fbpx

Kafe dan Revolusi Para Eksistensialis

Dominasi terjadi tanpa kita sadari. Kita masih belum benar-benar otentik, masih tunduk pada determinasi destruktif.
June 16, 1944 in Picasso’s studio at 7 Rue de Grands-Augustins in Paris. Jacques Lacan, Cecile Eluard, Pierre Reverdy, Louis Leiris, Pablo Picasso, Fanie de Campan, Valentine Hugo, Simone de Beauvoir, Jean-Paul Sartre, Albert Camus, Michel Leiris, Jean Baier. Photo by Gilberte Brassaï

Kafé atau yang biasa disebut sebagai warung kopi oleh mahasiswa, adalah markas untuk bertukar pikiran. Kopi disertai berbagai perbincangan tidak lengkap bila tidak diiringi dengan aktivitas menerka-nerka kesatuan dasar dari fenomena tertentu. Tidak perlu harga. Rasa dan suasana adalah alasan para mahasiswa atau berbagai kaum untuk saling bersua. Tidak jarang, masyarakat baru dari latar belakang yang berbeda saling bertemu: para aktivis, musisi, dosen, penghayat kepercayaan, pecinta filsafat, hingga penikmat teori konspirasi dan mistis. Mereka larut dalam satu ruang obrolan dalam satu ruang dialektika. Kafe memang tempat yang tepat untuk masyarakat yang suka bercerita atau menikmati kesendirian. Salah satu sosok yang kita kenal, seorang filosof ternama yang identik dengan kafe, ialah Jean-Paul Sartre.

Sartre lahir pada 21 Juni 1905, di Paris, Prancis. Ia adalah seorang di antara sosok kunci di balik ketenaran aliran filsafat eksistensialisme dan fenomenologi. Ia juga berperan sebagai figur utama dalam warna filsafat kontemporer dan Marxisme di Prancis. Beberapa karya populer Sartre seperti Nausea, The Age of Reason, dan The Reprieve merupakan novel yang berlatar belakang suasana kafe di Perancis. Tentu saja beberapa novel tersebut tidak lepas dari pengalaman keseharian Sartre yang gemar sekali mengisi hari di berbagai kafe. Di sana, ia dan beberapa filosof lain (terutama Simone de Beauvoir), para mahasiswa, aktivis, dan sastrawan bertemu sambil mengupas beragam persoalan filosofis bersama.

Ialah Soren Kierkegaard (1813-1855), filosof pertama yang mengenalkan eksistensialisme pertama kali. Namun di tangan Sartre, eksistensialisme menjadi begitu popular di Prancis. Ia berhasil menarik simpati banyak kalangan, mulai dari filosof, mahasiswa, siswa sekolah, aktivis, hingga media. Namun eksistensialisme yang diajukan oleh Sartre merupakan teori mengenai kebebasan. Aliran filsafat tersebut sukses mengantarkan Sartre menjadi seorang filosof sekaligus selebriti pada kisar tahun 1940-an, pun Sartre sebenarnya bukan pendiri awal eksistensialisme.

Kebebasan menjadi wacana umum yang dekat dengan keseharian dan kegelisahan banyak orang. Di mana eksistensialisme merujuk pada tindakan manusia dalam menentukan keberadaannya, ialah suatu bentuk indeterminasi diri. Dalam konsep ini Sartre hendak menelanjangi segala institusi, tradisi, budaya, dan agama yang hadir sebagai dominasi. Meski demikian, nama eksistensialisme tidak besar tanpa hambatan. Suatu hari, Gabriel Marcel (filosof eksistensialis dan teman dekat Sartre), mendengar seorang perempuan berteriak di dalam kereta, “Sir, what a horror, existentialism! I have a friend whose son is an existentialist; he lives in a kitchen with a negro woman.” (Bakewell, 2016: 43).

Kengerian itu tidak jauh dari perubahan gaya hidup anak muda karena pengaruh eksistensialisme. Eksistensialisme seolah identik dengan sifat kemudaan yang memberontak di atas tradisi dan tatanan apa saja sejauh itu membatasi mereka untuk bergaul dengan siapa saja, tanpa terikat ras atau kelas sosial. Pertanyaan mendasar yang hendak dijawab selanjutnya ialah “What it meant to be free?” (apa artinya menjadi bebas?) Manusia, bagi Sartre, adalah subjek yang terlempar ke dunia serta bebas menentukan definisi atau makna dari kehadiran (nature atau essence) manusia tersebut. “Aku” yang bebas menandai perbedaanku dengan objek lainnya. Proses memaknai itu disertai dengan tindakan. Tindakan di sini menampilkan proses kemenjadian tiada akhir eksistensi manusia.

