fbpx

Selayang Pandang Analisis Pengetahuan

Di bawah kondisi apa seorang subjek tahu p (di mana p adalah proposisi)?
Judul esai: The Analysis of “Knowledge”. Buku: Epistemology (Contemporary Readings). Editor: Michael Huemer. Penerbit: Routledge. Hal: 435-439. Penerjemah: Firmansyah Sundana
Menganalisis konsep pengetahuan menjadi salah satu tugas utama epistemologi secara umum. Ada beberapa perbedaan dari penggunaan kata “tahu” (seperti “Saya tahu John”, “Saya tahu cara mengemudi”, dan “Saya tahu nomor teleponmu”), tapi yang menjadi fokus para epistemolog yaitu kata “tahu” yang bermakna pada pengetahuan proposisional, atau pengetahuan faktual. Arti ini terkandung dalam proposisi semacam “Saya tahu bahwa 2+2=4” dan “Apakah John tahu bahwa permainan telah ditunda?”. Maka, pertanyaan kita adalah: di bawah kondisi apa seorang subjek (S) tahu bahwa p (di mana p adalah proposisi)? Para epistemolog setuju pada dua kondisi dasar, dengan ketidaksetujuan pada kondisi selanjutnya atau kondisi ketiga. Adapun persetujuan mereka adalah bahwa ketika seseorang menganggap dirinya mengetahui p, seseorang setidaknya harus mempercayai p, dan benar bahwa itu p. Tapi tentunya dua kondisi ini tidaklah cukup. Ambil contoh seorang penjudi yang ceroboh. Ia mempercayai bahwa warna merah akan muncul pada putaran roda rolet selanjutnya, dengan alasan ia memiliki firasat. Asumsikan bahwa penjudi itu tidak memiliki ESP (bisa disebut “indera keenam”. Ketika seseorang memiliki indera keenam, ia dapat mengetahui suatu hal yang orang pada umumnya tidak mampu.) dan tidak memiliki alasan untuk mempercayai bahwa ia memiliki ESP (Extrasensory perception). Bagaimanapun, karena adanya kemungkinan, bola mendarat pada warna merah. Apakah ia sungguh tahu bahwa bola tersebut akan mendarat pada warna merah? Tidak. Ia mempercayainya dan apa yang ia percayai ternyata benar. Tetapi itu hanya sebuah keberuntungan, bukan pengetahuan. Persoalan ini menunjukan bahwa dibutuhkan setidaknya ada elemen ketiga dari pengetahuan. Secara tradisional, para epistemolog mengatakan bahwa penjudi tersebut kekurangan bukti atau alasan untuk mempercayai bahwa bola itu akan mendarat pada warna merah. Oleh karena itu, analisis tradisional pengetahuan dikenal sebagai teori Justified True Belief (JTB), di mana:

S tahu bahwa p = df     (i) S setidaknya mempercayai p,        

                                    (ii) p benar, dan

                                    (iii) benar bahwa S mempercayai p.

A.J. Ayer dikenal sebagai filsuf yang mempertahankan teori Justified True Belief (JTB)—ia juga dibaca oleh Gettier—atau sesuatu yang hampir mirip dengan teori itu, meski di poin (iii) Ayer akan berkata “S memiliki hak untuk memastikan bahwa itu p”. Faktanya, bagaimanapun, gagasan Ayer tentang hak-untuk-memastikan berbeda secara signifikan dari tradisi konsep justification (pembenaran). Ketika Ayer mengatakan S, yang dianggap mengetahui p, harus memiliki “hak” untuk memastikan bahwa itu benar p. Apa yang dimaksud Ayer adalah bahwa kita, yang menghubungkan pengetahuan pada S, mengekspresikan sebuah sikap persetujuan pada kepercayaan S. Hal ini sesuai dengan pandangan emotivis Ayer tentang makna dari evaluasi istilah secara umum.

