah indiferensiasi dan ketiadaan. Tetapi setiap kali kehadiran singular, ini muncul kembali, bahwa Hegel mengklaim realitas sebagai kekosongan, menyingkapkan dirinya secara berlawanan untuk diisi dengan semua positivitas, terbuka, dan potensi singular. Memang, mungkin Hegel menganggap perspektif waktu yang dikonsepsikan sebagai durasi tak terhingga sangat kurang memuaskan, tapi ia hanya dapat menentang gerakan pengulangan transendental dan steril dalam praktik teoritis waktu di mana yang terakhir dibebankan dengan presensi determinasi ini. Di sinilah sistem Hegelian terancam, di sini, ketika waktu modernitas sebagai pemenuhan dari gerak sejarah beroposisi dengan dirinya sendiri dengan munculnya singularitas, waktu positif dari Dasein, dari presensi Spinozian.

Apa yang kemudian menjadi ide Hegel tentang modernitas? Hegel terpaksa harus mengungkapkan ambiguitas substansial dari konstruksi konseptualnya. Sebab ritme mediasi transendental sangat memengaruhi dirinya sendiri pada kemunculan singularitas, dan jika transendental ingin mengabsorpsi energi singular, tapi hal itu tak berhasil dilakukannya dengan adil. “Acosmic”, “atemporal” Spinoza mengekspresikan konsepsi waktu sebagai presensi dan sebagai singularitas yang diambil alih, oleh mesin dialektika yang besar, tetapi gagal. Modernitas menyingkapkan dirinya tak hanya sebagai musuh Romantisisme, meski menjadi saksi akan keinginan frustasi untuk mengkooptasi kekuatan produktif dari singularitas. Namun frustasi ini tidak mengeliminasi kemantapan pengulangan (repetition): itu memposisikan parameter dominasi. Dengan Hegel, modernitas menjadi tanda dominasi transendental atas kekuasaan, upaya terus menerus untuk mengatur kekuasaan secara fungsional—dalam instrumen rasionalitas kekuasaan. Dengan demikian relasi ganda secara langsung menghubungkan dan memisahkan Hegel dan Spinoza pada waktu bersamaan. Bagi keduanya, presensi penuh dan produktif, tetapi ketika Spinoza menetapkan kekuasaan dalam keintiman dan singularitas, Hegel mengistimewakan mediasi dan dialektika kekuasaan transendental. Dalam pengertian ini, dan hanya dalam pengertian ini, kehadiran Spinozian bertentangan dengan Hegelian. Anti-modernitas Spinoza bukanlah negasi dari Wirklichket tetapi reduksi yang belakangan menjadi Dasein—modernitas Hegel terdiri dari opsi yang berlawanan.

Takdir modernitas

Realitas modernitas adalah “kesatuan langsung antara esensi dan eksistensi, dengan kata lain, dari dalam dan luar, dalam bentuk dialektika.” Begitulah asal mula badai yang berkecamuk dalam kritik filosofis selama hampir dua abad.15 Selama zaman keemasan, dan bahkan lagi pada zaman perak filsafat Jerman kontemporer (yaitu, pada abad ke-19 dari “kritik atas kritik”, dan filsafat akademik fin-de-siécle yang agung), substansi dan kekuasaan, Wirklichkeit dan Dasein menjadi tak terpisahkan.

Pertama-tama, kekuasaan dirasakan sebagai antagonisme, yang didefinisikan sebagai irasional. Filsafat mengubah dirinya setahap demi tahap menjadi usaha luhur untuk mengusir irasionalitas, yaitu menggelapkan kekuasaan. Keinginan kuat Hegel untuk menempatkan hegemoni dialektis dari substansi absolut pertama-tama bertentangan dengan horizon krisis dan tragis, dan kedua adalah upaya tanpa henti untuk memperbarui teleologi transendental sesuai dengan bentuk dialektis dalam berbagai horizon yang berbeda—dan tak luput dari ironi tokoh-tokoh agung, seperti Marx dan Nietzsche—yang terus-menerus menawarkan citra modernitas yang pucat tetapi tetap sukses. Keunggulan relasi produksi atas kekuatan-kekuatan produktif melepaskan diri dari utopia absolut Hegel dan mengambil bentuk teleologi reformis. Skema dengan durasi tak terhingga, berlawanan dengan skema dialektika tak terbatas, dipoles sebagai proyek dominasi rasionalitas progresif. Modernitas mengganti sprei tanpa mengganti alas tidur. Dan ini menjadi sangat berlarat-larat, kapasitas pembaruan yang melelahkan, menemukan seribu cara untuk melewati intimasi modernitas Hegelian yang kering, otoriter, dan utopis, berusaha untuk menggantikannya dengan bentuk skematis akal budi dan transendentalitas. Kelelahan ini menggerogoti dirinya sendiri dan mengubah refleksi atasnya.16

