Kehadiran wujud Tuhan dalam pengalaman hidup manusia isu sentral yang tak habis-habisnya dikaji. Kata Edward J. Clemmer, filsafat postmodern seperti yang diwakili Nietzsche menjelaskan kehadiran Tuhan dalam kehidupan manusia sebatas imajinasi, fiksi subjektif, atau pemikiran non-rasional. Namun, bagi para psikolog, antropolog dan teolog, kehadiran Tuhan merupakan materi penting keimanan (Clemmer, 1975).
Para psikolog terus mengembangkan berbagai metode pengukuran implikasi kehadiran Tuhan terhadap kesehatan mental, terlebih dalam situasi dan kondisi penderitaan. Tuhan sering digambarkan sebagai sosok ayah yang penuh kasih dan memberikan dukungan penuh, lebih-lebih bagi mereka yang menjalani masa pengobatan di rumah sakit. Alhasil, gejala kecemasan psikofisik pasien pun lebih rendah (Testoni, et al., 2016).
Keuntungan psikologis kehadiran Tuhan, berupa kesehatan mental, mendorong para psikolog terus mencari variabel pengendali stres (stress moderator) ataupun prediktor stres (predictors of distress). Salah satunya, model keterikatan manusia dengan Tuhan yang dinilai jauh lebih konsisten dalam memprediksi tingkat stres daripada gambaran tentang Tuhan. Bagi para psikolog, keterikatan pada Tuhan dan kecemasan adalah dua peristiwa spiritual-mental independen namun terikat satu sama lain (Bradshaw, et al., 2010).
Dalam Ilmu Kalam (teologi Islam), kesehatan mental manusia dapat dikendalikan dan diprediksi melalui variabel pengetahuan dan kesadaran. Ibnu ‘Athāillah as-Sakandari, misalnya, mengatakan, “li yukhaffifa ‘anka alamal balā-i ‘allamaka bi annahu huwal mublī laka, falladzī wājahatka minhul aqdāra huwal ladzī ‘awwada husnal ikhtiyāri.”
Maksud Ibnu ‘Athāillah, “demi meringankan derita ujian hidup, Tuhan mengajarimu bahwa sesungguhnya Dia-lah yang mendatangkan ujian. Namun, Tuhan yang mengatur segala takdirmu juga pasti mengarahkanmu pada ikhtiar terbaik,” (Al-Manāwī dan Al-Kayyālī, 2021).
Secara teologis, dalam pandangan Ibnu ‘Athāillah, Allah akan memperluas cakrawala pengetahuan seseorang, sehingga kesadarannya menguat, tentang peran Tuhan sebagai Dzat yang mendatangkan ujian. Namun pada saat yang sama, Tuhan juga mengarahkan manusia (‘awwadaka) pada usaha atau ikhtiar terbaik (husnal ikhtiyār) melewati ujian, sehingga dapat mengurangi (li yukhafifa) penderitaan hidup (alamul balā-i).
Ketika manusia tahu bahwa penderitaan hidup datang dari Tuhan, maka kehadiran Tuhan dalam penderitaan semakin nyata. Pandangan ini mirip dengan pandangan teknis psikoterapi, bahwa kesadaran kehadiran Tuhan dapat memoderasi efek stres. Namun, hal itu cukup dan masih misteri bagi psikologi modern (Bradshaw, et al., 2010).
Tingkat pengetahuan seseorang berkaitan erat dengan dan menentukan kualitas kesadaran akan kehadiran Tuhan. Pengetahuan, dalam pandangan Ibnu ‘Athāillah, menjadi moderator stress, dan kesadaran akan kehadiran Tuhan menjadi prediktor kesehatan mental. Semakin luas cakrawala pengetahuan seseorang tentang Tuhan semakin kuat tingkat kesadaran. Dan semakin kuat kesadaran manusia akan kehadiran Tuhan, semakin baik kualitas kesehatan mentalnya.
Dampak Teologi Penciptaan
José Morales menjelaskan, Teologi Penciptaan tidak saja berguna memahami pandangan tentang asal-usul penciptaan, tetapi lebih praktis tentang peran hidup manusia dan tindakannya di dalam alam semesta (Morales, 2001).
Doktrin penciptaan tidak semata-mata menyangkut ketuhanan, tetapi juga kemanusiaan (Holt-Woehl, 2012). Bahkan, teologi secara umum mengandung kegunaan besar bagi kesehatan mental (Cook dan Hamley, 2020).
Peran sentral yang dimainkan teologi, khususnya teologi penciptaan, terhadap kesehatan mental merupakan ide besar sepanjang sejarah sejak abad pertengahan hingga modern. Kesehatan mental seseorang dan ketangguhan batin menghadapi stres menjadi perhatian serius Ilmu Kalam, khususnya teologi penciptaan.