Proses itu tidak akan purna sejauh manusia menyadari atau “Ada-bagi-dirinya” (être-pour-soi). Ia bukanlah kesadaran yang sama sekali bisa disamakan dengan benda. Namun, kesadaran itu tidak boleh terlepas dari dunia. Demi menunjukkan Ada, Sartre memberi istilah Ada pada dirinya (être-en-soi), sebagai Ada yang tidak aktif, tidak pasif, tidak afirmatif, tidak negatif. Ia ada begitu saja, kontingen, dan memperoleh arti hanya dalam kaitan dengan manusia (Setyo, 2011: 30-33).

Kembali pada kebebasan, mungkin saja ada determinisme dari hukum moral, psikologis, atau kerumunan dapat mereduksi kebebasan manusia. Namun manusia masih memiliki kebebasan untuk menentukan apa saja yang eksistensial menurut kita.  Eksistensialisme mempertentangkan antara otoritas luar dan autentisitas diri. Mengajarkan bagaimana cara menjalani hidup yang otentik, hidup tanpa ditentukan oleh apa pun di luar diri.

Masa ketika Sartre hidup, dunia sedang ramai dengan isu hangat seputar kolonialisme, perang dunia, perang dingin (perang ideologi), dan perbudakan. Eksistensialisme, hadir di tengah krisis eksistensi tersebut. Ia memberi harapan akan pencarian makna diri, juga sebagai jargon untuk menyuarakan arti humanisme secara keseluruhan (baca: existentialism Is a Humanism). Sebelum Sartre memutuskan untuk berhenti menulis karena penyakit yang ia derita (terutama penglihatan yang hampir buta), ia gemar sekali berpindah dari satu kafe ke kafe lainnya hanya untuk berdiskusi filsafat. Salah satu kafe yang sering ia datangi adalah Café de Flore yang terletak di Paris.

Kafe itu sudah seperti kantor baginya. Sartre dan Beauvoir berbincang dan menulis di kafe tersebut sepanjang hari. Lambat laun kolega-koleganya yang lain mengikuti, seperti Albert Camus, Raymon Aron dan Maurice Marleau-Ponty.

Sartre bahkan menulis catatan kecil, yang ia dedikasikan khusus untuk kafe tersebut. Nama Sartre dan Beauvoir bahkan menjadi pilar dari kafe itu. Mereka adalah pilar yang memberikan atmosfer artistik dan kehidupan intelektual. Dalam beberapa teksnya, analogi yang ia gunakan tidak terlepas dari pengalaman kesehariannya di kafe. Mari kita simak konsep ternama darinya, bad faith. Dalam menjelaskan konsep itu, ia menganalogikan seorang pelayan kafe.

Di sini, ia hendak menggambarkan distingsi antara eksistensi dan proyeksi identitas. Di mana pelayan kafe berperilaku sesuai tugas, fungsi, dan arahan sebagai pelayan. Demi prosedur pelayanan dan kenyamanan pelanggan, si pelayan berperan sebagai liyan bagi dirinya sendiri. Kewajiban yang diberikan untuknya, dalam melangkah, gerak-gerik tubuh, menyapa pelanggan, dst., adalah tindakan yang berasal dari mekanisme yang ada. Bagi Sartre, pelayan itu sedang dalam permainan (game) menjadi (being) seorang pelayan. Ia bergerak, tapi tidak didasarkan keinginan terdasar dirinya, eksistensi. Eksistensi dan proyeksi identitas merupakan dua hal berbeda, yang terpisahkan oleh negasi internal yang disebut ketiadaan (nothingness).

Walau Sartre hanya memberi contoh seorang pelayan. Namun lebih dari itu, dalam kenyataan kita sehari-hari, terdapat banyak struktur di luar lingkungan yang mengikis kebebasan. Dominasi itu terjadi tanpa kita sadari. Kita masih belum benar-benar otentik, masih tunduk pada determinasi destruktif. Beberapa hari yang lalu tepatnya pada tanggal 21 Juni 2021, merupakan hari peringatan kelahiran Sartre ke-116. Meski telah tiada, filsafat yang ia bawa masih terus relevan untuk menjawab tantangan zaman. Pertanyaannya adalah bagaimana cara kita menggunakan kebebasan itu di masa baru ini? 

Referensi

Bakewell, sarah. 2016. At the Existentialist Café: Freedom, Being, and Apricot Cocktails. New York: Other Press.

Wibowo, setyo, dkk. 2011. Filsafat Eksistensialisme: Jean Paul Sartre. Yogyakarta: Kanisius.

Bertens, k. 2014. Sejarah Filsafat Kontemporer Prancis. Jakarta: Gramedia.

Anggota Lingkar Studi Filsafat Discourse

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content