Edmund Gettier dikenal karena kritiknya terhadap JTB melalui contoh-tandingan (counter-example). Sekarang dirujuk sebagai sebuah Kasus Gettier (Gettier Case). Ada dua jenis yang memungkinkan dari contoh-tandingan. Jenis pertama ialah seseorang yang menunjukan definisi terlalu luas. Pada kasus ini, sebuah contoh dari sesuatu itu—faktanya—bukan sebuah pengetahuan, tapi definisi itu dapat dianggap sebagai pengetahuan (contoh penjudi di atas adalah sebuah contoh-tandingan dari jenis ini untuk menandingi analisis true belief). Jenis kedua ialah seseorang yang menunjukan definisi terlalu sempit. Pada kasus ini, sebuah contoh dari sesuatu itu—faktanya—adalah pengetahuan, tetapi definisinya dapat gagal untuk dianggap sebagai pengetahuan. Contoh-tandingan Gettier adalah jenis yang pertama. Dengan kata lain, menunjukan bahwa JTB tidak memadai. Secara esensial, Gettier menggunakan kasus seseorang yang memiliki sebuah pembenaran, tetapi keliru mempercayai bahwa q dan mereka menyimpulkan proposisi lain, yakni p, yang hanya benar begitu saja (meski rasionalisasi mereka dalam mempercayai itu salah). Dalam kasus serupa, seseorang tidak benar-benar tahu bahwa p itu benar, meski p sungguh benar. Mereka percaya, dan mereka memiliki pembenaran untuk mempercayainya.

Maka, anggap bahwa Smith memadai dalam membenarkan kepercayaannya bahwa Jones memiliki sebuah mobil Ford (dia melihat Jones mengendarai mobil Ford, dia telah mendengar Jones berbicara tentang mobil Ford barunya, dia telah melihat mereknya, dll). Smith menyimpulkan: “Jones memiliki sebuah mobil Ford, atau Brown berada di Barcelona”. Smith sebenarnya tidak tahu dimana Brown sesungguhnya berada, dia menyebut Barcelona secara acak, tetapi karena ia percaya disjungsi awal proposisi tersebut, ia berpikir bahwa proposisi tersebut secara keseluruhan benar. Sekarang anggap John sebenarnya tidak memiliki sebuah mobil Ford (mungkin ia telah menjualnya, atau Fordnya sudah hancur, dll). Tapi, sebagaimana sesuatu itu mungkin terjadi, Brown benar-benar berada di Barcelona. Pada kasus ini, Smith secara intuitif tidak tahu kebenaran proposisi tersebut meski dia mempercayainya dan melakukan pembenaran.

Penolakan Gettier memulai suatu babak baru. Beberapa epistemolog memutuskan bahwa apa yang dibutuhkan adalah kondisi keempat pada JTB, sedang yang lain mencoba untuk menggantinya.

Solusi pertama datang dari Michael Clarck. Ia mengajukan kondisi di mana kepercayaan S bahwa p seharusnya sepenuhnya berdasar. Maksudnya bahwa tidak ada kepercayaan yang salah dalam rantai penalaran yang dilakukan S terhadap p. Ajuan ini mengeliminasi kasus Gettier dengan efektif, yakni ia menjelaskan mengapa kondisi-kondisi tersebut bukan kasus pengetahuan. Kepercayaan Smith bahwa “Jones memiliki sebuah mobil Ford atau Brown berada di Barcelona” sepenuhnya tidak berdasar, karena kepercayaan itu ditarik dari kepercayaan yang salah.

Lehrer dan Paxson menawarkan kondisi keempat yang lebih rumit: seharusnya tidak ada penyangkal untuk pembenaran S pada p. Sebuah “penyangkal” pada pembenaran S untuk mempercayai p bermakna—secara kasar—sebuah proposisi yang benar di mana jika ditambahkan pada pembuktian S dapat menyebabkan S tidak lagi membenarkan (justified) dalam mempercayai p. Perhatikan bagaimana ini menjelaskan contoh Gettier yang didiskusikan di atas: proposisi “Jones tidak memiliki sebuah mobil Ford” dapat menjadi sebuah penyangkal untuk kepercayaan Smith pada proposisi “Jones memiliki sebuah mobil Ford atau Brown berada di Barcelona”, karena jika benar bahwa Jones tidak memiliki sebuah mobil Ford dan jika Smith menambahkan proposisi tersebut pada kepercayaannya, Smith tidak lagi membenarkan dalam mempercayai “Jones memiliki sebuah mobil Ford atau Brown berada di Barcelona”. Definisi pengetahuan yang menggunakan kondisi umum sepanjang batas ini disebut teori penyangkalan (defeasibility theory).