Teologi Penciptaan, dalam kajian Ilmu Kalam, turut berkontribusi pada pengayaan khazanah psikologi, terutama dengan menempatkan isu pengetahuan manusia tentang status ontologis semesta ciptaan dan kesadaran kehadiran Tuhan sebagai materi pokok nan penting. Diskursus teologis bagaimana semesta alam diciptakan dan kehadiran Tuhan dalam semesta ciptaan bertalian erat dengan psikologi, dan di kemudian hari dengan psikoterapi.
Ada dua aliran besar dalam Ilmu Kalam. Setiap aliran memiliki sudut pandang masing-masing dalam memahami status ontologis semesta alam, lebih-lebih soal penderitaan hidup, tekanan mental, trauma, stres, dan penyakit mental lainnya. Dua aliran ini juga berkonflik tanpa akhir sepanjang sejarah manusia (baca: umat muslim).
Pertama, golongan yang berpandangan bahwa status ontologis alam semesta adalah penderitaan dan kegelapan. Imam al-Junaid al-Baghdādī, misalnya, memahami bahwa Tuhan menciptakan alam semesta ini sebagai keburukan, sehingga tidak tersedia kebaikan sedikitpun (annal ‘ālam kullahu syarrun).
Namun, Imam Al-Junaid Al-Baghdadī menciptakan jalan keluar dari penderitaan sebagai status ontologis alam semesta, yaitu dengan rekayasa pengetahuan dan kesadaran. Status ontologis alam semesta sebagai sesuatu yang buruk harus disikapi dengan mentalitas yang positif, mampu mengabaikannya, dan tidak lagi menganggapnya sebagai sesuatu yang buruk.
Imam Al-Junaid Al-Baghdadī mengatakan, “laisa astabsyi’u mimmā yaridu ‘alayya minal ‘ālami li anni ashshaltu ashlan wa huwa annad dāra dāru hammin wa ghammin wa balāin wa fitnatin.” Aku tidak menganggap dunia yang datang padaku sebagai sesuatu yang buruk, karena aku sudah mendasarkan asal-usul dunia ini pada (status ontologis sebagai) tempat penderitaan, kepedihan, ujian, dan fitnah (Ibnu ‘Ajībah, 2026).
Di dalam kehidupan duniawi yang buruk itulah, kemudian Tuhan hadir sebagai realitas ‘cahaya’ penerang, yang dapat dialami. Tuhan sebagai penerang adalah eksistensi yang harus diketahui dan disadari, karena tidak semua orang mampu mengetahui dan menyadari.
Ibnu ‘Athāillah mengatakan, “al-kawnu kulluhū zhulmatun wa innamā anārahu zhuhūrul haqqi fīhi fa man ra-al kawna wa lam yasyhadhu fīhi aw ‘indahu aw qablahu aw ba’dahu faqad a’wazahu wujūdul anwāri.” Alam semesta adalah kegelapan, yang hanya diterangi oleh kehadiran Tuhan. Barang siapa melihat alam semesta tapi tidak melihat-Nya di manapun; di dalamnya, di sampingnya, sebelumnya, atau sesudahnya, maka ia telah dibutakan oleh silau cahaya (Al-Syarqāwī, 2008).
Ibnu ‘Athāillah mengafirmasi status ontologis alam ciptaan sebagai kegelapan dan penderitaan, sebagaimana dalam pandangan Imam al-Junaid al-Baghdādī. Namun, Ibnu ‘Athāillah memiliki strategi berbeda dari al-Junaid dalam menghindari penderitaan hidup. Bagi al-Junaid, karena kehidupan diciptakan sebagai tempat yang penuh penderitaan, manusia tidak perlu menghiraukannya, cukup diabaikan saja. Sementara bagi Ibnu ‘Athāillah, kehadiran Tuhan harus disadari, agar semesta kehidupan yang penuh kegelapan secara ontologis menjadi terang-benderang.
Kedua, Aliran teologi Wahdatul Wujūd. Pendukung aliran ini dapat dikatakan selangkah lebih maju dibandingkan golongan pertama, terutama dalam memahami status ontologis semesta ciptaan dan kehadiran Tuhan di dalamnya. Dalam pandangan kelompok ini, status ontologis semesta alam dan Tuhan tidak terpisahkan.
Ibnu ‘Arabī mengatakan, “wa in kāna tamayyaza al-khālqu minal khāliqi fal amru al-khāliqu al-makhlūqu wal amru al-makhlūqu al-khāliqu.” Sekalipun status ontologis ciptaan dan pencipta berbeda, namun sejatinya pencipta adalah ciptaan, dan ciptaan adalah pencipta (Al-Hanafī, 2007).
