fbpx

Keadilan dan Kesetaraan: Sebuah Dilema Politik? (Pascal, Plato, Marx) Bagian I

Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Dedi Sahara dari artikel Étienne Balibar berjudul “Justice & Equality: A Political Dilemma? [Pascal, Plato, Marx] dalam Jurnal Umbr(a) tahun 2008.

Judul artikel saya seharusnya tidaklah menyesatkan: saya tidak akan membela gagasan bahwa kita harus memilih antara nilai-nilai yang ditandai oleh nama “keadilan” dan “kesetaraan”, yang bagi saya tidak dapat dipisahkan (dalam pengeritan ini, saya dengan senang hati menuliskan diri saya dalam tradisi pemikir republik dan demokratis yang menyatakan ketidakterpisahannya).1 Tapi saya ingin menaruh perhatian pada sebuah fakta bahwa artikulasi mereka baik secara teoritis dan praktis sangat bermasalah: semakin ketat hubungan yang kita bangun di antara keduanya—kita semakin dekat pula untuk memajukan sebuah definisi dari setiap istilah melalui mediasi yang lain—lebih banyak persoalan yang terjadi. Saya pun ingin menyatakan bahwa yang inheren dalam enigma konseptual ini merupakan sebuah pertanyaan metodologis yang bukan tanpa relevansi kontemporer, bahkan jika mungkin nampak sedikit akademis dalam perumusannya; sudut pandang mana yang harus memiliki keunggulan: filsafat moral (moral philosophy) (yang merupakan ide tentang keadilan selalu inheren secara tradisional dan dominan) atau filsafat politik (political philosophy) (yang bahasa modernnya telah dikebiri di sekitar klaim kesetaraan di antara warga negara, meski dalam kaitannya yang khas dengan klaim kebebasan)? Di sinilah bentuk dilema yang mungkin muncul. Menariknya, peran dilema ini tidak terdistribusi terlebih dulu. Hal ini terutama terjadi saat kita memperkenalkan pertimbangan struktur sosial, hierarki sosial, dan kesejahteraan sosial. Tampaknya pertimbangan keadilan sosial dan ketidakadilan sangat dibutuhkan, bukan hanya untuk menetapkan latar belakang moral yang dengannya prosedur dan institusi politik memperoleh makna politiknya, tetapi juga untuk benar-benar mendesak politik agar bergerak dari dimensi formal ke dimensi susbtansial dan praktik. Sepertinya isu kesetaraan politik—kesetaraan antar kelompok dalam arti luas dan tidak hanya di kalangan individu—membuat konflik yang khas antara konsepsi keadilan yang mutlak berlawanan. Dalam hal ini, keadilan saat ini muncul, tidak hanya sebagai persoalan moral, tapi juga sebagai masalah politik sepenuhnya. Ide tentang politik pada waktu bersamaan semakin intensif, rumit, bahkan tidak stabil, dari investigasi mendalam perihal ketegangan, pilihan, dan antinomi yang terkait dalam asosiasi keadilan dengan kesetaraan. Ide ini harus memperhitungkan masalah internal lainnya, yang mana isu “moral” mungkin hanya merupakan sebuah simtom dan indeks. Bersama beberapa filsuf kontemporer, saya sarankan untuk menyebut hal ini secara internal “tidak memadai”, ketimbang tidak memiliki muatan politis, dari aspek politik.2 Saya akan menuliskan perkataan tentatif saya dalam perspektif ini. Sebuah pernyataan awal: masing-masing konsep yang kita hadapi (keadilan dan kesetaraan, tapi juga dalam pengertian korelatif perihal pemerintahan, hak asasi, kekuasaan, kebebasan, masyarakat, komunitas, dan sebagainya) sangat samar (equivocal), yaitu terus bergeser antara perbedaan definisi yang tidak arbitrer, namun merefleksikan kebutuhan praksis dan kendala simplifikasi prosedur yang tanpa batas.3 Untuk mengelaborasi sedikit tentang judul esai yang pelik dari Ranabir Samaddar, yang sebagian besar saya mengambil inspirasi darinya, membawa perhatian kita pada fakta bahwa tidak hanya ada “permainan keadilan” (“game of justice”), tapi juga beberapa “permainan bahasa keadilan” (“language games of justice”) yang saling bersaing, heterogen tapi merintangi.4 Dan di belakang multiplisitas dan ketegangan permainan bahasa ini terbentang kenyataan bahwa “keadilan” dan “kesetaraan” tidak dapat ditiadakan dan secara esensial merupakan “konsep yang diperebutkan” (“contested concepts”).5 Bukan hanya karakter konflik ini yang—yang dibangun dengan definisi perihal ide yang dipertaruhkan di sini—memberikan karakter polemik. Oleh sebab itu, tidak berarti kita secara permanen dihadapkan pada oposisi antara “definisi” antagonistik dari keadilan dan kesetaraan, yang tidak pada kapasitasnya untuk memaksakan dirinya secara absolut, baik secara logika, moral, atau pandangan politik. Ini berarti bahwa kita terikat untuk membuat pilihan, untuk menggenggam suatu diskursus “partisan”—dan terlebih lagi jika kita mencari universalitas dan generalitas. Masih ada efek yang lebih mengganggu: meski kita tidak dapat merekonsiliasi semua sudut pandang yang berbeda perihal keadilan dan kesetaraan (karena faktanya inkompatibel), kita pun tidak dapat mengeliminasi salah satu dari mereka; kita harus terus-menerus menghadapi kembalinya definisi ketertindasan dari sudut pandang yang kita pilih. Situasi “keterikatan