fbpx

Sherlock Holmes dan Masalah Etika

Akankah dengan mengindahkan kebahagiaan kita berada pada jalan yang benar?
sumber: gbhbl.com

Akhir-akhir ini saya tergila-gila dengan seorang tokoh fiktif rekaan Arthur Conan Doyle: Sherlock Holmes. Nama tokoh fiksi ini, sebenarnya, telah saya kenal sejak berada di bangku SMA. Pada saat itu, saya bukan seorang anak yang punya ketertarikan membaca buku, apalagi buku yang beratus-ratus halaman. Pada saat itu, saya memiliki kegemaran menonton film-film hollywood bergenre aksi petualangan. Karena kegemaran saya tersebut, saya pun berjumpa dengan Sherlock Holmes. Melalui film Sherlock Holmes: A Game of Shadows (2011) yang disutradarai oleh Guy Ritchie adalah momen perjumpaan saya pertama kali dengannya. Aktor kawakan Robert Downey Jr. asal Amerika memerankan Sherlock dengan sangat memukau, setidaknya dalam penilaian saya. Setelah itu, saya mulai mengagumi tokoh fiksi tersebut karena kemampuan fantastisnya dalam memecahkan kasus kejahatan yang rumit. Memasuki bangku universitas, karena kekaguman saya dengan tokoh fiktif tersebut, saya mulai menyaksikan film-film Sherlock Holmes yang lainnya. Tak luput, saya juga mulai mengunduh PC game yang memiliki kesamaan dengan nama tokoh fiksi tersebut.

Tulisan ini tidak akan mengulas film di atas ataupun serial novel Doyle. Kecintaan saya dengan PC game, bahkan hingga sekarang, menggugah keinginan saya untuk mengulasnya dalam tulisan pendek ini. Tulisan ini akan saya bagi dalam dua bagian. Pertama, saya akan mengulas sedikit PC game tersebut. Kedua, saya akan mencoba memaparkan problem filsafat moral (Etika) yang terkandung di dalamnya dan dalam kehidupan keseharian kita.

Pada tahun 2014, persis tahun saya memasuki universitas, Focus Home Interactive merilis sebuah PC game yang diadopsi dari cerita tokoh detektif rekaan Arthur Conan Doyle. Game PC tersebut berjudul Sherlock Holmes: Crimes and Punishments (2014). Dari segi cerita, game ini tidak memiliki kesamaan dengan serial novel Doyle. Kevin MacLeod, seorang komposer game tersebut, mengambil unsur inti dari novel kolosal Fyodor Doestoyevsky yang berjudul Crimes and Punishments. Bahkan, judul novel tersebut dipakai sebagai subjudul game ini. Karakter yang diadopsi game ini tidak berbeda dengan serial Doyle. Kita dapat menemukan Sherlock Holmes, Dr. Watson, Insp. Lestrade, Mycroft, dan Wiggins (polisi jalanan andalan Holmes). Di game tersebut juga kita dapat menemukan Toby: anjing andalan Holmes yang memiliki kemampuan penciuman yang tajam. Game ini terdiri dari beberapa episode kasus. Setiap pemecahan kasus, pemain akan dibantu dengan kemampuan deduksi Holmes. Setelah menelusuri tapak tilas suatu kasus, kita akan disuguhi dengan rangkaian jaring bukti yang pada akhirnya—melewati proses logis—akan mengarahkan kita pada siapa pelaku utama kasus tersebut (semua kasus dalam game ini adalah kasus pembunuhan). Di penghujung kasus, setelah kita mengetahui siapa pelakunya, kita akan diberikan dua pilihan: menghukum pelakunya atau tidak. Perlu kita perhatikan bahwa setiap kasus memiliki keunikan ceritanya masing-masing. Beranjak dari keunikan cerita ini, kita akan menyandarkan keputusan kita pada akhirnya. Menghukumnya atau tidak, pemain bebas memutuskan. Setelah momen keputusan tersebut, game akan memberikan penilaian kepada pemain dalam bentuk kategori. Kategori itu antara lain: Justice, Injustice, Neutral, dan Humanist. Tidak hanya itu, game juga akan memberikan data dalam persen di antara jumlah pemain yang memilih keputusan yang sama ataupun berbeda. Saya pernah melakukan percobaan keputusan suatu ketika. Pada kasus The Abbey Grange Affair, seorang aristokrat ditemukan terbunuh di ruang makan rumahnya. Ia dibunuh—tanpa kesengajaan saat membela diri—oleh seorang mantan kekasih istri aristokrat tersebut. Holmes menemukan bahwa sang istri tidak bahagia hidup dengan sang suami. Ketidakbahagiaan ini disebabkan oleh perlakuan kasar sang suami dan juga oleh rasa cinta ia yang masih bertahan terhadap mantan kekasihnya (pelaku pembunuhan tersebut). Suatu ketika, sang mantan kekasih mencoba untuk membawa pergi sang istri—dengan kesepakatan sang istri—dari keluarga tersebut. Namun, saat sang mantan kekasih melaksanakan niat tersebut, ia dijegat sang suami dan terjadilah kejadian pembunuhan saat itu. Di penghujung kasus, saya memutuskan untuk tidak menangkap sang mantan kekasih, sebaliknya saya membebaskan ia dan melanjutkan hidupnya dengan sang istri dari subjek yang terbunuh tersebut. Dengan demikian, saya mendapat kategori humanis.