Penggunaan penyangkal di atas tampaknya tidak tepat. Lehrer dan Paxson mendiskusikan beberapa contoh hipotesis yang mengangkat kemungkinan pada apa yang sekarang kita sebut “penyangkal sesat (misleading defeaters)”. Anggap saya melihat Tom Grabit mencuri sebuah buku dari perpustakaan. Aku tidak tahu bahwa ibu Tom Grabit telah berkeliling dan mengatakan bahwa Tom memiliki kembaran yang suka mencuri. Jika benar-benar ada seorang kembaran, maka, saya tentu tidak tahu (kecuali saya dapat membuktikan orang yang saya liat bukanlah kembarannya) bahwa Tom mencuri buku. Tapi asumsikan bahwa dalam kenyataan tidak ada seorang kembaran dan ternyata Ibu Tom hanya orang gila dan pembohong. Dalam kasus ini, saya memiliki pengetahuan bahwa Tom memang mencuri buku. Putusan yang salah dari Ibu Tom seharusnya tidak menyangkal pengetahuan saya. Proposisi “Ibu Tom berkata bahwa Tom memiliki kembaran yang suka mencuri” adalah suatu penyangkal yang sesat (proposisi ini akan menjadi benar, jika ditambahkan pada bukti yang saya miliki, membuat saya tidak lagi membenarkan kepercayaan atas Tom yang mencuri buku, tapi secara intuisi, proposisi tersebut tidak dihitung sebagai perusak pengetahuan saya). Teori defeasibility (teori penyangkalan) telah mencoba beragam langkah berbeda dalam mendefinisikan “penyangkal sesat”. Pendekatan Lehrer dan Paxson bertujuan untuk membersihkan definisi penyangkal sebagaimana berikut:

Jika e adalah pembenaran S terhadap p, d adalah sebuah penyangkal untuk pembenaran jika dan hanya jika (i) d benar, (ii) (e & d) tidak membenarkan p, (iii) S benar mempercayai ~d, dan (iv) jika c adalah konsekuensi logis dari d sedemikian rupa (c dan e) tidak membenarkan h, maka S benar dalam mempercayai ~c.

Kondisi (i) dan (ii) sebanding dengan yang awal, definisi penyangkal dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Kondisi (iii) dan (iv) adalah kualifikasi teknis yang diperlukan untuk melihat contoh-tandingan yang melibatkan penyangkal sesat.

Analisis Clark dan analisis penyangkal adalah kedua contoh dari usaha untuk memperbaiki analisis pengetahuan tradisional dengan menambahkan kondisi keempat. Sebaliknya, penulis semacam Goldman dan Nozick di sisi lain menawarkan penggantian kondisi “pembenaran” tradisional dengan yang lain (teori ini kadang disebut “teori eksternalis pengetahuan”). Dalam Analisis Goldman, sesuatu-yang-lain dibutuhkan jika ada suatu hubungan kausal antara kepercayaan S dan fakta yang membuat kepercayaan itu benar. Teori Goldman paling intuitif khususnya untuk kasus pengetahuan perseptual: “Saya tahu bahwa terdapat meja di sini, karena kehadiran aktual meja membuat saya memiliki semacam pengalaman perseptual tentang meja (representasi meja), yang pada gilirannya menyebabkan saya percaya bahwa ada meja di sini. Maka, kepercayaan saya—secara sederhana—terhubung pada fakta yang membuat kepercayaan saya benar (di mana sebuah meja berada di sini). Goldman juga mendatangkan semacam hubungan kausal yang lebih rumit (catatan: keberadaan hubungan kausal untuk sebuah kepercayaan tidak serta merta menyederhanakan maksud dari menyebabkan sebuah kepercayaan). Ia memungkinkan kasus di mana fakta membuat kepercayaan saya menjadi bukti sebab yang benar yang dapat dipercaya dikemudian hari, dan bukti tersebut, berkaitan dengan latar belakang pengetahuan yang saya miliki, menimbulkan kepercayaan saya. Ia juga memungkinkan persoalan di mana kepercayaan saya pada p dan fakta bahwa p keduanya memiliki penyebab umum sebagai kasus keberadaan sebuah hubungan sederhana yang sesuai (ini dibutuhkan untuk menjamin pengetahuan berdasarkan induksi). Satu masalah pada teori penyebab, bagaimanapun, ialah tidak jelas bagaimana teori penyebab menjelaskan pengetahuan a priori. Contoh, apakah pengetahuan kita tentang matematika dijelaskan oleh hubungan kausal pada objeknya?