ganda” ini dapat ditemukan di setiap “teori keadilan” atau “teori kesetaraan” klasik. Saya menganggapnya sebagai aspek krusial dari setiap wacana kritis perihal konseptualisasi moral dan politik tentang keadilan dan kesetaraan untuk tidak mengabaikan batasan diskursif ini, tapi sebaliknya dengan sadar mengetahuinya dan menguraikannya. Dengan ini, saya akan mengingat kembali dengan bantuan beberapa referensi klasik yang saya anggap sebagai pertanyaan spekulatif yang terbuka yang selama berabad-abad telah mendominasi dan terus mendominasi diskusi tentang keadilan. Menyangkut hubungannya antara keadilan dan hukum, keadilan dan subjektivitas, serta keadilan dan konflik. Saya serahkan kepada Anda untuk memutuskan apakah Plato, Pascal, dan beberapa lainnya, masih layak untuk dibaca. Pertama-tama saya harus mengakui bahwa referensi saya sepenuhnya “Barat”. Memang, saya menduga referensi lain dapat dan juga harus diperhatikan. Untuk melakukannya mungkin akan menghasilkan perubahan signifikan dalam cara kita menarik garis panduan diskusi kita mengenai masalah moral dan politik, sehingga meningkatkan alternatif dan kemungkinan melakukan verifikasi untuk distingsi analisis. Semoga penerimaan ini akan diberikan secara lebih pada waktu dekat. Dalam hal ini, saya tidak terlalu bangga dengan keterbatasan saya sendiri, tapi saya menawarkan, sebagai bukti kebenaran sederhana, janji saya untuk tidak membuat pernyataan tentang apa yang sebenarnya saya ketahui secara dangkal.

I

Referensi pertama saya, mengenai relasi keadilan dan hukum, saya berangkat dari sebuah frase yang terkenal dan misterius dari Pascal: “Jadi, karena ketidakmampuan untuk menunjukkan keadilan yang kuat, maka kita ciptakan keadilan yang kuat.” (“And so, unable to bring it about that what is just should be strong, we have made the strong just”).6 Hal ini merupakan sebuah formulasi yang provokatif, pemahaman penuh tentangnya bergantung pada renkonstruksi proyek apologetik Pascal secara utuh (tapi tetap memiliki intensi spesifiknya sendiri). Yang jelas, mencakup cerminan tentang warisan Agustinus, Machiavelli, dan Hobbes. Hal ini nampak jelas anti-Platonis. Dalam faktanya, ada dua cara untuk memahaminya: yang saya sebut “lemah” dalam arti logis (yang disukai oleh banyak ahli teori kritis, khususnya kaum Marxis), lainnya yang saya sebut “kuat”, yang bagi saya jauh lebih relevan untuk perdebatan kita, tapi menimbulkan masalah yang lebih rumit.7 Pengetahuan yang lemah terjadi seperti ini: kita hidup dalam sebuah dunia yang sama, sebuah dunia penampilan dan ketidakadilan, karena itu merupakan sebuah dunia nilai-nilai yang terbalik sehubungan dengan moralitas otentik (kemungkinan tidak dapat diakses melalui tindakan manusia, jika tidak diilhami oleh rahmat Tuhan). Di dunia ini, mengikuti moto klasik, apa yang berlaku adalah summum ius, summa injuria. Ini berarti di mana pun klaim keadilan atau urgensi sistem yang adil dapat direalisasikan, entah karena keadilan itu tidak memiliki kekuatan, atau menemukan dirinya di hadapan kuasa yang kuat—hambatan yang mencegahnya memperoleh kemenangan, yang mempunyai kapasitas untuk menjungkirkannya dan menyesuaikan bahasanya. Sebaliknya, tidak ada kekuatan atau kekuasaan, betapapun besar materialnya, tetap dapat dominan tanpa “legitimasi”, tanpa “membenarkan” dirinya sendiri, tanpa tampil pada yang didominasi (dan mungkin dengan dirinya sendiri) sebagai inkarnasi keadilan. Oleh sebab itu, kekuasaan bukan hanya harus mengklaim bahwa hal itu mewujudkan dan menetapkan keadilan, tapi harus mendefinisikan keadilan dalam prasyarat semacam itu sehingga tampak instrumen dan perwujudannya. Dalam istilah modern pembalikan orde keadilan dan kekuasaan dapat disebut sebagai “kesadaran palsu” atau “sebuah dominasi yang mencakup ideologi”.8 Mari kita perhatikan secara sepintas bahwa, dari sudut pandang kritis, selalu berguna untuk memiliki retorika yang kuat—karena cukup singkat dan brutal—ekspresi dari aspek penting dari logika dominasi. Ini merupakan pembacaan yang lemah dibandingkan dengan yang lain. Saya memahami demikian. Pertama, agar keadilan diberdayakan dengan kekuatan atau kuasa, atau hanya untuk menjadi kuat (secara politis, sosial, ideologis, atau, sebagaimana Bruno Clément akan menambahkan, secara retoris) yang faktanya akan merepresentasikan “kemustahilan”. Kita pun bisa memahami hal tersebut dengan cara seperti ini: justru inilah elemen kemustahilan yang tidak akan pernah dapat direalisasikan, baik di ranah politik maupun dalam relasi kekuasaan, tapi bagaimanapun tetap menghantuinya, itu tidak akan pernah lenyap dari mereka. Kedua, atau sebaliknya, apa yang Pascal sebut sebagai “kekuatan”—mungkin bukan kekuatan anarkis atau brutal daripada “monopoli kekerasan legal” Hobbesian—menjadi atau setimpal, karena membuat atau memaksakan keadilan di antara manusia, di dalam masyarakat, ini mungkin—inilah kemungkinannya. Dalam kosakata politik