Heidegger mewakili batas ekstrim dari proses ini, sebuah proses yang terintegrasi dengan sempurna, jika memang benar bahwa salah satu tujuan Sein und Zeit merupakan memikirkan kembali skema transendental,17 tetapi proses yang, pada saat ketika dimulai kembali di lintasan yang biasa, nyatanya terpental. “Tujuan kami dalam risalah di atas merupakan untuk menjawab pertanyaan tentang makna Ada (Being) dan untuk melakukannya secara konkret. Tujuan sementara kami adalah menafsirkan waktu sebagai horizon yang memungkinkan untuk setiap pemahaman apapun tentang Ada.”18 Tetapi:

“Jika untuk menafsirkan makna Ada menjadi tugas kita, Dasein bukan hanya entitas utama yang akan diinterogasi; juga entitas yang sesuai sendirinya, dalam Ada, dari apa yang kita bayangkan ketika mengajukan pertanyaan ini. Tetapi dalam kasus ini pertanyaan tentang Ada tak lain merupakan radikalisasi dari tendensi keberadaaan-hakiki yang dimiliki Dasein sendiri—pemahaman pra-ontologis tentang Keberadaan.”19

Tema kehadiran, sekali lagi, telah menjadi sentral. Dasein merupakan temporalitas yang retak dan ditemukan kembali pada setiap poin sebagai presensi, suatu kehadiran yang stabil dan berakar secara otonom berkenaan dengan mobilitas dan penyebaran “mereka” dan segala bentuk disorientasi budaya. Takdir menjadi dan sejarah selanjutnya diposisikan di bawah transaksi dan kekecewaan. Efektivitas Hegelian bukan lagi Wirklichkeit tetapi Faktizität mentah. Modernitas adalah takdir. Di halaman terakhir Sein und Zeit, menentang mediasi Hegel dan Roh Absolut. Heidegger menegaskan bahwa:

“Analitik eksistensial kita tentang Dasein, sebaliknya, dimulai dengan keberadaan ‘konkret’ yang dilemparkan secara faktis untuk mengungkap temporalitas sebagai sesuatu yang secara primitif memungkinkan keberadaan semacam itu. ‘Roh’ tidak pertama kali jatuh ke dalam waktu, tetapi eksis sebagai primordial sementara temporalitas… ‘Roh’ tidak jatuh ke dalam waktu; tetapi eksistensi faktis yang ‘jatuh’ karena terlempar dari kesementaraan primordial dan otentik.”20

Di sini, dalam kejatuhannya, yang mana ‘ada’ menjadi “perhatian’, temporalitas mengkonstitusi dirinya sebagai kemungkinan dan proyeksi diri ke masa depan. Di sini, tanpa pernah terlempar ke dalam perangkap teleologi dan dialektika, temporalitas menyingkapkan kemungkinan sebagai determinasi ontologis Dasein yang paling murni. Dengan demikian, hanya di hadapan takdir sekali lagi membuka kemungkinan dan masa depan. Namun bagaimana kita bisa menjadikan Dasein otentik? Dalam kematian yang rumit dan tragis ini merupakan kemungkinan Dasein sepenuhnya dan paling otentik. Tetapi yang terakhir ini juga merupakan ketidakmungkinan presensi: “sebuah kemungkinan dari ketidakmungkinan” sebab itu menjadi kemungkinan Dasein sepenuhnya dan paling otentik. Dengan begitu tema modernitas Hegelian menjadi terpenuhi: dalam ketiadaan, dalam kematian, kesatuan langsung eksistensi dan esensi. Tuntutan Hegelian yang nostalgik dari Bestimmung menjadi Entschlossenheit yang putus asa dalam Heidegger—deliberasi dan resolusi keterbukaan Dasein untuk kebenarannya sendiri, yang merupakan ketiadaan. Musik yang menyajikan irama tarian determinasi dan transendental telah berakhir.