Analisis pengetahuan Robert Nozick dimulai dari ide intuitif di mana pengetahuan bersifat menangkap kebenaran (sebagai analogi, bayangkan sebuah kamera menangkap pergerakan sebuah bola: saat bola bergerak ke kiri, kamera bergerak ke kiri, saat bola bergerak ke kanan, kamera akan bergerak ke kanan). Pengajuan Nozick adalah bahwa S tahu itu p ketika:

  1. S percaya p,
  2. p benar,
  3. jika p salah, S tidak akan percaya p, dan
  4. jika p benar, S akan percaya

Catatan ini menjelaskan mengapa kasus Gettier bukan persoalan pengetahuan: dalam contoh “Jones memiliki sebuah mobil Ford”, jika proposisi “Jones memiliki sebuah mobil Ford atau Brown berada di Barcelona” salah, Smith akan tetap mempercayainya. Kenapa? Karena jika proposisi salah, proposisi tersebut akan salah karena Brown tidak berada di Barcelona. Tapi jika Brown tidak berada di Barcelona, Smith akan tetap percaya “Jones memiliki sebuah Ford atau Brown berada di Barcelona” karena kepercayaan Smith terjadi murni oleh kepercayaannya pada konjungsi pertama. Smith tidak tahu dimana Brown pada awalnya. Jadi, jika kita Brown berpindah tempat, tidak memiliki pengaruh apapun pada kepercayaan Smith. Pada kasus ini, kepercayaan Smith gagal dalam menangkap kebenaran. Secara spesifik kepercayaannya gagal untuk memenuhi kondisi (iii) di atas.

Konsekuensi dari analisis Nozick adalah kegagalan dari prinsip penutupan (closure principle) pengetahuan. Prinsip penutupan menerangkan bahwa jika seseorang tahu p, dan p mendatangkan q, maka ia berada pada posisi mengetahui q [dalam bahasa teknis, kita katakan bahwa kumpulan proposisi yang membuat seseorang berada dalam posisi mengetahui adalah tertutup di bawah persyaratan (closed under entailment)]. Banyak orang menganggap prinsip ini secara intuitif jelas, tapi Nozick menolak. Kunci untuk memahaminya ialah mengapa perlakuan ia pada kondisi (iii) di atas sedemikian rupa.

Dalam pandangan Nozick (dan pandangan dari sekian banyak filsuf kontemporer), jalan seseorang menguji sebuah putusan, seperti “Jika A adalah perkara, B juga suatu perkara”, adalah seperti ini: bayangkan sebuah dunia yang hampir persis, jika A benar dalam dunia itu, maka tanyakan apakah B juga benar. Maka, saat kita bertanya, “Apa yang akan terjadi jika saya menjatuhkan pena?”, kita perlu membayangkan sebuah dunia di mana saya menjatuhkan pena dan sesuatu-yang-lain tentang dunia (misal hukum gravitasi, kehadiran Bumi, dll) sangat persis. Dalam dunia tersebut, pena akan jatuh. Kita seharusnya tidak menjawab pertanyaan demikian dengan membayangkan, contohnya sebuah dunia di mana saya mengambang di angkasa saat saya menjatuhkan pena, yakni dunia dengan ketiadaan hukum gravitasi atau sangat berbeda dalam bentuknya. Cara lain untuk meletakan poinnya adalah begini: kita melihat pada dunia yang mungkin ada (yakni skenario yang sebaliknya mirip dengan dunia nyata) di mana A benar. Jika B benar pada dunia tersebut, maka kita dapat katakan “Jika A benar, B mesti benar”.

Selanjutnya, pikirkan contoh lain. Saya sekarang percaya bahwa saya memiliki dua tangan. Jika saya tidak memiliki dua tangan, dapatkah saya tetap percaya bahwa saya memiliki dua tangan? Jawabannya tentu tidak. Jika kamu bayangkan sebuah dunia yang tidak persis dengan dunia sekarang dan pada dunia yang seperti itu saya tidak percaya sekarang saya memiliki dua tangan, karena yang saya lihat hanya kepuntungan, atau sesuatu yang serupa. Oleh karena itu, saya memenuhi kondisi (iii) untuk mengetahui bahwa saya memiliki dua tangan.

Sekarang, pikirkan sebuah eksperimen berpikir a la fiksi ilmiah: saya adalah sebuah otak yang hidup dalam sebuah tangki nutrisi (vat of nutrient), dan para ilmuwan merangsang saraf korteks saya untuk memproduksi ilusi dunia fisik (hal seperti ini terjadi dalam film The Matrix, kecuali terdapat tubuh manusia yang utuh dalam tangki tersebut, daripada hanya sebuah otak). Sekarang aku percaya bahwa aku tidak berada dalam dunia tersebut. Saya pikir saya adalah manusia yang normal. Bagaimanapun, jika terdapat skenario otak di dalam tangki, aku akan berpikir bahwa kondisi itu tidak benar (faktanya, semua kepercayaanku tetaplah sama). Oleh karena itu, berdasarkan analisis Nozick, saya tidak tahu bahwa saya bukan sebuah otak dalam tangki, karena saya gagal untuk memenuhi kondisi (iii) dengan mematuhi proposisi “Saya bukan sebuah otak dalam tangki”.