ini, dipahami sebagai tantangan, sebuah proyek praktik, dan sebuah risiko. Jadi, konsep tersebut menunjukan bahwa implementasi keadilan tidak dapat dipikirkan hanya melalui ide tentangnya, tapi juga dapat dipertimbangkan dan diupayakan melalui mediasi oposisinya, dengan apa yang segera berkontradiksi dengannya; yaitu, kekuatan dalam arti luas. Tapi upaya ini, pada dasarnya, berisiko: ini merupakan suatu pertaruhan, pertaruhan yang mana kemungkinannya cenderung bertentangan dengan proyek awal. Dengan deskripsi tentang pemahaman “realistis” perihal frasa Pascal—yang juga lebih bersifat dialektis—kita dapat segera mengasosiasikan dua pertanyaan klasik yang membentuk korelasinya. Pertanyaan pertama menyangkut sisi negatif dari setiap upaya pencarian keadilan melalui kekuatan atau pemberdayaan. Apapun sifat kekuatan ini—artinya, bentuk organisasi, dan sebagainya—“individu” yang mencari keadilan untuk dirinya sendiri dan orang lain, atau “korban ketidakadilan” yang mencari ganti rugi dan pembentukan tatanan yang adil (dan karena itu destruksi penyebab ketidakadilan) harus memobilisasi kekuatan, yaitu ia harus meningkatkan kekuatannya—bahkan “kekuatan yang lemah”. Tapi kekuatan macam apa yang dapat dimiliki oleh “kemustahilan” kekuatan keadilan? Jenis mana yang tidak, cepat atau lambat, mereproduksi ketidakadilan yang diserangnya, atau menciptakan, secara simetris, ketidakadilan lain? Kekuatan keadilan mana yang tersisa? Pertanyaan kedua paling tepat dipahami dalam istilah Hobbes (yang terus mengatur pembentukan negara dan sistem hukum kita, khususnya karena hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari institusi peradilan): Bagaimana dapat menjadi adil, yaitu sebuah institusi keadilan? Ini, seperti yang kita ketahui, adalah masalah institusi hukum (institution of Law). Melembagakan keadilan atau mewujudkannya dalam institusi (meskipun melibatkan keterbatasan, risiko, dan kontradiksi) adalah menjadikannya sebagai hukum. Dalam tradisi yang setidaknya berjalan dari Hobbes sampai Kelsen dan itu menjadi penting untuk pembentukan Negara Republik (juga disebut “peraturan hukum”), hukum paling baik didefinisikan dalam suatu kerangka sintesis mengenai kekuatan dan keadilan transendental. Formula Pascalian nampaknya menunjukan bahwa sintesis ini hanya dapat efektif jika dimulai dari sisi kekuatan (misalnya, sebagai transformasi institusi kekuasaan atau relasinya) dan bahwa kehidupan dan sejarah kekuasaan, yang mengatur dirinya sendiri dalam bentuk hukum (sebuah peraturan hukum, sistem hukum, suatu konstitusi) diatur oleh suatu dialektika atau hubungannya, yang prinsip legitimasi internalnya adalah keadilan. Akhirnya, kita sampai pada gagasan bahwa titik lemah internal atau tersembunyi dari setiap institusi kekerasan adalah prinsip legitimasi, pretensi untuk menyadari dan mewujudkan keadilan. Semakin kuat, semakin lemah. Kita dapat membandingkan dengan permasalahan Pascalian, yang saya hadapi tapi muncul di sini, tapi yang saya tegaskan tidak dapat dijelaskan dari perdebatan tentang keadilan sebagai isu politik, banyak diskursus paralel atau antitetis. Saya akan memperlihatkan dua poin dari mereka. Mari pertama-tama kita ingat Machiavelli—khususnya, satu aspek pemikirannya yang sangat berpengaruh bagi teori neo-republik dan demokratik kontemporer, yang mana pada era pasca-’68, mengkombinasikan refleksi post-totalitarian terhadap penyimpangan imanen penaklukan revolusioner kekuasaan dan (yang lebih positif) sebuah fenomenologi “gerakan sosial baru” yang tidak hanya bertujuan pada “kekuatan yang menaklukkan” sebagai demokratisasi institusi yang ada dan mendorong negara menuju demokratisasinya sendiri. Saya memikirkan secara khusus Hannah Arendt, Claude Lefort, dan Jacques Ranciére. Proposisi Machiavelli, yang dijelaskan dalam bab pertama Discourses on Livy, mengatakan bahwa di dalam masyarakat kelas, objek dari kelas dominan adalah mempertahankan kekuasaan mereka dan terus meningkatkannya, sehingga menindas massa yang didominasi. Sebaliknya, tujuan massa tidak didominasi; bukan untuk menaklukkan kekuasaan atau membalikan hubungan secara simetris, yang pada gilirannya untuk menjadi dominan, tapi untuk menetralisir kehendak berkuasa secara dominan. Konsenkuensi dari representasi negatif seperti pencarian politik keadilian, yang keberhasilan relatifnya dalam sejarah Republik Machiavelli akan memberi penghargaan atas kemakmuran dan stabilitas, seperti yang kita ketahui, jauh tercapai, mungkin lebih dari hari ini daripada sebelumnya. Diskursus lain yang saya percaya dapat dibandingkan dengan baik (saya tidak mengatakan identitasnya) dengan pertanyaan Pascal dapat ditemukan dalam esai Ranabir Samaddar tentang “permainan keadilan” yang telah saya singgung. Samaddar berangkat dari pembacaannya terhadap Benjamin dan Derrida tentang formulasi keadilan sebagai kelebihan atas hukum (excess over law), keduanya dalam arti tuntutan lebih