fbpx

Kebebasan Manusia menurut Sartre

Kebebasan mutlak yang dimiliki manusia tentu memengaruhi pola relasi antarmanusia. Relasi antarmanusia merupakan bentuk sekaligus wujud dari relasi antara entitas yang sama-sama bebas.
Jean-Paul Sartre
Jean-Paul Sartre

Salah satu perkara besar dalam dunia filsafat ialah pembicaraan tentang manusia. Menjadi perkara bukan karena kompleksitas masalah yang harus didekati dalam diri manusia tetapi juga karena diri manusia menyimpan sekaligus misteri dan ketidakberhinggan. Beragam pendekatan dengan segala variannya mencoba untuk mendekati manusia. Mega proyek yang dikerjakan oleh kaum modernis dengan memberikan tekanan pada esensi manusia rupanya tidak cukup untuk menguraikan dan membahasakan perihal manusia itu sendiri. Metanarasai yang ditekankan oleh para filososf modern yang diwakili oleh kaum esensialisnya rupanya tidak berhasil membawa dan mengangkat manusia. Artinya ialah, dengan menekankan esensi yang sama untuk semua manusia proyek itu justru mencampakkan manusia hanya sebagai objek penelitian dan pendekatan dari beragam perspektif semata.

Menempatkan manusia sebagai objek penelitian dan pendekatan bukanlah hal yang mengejutkan dalam proyek modernisme. Sebab mereka menekankan obyektivitas pengetahuan dan kebenaran lewat ilmu-ilmu positif. Tidak hanya itu. Penekanan pada empirisme yang menjadi motor penggerak pendekatan kaum modernis menjadikan usaha untuk menggapai kebenaran itu sangat obyektif.

Proyek massif kaum modernis dengan bantuan ilmu-ilmu positif mengakibatkan lahrinya jarak dalam diri manusia. Jarak antara manusia sebagai subyek dengan realitas sebagai obyek kesadarannya menjadi semakin menganga. Manusia semakin teralienasi entah dengan dirinya sendiri maupun dengan realitas. Proyek positivisme dalam arus modernisme menuntut manusia untuk bekerja seturut semangat ilmu-ilmu positif. Manusia menjadi layaknya mesin dan robot yang bekerja secara mekanis instrumentalis. Prinsip itu menyebabkan manusia tidak lagi bebas dari segala bentuk penindasan dan tekanan. Manusia juga tidak bebas untuk berkreasi berdasarakan kecakapan dan daya kreativitasnya sendiri.

Metanarasi yang dicetuskan kaum modernis dengan menetaskan prinsip universalitas esensi manusia ditentang oleh para filosof kontemporer. Yang mewakilinya ialah kaum eksistensialis. Salah seorang filosof eksistensialis yang sungguh-sungguh menentang cara berpikir yang menekankan soal kesamaan esensi manusia ialah Jean Paul Sartre (K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis: 89-99). Darinya akan diuraikan perihal kebebabasan manusia dan relasi antarmanusia. Kedua poin itulah yang akan menjadi fokus tulisan ini. Dari poin-poin itulah akan ditarik relevansinya bagi kehidupan saat ini.

Dua Cara Berada Ada Menurut Sartre

Persoalan pokok yang diuraikan oleh Sartre dalam proyek filosofisnya ialah menguraikan hubungan antara kesadaran dan Ada (K. Bertens: 99). Para fenomenolog yang diwakili Husserl, mengatakan bahwa kesadaran menurut kodratnya bersifat intensional (K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman, 1983: 101). Artinya tidak ada lagi selubung atau tirai yang memisahkan manusia dengan realitas. Realitas menampakkan dirinya bagi kesadaran manusia. Husserl mengatakan, “kembalilah kepada benda-benda itu sendiri” (K. Bertens, ibid.,). Namun Sartre bergerak melampaui para fenomenolog itu. Sartre menulis,

 “Para fenomenolog, khususnya Husserl, tidak memberikan penjelasan yang memuaskan tentang Ada-nya fenomena-fenomena. Soalnya adalah apakah Ada-nya fenomena-fenomena juga merupakan fenomena ada atau tidak? …. Sebab Ada merupakan syarat bagi tampaknya sesuatu. Ada itu selalu bersifat transfenomenal.”

K. Bertens. Filsafat Barat Kontemporer Prancis: 100

Bagi Sartre, cara berada Ada meliputi: etre-en-soi (being-in-itself: Ada pada dirinya) dan etre-pour-soi (being-for-itself: Ada-bagi-dirinya). Etre-en-soi bagi Sartre berbicara tentang it is what it is (ibid.,). Artinya ialah Ada-pada-dirinya sama sekali identik dengan dirinya. Ia tidak mengungkapkan kesadaran apa-apa. Etre-en-soi mengungkapkan kontingensi cara berada Ada. Artinya ialah, etre-en-soi ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa diciptakan, tanpa dapat diturunkan dari sesuatu yang lain (ibid.,).

