fbpx

Kisah Elang dan Panah dalam Fabel Aesop mengisahkan tewasnya seekor elang karena anak panah yang terhiasi bulunya sendiri. Elang tewas dengan penyesalan karena telah memberikan helai bulunya kepada manusia yang menginginkan hidupnya. Kisah yang disampaikan oleh seorang budak Yunani itu seakan menegur manusia yang memberi kebaikan atau berbelas kasih kepada orang lain. Karena kebaikan dan belas kasih seringkali justru akan berbalik menjadi petaka bagi sang pemberi, sebuah ironi dimana Nietzche memiliki pandang senada. Bagi Nietzche, belas kasih adalah kelemahan serta kebajikan bagi para dekaden semata. Pembagian separuh milik atas dasar belas kasih hanya dilakukan oleh orang yang tidak mencintai dirinya. Pemakzulan bagi ubermench, pengkhianatan bagi para penggugat Tuhan.

Aesop dan Nietzche memiliki latar belakang kehidupan berbeda. Aesop hidup pada masa di mana para pemimpin polis saling berdiplomasi namun tetap dalam kondisi siaga. Elang yang tewas dalam kisahnya menyuarakan vis pacem parabellum berbentuk fabel bagi raja, senator dan imam tertinggi. Sementara Nietzche hidup dalam kondisi di mana kebajikan seperti “cintai tetanggamu” atau “jangan mementingkan diri sendiri” ditafsirkan sebagai pemberian kehidupan pada lingkungan supra-sosial dan bukan untuk melawan ego yang mendera jiwa. Namun, perbedaan latar kedua narator ini tidak menyebabkan penekanan makna bertentangan. Garis merah antara kedua pesan tersebut adalah bahwa manusia harus senantiasa menjaga diri, baik dalam kesiagaan pun kemawasan. Sesuai kebenaran Platonik yang menerapkan kebaikan sebagai apa yang berlaku bagi semua orang dan bukan hanya bagi orang lain.

Selebihnya, tesis Nietzche dipengaruhi oleh La Rochefoucauld yang memperingatkan manusia bernalar akan bahaya belas kasih. Konsep yang sama dinyatakan Machiavelli sebagai virtue bagi pangeran sebagai kemampuan untuk tidak berbelas kasih pada siapapun. Belas kasih mampu melemahkan jiwa, menguatkan mental hamba, mengaktualkan hasrat terselubung, menjadi kamuflase terbaik kesombongan di tengah moralitas, mengejawantahkan dosa yang menjadi favorit John Milton sang iblis dalam The Devil’s Advocate. Peringatan ini seakan mengutuk kemanusiaan namun sebaliknya, nilai ini mempertahankan eksistensi manusia. Pertentangan para liyan adalah keniscayaan sehingga penyerahan diri dapat menjadi kecerobohan dan penistaan terhadap humanitas.

Pendiri LSF Discourse dan saat ini menjadi penasihat lembaga. Pimpinan Redaksi lsfdiscourse.org dan penerbit Discourse Book. Mengajar di Universitas Bina Nusantara Malang.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content