dari sekedar perubahan hukum atau penyelesaian (ia menuntut praktik, mode hidup) dan hal itu tidak dapat, sesuai, dinyatakan dalam istilah hukum dan “administrasi” sebagai objek atau domain konflik kepentingan, yang membutuhkan mediasi oleh mesin hukum dan peradilan. Dunia hukum menghasilkan masalah keadilan, tapi subjek pencari keadilan saat terjebak dalam permainan keadilan mencari lebih dari sekedar jalan hukum. “Karena keadilan berada di dalam hukum tapi kapasitas dialogis untuk jalan keadilan lainnya. Komplementer dan oposisi politik direproduksi dalam dunia keadilan.”9 Tapi gagasan itu, yang saya bagikan dan temukan mencerahkan, dapat ditafsirkan dengan dua cara yang berbeda, dengan dua aksen yang berbeda. Di satu sisi, dapat ditafsirkan sebagai penjelasan (dan mungkin ini benar untuk inspirasi Derridean) bahwa institusi keadilan akan selamanya berada di luar jangkauan struktur hukum, khususnya aparatus konstitusional yang perlu diterjemahkan kembali klaim subjek pencari keadilan ke dalam bahasa hukum yang telah ditetapkan sebelumnya, untuk memberikan apa yang mereka anggap sebagai penyelesaian konflik yang adil. Seperti yang kita ketahui, sebuah prosedur yang memperluas “tabir ketidaktahuan” (“veil of ignorance”) atas banyak cara hidup dan praktik aktual yang populer—jika tidak segera mengakuinya tidak dapat diterima. Jadi, hukum dan prosedur hukum murni akan tampak cacat, jika tidak kontraproduktif, dari sudut pandang keadilan. Di sisi lain, hal itu dapat ditafsirkan dengan cara yang lebih dialektis, di mana hukum tampil sebagai kekosongan internal (internal lacuna) atau kekosongan hukum dan sistem yang sah, di mana yang terakhir dipandang sebagai institusi historis yang bergerak sepanjang jalan kontingensi menuju demokratisasi atau konstitusionalisasi hak asasi. Oleh sebab itu, keadilan adalah nama—terkait dengan praktik, pembuktian, protes, klaim—tentang ketidakcukupan hukum, karakter kontradiksinya, baik dari sudut pandang universalitas dan dari segi kesetaraan, yaitu dari perawatan pelaku utama. Pada gilirannya memunculkan ketidaknyamanan dalam makna yang kuat, dan menjaga hukum dari kemungkinan untuk tampil sempurna dan tercapai, bahkan dalam prinsip dasarnya. Nampak bagi saya, dalam presentasi dialektika internal ini, yang berfokus secara rinci mengenai konflik antara cara-cara antagonistik untuk “menjaga keadilan” dalam konteks pasca-kolonial, Samaddar sebenarnya telah menekankan hubungan intrinsik tersebut antara keadilan dan kesetaraan, atau antara keadilan, kesetaraan, dan kapasitas (yang merupakan karakteristik dari bentuk kebebasan), karena ia menunjukan bahwa perbedaan mendasar antara administrasi peradilan yang legal dan tuntutan dari sisi yang tidak berdaya, yang bertujuan untuk “keadilan minimal” (“minimal justice”), berada dalam oposisi antara permainan unilateral dan resiprokal (atau dialogis). Kemestian resiprokal, yaitu kekuatan untuk mendapatkan hubungan resiprokal dalam hubungan antara aparatus negara dan bahasa rakyat, adalah konsep kesetaraan politik yang kuat berdasarkan pengalaman sosial.

II

Izinkan saat ini saya memunculkan referensi kedua, yang telah saya coba untuk tidak segera dihadirkan, tapi seperti yang kita ketahui tidak dapat dihindari yaitu: Plato. Dalam arti tertentu, setiap teori keadilan (paling tidak dalam tradisi Barat) telah menjadi penulisan ulang dari Republik karya Plato, atau mungkin saya harus mengatakan: teori keadilan apapun yang bukan merupakan penulisan ulang dari Republik, atau yang tidak mencari formulasi alternatif dari pertanyaan yang diajukan, tetaplah tidak lengkap. Memang tidak mudah dikenali pada suatu waktu, yang baru-baru ini, saat sejarah filsafat politik didominasi oleh dua arus: di satu sisi, oleh representasi historis dan evolusionis yang menghubungkan filsafat Plato dengan alam semesta arkaik yang dianggap dari polis Yunani, dan ke posisi reaksioner dalam sistem referensi arkaik ini, dan di sisi lain, oleh rekonstruksi aksiomatik dari persoalan keadilan yang secara simultan mengambil asosiasi keadilan dan kesetaraan—yaitu, mengesampingkan ide bahwa keadilan dapat berada dalam negasi absolut egalitarianisme—dan segera menundukan masalah kesetaraan ke tempat-tempat individualistik atau utilitarian. Ini jelas tidak lagi terjadi hari ini. Saya mengatakan bahwa diskursus Platonis tentang keadilan masih kuat mewarnai perdebatan Barat atau yang berorientasi Barat dalam filsafat politik, tapi seperti yang kita ketahui, ada sesuatu yang mengganjal dan tidak jelas dalam hal ini, yang berkaitan dengan elemen “Oriental” yang diduga dari pemikiran Plato. Ini berkisar dari pembelaannya atas gagasan kasta atau kelas pada umumnya, pada jenis eskatologi yang membentuk bagian intrinsik dari refleksinya mengenai sifat hubungan antara individu dan kelompok, dan antara teori dan praktik. Tapi anggapan ini juga membuktikan representasi batas-batas yang sama sekali