Sebaliknya, etre-pour-soi bagi Sartre bukanlah benda, sebab padanya memuat kesadaran. Kesadaran itulah yang membedakannya dengan etre-en-soi. Etre-pour-soi berbicara tentang kapasitas kesadaran untuk sadar akan sesuatu. Ciri intensionalitas kesadaran dalam etre-pour-soi ini menjadi dasar bagi Sartre dalam menguraikan pemikiran filosofisnya. Tentang etre-pour-soi ini, Sartre menulis: 

Consciousness, the pour-soi, transcends the world and is not itself a phenomenon, given as appearance. The object of consciousness, phenomena, the appearances of things, disclose what is really as it really is, but never exhaustively.”

H. J. Blackham, 1978: 114

Bagi Sartre, kehadiran pada dirinya sendiri merupakan unsur konstitutif bagi kesadaran. Artinya ialah tanpa adanya realitas yang menampakkan diri maka tidak mungkin terbentuklah kesadaran. Contohnya ialah: saya melihat pohon beringin di depan kampus STFT Widya Sasana. Saya sadar dengan apa yang saya lihat. Tetapi pada saat yang sama, saya juga sadar bahwa saya bukanlah pohon beringin itu. Adanya jarak antara saya yang melihat dengan obyek (pohon beringin misalnya) yang dilihat menjadi syaratnya. Sebab tidak mungkin saya melihat apa yang identik dengan saya.

Bagi Sartre amat mustahilah untuk mengatakan bahwa ada suatu kesadaran yang tidak sadar atau suatu aktivitas psikis yang tidak sadar (K. Bertens:105). Karena saya tidak identik dengan apa yang saya lihat maka saya pun dapat memilih untuk melihat yang lain atau membaca buku. Kesanggupan itu disebutnya “menidak” yang menjadi ciri khas dari etre-pour-soi. Kesadaran mengandaikan adanya jarak (distansi) serta berkarakter non-identitas.

Meskipun ada perbedaan antara etre-en-soi dengan etre-pour-soi namun keduanya tetap membicarakan hal yang sama yaitu cara berada Ada. Kedua cara berada itu berbeda satu dengan yang lain. Keduanya pun tidak dapat saling melengkapi. Artinya yang satu tidak dapat diasalkan pada yang lain. Meskipun demikian, dengan kapasitas dan kesanggupan untuk “menidak”, etre-pour-soi memiliki relasi dengan etre-en-soi. Dan relasinya bersifat “menidak” etre-en-soi (ibid., 106). 

Kebebasan Manusia menurut Sartre

Kemampuan untuk “menidak” dalam etre-pour-soi bagi Sartre sama artinya dengan kebebasan (ibid.,). Dari kesanggupan untuk “menidak” itu Sartre meyakini bahwa kebebasan bukanlah sebuah nilai atau ciri yang berdiri di samping nilai-nilai atau ciri-ciri lain yang melekat pada manusia. Baginya kebebasan adalah manusia itu sendiri. Dengan kata lain, manusia adalah kebebasan. Sartre bahkan secara radikal mengatakan manusia ditakdirkan untuk bebas. “I am condemned to exist always beyond my essence, beyond the affective and rational motives of my act: I am condemned to be free” (H. J. Blackham, 128).

Kebebasan yang melampaui esensi menjadi dasar untuk mengenal mengapa Sartre dikenal sebagai eksistensialis. Kebebasan yang adalah eksistensi itu sendiri mendahului esensi. Kesanggupan manusia untuk mengatakan “tidak” memungkinkan kita mengalami kesulitan untuk menjawab apakah manusia itu? Atau Apakah kodrat manusia? Sebab, bagi Sartre manusia adalah, “is not what what he is?” (K. Bertens, 107).

Pertanyaan kita sekarang ialah, apakah tandanya sehingga dapat dimengerti bahwa manusia adalah kebebasan? Bagi Sartre, hal yang menandai bahwa kebebasan adalah manusia ialah kecemasan. Sebab kecemasan itu bertalian dengan diri saya sendiri dengan menyatakan bahwa eksistensi saya seluruhnya bergantung pada diri saya (ibid.,). Juga menyangkut masa depan saya sendiri. Tentang itu, Sartre memberikan contoh berikut:

Saya menghadap tepi jurang yang tinggi dan terjal. Saya menoleh ke dalam. Sudah dapat saya bayangkan apa yang akan terjadi bila saya menerjunkan diri ke dalam jurang. Sama sekali bergantung pada diri saya apa yang akan saya perbuat: terjun ke dalam atau dengan hati-hati melangkah mundur ke tempat yang aman. Tidak ada yang memaksa saya untuk menyelamatkan hidup saya dan tidak ada yang menghalangi saya untuk terjun ke dalam jurang (ibid.,). 