Tempus potentiae

Heidegger bukan hanya nabi pewarta dari takdir modernitas. Pada saat yang sama ketika ia memisahkan, juga merupakan poin utama menuju anti-modernitas, membuka jalan pada konsepsi waktu sebagai relasi konstitutif ontologis yang membelah hegemoni substansi atau transendental, dan karenanya membuka pada kekuasaan. Resolusi tak hanya terdiri dari fakta melenyapkan penutupan (Entcshlossenheit)—itu terkait dengan antisipasi dan keterbukaan, yang merupakan kebenaran itu sendiri karena ia mengungkapkan dirinya dalam Dasein. Penemuan ‘des’ tak hanya terdiri dari fakta yang membuka (Entdecken) apa yang telah ada sebelumnya, tetapi pada kenyataan memposisikan otonomi Dasein yang mapan melalui dan menentang mobilitas dispersif “Mereka”.

Dengan memberikan dirinya sebagai terbatas, ada-di-sana (being-there) terbuka, dan keterbukaan ini adalah penglihatan (Sicht): tetapi lebih dari penglihatan, itu adalah Umsicht. Ada-di-sana merupakan posibilitas, tetapi lebih dari itu: kekuasaan-menjadi (power-to-be). “Kita” mengandaikan kebenaran karena ‘kita’, berada dalam Ada seperti yang dimiliki Dasein, adalah “dalam kebenaran”.21 Tetapi Dasein selalu mendahului dirinya setiap saat. Hal itu merupakan ada yang, dalam ada-nya, masalahnya adalah kekuasaanya sendiri kekuasaan-menjadi (power-to-be). Keterbukaan dan penemuan termasuk dalam cara yang esensial untuk ada dan kekuasaan-menjadi dari Dasein sebagai ada-dalam-dunia (being-in-the-world), dan secara bersamaan, keasyikan penemuan yang telah terpikirkan dengan kedalaman ada di dunia. Dalam konstitusi ada dari Dasein sebagai perawatan, dalam ada-mendahuli dirinya (being-ahead-of-self), “pengandaian” yang paling murni disertakan.

Karena itu, presensi bukan hanya berarti ada dalam kebenaran, dalam ketaksembunyian ada, tetapi lebih merupakan proyeksi dari ada, kemurnian, keberakaran yang baru dari ada. Waktu menginginkan kekuasaaan, mengarahkan produktivitasnya, menyentuh energinya. Dan, ketika kembali pada ketiadaan, tak melupakan kekuasaan tersebut. Spinoza muncul di jantung artikulasi ini. Tempus potentiae. Desakan Spinoza pada esensi memenuhi apa yang Heidegger tinggalkan sebagai kemungkinan belaka. Hegemoni presensi dalam kaitannya dengan ada yang membedakan Spinozian dari metafisika Hegelian menegaskan kembali dirinya sebagai hegemoni keberlimpahan masa kini yang dihadapkan dengan presensi yang kosong Heideggerian. Tanpa pernah masuk ke dalam modernitas, Spinoza keluar dari sini, dengan membalikkan konsepsi waktu—yang ingin dipenuhi oleh yang lain dalam menjadi atau ketiadaan—kepada waktu yang terbuka dan konstitutif positif. Di bawah kondisi ontologis yang sama, cinta menggantikan “perawatan”.

Spinoza secara sistematis membalikan Heidegger: untuk Angst (kecemasan), ia menentang Amor, ke Umsicht (kehati-hatian) ia menentang Mens, ke Entschloessenheit (resolusi) ia menentang Cupiditas, ke Anwesenheit (kehadiran) ia menentang Conatus, ke Besorgen (keterarahan) ia menentang Appetitus, ke Mölichkeit (posibilitas) ia menentang Potentia. Dalam oposisi ini, presensi dan kemungkinan yang anti-tujuan menyatukan apa yang berbeda dari orientasi ontologi. Pada saat yang sama, indiferensi makna dari ada justru terbagi—Heidegger mengarahkan dirinya pada ketiadaaan (nothingness), dan Spinoza menuju kepenuhan (plenitude). Ambiguitas Heideggerian yang goyah dalam kekosongan (void) membereskan dirinya dalam ketegangan Spinozian yang menganggap kekinian sebagai kepenuhan. Jika bagi Spinoza, seperti halnya bagi Heidegger, modal presensi, atau entitas yang lebih fenomenologis, memiliki kebebasannya sebagai kompensasi kepada mereka, Spinoza, tak seperti Heidegger, mengakui entitas sebagai kekuatan produktif.