Contoh ini menunjukan, jika teori Nozick benar, prinsip penutupan akhirnya salah. “Saya memiliki dua tangan” memungkinkan “Saya bukan sebuah otak dalam tangki”. (Sebuah otak yang tidak memiliki tangan). Tapi saat saya tahu saya memiliki dua tangan, saya tidak tahu, berdasarkan Nozick, bahwa saya bukan sebuah otak dalam tangki.

Semua penyelidikan pada makna “tahu” di atas adalah penjelasan penyelidikan invariantis: mereka mempertahankan bahwa terdapat sebuah kumpulan pasti dari kondisi di mana seorang manusia harus penuhi ketika dianggap “mengetahui”. Dengan kata lain, makna dari “tahu” itu tidak beragam. Sebaliknya, Keith DeRose mempertahankan kontekstualisme: ia mempertahankan bahwa kondisi yang dibutuhkan seseorang untuk dianggap “mengetahui” sebuah proposisi sangat bergantung pada situasi seseorang dalam memperoleh pengetahuan. Dengan kata lain, makna dari istilah “tahu” beragam berdasarkan konteks dimana ia digunakan. Hal ini serupa pada bagaimana makna sebuah ekspresi seperti “ruangan ini”, beragam bergantung pada konteks si penutur—ini mengarah pada ruangan yang berbeda, bergantung pada konteks seseorang itu menggunakan ekspresi pada waktu tertentu. Karena itu, dimungkinkan untuk seseorang mengatakan “Ruangan ini berwarna kuning”, dan untuk orang lain atau orang yang sama pada waktu berbeda saat ia mengatakan “Ruangan ini berwarna abu-abu”, tanpa berkontradiksi satu sama lain. Jika makna dari “tahu” bersifat kontekstual, maka dimungkinkan juga untuk seseorang mengatakan “S tahu p” dan untuk orang lain, atau orang yang sama pada waktu yang berbeda mengatakan “S tidak tahu p” (keduanya merujuk pada orang yang sama, proposisi yang sama, dan berbicara pada waktu yang sama), tanpa saling berkontradiksi. Kedua argumen tersebut dapat benar, karena konteks dari ungkapan kedua dapat berbeda sedemikian rupa, bahwa standar untuk menganggap sebagai “mengetahui” lebih tinggi pada konteks setelahnya.

DeRose tidak merincikan mengenai konteks yang menjadi faktor dalam mempengaruhi standar pengetahuan, tapi ia menyebut beberapa faktor yang biasa dicirikan oleh para kontekstualis. Pertama, sering dalam pemikiran pada kontekstualis, bahwa pentingnya benar-tentang-sesuatu dapat mempengaruhi standar pengetahuan—jika penting sekali menjadi benar tentang p, maka seseorang harus memiliki bukti yang kuat, dan harus mengesampingkan alternatif-alternarif yang sangat tidak dimungkinkan, dalam hal untuk mengatakan benar-benar “tahu” p. Kedua, jika beberapa alternatif untuk p telah disebutkan dalam sebuah percakapan, maka (banyak kontekstualis berpikir) seseorang harus dapat untuk mengesampingkan alternatif tersebut untuk menganggap sebagai “mengetahui” p. Ketiga, mungkin dipikirkan (meski DeRose skeptis dalam hal ini) bahwa jika seseorang berpikir tentang alternatif tertentu untuk p, maka penggunaan kata tahunya membutuhkan pengesampingan alternatif tersebut.

Paradigma kontekstualis memiliki implikasi pada bagaimana seseorang seharusnya merespon skeptisisme. Secara umum, kontekstualis percaya bahwa argumen untuk skeptisisme bergantung pada manipulasi konteks percakapan dengan sedemikian rupa, dan bahwa standar “mengetahui” meningkat pada level yang lebih tinggi daripada standar-standar yang digunakan pada kondisi biasa, yakni seperti kata “tahu” yang kita gunakan setiap harinya.

Koordinator LSF Discourse. Konsen dalam kajian Logika dan Etika.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content