Sherlock Holmes: Crimes and Punishments Trailer

Setelah membaca ulasan singkat di atas apa yang dapat kita tangkap? Atau, menggunakan istilah dari ajaran bahasa Indonesia dulu, apa makna yang dapat diambil? Saya menangkap suatu fakta—setidaknya dapat disebut demikian—dari cerita di atas. Meskipun kita telah tahu seseorang yang membunuh dengan tangannya sendiri, bahkan untuk membela diri, keputusan yang kita persembahkan akan bersandar pada prinsip kebahagiaan. Dan dari situ, kita adalah orang yang humanis: seorang yang mengindahkan kebahagiaan subjek akan berada pada sisi yang baik—yang humanis. Sebaliknya, kita adalah orang yang tidak humanis jika menghukum sang pembunuh dan merusak cita-cita kebahagiaan yang mereka dambakan.

Namun, masalah baru akan muncul—sedikit tidak bagi saya. Apa itu kebahagiaan? Mengapa ia menjadi penentu baik tidaknya manusia? Akankah dengan mengindahkan kebahagiaan kita berada pada jalan yang benar? Mungkin kita perlu berhenti untuk menjadi orang ketiga, sebagaimana kasus Holmes. Bagaimana jika kita andaikan diri kita menjadi pelaku utama. Dalam keseharian kita, kita akan menghadapi persoalan untuk memutuskan sesuatu yang sama. Misal, anda sedang menjomblo. Dari seberang sana keluarga menelepon dan menceritakan keluh kesahnya bahwa mereka ingin menimang cucu. Anda tahu bahwa anda dinginkan segera menikah. Anda tinggal dalam budaya keluarga yang jodoh-menjodohkan. Mereka menawarkan anda untuk menikah dengan pasangan pilihan mereka. Namun, anda khawatir bahwa anda tidak akan bahagia jika tidak memilih sendiri pasangan anda karena anda tidak mencitai calon tersebut. Anda bingung, dan anda segera menutup telepon. Persoalan akan sederhana jika anda menilik kebahagiaan anda sendiri, namun akan semakin rumit jika anda mempertimbangkan kebagaiaan keluarga anda di seberang sana yang ingin segera menimang cucu dari calon pasang yang mereka tawarkan. Apa yang akan anda putuskan jika berada dalam posisi demikian? Jika anda memenuhi permintaan keluarga anda, anda tidak akan bahagia—setidaknya tidak ada jaminan. Sebaliknya, jika anda tidak memenuhinya maka keluarga anda tidak bahagia. Anda tentu akan mempertimbangkan aturan moral yang berada dalam lingkungan keluarga anda. Jika anda tidak memenuhi permintaan orang tua anda, anda akan menjadi anak yang tidak berbakti atau durhaka. Anda menggerutu karena merasa tidak adil. Aturan moral jelas tidak berpihak pada anda. Akhirnya anda mengorbankan kebahagiaan anda demi—dengan terpaksa—kebahagiaan keluarga anda. Orang lain tentu juga akan menilai keputusan anda: anda adalah orang yang baik karena memenuhi aturan moral dan, di satu sisi, keluarga anda adalah keluarga yang jahat karena memaksakan kehendak mereka terhadap anda.

Sains mungkin tidak dapat membantu anda untuk memilih keputusan yang benar, namun filsafat moral (etika) akan segera menggandeng anda untuk memilih mana yang benar. Tapi persoalan lain akan muncul karena aliran etika tidak hanya satu.

Seorang filsuf yang merangkap menjadi teolog akan berkata kepada anda.

“Ikuti ajaran agamamu, karena sesungguhnya anda akan bahagia dengan itu. Tuhan sudah menyediakan taman Firdaus untuk anda”.

Namun, seorang filsuf humanis individualis akan berkata lain.

“Dengarlah kata hatimu, sesungguhnya kebahagiaan bersemayan di dalam pilihan hatimu”.

Filsuf utilitarianisme tiba-tiba berkhotbah.

“Lihatlah yang lebih bermanfaat, niscaya kebahagiaan akan datang kepadamu”.

Setelah mendengarkan para filsuf, anda menyeringai karena anda tidak mendapatkan jaminan apa-apa atau bukti apa-apa dari perkataan mereka. Anda hanya diminta untuk mempercayai mereka. Itu saja.

Untuk urusan keputusan dalam hidup tidak ada yang dapat menjamin mana yang benar, bahkan filsafat. Menggunakan bahasa yang naif, semua ada plus dan minusnya. Tugas kita sebagai manusia adalah telitilah apa kebahagiaan itu. Suatu konsep yang kita idam-idamkan dapat terjadi dalam kehidupan kita. Suatu konsep yang menjadi ujung dari keputusan hidup kita. Sungguh, kita tidak tahu apa-apa tentang itu bahkan si jenius Sherlock Holmes. Sekian.

Koordinator LSF Discourse. Konsen dalam kajian Logika dan Etika.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content