fbpx

Fenomena Aroma dan Mitologi Sastra dalam Novel Aroma Karsa

Lahirnya novel Aroma Karsa dan Di Balik Tirai Aroma Karsa (2018) mengingatkan penulis pada novel Umberto Eco yang sama-sama melahirkan anak kandung dari novel aslinya, The Name of The Rose (1980). Bahkan novel pertama milik Eco ini beranak pinak menjadi tiga; Postcript on The Name of The Rose (1984), Reflections on The Name of The Rose (1985), dan The Key to The Name of The Rose (1999).
Novel Aroma Karsa

Bumi bisa dikendalikan dengan aroma. Bukan cuma pedang atau bubuk mesiu.

Dee Lestari dalam Aroma Karsa
This image has an empty alt attribute; its file name is 2fc095af-2b22-431f-8ea0-c652d824331b

Dee Lestari merupakan sosok tangkisan, sebagaimana pernah diungkapkan oleh Goenawan Mohamad dalam komentarnya mengenai novel Filosofi Kopi (2012). Waktu itu Goenawan secara tegas menyatakan bahwa Dee telah membuktikan bahwa tak ada “sastra wangi”; “Tulisannya, seperti tulisan sejumlah penulis perempuan yang lain, tak ada hubungannya dengan parfum, bedak, lulur, dan daya tarik erotis.”

Berselang enam tahun kemudian (2018), muncul buah karya sastra dari Dee yang mengangkat tema besar “aroma”. Yang memiliki relasi kuat dengan parfum, kosmetik, dan daya tarik erotis. Bahkan aromanya kental akan karsa feminisme. Ya, Dee adalah tangkisan.

Lahirnya novel Aroma Karsa dan Di Balik Tirai Aroma Karsa (2018) mengingatkan saya terhadap novel Umberto Eco yang sama-sama melahirkan anak kandung dari novel aslinya, The Name of The Rose (1980). Bahkan novel pertama milik Eco ini beranak pinak menjadi tiga; Postcript on The Name of The Rose (1984), Reflections on The Name of The Rose (1985), dan The Key to The Name of The Rose (1999).

Bukan tidak mungkin novel Aroma Karsa ini juga beranak pinak, karena isinya yang menyimpan banyak kemungkinan untuk ditafsirkan sebagai – meminjam istilah Eco – “karya terbuka”, yang membuat para pembaca tergoda untuk terus menelanjanginya.

Misteri (Kekuatan) Aroma

Mungkin banyak orang yang tidak sadar bahwa hidung itu tidak hanya sebatas alat untuk bernapas, sebagaimana mata hanya untuk melihat dan kuping hanya untuk mendengar. Dengan mengutip penelitian Laboratotium Olfaktori Vosshal di Universitas Rockfeller, Dee (2018) menegaskan bahwa hidung manusia ternyata mampu mendeteksi 1 trilliun stimulus yang berbeda, yang menempatkan indra penciuman kita 150.000 kali lipat lebih kaya dibanding indra penglihatan, dan 2,5 juta kali lipat lebih kaya dibandingkan indra pendengaran.

Bahkan alat bantu pernapasan kita ialah ‘udara’, singgung Sigmund Freud dalam bukunya Moses and Monotheism (1939: 180-81), telah menyumbang gagasan mengenai spiritualitas manusia. Karena roh (animus) atau spirit (spiritus) meminjam namanya dari hembusan angin (the breath of wind), yang dalam bahasa Ibrani: ruach = asap (smoke).

Terlepas dari itu, tak bisa dipungkiri bahwa menjelaskan sebuah aroma merupakan fenomena yang cukup sulit untuk dipahami. Dalam Aroma: The Cultural History of Smell (1994: 3), Classen, Howes, dan Synnot mengiyakan hal itu, bahwa ihwal bebauan tidak hanya berhubungan dengan persoalan biologis dan psikologis, melainkan juga budaya. Yang terkait erat dengan kompleksitas sosial dan sejarah.

Jika kita pernah menonton film Perfume: The Story of Murderer (2006), yang merupakan alih wahana dari novel karya Patrick Suskind di tahun 1986, barangkali kita akan lebih paham dengan premis-premis di atas. Dengan mengambil lanskap historis abad ke-18 di Prancis, Suskind berhasil menyatukan berbagai simbol dengan tema besar aroma. Aroma tidak hanya membangkitkan gairah cinta dan seksual, melainkan juga berpengaruh kuat secara sosio-historis dan antropologis.

Penyatuan berbagai simbol dengan tema besar aroma juga nampak dalam novel Aroma Karsa karya Dee. Berangkat dari budaya sampah manusia modern, mendapatkan Puspa Karsa di Gunung Lawu yang penuh dengan perpaduan unsur mistik-kosmis-historis, romansa cinta, dan melejitkan ketenaran industri Perusahaan Kemara. Kekuatan aroma mendapat tempat yang sangat privilese.

Membandingkan novel Aroma Karsa dengan Perfume memang tidak bisa dihindari. Sebagaimana sudah diakui oleh Dee dalam buku Di Balik Tirai Aroma Karsa (2018: 12-16). Khususnya tokoh utama keduanya; Jati Wesi dan Jean-Japtise Grenouille yang memiliki kemiripan karakter. Ditakdirkan mengalami hiperosmia (penciuman tajam), tumbuh besar di lingkungan yang jorok dan menjijikkan, sangat toleran terhadap semua bau, dan pintar dalam meracik parfum.