Reduksi atas waktu untuk presensi membuka ke arah yang berlawanan: konstitusi presensi yang mengarahkan dirinya sendiri pada ketiadaan, atau dorongan kreatif tentang presensi. Dari horizon yang sama, dua arah konstitutif terbuka: jika Heidegger membereskan perhitungannya dengan modernitas, Spinoza (yang tak pernah masuk ke dalam modernitas) menunjukan kekuatan anti-modernitas yang tak dapat diterima yang sepenuhnya diproyeksikan ke masa depan. Cinta dalam Spinoza mengekspresikan waktu dari kekuasaan (time of power), sebuah waktu presensi, sejauh itu merupakan tindakan yang elemennya bagian dari kekekalan. Bahkan dalam permulaan yang sulit dan problematis dari buku Etika V kita dapat melihat dengan kuat proses determinas konseptual ini. Kondisi formal identitas presensi dan keabadian diberikan sebelumnya. “Apa pun yang dipahami akal sub specie aeternitatis, ia memahami bukan dari fakta bahwa ia memahami eksistensi Tubuh aktual, tetapi dari fakta bahwa ia memahami esensi Tubuh sub specie aeternitatis.”23 Proposisi 30 melangkah lebih jauh: “Sejauh Akal kita mengetahui dirinya dan Tubuh di bawah jenis keabadian, ia harus memiliki pengetahuan tentang Tuhan, dan tahu bahwa ia ada di dalam Tuhan dan dipahami melalui Tuhan.”24 Penjelasan utama dapat ditemukan dalam Proposisi (“disingkat P”) 32:

“Dari ketiga jenis pengetahuan itu, muncul lah cinta intelektual Tuhan. Karena dari pengetahuan semacam ini, muncul (P32) Sukacita, disertai dengan ide tentang Tuhan sebagai penyebabnya, yaitu Cinta Tuhan, tidak sejauh yang kita bayangkan ia sebagai presensi (oleh P29), tetapi sejauh kita mengerti bahwa Tuhan itu kekal. Dan inilah yang penulis sebut cinta intelektual kepada Tuhan.”25

Sebab itu keabadian merupakan dimensi formal dari presensi. Tetapi saat inilah pembalikan dan penjelasannya: “Meskipun cinta kepada Tuhan ini tidak memiliki permulaan (P33), itu semua masih mempunyai kesempurnaan Cinta, sama seperti jika itu terjadi.”26 Berhati-hati lah, kemudian, dari kejatuhan ke dalam jebakan durasi: “Jika kita memperhatikan asumsi umum tentang manusia, kita akan melihat bahwa mereka memang menyadari akan keabadian Pikiran-nya, tetapi mengacaukannya dengan durasi, dan atributnya dengan imajinasi, atau ingatan, yang mereka yakini tetap setelah kematian.”27 Sejalan dengan pernyataan ini:

“Cinta Pikiran ini harus terkait dengan tindakannya (oleh P32C dan IIIP3); itu kemudian, suatu tindakan yang dengannya Pikiran merenungkan dirinya sendiri, dengan ide yang menyertai Tuhan sebagai penyebabnya (oleh P32 dan P32C)… jadi (oleh P35), Cinta Pikiran ini merupakan bagian dari cinta tak terhingga yang dengannya Tuhan mencintai dirinya sendiri.”28

“Dari sini kita jelas mengerti di mana keselamatan kita, atau anugrah, atau Kebebasan, yaitu dalam Cinta Tuhan yang konstan dan abadi, atau dalam Cinta Tuhan untuk manusia… Karena sejauh ini [Cinta ini] berhubungan dengan Tuhan (oleh P35), itu adalah Sukacita.”29

Argumentasi ini berakhir, tanpa kesangsian lebih lanjut, dengan P40: “Semakin banyak kesempurnaan yang dimiliki masing-masing semakin ia bertindak dan semakin tak ditindaklanjuti; dan sebaliknya, semakin ia bertindak, semakin sempurna.”30 Sebab itu, kekuasaaan dari waktu terdiri dari keabadian, karena tindakan konstitutif presensi di depannya. Keabadian yang diandaikan di sini ditunjukan sebagai hasilnya, horizon penegasan dari tindakan. Waktu adalah kelimpahan cinta. Bagi Heidegger ketiadaan bersesuaian dengan kelimpahan Spinozis—atau lebih tepatnya paradoks keabadian, kelimpahan dunia saat ini, kemegahan dunia saat ini, kemegahan singularitas. Konsep modernitas dibakar oleh cinta.

