fbpx

Estetika Jung: Tinjauan Ringkas Psikoanalitik

Sumber: http://www.renegadetribune.com/carl-gustav-jung-enemy-of-the-church/

Tokoh yang sangat populer—khususnya bagi kalangan psychologist—ini lahir di Kesswil, sebuah desa yang berada di pinggir danau Konstanz dekat Basel, Swiss, pada 26 Juli 1875 dengan nama lengkap Carl Gustav Jung. Putra sematawayang dari pasangan Paul Jung dan Emilie Preswek Jung ini boleh dibilang contoh ideal sebagai seorang intelek yang begitu tekun menggeluti banyak disiplin ilmu. Cukup sulit untuk mensejajarkan Jung dalam kelompok ahli ilmu alam, humaniora, atau justru filsuf: membaca karya-karya Jung akan membuat kita kagum betapa luas jangkauan intelek yang ditekuninya.

Jung muda banyak membekali wawasannya dengan perangkat biologi, zoologi, paleontologi dan bahkan arkeologi sebelum kemudian ia menempuh ilmu kedokteran di Basel University (1895-1900). Hingga pada tahun 1902 Jung memperoleh gelar doktor dari University of Zurich dengan desertasinya yang berjudul Zur Psychologie und Phatalogy of So-Called Occult Phanomane (On the Psychology and Pathalogy of So Called Occult Phenomena). Ketekunannya dalam bidang lain—yang bahkan jauh di luar ilmu alam—ia kembangkan seiring perjalanan dan penelitiannya. Sulit dibayangkan seorang dokter dengan kecenderungan empiris juga menekuni mitologi, analisis mimpi, filsafat, simbol-simbol, dan bahkan telepati hinga mistisisme. Tapi ini kenyataan yang bisa kita telusuri di lebih dari 200 karya ilmiah sepanjang karir profesional Jung hingga wafatnya di tahun 1961 di Zurich.

Reunderstanding Aesthetic

Sebagaimana dimafhum dalam pembahasan filsafat, estetika sebagai turunan dari aksiologi merupakan telaah kritis atas suatu kegiatan atau aktivitas mencipta dan kesenimanan: apresiasi, kritik seni, hubungan seni dengan kehidupan atau peranan seni dalam membentuk realitas, sosial dan budaya. Gagasan psikologis Jung dalam hal ini melengkapi ruang lingkup estetika yang mendukung berbagai argumen tentang daya cipta, pencerapan makna, kesan dan bahkan sampai pada keterampilan (performance).

Perlu digarisbawahi, sekalipun Jung bukan tokoh estetika ternama yang mendedikasikan seluruh ketekunannya dalam filsafat estetika akan tetapi dalam banyak karyanya ia menjelaskan detil tentang dasar-dasar atau komponen pengalaman estetik seperti intuisi, sensasi, persepsi, interpretasi dan sebagainya. Sampai pada poin ini, pandangan-pandangan Jung tidak bisa diabaikan begitu saja ketika kita benar-benar ingin memahami estetika dasar.

Hal menarik lainnya sebagaimana dikutip Tjeu van den Berk dalam pengantar Jung on Art-nya, seorang filsuf seni kenamaan Eliseo Vivas (1901-1993) pernah mengatakan:

“There can be no doubt that Freud’s views are more lucid than Jung’s. But Jung does not drag the amateur from his serious interest in art. but more important is the fact that Jung has a better grasp of the nature of art than any of his revals. For this reason the psychological instruments he puts at the disposal of aestheticians and critics allow a deeper penetration into the nature of art than rival views.”[1]

Vivas dengan tanpa mengesampingkan pemikiran Freud menyatakan bahwa Jung mempunyai pandangan yang lebih menginterpretasikan karakteristik alamiah seni melebihi kompetitornya pada saat itu. Pandangan Jung akan estetika lebih ideal karena memang bukan dalam tujuan menarik para amatir dari minat keseriusannya terhadap seni. Beberapa instrumen psikologis yang ia sodorkan bisa menjadi pertimbangan/referensi bagi estetikawan atau kritikus seni sehingga memungkinkan penetrasi lebih ke dalam sifat seni itu sendiri daripada pandangan-pandangan tokoh psikologi lainnya.

Estetika dipahami Jung atas pijakan atau sudut pandang subjektif. Dalam karyanya yang berjudul Transformation and Symbolisms of the Libido ia menuliskan:

“Beauty does not indeed lie in things, but in the feeling that we give to them.”[2]

Jung meyakini bahwa ketika subjek menarik sebuah sudut pandang estetika untuk memberi penilaian—apakah suatu objek dikatakan indah atau tidak indah—ia melibatkan intuisi dan sensasi ke dalam struktur kesadaran ego secara partikular. Bukan hasil putusan rasio atau afeksi.

