fbpx

Beberapa Menit Bersama Sartre

Sartre tak hanya seorang pemikir yang berdiam diri di sudut sunyi untuk menikmati imajinasinya, tapi dia merupakan teladan bagi aktivis pergerakan.
Ilustrasi Jean-Paul Sartre
Jean-Paul Sartre by Dika Sri Pandanari

Masa Renaisans yang ditandai dengan sebuah diktum masyhur Descartes “Cogito Ergo Sum” adalah masa paling signifikan yang terjadi di Eropa. Spirit masa ini telah membuat lompatan yang cukup jauh dalam peradaban modern. Hampir di segala bidang terjadi perubahan: sosial, politik, ekonomi, agama, dst. Namun demikian, warisan Renaisans menyisakan watak totaliterisme[1] yang menyimpan aspek destruktif bagi kemanusiaan. Manusia tak mendapat haknya sebagai manusia yang bebas. Atas nama modernitas, semua harus seragam. Bila tidak, maka akan ditindas oleh sistem yang dibentuk oleh manusia itu sendiri. Inilah yang terjadi sebelum Sartre hidup.

Perang Dunia I dan II menjadi pukulan telak bagi para penganjur modernitas. Para pemikir terpaksa harus menepi, mengambil jarak untuk berkontemplasi; mereka mengoreksi, mencari kesalahan modernitas, dan menata ulang rangkaian bangunan yang telah berdiri megah namun kering dan senyap.

Beberapa kemudian menyadari bahwa slogan Descartes telah dipahami secara sepotong. Manusia modern terfokus pada Cogito (saya berpikir) tapi melupakan Ergo Sum (maka saya ada). Begitulah titik mula kesadaran eksistensial hadir mengisi pilu modernitas. Spirit penindasan manusia atas manusia lainnya adalah efek negatif dari modernitas.

Eksistensialisme berkembang pesat di Jerman dan Perancis pada abad XX. Eksistensialisme, menurut beberapa penulis, tak bisa diidentifikasi kemunculannya dengan menyoroti kondisi tertentu. Ia lebih pada pengalaman hidup dalam merespon segala ketidakstabilan, utamanya setelah Perang Dunia I. Maka tidak heran jika eksistensialisme lebih bersifat kontemplatif.[2]

Di antara filsuf eksistensialisme Prancis adalah Jean-Paul Sartre. Dia bisa disandingkan dengan ikon kematangan eksistensialisme Jerman, Martin Heidegger. Namun demikian, Sartre jauh lebih masyhur karena tulisannya yang lebih progresif dan masif, serta kegigihannya membela kaum tertindas. Eksistensialisme Sartre membangkitkan semangat perjuangan di banyak negara terjajah, meski tetap menyisakan kemurungan dan absurditas sebagai identitas eksistensialisme.

Biografi Jean-Paul Sartre

Jean-Paul Sartre adalah seorang filsuf eksistensialis yang aktif sebagai esais, novelis, penulis naskah teater dan editor. Ia dilahirkan di Paris pada 1905 M. Kakeknya adalah seorang guru yang mengajar bahasa Jerman. Sartre mengaku mulai masuk ke perpustakaan pribadi kakeknya saat berumur 8 tahun. Dia gemar membaca dan menemukan kebahagiaan dan ketertarikan saat masuk ke sana. Saat usia 12 tahun, dia sudah mendeklarasikan diri sebagai atheis. Sebagai seorang siswa, Ia dikarunia kecerdasan sehingga seorang gurunya mendeskripsikan “pelajar yang sempurna: otaknya selalu hidup, melontarkan pertanyaan berkualitas dalam ruang diskusi, tapi memang terlalu percaya diri”.[3]

Tahun 1924 dia masuk Universitas Ècole Normale Superiuere untuk studi filsafat, namun yang mengejutkan dia gagal ujian akhir semester. Setahun kemudian dia memutuskan ikut ujian lagi setelah dirayu oleh pasangannya, Simone De Beauvoir, dan berhasil menduduki peringkat teratas hasil ujian akhir.[4]

Lebih dari 10 tahun kemudian, Sartre mengikuti tugas wajib militer. Dia menyempatkan diri belajar di Berlin-Jerman dan mulai menulis. Di masa itu dia sempat mempublikasikan novel filsafat Nausea (1938) dan koleksi cerpen The Wall (1939). Tahun 1939 Sartre pernah ditangkap oleh pihak Jerman dan dilepas beberapa bulan kemudian sehingga lebih bebas menulis dan mengajar. Sartre terlibat resistensi dengan tentara karena bergabung dengan kelompok intelektual sosialis and kebebasan. Meski perang sedang berkecamuk tapi Sartre tetap aktif menulis. Pada 1943 dia berhasil mempublikasikan buku filsafat terpenting, Being and Nothingness. Tiga tahun kemudian Existentialism Is a Humanism, menjadi karyanya yang paling luas dibaca.[5]