tidak memadai dan kemungkinan tidak kompatibel antara Timur dan Barat, yang merupakan ide yang cenderung Barat. Saya membiarkan pertanyaan ini terbuka untuk diskusi lainnya. Filsafat Plato, seperti yang kita ketahui, sangat berorientasi pada diskusi tentang keadilan dengan berbagai cara yang berbeda, kontroversial, tapi juga menarik—dalam banyak hal, filsuf harus mengajukan variasi, transposisi, atau balasan kepada Plato, dari Aristoteles ke Rousseau, dari Hegel sampai Habermas. Saya akan mengingat ketiganya yang paling kentara. Tapi, saya juga menyarankan bahwa ada yang keempat, “suplemen”, jika Anda berkenan, yang menjadi sangat penting sejauh hal tersebut terkait ketiga hal sebelumnya. Alasan pertama untuk kepentingan jangka panjang Plato adalah kritik radikalnya terhadap keadilan sebagai kesetaraan (radical critique of justice as equality), yang di zaman modern menjadi obsesi bagi mereka yang ingin mempertahankan ide alternatif perihal keadilan sebagai kesetaraan, atau kesetaraan sebagai prasyarat mutlak keadilan—sehingga mereka harus menyanggah visi katastrofi Plato tentang kesetaraan serta pemahamannya tentang isi dari term ini—yang menarik di antara mereka adalah ia yang mencoba, seperti Rousseau, mengajukan apa yang mungkin kita sebut sebagai pembalikan Platonis pada titik ini. Tapi ini merupakan rantai tanpa batas, karena kita seharusnya tidak melupakan bahwa Plato telah mengungkapkan kritiknya dalam hal penolakan. Bukan hanya penolakan terhadap ide atau ideologi “dominan” dari rezim “demokratis” di kotanya sendiri, yang dimilikinya untuk bertanggung jawab atas katastrofi dan ketidakadilan yang mengerikan (untuk memulai, persidangan melawan Socrates dan filsafat), tapi sebuah penolakan dari wacana kontemporer kaum Sofis yang, dalam banyak hal, telah menjadi justifikasi yang lengkap, mulai dari sudut pandang universalistik, equaliberty sebagai prinsip kewarganegaraan. Tujuan konstan Plato, seperti yang kita lihat dalam buku VII dan IX Republik, adalah untuk mengidentifikasi posisi kaum Sofis, atas nama alam (phusis), menyokong tirani, dengan pendapat orang lain, yang dalam nama konvensi atau hukum (nomos), menganjurkan isonomia, yaitu kebebasan yang setara (yang ia terjemahkan sebagai “demokrasi”) untuk menunjukan bahwa dua rezim itu sebenarnya satu dan sama—atau terus-menerus beralih satu sama lain, karena prinsip mereka sama: absolutisasi hasrat individu dan kesetaraan semua pendapat atau selera. Menurut Plato, di atas semua kesetaraan yang menghancurkan keadilan, karena itu keadilan harus menetapkan aturannya mengenai ketidaksetaraan, kecuali (sebagaimana disahkan oleh pentingnya dan fungsi dialog subversif secara politis) ini harus menjadi semacam ketidaksetaraan yang muncul melalui mediasi dari kesetaraan itu sendiri, atau diakui dari dalam kesetaraan dan karena itu terkait dengan jasa dan bukan kelaziman atau status. Suatu ide yang mengganjal, yang mendorong konsekuensi ekstrem dan memobilisasi banyak perlawanan terhadap keyakinan “inegaliter” masyarakatnya sendiri. Alasan kedua untuk kepentingan Plato adalah “holisme” radikal, atau anti-individualisme, karena ia terus-menerus menegaskan keunggulan keseluruhan dari setiap elemen atau bagiannya. Seperti yang kita ketahui, aksioma ini mengacu pada definisi keadilan, pada awalnya, sebagai relasi harmonis antara “kelas” (atau kasta, karena mereka harus menjadi warisan) yang mengkonstruksi masyarakat dan sebagai cerminan struktur ini, yang dikatakan untuk dipamerkan dalam “huruf besar” (“big letters”), pada institusi politik (ideal) kota. Ada relasi harmonis yang berkorespondensi antara “bagian” konstitutif dari jiwa individu (yang, dengan bantuan Freud, kita pun dapat menghubungi agen psikis atau instansi). Menurut Plato, ada tiga agensi semacam itu di dalam “jiwa manusia” sebuah agen rasional, sebuah agensi hasrat, dan di “tengah”, bertindak sebagai mediator bilateral, sebuah agensi “penuh gairah”, sebuah kapasitas untuk memproyeksikan kehendak seseorang ke sebuah objek lain, untuk bereaksi terhadap perilaku individual lainnya. Semua ini sangat penting karena artinya berpikir keadilan dalam hal aturan atau ketertiban dan, sebaliknya, ketidakadilan dalam hal kekacauan.10 Plato tidak hanya menyediakan definisi keteraturan yang cukup general untuk mencakup banyak variasi dan diterjemahkan ke dalam berbagai pola kelembagaan: ia juga membuat tiga pernyataan yang membuatnya sangat sulit untuk menyimpang:
  1. Relasi antara keadilan dan ketidakadilan adalah salah satu dari keteraturan versus kekacauan. Oleh sebab itu, sebuah kritik atas apa yang hadir dengan sendirinya sebagai keteraturan hanya dapat terlepas dari pengakuan atas celaan kekacauan dengan mendemonstrasikan kapasitasnya untuk mewujudkan tatanan yang superior, sebuah tatanan yang asli, atau tidak hanya sebuah tatanan yang semu, tapi nyata. Seluruh dari Hegel dan beberapa dari Marx sudah berada di sini.