Dalam kesempatan lain, Ibnu ‘Arabī mengatakan, “‘Ālamuz zhāhiri Allāhu al-‘ālamu”. Alam lahiriah adalah Tuhan yang Alam (Ibnu ‘Arabī, 2022).
Kehadiran Tuhan di dalam alam semesta, sebagai sesuatu yang eksternal, tidak diperlukan lagi. Status ontologis alam semesta juga bergeser, dari yang semula sebagai kegelapan dan rumah abadi bagi penderitaan menjadi Tuhan itu sendiri. Wahdatul Wujūd memahami proses penciptaan semesta alam sebagai proses Tajallī (manifestasi) Tuhan.
Pandangan kelompok kedua ini dianggap sebagai ajaran sesat, kufur dan zindiq. Sebab tidak berasal dari al-Qur’an dan Hadis, sebagai sumber hukum Islam. Dalam beberapa catatan sejarah, para pendukung pandangan kelompok kedua kerap menjadi korban pembunuhan, seperti kasus Syeikh Siti Jenar di tangan Dewan Wali Songo, atau Abū Manshūr al-Hallāj di tangan Fuqahā mazhab Al-Zhāhirī.
Kontroversi status ontologis alam semesta, sebagai ciptaan Tuhan maupun sebagai Tuhan itu sendiri, berdampak pada pengetahuan manusia tentang Tuhan dan kesadaran akan kehadiran-Nya.
Bagi golongan yang menganggap alam semesta sebagai ciptaan Tuhan, yang penuh kegelapan dan penderitaan, kehadiran Tuhan dapat menolong manusia dan mengubah keadaan. Manusia dapat mengabaikan stres, trauma dan penyakit psikologis yang dihasilkan oleh kehidupan. Pengabaian ini menjadi penting karena status ontologis semesta alam memang sumber penderitaan dan kegelapan. Dengan begitu, mental manusia lebih sanggup menghadapi cobaan hidup apapun jenisnya.
Bagi golongan kedua, yang menganggap alam semesta sebagai Tuhan, pengetahuan manusia tentang alam semesta adalah pengetahuan tentang Tuhan itu sendiri. Kehadiran alam semesta dalam kesadaran manusia menjadi kesadaran akan kehadiran Tuhan itu sendiri.
Ketika kondisi psikologis tersebut itu telah dicapai, status ontologis rasa khawatir, cemas, rasa sakit, penderitaan dan semua jenis penyakit psikologis lainnya berganti menjadi kehadiran Tuhan, bahkan sebagai Tuhan itu sendiri. Mental manusia bukan hanya sanggup menghadapi segala macam trauma, stres, dan penyakit mental lainnya, tetapi juga menganggapnya sebagai anugerah besar Tuhan.
Referensi
Abdullāh ibn Hijāz Al-Syarqāwī, Al-Minah al-Qurdsiyah ‘ala al-Hikam al-‘Athaiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2008).
Abdurraūf Muhammad bin Tājul ‘Ārifīn Al-Manāwī dan ‘Āshim Ibrāhīm Al-Kayyālī, Al-Durar Al-Jawhariyah fi Syarh Al-Hikam Al-‘Athāiyyah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2021): 179.
Abul ‘Abbās Ahmad ibn Muhammad ibn ‘Ajībah, Īqāzh al-Himam fi Syarh al-Hikam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2016).
Edward Clemmer, “A Psychology of God’s Presence: Spirituality as dialogue with the Word,” Issue 1, Volume 9, (1975): 7-24.
Christopher CH Cook and Isabelle Hamley, eds. The Bible and mental health: Towards a biblical theology of mental health. SCM Press, 2020.
Holt-Woehl, Hollie M. “Creation and a Theology of Humanness.” Journal of religion, disability & health 16, no. 2 (2012): 121-132.
Syeikh Al-Akbar Muhyiddīn Ibnu ‘Arabī, Fushūsh al-Hikam, (Egypt: Bibliomania Publishings, 2022)
Ines Testoni, Emilio Paolo Visintin, Dora Capozza, Maria Concetta Carlucci, and Malihe Shams, “The implicit image of God: God as reality and psychological well‐being,” Journal for the Scientific Study of Religion 55, no. 1 (2016): 174-184.
José Morales, Creation Theology, (Dublin, Ireland: Four Courts Press, 2001)
Matt Bradshaw, Christopher G. Ellison, and Jack P. Marcum, “Attachment to God, images of God, and psychological distress in a nationwide sample of Presbyterians,” The International journal for the psychology of religion 20, no. 2 (2010): 130-147.
Mushthafā ibn Sulaimān Bālī Zādah Al-Hanafī, Syarh Fushūsh al-Hikam li Ibn ‘Arabī, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2007).
Imam Nawawi
Alumnus Magister Sejarah Peradaban Islam di Universitas. Penerjemah buku-buku Jalaluddin Rumi dan Ibnu Arabi.
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.