Simulakra dunia hiburan
Simulakra dunia hiburan

Namanya adalah Jean Baudrillard, seorang filsuf asal Prancis yang dikenal dengan konsep Simulakra dan Hiperrealitasnya. Simulakra menurut Baudrillard adalah sebuah konstruksi pikiran yang melepaskan realitas dari kenyataan. Hal ini terjadi karena era kapitalisme lanjutan, yaitu era di mana mode of production digantikan oleh mode of consumption.

Corak berpikir Baudrillard banyak dipengaruhi oleh Karl Marx. Ia sepakat bahwa ekonomi adalah basis yang menentukan struktur dalam masyarakat. Akan tetapi di kemudian hari, Baudrillard mengkritik pendapat Marx sendiri. Menurutnya, pandangan Marx tentang kelas-kelas dalam masyarakat yang dideterminasi oleh kepemilikan atas alat produksi (mode of production) sudah tidak relevan lagi. Lebih lanjut lagi Baudrillard menambahkan bahwa sudah terjadi pergeseran paradigma, di mana kelas-kelas dalam masyarakat hari ini ditentukan dari caranya mengonsumsi (mode of consumption).

Masyarakat Penanda dan Petanda

Menurut pandangan Baudrillard, manusia dewasa ini hidup di dalam dunia yang disimulasi oleh tanda dan simbol-simbol. Pergeseran paradigma dari mode of production menuju mode of consumption terjadi karena cara manusia, yang pada awalnya mengonsumsi hanya untuk kebutuhan hidup, beralih menjadi mengonsumsi untuk memenuhi kebutuhan eksistensial. Hal ini terjadi karena simbol-simbol dapat merepresentasikan posisi seseorang dalam struktur sosial-masyarakat.

Simbol hadir sebagai penanda dan petanda. Misinterpretasi manusia atas keduanya membuat manusia hidup dalam kekacauan sosial. Dalam kekacauan sosial inilah lahir masyarakat manipulasi tanda. Masyarakat yang hidup di era manipulasi tanda cenderung berhenti pada penanda atau kemasan, tanpa berusaha untuk menyingkap pesan atau petanda yang hadir di balik kemasan tersebut.

Instrumen Simulakra

Smartphone, televisi, dan internet, adalah beberapa instrumen pendukung dalam Simulakra. Segala sesuatu yang ditayangkan di internet ataupun televisi terkadang tidak sesuai, atau bahkan jauh melampaui realitas. Instrumen-instrumen ini kemudian menyetir manusia untuk hanyut dan percaya bahwa yang hadir dalam Simulakra itu adalah kenyataan. Ketika sudah hanyut dan ikut dalam arus Simulakra, maka manusia akan merasakan hidup yang tak hidup.

Internet dan sosial media adalah salah satu instrumen Simulakra yang paling berpengaruh hingga hari ini, khususnya bagi masyarakat Indonesia. Kehidupan yang dipertontonkan manusia melalui sosial media seringkali sangat jauh berbeda dengan apa yang ada pada kenyataannya. Sebaliknya, hal-hal yang ditawarkan sosial media kepada manusia pun kerap kali sudah dimanipulasi sedemikian rupa oleh algoritma, yang tentunya akan memuaskan hasrat manusia itu sendiri terhadap simbol-simbol tertentu.

Misalnya, orang-orang yang berafiliasi dengan kelompok tertentu akan disuguhi dengan konten-konten yang berisi tentang keunggulan kelompok mereka atas kelompok-kelompok yang lain. Hal yang sama juga terjadi pada kelompok yang berbeda. Akibatnya, kedua kelompok tersebut disimulasikan oleh mesin algoritma untuk senantiasa saling kontra dan saling menjatuhkan. Padahal, pada kenyataannya masing-masing kelompok memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.

Hiperrealitas

Simulakra juga seringkali menghadirkan kepalsuan yang melampaui realitas, atau yang oleh Baudrillard disebut sebagai Hiperrealitas. Sosial media yang pada awalnya hanya merepresentasikan realitas, kemudian makin menyajikan hal-hal yang sama sekali tidak dapat ditemukan dalam realitas.

Di sosial media orang-orang memperdebatkan tentang gender, padahal gender sendiri adalah konstruksi imajiner seseorang terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain. Perdebatan masalah gender adalah perdebatan tentang simbol-simbol. Entah itu pria yang ingin disimbolkan sebagai wanita, wanita yang ingin disimbolkan sebagai pria, pria atau wanita yang tidak ingin disimbolkan sebagai apa-apa, dan seterusnya. Padahal, simbol-simbol ini tidak lebih dari sebuah kepalsuan yang diproduksi oleh Simulakra. Pada kenyataannya hanya ada dua kemungkinan, kalau bukan pria berarti wanita.