  2. Apa yang membuat ketidakadilan tidak dapat diterima dan tidak tertahankan bukan—atau tidak hanya—kesengsaraan yang ditimbulkannya, tapi juga kekacauan yang dihasilkannya. Atau, jika Anda berkenan, penderitaan dalam diri sendiri adalah sebuah aspek kelainan, dan sebagai konsekuensinya, tidak terpikirkan bahwa klaim keadilan—sebuah tuntutan untuk kompensasi dan ganti rugi atas ketidakadilan—atau sebuah “revolusi” melawan ketidakadilan mengambil bentuk sebuah tuntutan atas kekacauan seperti itu. Kekacauan pada akhirnya adalah apa yang harus dihindari dengan segala cara. Tapi kita mungkin memang mengakui bahwa definisi perihal apa yang akan dianggap kekacauan, atau “anarki”, adalah masalah historis dan politis yang mudah berubah, sebenarnya tunduk pada debat dan pilihan politik. Di sinlah ideologi anti-demokrasi Plato (terkadang histeris) ikut berperan.11
  3. Hal ini mengacu pada kriteria yang berulang kali diberikan dalam teks: kriteria konflik, atau lebih tepatnya, perang saudara (civil war). Mengikuti suatu formulasi perihal “ketidaksepakatan” (stasis), yang sangat penting untuk memahami politik Yunani, Plato memaparkan perang saudara sebagai kemunculan “dua bangsa di dalam bangsa” (“two nations within the nation”), “dua kota di dalam kota” (“two cities within the city”), saling bertarung seolah-olah mereka adalah musuh, dan mungkin lebih buruk dari itu, menghancurkan segala kemungkinan untuk keseluruhan, atau kesejahteraan bersama, untuk suatu akhir kemenangan.12 Perang saudara, dalam pengertian ini, mungkin bukanlah ketidakadilan, tapi segera muncul darinya, mereproduksinya tanpa batas waktu, dan kerena itu memaksakan saudaranya. Konsensus, pada tingkat dasar atau transendental, adalah nama lain dari keadilan. Tidak ada konsensus tanpa keadilan, tidak ada keadilan tanpa konsensus atau kemungkinannya. Arendt, yang bukan teman baik Plato, sepenuhnya mendukung tesis ini.13 Dan Habermas, dengan gagasannya tentang keadilan prosedural berdasarkan pada keutamaan fungsi dialogis, membawa gagasan yang sama dengan cara yang disesuaikan dengan konseptualisasi tentang ruang publik liberal. Dengan kata lain, realisasi keadilan melalui konflik mungkin tidak dapat diterima—bahkan mungkin tidak dapat dihindari, realistis dan moral pada waktu bersamaan—tapi gagasan tentang keadilan sebagai konflik (dikaitkan dengan Heraclitus) adalah absurd, nihilistik.14 Siapa yang luput dari nihilisme absurd ini? Apakah kita? Beberapa saat lagi saya akan bergerak ke diskursus konflik sosial (khususnya mengacu pada Marx) yang mungkin membalikan posisi tersebut—dan kerena itu harus sepenuhnya berubah, pada level metateoretis, syarat hubungan antara keseluruhan, bagian, konflik, keteraturan, dan kekacauan, dan tidak hanya menolak konsekuensi politik (anti-demokrasi) yang diwariskan oleh Plato dari tempatnya sendiri.

Alasan ketiga mengapa pentingnya Plato terletak pada “idealisme”-nya, atau secara harfiah, dalam definisi keadilannya sebagai sebuah gagasan. Kita tahu bahwa apa yang menjadi ciri gagasan (atau “bentuk”, eidos) dalam Plato adalah ia membentuk model realitas yang lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri (more real than reality itself) (atau melalui yang mana realitas tidak dapat diukur, baik dipahami, diproduksi, atau ditransformasi). Dengan kata lain, keadilan adalah transenden, dan transendensi inilah yang menguasai suatu hubungan teori tertentu untuk dipraktikan: anterioritas teori yang logis, suatu subordinasi praksis, dan yang terpenting (lagi-lagi) merupakan relasi ketidaksetaraan. Praksis dapat mendekati teori, atau modelnya, tapi tidak pernah dapat menggantikannya, menjadi tidak dapat dibedakan darinya, atau sepenuhnya memenuhi syarat. Hubungan ontologis imanensi versus transendensi, keterhinggaan versus ketakterhinggaan, terkondisi atau kondisinya versus ketidakkondisian, hampir seluruhnya dihapus dari epistemologi dan teknologi modern—bukan untuk berbicara ontologi secara implisit dari merkantil dan masyarakat konsumer, yang secara resmi didasarkan pada pembalikan yang tepat dari tesis ini. Tapi, di sisi lain, hampir tidak dapat ditampik dari politik, dan dengan senang hati saya katakan dari politik revolusioner, dalam arti luas, yaitu “mengubah dunia”—trasnformasi situasi, kondisi, struktur, atau disposisi yang mewujudkan ketidakadilan, baik itu secara personal dan impersonal.15 Kaum reformis mungkin mengabaikan gagasan tentang transendensi dari model yang hanya mendekati praktik, tapi hanya dengan modal pada beberapa hal yang mengakui bahwa mereka “tidak mengubah apapun”, tidak ada yang penting, tidak ada yang tidak dapat dibalikan. Kaum revolusioner dalam arti luas tidak dapat menjadi empiris-materialis-pragmatis atau anti-Platonis mutlak dalam pengertian tersebut. Tesis kesebelas tentang Feuerbach yang terkenal dari Marx sekalipun—“Para filsuf hanya menafsirkan dunia, dengan berbagai cara; yang terpenting, bagaimanapun, adalah mengubahnya16—agar dapat mengubahnya, seseorang memerlukan model, betapapun minimnya. Mungkin inilah salah satu alasan mengapa Marx mencoba menghindari istilah “keadilan” itu sendiri, meski ia tentu tidak dapat sepenuhnya menghindari ide tersebut: komunisme adalah sebuah ide, dan ide itu bahkan merupakan sebuah ide keteraturan.17 Jika Anda ingin melepaskan diri dari tegangan ontologi ini, Anda harus menganggap bahwa keadilan bukanlah sebuah ide, melainkan tendensi yang diperlukan dalam (atau perkembangan empiris) sejarah. Anda terjatuh dari Plato ke Hegel, dengan risiko membuat praksis sekedar fiksi yang berlebihan. Seperti yang kita ketahui, Marx tidak pernah dapat melepaskan diri dari absolutisme teleologis semacam itu, dan untuk alasan yang baik: ia tetap menjadi aktivis, dalam arti keduanya, dan karena itu ialah seorang idealis.