Anti-modernitas Spinoza

“Cinta terhadap Tuhan ini tidak dapat dinodai oleh rasa iri hati atau kecemburuan: sebaliknya, semakin banyak manusia yang kita bayangkan ‘menyatu’ dengan Tuhan dengan ikatan cinta yang sama, semakin terdorong.”31 Dengan demikian, elemen tambahan dimasukan ke definisi anti-modernitas Spinoza. Menurut dinamika sistemnya sendiri, yang pada dasarnya mengambil bentuk dari Etika III dan IV, Spinoza membangun dimensi kolektif dari kekuatan produktif, dan karenanya merupakan bentuk kolektif cinta akan keilahian. Seperti halnya modernitas yang individualistis, dan dengan demikian dibatasi untuk mencari mekanisme mediasi dan komposisi dalam pengulangan transendental, demikian pula, Spinoza secara radikal meniadakan dimensi apapun di luar proses konstitutif komunitas manusia, hingga imanensi absolutnya. Ini menjadi sangat eksplisit dalam Tractatus Politicus, dan sebagian dalam Tractatus Theologico-Politicus, karena mungkin hanya Tractatus Politicus yang dapat membantu kita memahami lintasan pemikiran yang mengatur Proposisi 20 dari buku Etika V, atau lebih baik, dalam memahami dengan jelas seluruh mekanisme gerakan konstitutif Cinta intelektual sebagai esensi kolektif.

Yang ingin penulis katakan bahwa Cinta intelektual merupakan kondisi sosialisasi formal, dan bahwa proses komunitarian adalah ontologis Cinta intelektual. Akibatnya, Cinta intelektual merupakan apa yang menyoroti paradoks multitut dan menjadi komunitas, karena Cinta intelektual sendiri menggambarkan mekanisme nyata yang mengarahkan potensi multitut untuk menentukan dirinya sebagai kesatuan tatanan politik absolut: potestas demokratisa?32 Di sisi lain, modernitas tak tahu bagaimana membenarkan demokrasi. Modernitas selalu memahami demokrasi sebagai keterbatasan dan karenanya mentransformasikannya dalam persepektif demokrasi transendental. Absolut Hegelian hanya memberikan penjelasan tentang kekuatan produktif kolektif, atau potensi yang muncul darinya, setelah semua singularitas direduksi menjadi negatif. Hasilnya adalah sebuah konsep demokrasi33 yang selalu formal. Dan hasil sebenarnya dari operasi ini semata-mata untuk subjek kekuatan produktif pada dominasi relasi produksi. Tetapi bagaimana contoh singularitas yang tidak dapat diatasi, hasrat dari komunitas, dan determinasi material dari kolektif produksi membiarkan dirinya direduksi menjadi paradigma seperti itu?

Dalam konsepsi paling mutakhir modernitas, relasi dominasi ini dialihkan ke dalam kategori “belum selesai”, melalui proses yang lagi-lagi, seperti biasa, mereduksi dan mereproduksi presensi melalui durasi34, tidak, keberhasilan dari singularitas, cara mereka menempatkan dirinya sebagai multitud, cara mereka membentuk dirinya dalam ikatan cinta yang semakin luas, tak berarti apapun yang belum selesai. Spinoza tidak mengetahui istilah ini. sebaliknya, proses-proses ini selalu lengkap dan selalu terbuka, dan ruang yang memberikan dirinya antara pemenuhan dan pembukaan adalah kekuasaan absolut, kebebasan total, jalan pembebasan. Negasi Utopia dalam Spinoza terjadi berkat kooptasi total pembebasan kekuasaaan ke dalam horizon kehadiran: presensi memaksakan realisme sebagai melawan utopia, dan utopia membuka presensi kedalam protek konstitutif. Kebalikan dari apa yang diharapkan Hegel, tak terukur dan presensi hidup bersama di medan determinasi absolut dan kebebasan absolut. Tidak ada yang ideal, tidak ada yang transendental, tidak ada proyek yang tidak lengkap yang bisa mengisi pembukaan, memuaskan atau mengisis celah kebebasan. Keterbukaan, disproporsi, dan Yang-Absolut diselesaikan dan ditutup dengan presensi di luar yang hanya kehadiran baru yang dapat diberikan. Cinta tak lagi hadir abadi, kolektivitas menjadikan singularitas mutlak.