Pasca perang, Sartre mengajukan pengunduran dirinya sebagai dosen. Dengan ditemani Maurice Merleau-Ponty dan de Beauvoir, Sartre mendirikan sebuah jurnal yang sangat berpengaruh, Les Temps Modernes. Sartre pernah meraih penghargaan tertinggi nobel sastra pada 1964 tapi ia menolaknya. Sartre sering terlibat demonstrasi bersama para mahasiswa, bahkan, menjadi presiden The International War Crime Tribunal, yang pernah mengutuk intervensi Amerika di Vietnam. Pola hidupnya cenderung Marxis tapi sering mengritik Partai Komunis Prancis.[6] Ini mengindikasikan bahwa dirinya adalah pemikir bebas.

Eksistensialisme Sartre

Sebagaimana Heidegger, Sartre juga menjadikan eksistensi (Being) sebagai fokus kajiannya. Para filsuf eksistensialis menjadikan poin-poin berikut sebagai tema wajib: pertama, bahwa “eksistensi mengikuti esensi”. Manusia adalah subyek kesadaran (conscious), bukan sebuah entitas yang hanya diprediksi dan dimanipulasi; manusia ada sebagai eksistensi yang sadar. Meski demikian, eksistensialisme menyadari bahwa manusia sebagai subjek tak akan bisa apa-apa tanpa adanya objek.[7] Manusia berelasi dengan segala entitas dalam ruang dan waktu. Atau terlempar ke dalam dunia (being in the world) dalam bahasa Heidegger.

Kedua, anxiety (kemurungan). Ada beberapa tema eksistensialisme yang dibahas masif  karena erat kaitannya dengan menemukan “aku” kembali. Manusia yang tidak menghayati eksistensi dirinya akan terus terjebak dalam “thou/engkau”; dia tak pernah merasa menjadi manusia autentik yang meraih kebebasan. Karena selalu diintervensi oleh yang lainnya. “Engkau” adalah simbol mengenai manusia yang gagal menemukan dirinya yang ontic-ontological.[8] “Manusia dikutuk untuk menjadi bebas”, itulah diktum Sartre yang sangat terkenal.

Ada banyak pintu untuk menemukan “aku”. Di antara yang sering disebutkan oleh filsuf eksistensialis adalah “kemurungan” dan “kematian”.  Heidegger menegaskan bahwa kemurungan adalah cara mendasar untuk menemukan “ke-aku-an”. Namun pengertian “murung” menurut eksistensialis tidak sama dengan pemahaman psikolog atau fenomenolog. Karena psikolog memahaminya sebagai “emosi” sementara fenomenolog memahaminya sebagai fakta manusia yang berelasi dengan yang lain.

Kemurungan erat kaitannya dengan keterlemparan menurut Heidegger. Sementara Kierkegaard menautkannya dengan asal dosa turunan yang kemudian ditebus oleh Yesus.[9] Dari sini juga bisa disimpulkan bahwa kemurungan dalam paham eksistensialisme tidak lahir dari ketakutan (fear) sebagaimana dalam analisa psikologis. Perbedaan sudut pandang ini menegaskan adanya mazhab dalam eksistensialisme: eksistensialisme theis dan atheis. Sartre dengan Heidegger berada pada satu gerbong yang sama: eksistensialis atheis.

Kematian, dalam filsafat Sartre, dipahami sebagai puncak dari nothingness (ketiadaan). Sebelumnya Heidegger telah menyeru “semua keber-ada-anku menggiringku menjauh menuju ketiadaan”. “Apa itu kematian?” tanya Sartre. Kematian adalah ketidak-eksis-an total. Kematian bersifat absurd sebagaimana kelahiran yang juga absurd. Kematian adalah ultimate (kondisi akhir yang paling mewah), kondisi paling autentik bagi kehidupan manusia, karena bisa merengkuh kesadaran azali. Kematian adalah bukti lain mengenai absurditas eksistensi manusia.[10]

Ketiga, yang menjadi tema perenial filsafat eksistensialisme adalah absurditas. Dalam Nuasea, Sartre menampilkan seorang tokoh utama bernama Roquentin yang menyadari bahwa tak ada struktur rasional dalam wujud. Eksistensi hadir tanpa tujuan, tanpa makna, tanpa bentuk, dan bersifat kontingen. “Setiap sesuatu terceraikan dari namanya”, gumam Roquentin. Saat kita menghadapi mereka, kita menemukannya “mengada” di sana, menjijikkan-memuakkan, dan menakutkan. Sartre dengan tokohnya, Roquentin, sepakat dengan David Hume yang menyimpulkan bahwa eksistensi dan fakta material tak memiliki kaitan dengan ruang bahasa, akal, matematika, dan logika. Eksistensi tidak rasional.[11]