Alternatif filosofis lain terletak pada sikap peformatif yang, di satu sisi, mengacu pada jarak yang harus dipenuhi antara model dan upaya, moral dan/atau politik (singkatnya, praktik) untuk mendekati keteraturan, memenuhi urgensi internal dari keadilan, dan di sisi lain, menolak kemungkinan untuk mengidentifikasi konten—representasi atau model substansi ontologi—dengan cara tertentu. Hal ini menunjukan bahwa gerakan menuju model simultan merupakan upaya untuk mewujudkannya dan sebuah pertanyaan tentang representasi yang tidak memadai atau keliru. Seperti kita ketahui, sikap ini berakar pada Plato—yang menunjukan sejauh mana ia masih menantikan kritik dan keberatan kita dari jauh—yang meliputi ide keadilan sebagai tatanan harmonis dengan sebuah Ide Kebaikan itu sendiri, dari Kebenaran yang sempurna, yang berada di luar keadilan, karena itu melampaui esensi pengetahuan. Mungkin ada hal lain dalam Marx, setidaknya secara negatif, kapanpun ia menolak untuk mendefinisikan komunisme atau akhir sejarah, kecuali dalam istilah negatif, sebagai “masyarakat tanpa kelas”. Di atas semua ini terdapat jenis sikap yang kita temukan dalam Derrida (misalnya, dalam “Kekuatan Hukum” dan Hantu-Hantu Marx) yang menurut pendapat saya berasal dari interpretasi radikal terhadap ketegori imperatif Kantian sebagai respons tanpa syarat terhadap keadilan yang selalu bukan representasi yang terbatas (konstruksi, konstitusi). Jika kita punya waktu, kita dapat kembali ke Plato untuk membacanya dari sudut pandang ini. Modifikasi keadilan sosial Plato adalah kombinasi yang menakjubkan antara utopia revolusioner dan elitisme konservatif atau aristokratisme, keduanya konvergensi dalam kritiknya terhadap demokrasi (yang harus dikatakan, praktis tak tertandingi dan karenanya terus berulang). Dalam arti, ia adalah yang pertama dan kelokan “konservatif revolusioner”.18 Tapi ada suatu elemen dalam Plato yang membuka kembali model pertanyaan dan membuatnya sebagai pertanyaan tak terbatas, yang karenanya terus mengisi diskusi perihal struktur atau sistematisasi keadilan.

Terlepas dari semua itu, yang paling krusial, saya percaya bahwa alasan mengapa refleksi kita terhadap keadilan dan kesetaraan—bagaimanapun secara polemik, bagaimanapun bertentangan—secara permanen menimbulkan pertanyaan yang masih harus diungkapkan terhadap Plato. Menyangkut subjektivitas, atau implikasi subjek dalam struktur (atau model) keadilan. Atau, lebih baik dikatakan, menyangkut ketidakmungkinan mengisolasi definisi atau esensi keadilan secara mendasar dari pemahaman tentang proses subjektivasi yang merupakan suatu bagian dan kondisi intrinsik untuk mewujudkan keadilan itu sendiri.