Saat Heidegger membangun fenomenologi sosialnya dari singularitas, antara tidak otentiknya keduniaawian dan keotentikan ada-dalam-dunia, ia menghadirkan polemik melawan transendental yang analog dengan yang dilakukan oleh Spinoza, tetapi sekali lagi lingkaran krisis dari modernitas menutup pada dirinya dan kekuasaan produktif yang mengejutkan dalam ketiadaan. Sebaliknya, dalam determinasi, dalam sukacita, cinta Spinozist mengagungkan apa yang ditemukan dalam horizon temporalitas dan menjadikannya sebagai kolektivitas. Anti-modernitas Spinoza meledak di sini dengan cara yang tak tertahankan, sebagai analisis dan eksposisi dari kekuatan produktif menjadi ontologis sebagai kolektivitas.

Kembalinya Spinoza

Siklus dari definisi modernitas disahkan oleh Hegel—dengan kata lain, siklus yang mana reduksi kekuasaan kedalam bentuk transendental absolut mencapai puncaknya, dan akibatnya di mana krisis relasi didominasi oleh eksorsis kekuasaan dan reduksi irasionalitas dan ketiadaan—dengan demikian mencapai tahap akhir. Di sinilah Spinozisme menaklukan tempat dalam filsafat kontemporer, tak lagi hanya sebagai indikator historis tetapi sebagai paradigma aktif. Memang, Spinozisme selalu mewakili titik referensi dalam kritik terhadap modernitas, seba ia menentang konsepsi subjek-individu, mediasi dan transendental, yang menginformasikan konsep modernitas dari Descartes ke Hegel dan Heidegger, konsepsi tentang subjek kolektif, cinta dan tubuh sebagai kekuasaan dari presensi. Spinoza membenarkan teori atas waktu yang diambil dari finalitas, yang mendasari ontologi yang dipahami sebagai proses konstitusi. Atau dasar inilah Spinozisme berlaku sebagai katalisator alternatif dalam definisi modernitas.

Tapi mengapa seseorang harus mengutuk suatu waktu dari posisi penolakan radikal terhadap bentuk-bentuk modernitas yang mendefinisikan dengan “alternatif’ istilah yang restriktif? Di medan alternatif, kita menemukan posisi kompromi yang handal dalam seni mediasi—seperti posisi Habermas, yang selama perkembangan panjang teorinya tentang modernitas35 tidak pernah berhasil mengatasi repetisi lemah dan hambar dari permukaan di mana Hegel membangun modernitas secara fenomenologis sebagai bentuk absolut dirinya dalam interaksi dan ketidaklengkapan. Tidak, bukan itu yang menarik minat kita. Spinoza lahir kembali (redivivus) berada di tempat lain—ia adalah tempat di mana terobosan pada asal mula modernitas bangkit kembali, pemutusan antara kekuatan produktif dan relasi produksi, antara kekuasaan dan mediasi, antara yang-Absolut dan singularitas. Bukan alternatif untuk modernitas, tetapi, anti-modernitas, kuat dan progresif.

Beberapa penulis kontemporer dengan senang hati mengumumkan definisi kami tentang Anti-Modernitas Spinoza. Demikian Althusser menyatakan:

“Filsafat Spinoza membawa revolusi teoritis yang belum pernah terjadi sebelumnya ke dalam sejarah filsafat, mungkin revolusi filosofis terbesar sepanjang masa, hingga kita dapat menganggap Spinoza sebagai satu-satunya leluhur langsung Marx, dari sudut pandang filosofis.”36

Mengapa? Sebab Spinoza adalah pencetus konsepsi praksis yang mutlak otentik tanpa teleologi, karena ia berpikir presensi dari suatu sebab dalam efeknya dan struktur eksistensi dalam efek dan presensinya. “Seluruh struktur eksistensi terdiri dari efeknya.. . Struktur, yang hanya merupakan kombinasi spesifik dari elemen-elemennya yang unik, tidak pernah ada di luar efeknya.”37 Bagi Foucault, Spinoza mengubah orisinalitas struktural tanpa menjadikan fondasi bagi mekanisme dari produksi norma, yang mendasarkan diri pada persembahan kolektif:

“Dan dengan demikian orang dapat melihat bahwa, bagi filsuf, untuk mengajukan pertanyaan tentang menjadi bagian dari masa kini tak akan lagi menjadi problem dari bagian sebua doktrin atau tradisi, itu tidak akan lagi menjadi pertanyaan sederhana tentang menjadi bagian dari suatu komunitas manusia pada umumnya, tetapi milik “Kita” tertentu, kepada Kita yang berhubungan dengan keseluruhan budaya yang merupakan karakteristik dari aktualitasnya sendiri. Adalah kita yang menjadi objek dari refleksinya sendiri bagi filsuf, dan dengan demikian ketidakmungkinan mengabaikan pertanyaan filsuf tentang yang singular kepada kita ditegaskan. Semua ini, filsafat sebagai problematisasi suatu aktualitas dan pertanyaan oleh filsuf dari aktualitas di mana ia menjadi bagiannya, dan dalam kaitannya dengan yang harus ia tempatkan sendiri, mungkin akan mencirikan filsafat sebagai wacana modernitas dan dalam modernitas.”38

