fbpx

Diagnosis penyakit masyarakat modern

Perkembangan dan kemajuan yang kita rasakan pada hari ini haruslah kita pertanyakan lagi, bukan untuk menghentikannya.
Kota Tua Jakarta
Kota Tua Jakarta

Beberapa minggu yang lalu penulis berangkat ke rumah saudara di Tangerang. Keberangkatan penulis ke sana untuk berkunjung dan bersilaturahmi dengan keluarga. Jadi, selama di sana penulis sempatkan untuk berekreasi ke sebuah tempat wisata di Ibu Kota, ialah Kota Tua. Selama berkunjung ke Kota Tua, penulis berkontemplasi dan mencoba untuk tidak hanya sekedar berekreasi. Penulis melihat keindahan arsitektur Kota Tua di tengah megahnya gedung-gedung Ibukota.

Ketika di sana, penulis menemukan kejanggalan yang mungkin juga ditemukan oleh pengunjung lainnya. Namun, siapa sangka pada akhirnya setelah beberapa minggu kunjungan itu, penulis menuliskan esai ini. Semoga saja, tulisan ini dapat menambah perspektif kita dalam menjalani kehidupan di masa modern ini. Kejanggalan itu secara sederhananya adalah sebuah paradoks. Kenapa paradoks? Karena di tengah kota metropolitan itu, Ibu Kota Jakarta yang identik dengan kemajuannya, gedung-gedung tinggi, dan segala hiruk-pikuknya, ternyata tetap mempertahankan hal-hal kuno (budaya konservatif) seperti Kota Tua ini.

Paradoks modernitas; Ibu Kota dan Kota Tua

Konservatisme bukanlah aib dalam tubuh modernitas. Dia perlu untuk dipertahankan sebagai basis epistemologis-fundamental di tengah keterawang-awangan modernitas. Ketika paradoks disematkan dengan modernitas, maka tidak melulu stigma negatif disematkan pada kata paradoks. Karena, sejatinya bahasa itu bersifat netral dan dia akan bermakna sesuai dengan maksud ataupun konteks yang ditujukan padanya. Dalam artian lain, modernitas dengan segala progresivitasnya harus tetap dirawat dengan nilai-nilai konservatif-normatif yang lebih adaptif.

Kota Tua ini contohnya, keberadaannya dengan segala arsitektur kuno di tengah tingginya gedung-gedung Ibu Kota bukankah sebuah paradoksal? Kota tua dan segala ceritanya adalah simbol-simbol konservatif dalam tubuh modernitas Jakarta. Namun, apakah Kota Tua hanya akan kita jadikan sebagai simbol-simbol konservatif belaka tanpa ada pemaknaan? Pemaknaan yang pada akhirnya menjadikan Kota Tua ini memiliki use value tersendiri sebagai basis epistemologis-fundamental yang kemudian dapat diobjektifikasikan dalam kehidupan masyarakat modern.

Realitas semu modernitas dan kesadaran palsu masyarakat modern

Pada masa kini, yang kemudian sering kita sebut dengan zaman modern. Zaman yang penuh dengan halusinasi kemajuan, teknologi mutakhir, pembangunan membabi buta, internet yang tidak kenal jarak, transportasi semakin cepat, dan masih banyak lainnya, ternyata telah membawa kita pada suatu realitas yang semu.

Realitas yang semu itu berpadu dengan kesadaran palsu manusia modern. Kesadaran palsu yang akhirnya membuat manusia enyah untuk berpikir jauh tentang apa yang akan dikerjakannya. Ada yang menindas, merampas, menghakimi, bahkan merawat spirit doll.

Ya, begitulah realitas semu masyarakat modern, beberapa ahli ada yang menyebutnya masyarakat pasca-industrialis, masyarakat negara (civic society), dan masyarakat heterogen (Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, 2006)  . Realitas semu yang dibalut dengan kesadaran palsu seolah menyuruh kita bertanya, ‘apakah masyarakat modern sudah benar-benar rasional dengan segala tindakannya?”

Benang merah paradoks modernitas dan konservatisme

Realitas semu dan kesadaran palsu itu telah membuat masyarakat modern berada dalam keterawang-awangan hidup. Maka, di atas keterawang-awangan itulah diperlukan yang namanya budaya konservatif sebagai landasan filosofis kehidupan. Inilah yang kemudian penulis sebut dengan benang merah atau titik temu antara paradoks modernitas dan konservatisme. Budaya konservatif itu dapat berbentuk ideologi, prinsip, agama, dan hal-hal lainnya yang bersifat normatif-reguler.