Keempat, Manusia, dalam pandangan filosof eksistensialis, adalah persona dari manusia konkret, bukan sebagai subyek epistemologis yang abstrak. Namun di saat yang sama, manusia berada pada aspek partikular yang bebas: menciptakan dirinya sendiri sebagai subyek transenden. Jangan dipahami seperti Tuhan menciptakan makhlukNya. Di sini, manusia menciptakan (menempatkan) dirinya dalam dimensi kebebasan dan pilihannya sendiri.[12]

Paham eksistensialisme meletakkan setiap manusia pada posisi masing-masing, dan menempatkan semua tanggung jawab di pundaknya. Tanggung jawab yang kami maksud, kata Sartre, bukan bersifat individual tapi buat semua manusia.[13] Karena menghargai semua manusia berarti menghargai esensinya sendiri “esensi mendahului eksistensi”. Saat hendak melakukan sesuatu, seorang eksistensialis akan mengimajinasikan dan mengkonsep dirinya di hadapan manusia lainnya. Jadi menjadi eksistensialis bukan berarti menjadi individualis seperti diduga banyak orang!

Dalam etika, Sartre menolak etika Kristen dan Kant. Sebab menurutnya, tawaran Kristen dan Kant tak bisa secara konsisten memperlakukan setiap orang sebagai pengambil keputusannya sendiri. Saat ada seorang mahasiswa bertanya padanya “what shall I do?” dia menjawab singkat “kamu bebas. Pilihlah….” Pilih kemudian bertanggung jawab atas pilihannya. Karena menurut Sartre, tak ada yang akan menolongnya di kemudian hari jika terjadi sesuatu. Jadi etika moral eksistensialis Sartre tak terlembagakan oleh otoritas tertentu. Ia ada dalam kesadaran masing-masing manusia.

Sumber Pemikiran Sartre

Sartre adalah intelektual terbesar abad 20 menurut pengakuan Edward Said. Ia selalu menginspirasi anak-anak muda generasi di masa Edward Said hingga sekarang. Sartre menyingkirkan Empirisme karena dianggap membatasi pengetahuan hanya pada persepsi (sense). Empirisme menolak filsafat untuk dijadikan petunjuk bagi kehidupan dunia. Sartre juga menolak deduksi-rasionalistik Cartesian, sebab nalar formal tak bisa menjelaskan kehidupan umat manusia yang absurd.

Meski demikian, Descartes sebagai filsuf terbesar modern yang senegara dengannya memberi pengaruh signifikan dalam perkembangan pemikiran Sartre. Utamanya, subyektivitas Cogito: kesadaran diri tentang eksistensi yang berpikir menjadi pijakan semua filsuf posmo seperti Sartre, meski dengan penekanan yang berbeda.

Sartre pernah secara intensif mengikuti kuliah Edmund Husserl saat ada di Jerman. Tak ayal, dia juga mengambil konsep yang dikembangkan oleh Husserl mengenai “kesadaran”, yang—menurut Husserl—tak terpisah dengan dunia karena dipertemukan oleh intentionality. Sartre hanya mengambil unsur pemisahan Husserl dari Descartes bahwa kesadaran bersifat intensional, dan membuang semua konsep filsafat Husserl yang formal dan kompleks.

Tokoh utama yang menjadi pijakan teori eksistensialisme Sartre tentunya adalah Martin Heidegger, seorang murid brilian Husserl sekaligus suksesornya di Univ. Freiburg. Dari Heidegger, Sartre mengambil konsep kesadaran sebagai being in the world; sebagai basis pembeda antara ruang kesadaran dan entitas di dunia, konsep wujud yang terlempar, kemurungan, ketiadaan, perbedaan antara eksistensi autentik dan non-autentik, fakta dan transenden. Hanya saja, Sartre menambahkan nilai-nilai materialisme dari Karl Marx dan Hegel.

Dari Kierkigard mengambil konsep kesadaran individual sebagai antitesis dari konsep esensi Hegelian, perbedaan antara fear (kekuatiran-takut) dengan anguish (kemurungan) eksistensial. Dari Nietzsche mengutip konsep “kematian (t)uhan”.