Dari posisi inilah Foucault dapat mengajukan “sejarah politik kebenaran” atau “ekonomi politik”dari hasrat untuk mengetahui39—dari posisi yang membalikan konsep modernitas sebagai takdir untuk menunjukan keberadaan dan kepemilikan. Bagi Deleuze, terakhir, Spinoza mendorong praksis di masa kini hingga batas kemenangan sebelum waktunya lebih dari efektivitas—dan subjek, di sini, menemukan dirinya sebagai subjek kolektif, yang dihadirkan dalam gaya Spinozis sebagai hasil dari gerakan resiprokal dari luar-dalam, pada kehadiran dunia yang mengambang yang selalu dibuka dalam kemungkinan absolut.40 Anti-modernitas, oleh karena itu, adalah konsep sejarah saat ini, yang disusun kembali sebagai konsep pembebasan kolektif, sebagai batas dan mengatasi batas, sebagai tubuh dan keabadian dan kehadirannya, sebagai pembukaan kembali kemungkinan yang tak terhingga. Res gestae, praktik teori sejarah.

________________________________

Catatan Kaki

1 Manfred  Walther, “Spinoza en Allemagne, Histoire des problems et de la recherche,” dalam Spinoza entre Lumieres et romantisisme (Les Cahieres de Fontenay 36-37 [Maret 1985]), hlm. 25.

2Peter Szondi, Poesie et poetique de I’idealisme allemand (Paris: Editions de Minuit, 1975), hlm, 10.

3Antonio Negri, Stato e diritto nel giovane Hegel (Padua: Cedam, 1985), hlm. 158.

4Martial Gueroult, “La philosophic schellingienne de la liberte,” dalam Studio, Filsafat. Chelinggsheft 14 (1954), hlm. 152, 157.

5G.W.F. Hegel, Asthetik (Berlin: Aufbau, 1955), trans. T.M. Knox, Aesthetic (Oxford: Clarendon Press, 1975), II, iii.

6G.W.F. Hegel, Wissenschaft der Logik, ed. G. Lasson (Hamburg: Felix Meiner, 1967),I,iii; Science of Logic, trans. A. V. Miller (Atlantic Highlands: Humanities Press International, 1989), hlm. 327-385.

7Pierre Macherey, Hegel ou Spinoza (Paris: Maspero, 1979).

8G.W.F. Hegel, Logic, hlm. 329; Martial Gueroult, Spinoza I. Dieu (Paris: Aubier, 1968), hlm. 462; Ernst Cassirer, Das Erkenntnis-Problem in der Philosophie und Wissenschaft der Neueren Zeit (Berlin: B. Cassirer, 1952).

9G.W.F. Hegel, Logic, hlm. 382.

10Hegel, Encyclopedia of the Philosophical Sciences in Outline, ed. E. Behler, trans, S.A.

Taunebeck (New York: Continuum, 1990), II, C, #108, hlm. 101. Dalam pasase ini, lihat Cassirer’s Das Erkenntnis-Problem..

11Spinoza, Ethics, 111P8, Demonstration (11/147, 5-6). Semua quote dari Spinoza dikuti dari Spinoza Opera, ed. Carl Gebhardt (Heidelberg: Carl Winter Verlag, 1972), 4 vols. Pengutipan ini akan diberi nomor, halaman nomor dan urutan. Diterjemahkan dari Collected Works, ed. and trans. Edwin Curley (Princeton : Princeton University Press, 1985), dengan beberapa modifikasi.

12Ethics IV, Preface (11/209, 1-10).

13Ethics VP23, Scholium (11/295, 29-30).

14Lihat Hegel, Logic, I, iii, and Cassirer’s Das Erkenntnis-Problem.

15Karl Lowith, From Hegel to Nietzsche, trans. D. Green (New York: Columbia University Press,199P).