Sosial media juga kian menjadi tempat sampah visual. Konten-konten yang hadir di sosial media kerap kali mendistorsi pikiran manusia. Akibatnya, pemenuhan manusia terhadap kebutuhan simbol tidak akan pernah cukup. Instagram misalnya yang seringkali menampilkan kemewahan dan kenyamanan hidup para selebriti yang oleh kenyamanan itu manusia seringkali berhasil terbuai. Pada akhirnya, manusia mengimitasi kehidupan selebriti-selebriti tersebut untuk mencari simbol kemewahannya. Padahal, tidak ada yang tau realitas dari kehidupan selebriti tersebut seperti apa. Bisa jadi hidup yang biasa-biasa saja justru lebih bahagia dari hidup selebriti yang tak pernah lepas dari flash kamera.

Oleh karena hidup yang terobjektivasi oleh algoritma, manusia hidup dalam keadaan yang terpecah belah. Algoritma sosial media yang dibentuk oleh manusia berdasarkan seleranya justru balik membalas dengan memecah manusia ke dalam kelompok-kelompok tertentu. Hasilnya, antara kelompok dengan selera A dan kelompok dengan selera B tidak akan pernah sepaham. Seperti antara mereka yang pro pemerintah dan yang tidak, pro sistem dan anti-sistem, dan seterusnya.

Sosial media juga membentuk tatanan khayalan yang didasari oleh jumlah pengikut ataupun orang yang menyukai. Akibatnya, manusia berlomba-lomba untuk menggaet manusia lain, saling menjatuhkan dan menginjak, hidup dalam kepalsuan, semua semata-mata demi memperoleh pengikut paling banyak. Seperti halnya hierarki yang lain, tatanan khayalan dalam hiperrealitas sosial media juga memberi privilege bagi orang-orang yang menduduki posisi puncak. Orang-orang di posisi puncak tatanan khayalan sosial media cenderung lebih didengar karena pendapatnya yang divalidasi oleh para pengikutnya.

Padahal, tatanan ini tidak lebih dari sekedar penipuan Simulakra. Tidak ada yang bertahan lama dalam tatanan ini. Simulakra akan selalu mencari cara baru untuk memperbarui dirinya sendiri. Dan orang-orang yang tadinya berada di posisi puncak akan menghilang secepat namanya melejit, kemudian digantikan oleh orang baru. Memang ironis, tetapi begitu lah hiperrealitas dalam sebuah Simulakra bekerja.

Ekstase Komunikasi dan Matinya Dunia Sosial

Oleh karena sosial media memungkinkan penyampaian informasi yang kian mudah, manusia kemudian menjadi candu terhadap komunikasi/ekstasi komunikasi. Semakin banyak informasi dan semakin berkurang makna. Hal ini menyebabkan kekacauan di ruang publik. Hal-hal yang seharusnya menjadi barang publik diacuhkan, dan hal-hal yang seharusnya bersifat privasi malah menjadi tontonan. Misalnya, Instagram yang pada awalnya kita gunakan untuk membagikan momen berharga malah membuat kita mabuk dan larut, sehingga tanpa sadar kita tidak lagi mampu membedakan antara zona privasi dan ruang publik. 

Hingga pada akhirnya, seseorang yang terjebak dalam Simulakra sosial media harus mati dari kehidupan sosial. Kerancuan dalam membedakan zona privasi dan ruang publik ini lah yang menjadikan seseorang tidak mampu lagi membedakan antara yang nyata dan rekayasa. Orang-orang dalam fase ini sudah hilang ditelan Simulakra. Mereka dikenali sudah tidak sebagai dirinya lagi, tapi sebagai sebuah simbol atas sesuatu. Segala keputusan mereka juga sudah terkondisikan oleh algoritma. Hidup tidak sebagai diri sendiri dan keputusannya dikelola oleh mesin, menjadikan orang yang terjebak dalam Simulakra bagaikan hidup tapi tak hidup.

Dunia Simulakra memang menawarkan kemewahan, keindahan, kegembiraan, dan kebahagiaan. Tapi sudikah kita menukar itu semua dengan kenyataan? Sudikah kita untuk hidup dalam kepalsuan?

Melalui konsepnya mengenai simulakra, Baudrillard mengajak kita untuk berkontemplasi. Apakah hidup yang kita jalani saat ini sudah nyata atau tanpa sadar sudah ditelan oleh Simulakra? Pertanyaan selanjutnya adalah, kalau simulakra lebih menjanjikan daripada kenyataan, mengapa kita masih mau menyusahkan diri untuk hidup pada kenyataan?

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.