Salah satu perbedaan yang mencolok di antara keduanya terlihat pada misinya. Grenouille begitu berambisi menciptakan aroma hanya untuk dirinya sendiri (egosentrisme), yang diharapkan banyak orang tergila-gila padanya. Sementara Jati berambisi menciptakan aroma terbaik lebih tertuju untuk dinikmati orang lain (altruisme). Meskipun misi keduanya berbeda, intinya sama, ialah untuk mendapatkan pengakuan, kebebasan, dan cinta. Dan keduanya sama-sama berhasil mewujudkan misinya di akhir cerita.

Grenouille yang seharusnya mati tragis di tangan algojo dengan disaksikan ribuan orang akibat membunuh 25 perempuan, pada akhirnya membuat para saksi eksekusinya tergila-gila dengan kedatangannya, beserta aroma yang menguar dari tubuh dan kain Grenouille. Alih-alih aroma dari Grenouille itu tak kunjung menghilang dan lekas mati di tangan algojo, aroma tersebut malah menghipnotis banyak orang hingga berbuat mesum.

Sementara keberhasilan Jati nampak ketika ia sukses menciptakan aroma terbaiknya; Puspa Kangga (penyempurna Puspa Ananta) sekaligus mendapatkan cinta dari seorang peracik asli Puspa Ananta; Tanaya Suma.

Mitologi Aroma Karsa

Nadine Gordimer (1995: 22) memberikan alasan cukup baik di balik genre mitos yang masih tetap digunakan oleh beberapa sastrawan, meski banyak yang masih menganggapnya kuno.

Bila di sejumlah masyarakat dikerdilkan menjadi dongeng kanak-kanak sebelum tidur, di belahan dunia lain dilindungi oleh hutan atau diasingkan dari pengaruh besar budaya internasional, mitos masih berlanjut, hidup, menawarkan seni sebagai sistem mediasi antara individu (seseorang) dan makhluk.”

Tidak sedikit beberapa penulis yang tetap mempertahankan unsur mistik dalam membuat karya sastra. Seperti halnya novel Centhini: 40 Malam Mengintip Sang Pengantin (2009) karya Sunardian Wirodono, Tembang Tolak Bala (2011) karya Han Gagas, dan Dawuk: Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu (2017) karya Mahfud Ikhwan, termasuk Aroma Karsa.

Terdapat satu tempat yang cukup menonjol dalam Aroma Karsa, ialah Gunung Lawu dengan kompleksitas unsur mistiknya (Dee telah menjelaskan panjang lebar (2018: 71-86) alasan di balik ia lebih memilih Gunung Lawu dibandingkan tempat lainnya sebagai puncak sekaligus titik mula cerita Aroma Karsa).

Di awal cerita Aroma Karsa, pembaca telah dibuat penasaran dengan Puspa Karsa (sebuah bunga Anggrek magis yang diyakini memiliki daya (karsa) yang luar biasa), apakah memang benar-benar ada atau hanya fiktif belaka. Raras Prayagung yang di masa kecilnya tidak percaya dengan cerita neneknya (Janirah Prayagung), dengan semakin tumbuh besarnya Raras, ia meyakini keberadaan Puspa Karsa bertempat di Gunung Lawu dengan bantuan Profesor Sudjatmiko melalui hasil penelitian dari lontar-lontar kuno.

Alkisah di sebuah gunung suci, terdapat kerajaan hutan bernama Alas Kalingga. Alas Kalingga bukan hutan biasa. Alas Kalingga terhubung langsung dengan alam dewa-dewi yang disebut Batarawana. Hewan-hewan hidup seribu tahun lamanya, bunga-bunga mekar wangi sepanjang masa. Di sanalah tempat segala dewa-dewi tumbuhan menyebarkan serbuk mereka, sudah saatnya Puspa Karsa, yang memiliki daya pikat tiada duanya. Wangi kembangnya membuat apa pun dan siapa pun tergila-gila, bertekuk lutut pada kehendaknya. Lebah-lebah dan serangga penyerbuk rela datang dari ujung Nusantara hanya untuk mengecap sari Puspa Karsa” .

(h. 420-421)

Perjalanan penemuan Puspa Karsa telah dilakukan selama dua ekspedisi. Ekspedisi pertama yang dipimpin oleh Raras telah gagal, dan beberapa orang yang ikut terlibat di dalamnya mengalami musibah, termasuk Raras sendiri yang mengalami kelumpuhan pada kakinya.

Sementara ekspedisi kedua, yang masih dalam kontrol Raras, beberapa orang yang ikut terlibat di dalamnya juga mendapat musibah yang tidak cukup besar. Namun berita baiknya, Puspa Karsa berhasil ditemukan oleh Jati Wesi dan Tanaya Suma (anak angkat dari Raras, yang kemudian menjadi kekasih Jati) melalui ketajaman indra penciumannya. Sayangnya, niat busuk Raras untuk memperalat Jati dan Suma guna mendapatkan Puspa Karsa perlu dibayar dengan nyawanya. Raras meninggal sebelum ia benar-benar tahu apa dan bagaimana persisnya bentuk serta aroma Puspa Karsa itu.

Dee menarasikan perjalanan di Gunung Lawu hingga keberhasilan Jati dan Suma menemukan Puspa Karsa dengan penuh ketegangan dan konflik. Bahkan di akhir cerita, di mana Jati dan Suma melangsungkan pernikahan, Dee berhasil membuat pembaca masih dibuntuti rasa penasaran, apakah akan ada gerbang kedua Aroma Karsa? Ataukah akan difilmkan?

Keterangan buku

Judul buku: Aroma Karsa

Penulis: Dee Lestari

Penerbit: Bentang Pustaka

Tahun: 2018

Ketebalan: xiv + 710 halaman

Achmad Fauzan

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content