16Antonio Negri, bagian VIII (“L’irrazionalismo”) & IX (“Fenomenologia e esistenzialismo”) dalam La filosofia contemporanea, ed. Mario Dal Pra (Corno-Milan: Vallardi, 1978),hlm. 151-175. Dalam upaya evaluasi ulang Neo-Kantianisme, dapat ditemukan dalam Jiirgen Habermas,The Philosophical Discourse of Modernity, trans. F. Lawrence (Cambridge, Mass: MIT Press, 1987).

17The project is announced at the end of the introduction of Sein und Zeit. But see also Martin Heidegger, Kant and the Problem of Metaphysics, trans. R. Taft (Bloomington: Indiana University Press, 19904).

18Being and Time, trans. J. Macquarrie and E. Robinson (New York: Harper & Row, 1962), hlm. 19.

19Ibid, p. 35.

20Ibid, p. 486.

21Ibid, p. 270.

22Dalam The Savage Anomaly: Power and Politics in Spinoza, trans. M. Hardt (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1991), Argumen penulis pada buku V dari Etika mempresentasikan kondtradiksi yang mendalam, dan bahwa daya orientasi berebeda berdampingan di dalamnya. Saat ini, setelah mengevaluasi banyak kritik yang diajukan terhadap penafsiran penulis, penulis mempertahankan semua yang menekankan linearitas pemisahan yang berlebihan. Penulis mempertahankan khususnya, seperti akan ditekankan nanti, bahwa konsep cinta intelektual (amor intellectualis) seperti yang penulis bahas di buku V, dapat dibaca kembali dari Tractatus Politicus—dan karenanya dievaluasi kembali dengan mengingat seluruh sistem Spinoza.

23Ethics VP29 (11/298,10-14).

24Ethics VP30 (II/299, (5-8).

25Ethics VP32, Corollary (11/300, 22-27.

26Ethics VP33, Scholium (11/301, 6-8).

27Ethics VP34, Scholium (11/301, 30-31, 1/302, 1-2).

28Ethics VP36, Scholium (11/302,18-25).

29Ethics VP36, Scholium (11/303, 2-9).

30Ethics VP40 (11/306,2-3). & nbsp; &nb sp;

31Ethics VP20 (11/292, 15-17).

32Penulis ingin menekankan kembali bagaimana ambiguitas buku Etika V dapat diselesaikan dengan cara baca yang menguntegrasikan konsepsi cinta intelektual dan proses konstitusi demokrasi, sebagaimana dijelaskan dalam Tractatus Politicus. Terhadap oposisi ini, lihat C. Vinti, Spinoza. La conoscenza come liberazione (Rome: Studium, 1984), ” chapter IV, yang menggunakan proporsisi interpretatif yang penulis kembangkan dalam The Savage Anomaly dan meradikalisasi untuk menemukan keabadian transendensi dalam sistem Spinoza.

33Penulis mengacu pada interpretasi liberal-demokratik Hegel, sebagaimana yang dikembangan oleh Rudolf Haym, Franz Rosenzweig, and Eric Weil.

34Jurgen Habermas, Kleine Politischen Schriften I-IV (Frankfurt: Suhrkamp, 1981), hlm. 444-464.

35. Dari “Labor and Interaction” [1968], dalam Theory and Practice, trans. J. Viertel (Boston: Beacon Press, 1973), juga “Modernity, An Unfinished Project” [1980], published as “Modernity vs. Index Page 10 of 11 http://info.interactivist.net/print.pl?sid=02/07/02/0233253 02.06.2007 Postmodernity” in New German Critique 22 (1981), and The Philosophical Discourse of Modernity [1985], trans. F. Lawrence (Cambridge, Mass.: MIT Press, 1987).

36Louis Althusser et al., Lire le Capital (Paris: Maspero, 1965), vol. II, hlm. 50, Reading Capital, trans. B. Brewster (New York: Pantheon, 1970), p. 102 (translation modified).

37Ibid., p. 171; translation, p. 189.

38Michel Foucault, L’ordre du discours (Paris: Gallimard, 1971); trans. R. Dwyer, “Orders of Discourse,” dalam Social Science Information 10:2 (April 1971).

39Michel Foucault, La volonte de savoir (Paris: Gallimard, 1976); trans. R. Hurley, The History of Sexuality, vol. I: An Introduction (New York: Pantheon, 1978).40Gilles Deleuze, Foucault (Paris: Editions de Minuit, 1986); trans. S. Hand, Foucault (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1988).

Lahir di Bandung, mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Bagian kelompok belajar Lingkar Studi Filsafat (LSF) Nahdliyyin dan Lingkar Studi Psikoanalisa.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content