Dimensi orisinalitas Sartre terdapat pada kecakapannya dalam menafsirkan kembali, merevisi, memanfaatkan kembali materi-materi di atas ke dalam sebuah integrasi yang benar-benar baru dan tegas. Kelak pemikiran Sartre menjadi pusat eksistensialisme Prancis, baik dalam sebuah format kajian filsafat, novel, teater, literatur, dan esai politik.[14]

Yang menjadi ciri khas Eksistensialisme Sartre adalah konsepnya mengenai kebebasan individu, tugas memilih yang sulit, tanggung jawab dan komitmen sebagai konsekuensi dari pilihan tersebut, universalitas pilihan tunggal individu, dan akhirnya hak individu untuk melawan.[15] Eksistensialisme Sartre dikagumi oleh kalangan muda karena memadukan antara Marxisme dengan eksistensialisme. Sartre mendasarkan eksistensialisme atheisnya pada kata-kata Dostoevsky “kalau Tuhan tidak ada segalanya diperbolehkan”.[16]

Tak ada yang membuat Sartre spesial selain karya-karyanya yang menggugah. Ada yang mendeskripsikannya sebagai “Sartre is a good writer, Camus is a good philosopher” karena penghayatan eksistensialis Camus lebih mendalam. Namun kecakapan mengekspresikan pena, Sartre masternya. Kenyataan ini yang membuat namanya sinonim dengan kata “eksistensialisme”. Sartre juga menjadi sangat masyhur melebihi pemikir dan filsuf yang semasa dengannya karena sikap politiknya yang keras mengritik despotisme. Saat Heidegger menjadi profesor di negara yang dikuasai Nazi, Sartre menjadi buronan Nazi. Sartre adalah simbol perlawanan kaum kiri meski ia mengritik pedas penyelewengan pemikiran kiri. Sartre tak hanya seorang pemikir yang berdiam diri di sudut sunyi untuk menikmati imajinasinya, tapi dia merupakan teladan bagi aktivis pergerakan.[17]

Daftar Pustaka

A. Setyo Wibowo, Para Pembunuh Tuhan, (Jogjakarta: Kanisius 2009)

Ali Rahnema, Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, (Jakarta: Erlangga 2000)

Forrest E. Baird & Walter Kaufman, From Plato to Derrida, (USA: Prentice Hall, 2003)

Frederick Copleston, S. j., Contemporary Philosophy Studies of Logical and EXistentialism, (London: Search Press, 1973)

John Macquarrie, Existensialism, (USA: Penguin Book, 1980)

Max Hokheimer and Adorno, Dialektic of Enlightenmen; Philosopical Fragment, (USA: Stanford Univ. Press, 2002)

Mudji Sutrisno, Drijarkara Filsuf yang Mengubah Indonesia, (Yogyakarta: GalangPress, 2006)

Paul Strathen, 90 Menit Bersama Sartre, (Jakarta: Erlangga, 2001)

Sartre, Essays in Existensialism; Existensialism is Humanism, (USA: Citadel Press, 1965)

TZ. Lavine, From Socrates to Sartre: The Philosophic Quest, (USA: Bantam Books, 1989)


[1] Max Hokheimer and Adorno, Dialektic of Enlightenmen; Philosopical Fragment, (USA: Stanford Univ. Press, 2002),32-33

[2] TZ. Lavine, From Socrates to Sartre: The Philosophic Quest, (USA: Bantam Books, 1989), 326

[3] Forrest E. Baird & Walter Kaufman, From Plato to Derrida, (USA: Prentice Hall, 2003), 1150

[4] Ibid, 1153

[5] TZ. Lavine, 327

[6] Forrest E. Baird & Walter Kaufman,,, 1151

[7] Mudji Sutrisno, Drijarkara Filsuf yang Mengubah Indonesia, (Yogyakarta: GalangPress, 2006), 37-38

[8] Ontik adalah sebuah kondisi manusia yang mengada dan bersifat historikal. Sementara ontological adalah eksistensi yang lebih bersifat metafisik.

[9] John Macquarrie, Existensialism, (USA: Penguin Book, 1980), 168

[10] TZ. Levine,,, 332

[11] TZ. Levine,,, 344-345

[12] Frederick Copleston, S. j., Contemporary Philosophy Studies of Logical and EXistentialism, (London: Search Press, 1973), 135

[13] Sartre, Essays in Existensialism; Existensialism is Humanism, (USA: Citadel Press, 1965), 36-37

[14] TZ. Levine,,, 340-341

[15] Ali Rahnema, Ali Syariati: Biografi Politik Intelektual Revolusioner, (Jakarta: Erlangga 2000), 191

[16] A. Setyo Wibowo, Para Pembunuh Tuhan, (Jogjakarta: Kanisius 2009), 12

[17] Gerakan-gerakan radikal di seluruh penjuru dunia mengambil inti dari tulisan-tulisannya. Ia membuat pernyataan-pernyataan revolusioner tentang berbagai masalah yang berlangsung di masanya. (Baca: Paul Strathen, 90 Menit Bersama Sartre, (Jakarta: Erlangga 2001), 71

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content