Sepintas pandangan ini senada dengan Immanuel Kant atau David Hume yang memusatkan nilai pada reaksi subjektif. Akan tetapi, Jung menyodorkan suatu penawaran yakni psikologi sebagai pendekatan saintifik yang paling tepat untuk menafsirkan seni, karena selain seni itu sendiri cenderung subjektif, ia juga merupakan domain dunia pengalaman. Jung dalam artikelnya yang lain juga menyatakan: “Estetika berdasarkan sifatnya tersendiri adalah psikologi terapan.”[3] Walau demikian Jung menyadari bahwa perspektif ini memiliki batasan. Rahasia proses kreatif tidak mungkin dicapai dengan metode analisis sadar mana pun. Hanya elemen-elemen seni yang muncul dalam kesadaran kita selama proses kreatif, selain esensi seni, yang memungkinkan objek psikis terukur.

“The work arts grow out of the artist as a child from his mother. The creative process has a feminine quality, and the creative work arises from unconscious depths.” – Carl G. Jung

Muasal Daya Kreasi

Pendekatan yang dilakukan Jung dalam memahami daya kreasi didasarkan pada tinjauan psikologi analitis. Penafsiran seni menurut Jung berasal dari dinamika psyche yang disebut Autonomous Complex dan Hidden Memories. Otonomi kompleks dalam psikologi analitis dipahami sebagai hubungan timbal balik antara psyche dengan kesadaran objek dalam suatu proses kreatif. Jung menyebutkan proses kreatif sebagai sesuatu yang hidup dan ditanamkan dalam psyche. Suatu kompleks bukan dimaksudkan sebagai abnormalitas alamiah semata melainkan ekspresi dari karakteristik jiwa yang unik. Dalam peranannya, kompleks dideskripsikan sebagaimana koleksi ide dan gambaran abstraksi yang menempati ruang kemudi ketidaksadaran.

Adapun Hidden Memories serta gejala yang ditimbulkannya merupakan pembahasan yang dalam psikoanalitik disebut Cryptomnesia. Cryptomnesia diadopsi dan dikembangkan Jung dari konsep Imagination Creatrice pendahulunya, seorang professor psikologi Swiss, Theodore Flournoy (1854-1920) yang pada akhirnya membuka perspektif Jung akan refleksinya atas ketidaksadaran. Istilah ini terdiri dari dua kata dalam bahasa Yunani: kruptos (tersandi) dan mneme (ingatan). Yakni sebuah kondisi di mana seseorang mengingat sesuatu tanpa menyadari bahwa itu adalah ingatan kolektif; meyakini ide tertentu sebagai intuisi murni atau pemikiran asli. Ambillah misal seorang musisi mendengar lagu folk yang populer di masa mudanya, kemudian secara tidak sadar komposisi nada dalam lagu tersebut menjadi motif dalam salah satu simfoninya. Namun, dia tidak menyadari relasi ini dan berpikir dia telah menciptakan sesuatu yang benar-benar baru dan asli.[4] Fenomena ini digambarkan Jung sebagai efek yang dimunculkan dari Hidden Memories berupa bias ingatan yang secara masif mendorong musisi tersebut pada tindakan semacam “plagiasi” tanpa kesengajaan. Oleh karenanya, dalam dunia musik lebih tepat ketika interpretasi musikalitas itu sendiri diklaim sebagai aktivitas “mengaransemen” bukan “mencipta”.

Demikian pula dengan karya seni rupa, misalnya, The Hidden Memories mengambil peranan atas konsepsi seorang seniman yang kemudian terproyeksikan dalam suatu bentuk yang identik atau abstrak. Dan itu semua terjadi di alam ketidaksadaran. Douwe Draaisma, seorang profesor ahli sejarah psikologi, secara ringkas mendeskripsikannya sebagai berikut: “Cryptomnesia means to store the message and to forget its sourch.”

Melalui pendekatan psikologi analitis inilah akhirnya Jung membedakan antara art dan aesthetic yang kebanyakan masih dipahami sebagai dua hal yang identik.[5] Seni haruslah mewujud bentuk tertentu sehingga dapat ditangkap oleh indra. Berbeda dengan estetika yang memiliki ruang lingkup pembahasannya tersendiri. Seseorang, kata Jung, hendaknya mulai meragukan apakah seni memang sedemikian bermuatan ‘makna’ tanpa adanya penginderaan yang kemudian diteruskan pada konsepsi? Karya seni tidak lebih dari material alamiah yang pasif sebagaimana ia adanya tanpa kandungan apapun yang dibuat-buat. Dengan pengertian demikian, maka sah manakala estetika hendak tetap dipahami sebagai sebuah disiplin aktif aksiologi yang sarat akan nilai keindahan universal dan bukan keterampilan untuk membuat-buat kandungan atas objek tertentu.


[1] Van den Berk, Tjeu (2012) Jung on Art, Routledge, New York, p. xiv

[2] Jung, C. G. (1912/1944) Psychology of the Unconscious: Transformation and Symbolisms of the Libido. London:  Kegan Paul,Trench, Trubner and Co, Hal. 107

[3] Jung, C. G. (1921/1990) Pychologycal Types, NJ. Princenton University Press. Collected Works, Vol. 6 Hal. 289

[4] Van den Berk, Tjeu (2012) Jung on Art, Routledge, New York, Hal. 5

[5] Ibid Hal. 57

Pegiat Lingkar Studi Filsafat Discourse yang juga merupakan mahasiswa Psikologi di salah satu universitas di Kota Malang.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content