Budaya konservatif yang ada itu haruslah bersifat adaptif dan juga solutif. Konservatisme dalam tubuh modernitas akan membantu terwujudnya kesadaran autentik dalam melihat realitas masa kini. Sehingga, dalam menjalani kehidupan tidak berada di atas ‘awang-awang’.

Perihal kesadaran autentik itu, yang padanya budaya konservatif akan tetap relevan dan adaptif pada setiap zaman bahkan mampu memberikan solusi di tengah kompleksitas problematika masyarakat modern; dehumanisasi, eksploitasi alam, korupsi, neo-kolonialisme, kapitalisme gaya baru, dan lainnya. Penulis merangkum 6 kesadaran menurut Prof. Kuntowijoyo.

Enam kesadaran menurut Prof. Kuntowijoyo

Menurut  (Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, 2006) menyebutkan bahwa untuk menjemput perkembangan zaman yang lebih efektif tanpa meninggalkan ‘teks’ (konservatisme) diperlukan perluasan kesadaran selain kesadaran individual klasik.

Profesor Kuntowijoyo adalah intelektual muslim yang mengintrodusir Ilmu Sosial Profetik sebagai upaya ilmu Islam (demistifikasi agama) yang berangkat dari ‘teks’ menuju ‘konteks’ melalui pendekatan analitik sintetik berdasarkan paradigma Islam strukturalisme transendental agar terwujudnya transformasi sosial ke arah yang lebih baik.

Oleh karenanya, hemat penulis kesadaran ini perlu diperhitungkan agar budaya konservatif dapat merawat perkembangan zaman dengan baik tanpa kehilangan identitasnya di tengah keterawang-awangan tadi.

Pertama, kesadaran adanya perubahan. Sudah menjadi keniscayaan bagi kita semua untuk mengakui akan adanya perubahan dalam hidup ini. Seiring dengan berjalannya waktu dan begitu dinamisnya kehidupan dunia, telah mengantarkan kita kepada hal-hal baru yang harus diterima. Sebagai contoh, kita yang hari ini duduk di bangku perkuliahan adalah kita yang tujuh atau delapan tahun lalu di bangku SMP.

Kedua, kesadaran kolektif. Pada dasarnya kita semua sudah punya kesadaran individu. Namun, kesadaran itu perlu diperluas menjadi kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif yang diharapkan tentu bukan hanya kesadaran “jamaah” yang bersifat sektoral belaka. Tapi, adalah kesadaran kolektif yang lebih luas dalam rangka menjemput transformasi sosial tadi.

Ketiga, kesadaran sejarah. Kesadaran sejarah adalah kesadaran kolektif akan keterlibatannya dalam perkembangan sejarah. Selain itu, manusia juga harus punya sadar akan dirinya sebagai subjek dalam menentukan sejarah itu sendiri.

Keempat. kesadaran adanya fakta sosial. Menjadi suatu kejanggalan jika ditengah-tengah masyarakat pasca-industrial, heterogen, kompetitif, modern, dan serba maju ini kita tidak menemukan adanya sebuah fakta sosial. Fakta sosial sangat perlu disadari dalam kompleksitas masyarakat akan terwujudnya tataran sosial yang lebih baik.

Kelima, kesadaran adanya masyarakat abstrak. Makin modernnya suatu masyarakat makin abstrak juga masyarakatnya. Maka dari pada itu, kesadaran adanya masyarakat abstrak harus dapat dikelola dan dijaga dengan sebaik mungkin.

Keenam, kesadaran perlunya objektifikasi. Objektifikasi ialah perbuatan objektif setalah adanya upaya subjektifikasi. Sederhananya dalam konteks tulisan ini, objektifikasi adalah menebar nilai-nilai konservatif di dalam tubuh modernitas.

Purna-Kata

Perkembangan dan kemajuan yang kita rasakan pada hari ini haruslah kita pertanyakan lagi, bukan untuk menghentikannya. Tapi untuk mencari tricks and tips menjalani kehidupan di masa kini.

Tidakkah kita melihat makin tersingkirnya peran umat manusia dalam sejarah belakangan ini? Tidakkah kita lihat begitu banyak masyarakat yang merelakan rumahnya digusur untuk pembangunan hotel? Atau masyarakat yang harus rela menjual murah tanahnya untuk pembangunan tol? Atau para sarjana yang pengangguran?

Kita telah lahir dan tidak ada lagi kesempatan untuk kembali serta menolak pedihnya hidup dalam realitas masa kini. Maka, segera selesaikan apa yang ada di hadapan dengan penuh kesadaran. Tetaplah menjadi manusia yang terhormat di tengah-tengah kemajuan yang menguat.

Ramadhanur Putra

Mahasiswa Pendidikan Agama Islam di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content