Saya meminjam terminologi modern, bahkan pasca-modern, yang saya pikir dapat diterima di sini, justru karena Plato bersifat pra-modern, yaitu karena tidak ada ide dalam filsafatnya tentang subjek yang terberi (given) sebagai referensi orisinal atau elemen invarian (baik individu yang hidup atau sebagai titik tanggung jawab moral). Ini tidak bermaksud untuk mengatakan di dalamnya ada kecenderung tidak ada ide perihal subjektivitas, apakah sebagai interioritas, sebagai refleksi, atau sebagai kekuatan untuk “membingkai” dunia. Atau, jika Anda berkenan, apapun yang terberi adalah kekuatan sistem, tendensi, kapasitas, virtualitas yang kompleks, yang harus dikombinasikan dalam satu atau lain cara, mengarahkan kombinasi itu dalam satu atau tujuan lain untuk menghasilkan tipe “diri” yang berbeda.19 Menarik untuk membandingkan dengan transformasi Aristoteles, dan menurut saya, rasionalisasi, juga dinyatakan dalam hal pentingnya “proses pendidikan”, atau “pendidikan untuk keadilan”, yang pada dasarnya sangat ganjil bahwa berbagai “bagian” Jiwa (“vegetatif”, “sensitif/aktif”, dan “intelektual”) membentuk hierarki “natural”, yang tertanam dalam finalitas Kehidupan (finality of Life). Tapi Aristoteles dan Aristotelian modern berpikir bahwa pencapaian suatu tindakan, individual dan kolektif, membutuhkan disposisi (hexis) dari individu, kualitas atau keberanian tertentu. Disposisi ini harus, sebaliknya, dibentuk, dipersiapkan, dan diwujudkan dalam individulitas itu sendiri, sehingga realisasi keadilan menjadi mungkin, hal itu merupakan konsekuensi “alami”. Tapi manusia yang adil atau warga negara yang baik tetap menjadi instrumen sukarela yang “baik” untuk merealisasikan tatanan yang objektif, suatu “ukuran keadilan” (misalnya distribusi barang yang adil), yang dapat didefinisikan di luar dan sebelum tindakannya. Tapi dalam Plato, kita memiliki resiprokal dan interdependensi yang lengkap antara subjek dan objek. Konstitusi keadilan, dari satu sudut pandang ini, tidak lain adalah konstitusi formasi, atau rekognisi terhadap manusia yang adil. Dari sudut pandang lain—psikologis atau antropologis—konstitusi manusia yang adil tidak lain adalah kemunculan suatu tatanan yang adil. Tidak satu pun dari dua posisi ini dapat eksis atau bahkan dipikirkan secara terpisah dari yang lain (the other). Relasi subjek-objek adalah suatu penghilangan distingsi (vanishing distinction), terus-menerus diekspresikan untuk dapat ditekan secara dialektis. Hal ini berarti untuk mengubah struktur sosial adalah dengan mengubah Manusia, mengubah Kodrat Manusia (Human Nature), dan sebaliknya, bergerak dari keadilan ke ketidakadilan (dalam arti degenerasi) atau dari ketidakadilan ke keadilan (dalam pengertian prefeksi). Ini merupakan garis pemandu untuk keseluruhan eksposisi dalam diskusi komparatif tentang rezim politik yang berbeda dan “Tipe Manusia” (“Human Type”) yang sesuai.20

Dua komentar singkat. Pertama, di mana cara Plato membangun korespondensi intrinsik antara keadilan sebagai tatanan sosial dan keadilan sebagai subjektivitas (dimulai dengan analogi yang terkenal antara huruf besar (big letters) yang mana dapat membaca komposisi kota, atau relasi yang mapan antara kebutuhan, kekuatan, kapasitas dan huruf kecil (small letters) di mana kita mencoba untuk menguraikan kontradiksi jiwa manusia dan makna dari setiap sikap individu terhadap berbagai jenis “kebaikan”) terkait erat dengan doktrinnya yang terkenal tentang Raja Filsuf, yaitu suatu ide yang membuat seseorang dan masyarakat bergantung pada kejadian yang mustahil dari peleburan yang sempurna antara kekuasaan dan pengetahuan. Kekuasaan, yang betolak belakang dengan pengetahuan, tetap akan menjadi atributnya. Apa yang lebih mungkin terjadi (dan, pada akhirnya, mungkin tak terelakkan) adalah multitude tidak hanya akan melenyapkan filsuf dari setiap akses terhadap kekuasaan, tapi lebih buruk dari itu. Ia akan berhasil menetapkan tujuan dan fungsi pengetahuannya, sehingga mengubah Filsuf menjadi seorang Sofis. Di sini, Plato tidak hanya idealis, ia juga elitis dan intelektualis. Lebih dari itu, kita menemukan bahwa di balik holisme yang terang benderang tentang representasi tatanan sosialnya yang adil, di mana setiap kelas memiliki fungsi hierarkis dan setiap individu harus berada dalam satu kelas, di situlah terdapat elemen individualisme yang akut. Setidaknya benar di bagian atas, yang mana peleburan antara kekuasaan dan pengetahuan yang menandai subjektivitas ekstrim mengambil suatu bentuk individual singular, terpisah dari yang lain, dan pada siapa semua orang akhirnya bergantung.

Kedua, teori keadilan apapun, sebagai sebuah teori politik dalam pengertian yang kuat, harus memberikan alternatif konsep, atau harus tetap bersifat Platonis. Tapi, tidak hanya puas dengan definisi, peraturan, atau model keadilan sosial yang objektif; juga tidak dapat dijangkarkan semata-mata pada pertimbangan moral dari kebajikan individu. Yang dengan demikian harus membangun konsep alternatif tentang subjektivitas. Hal ini nampaknya terjadi pada konsepsi tentang aksi melawan ketidakadilan (action against injustice) yang bersumber dari tradisi revolusioner. Kita biasanya mengaitkan konsep tersebut dengan tiga preferensi: keunggulan praksis di atas teori, keunggulan kolektif atau transindividual terhadap individu, dan keunggulan model pengalaman. Semua poin ini bergerak kepada suatu konseptual yang pelik, yang menyangkut pembalikan relasi antara konsep keadilan dan ketidakadilan, dan batasan validitasnya.***

Lahir di Bandung, mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Bagian kelompok belajar Lingkar Studi Filsafat (LSF) Nahdliyyin dan Lingkar Studi Psikoanalisa.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content