Relasi Antarmanusia

Salah satu fakta yang tidak bisa dibantahkan dalam kaitannya dengan manusia ialah hakikatnya untuk ada-bersama-yang lain. Ada-bersama-yang lain mengungkapkan ciri sosialitas manusia. Dalamnya memuat makna relasi antarmanusia. Persoalan muncul jika makna relasionalitas itu dikaitkan dengan konsep kebebasan Sartre di atas.

Dalam kaitannya dengan relasi antarmanusia, ungkapan yang terkenal dari Sartre adalah, “Neraka adalah orang lain” dan “Dosa asal saya adalah adanya orang lain” (ibid., 111). Sejatinya hal ini mudah dimengerti jika sungguh dipahami soal kapasitas kesanggupan untuk menidak yang ada dalam diri manusia. Kapasitas itulah yang menjadi dasar sekaligus alasan manusia untuk memertahankan subyektivitasnya sendiri di dalam dunia.

Ketika setiap manusia berusaha untuk memertahankan subyektivitasnya dalam dunia maka konsekuensi yang menyertainya ialah relasi konfliktual antarsesama manusia. “There is no way out: the essence of the relation  between consciousnesses is not togetherness, it is conflict” (H. J. Blackham:126). Sebab, usaha untuk memertahankan subyektivitas mengandung konsekuensi untuk menyingkirkan yang lain. Bagi Sartre, sarana penting yang menyebabkan skema relasi subyek-obyek itu ialah mata. “Dari matanya, orang lain menonton saya, mengobservasi saya, dan dengan demikian mengobyektivasikan saya” (K. Bertens:11). Saya menjadi obyek dari yang lain. Mata orang lain senantiasa memandang kepada saya. Pandangan mata mereka itulah yang memenjarai saya sehingga kebebasan saya sungguh-sungguh dikungkung.

Konsep relasi yang digagas oleh Sartre menjadi dasar untuk dapat mengerti mengapa konflik menjadi esensi dari relasi antarmanusia. Pada poin inilah Sartre membangun dasar sekaligus basis bagi tesisnya yang mengatakan bahwa manusia adalah kebebasan. Dan kebebasan yang demikian tidak boleh dibatasi oleh apapun. Kebebasan harus dimaknai secara mutlak. Konsekuensinya ialah ketika berhadapan dengan entitas lain yang sama-sama bebas maka model relasi yang saling mengeksklusikan dan menegasikan satu dengan yang lain dilegitimasikan. 

Relevansi Pemikiran Sartre

Konsep kebebasan yang diutarakan oleh Sartre di atas sangat cocok untuk digunakan dalam menganalisis situasi kehidupan bangsa dan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini. Relevansinya tidak hanya ada dalam kaitan dengan terori kebebasannya tetapi juga perihal konsepnya tentang relasi antarmanusia. Oleh karena itu, dalam poin berikut ini saya akan menguraikan relevansi pemikiran Sartre di atas sembari memberikan catatan kritis tentangnya.

Kebebasan mutlak yang dimiliki oleh manusia dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia akhir-akhir ini menyusup masuk ke dalam pola politik komunitarian. Politik komunitarian dalam konteks ini hendak membicarakan sebuah sistem politik yang ada dalam domain konsep mayoritas-minoritas, entah karena agamanya maupun bahasa dan budaya. Konsep itu tidak hanya berhenti dalam wilayah politik. Wilayah hukum dan hak disusupnya.

Salah satu contoh yang paling nyata untuk mengerti konsep politik komunitarian itu ialah serangkaian aksi damai yang terjadi di Jakarta beberapa bulan terakhir. Kita menghitungya mulai dari aksi 04 November (411) 2016 sampai dengan 05 Mei (505) 2017 yang lalu. Rangkain aksi yang tidak hanya menyuarakan kebebasan berpendapat tetapi juga “memaksakan kehendak”. Saya menyebutnya memaksakan kehendak oleh karena tuntutan yang disuarakan dalam setiap aksi itu ialah menuntut Ahok dipenjara karena telah menghina agama Islam (https://www.voa-islam.com/topic/54/aksi-bela-islam-1234-dan-5/).

Tuntutan yang disuarakan itu harus diakui tidak hanya terkait dengan kontestasi pemilihan gubernur di Jakarta. Halnya terkait juga dengan etnis dan juga agama yang dianut. Kebecian dan penolakan atas nama agama menguat dan bahkan menjadi tameng dalam kasus Ahok. Ahok menjadi wajah yang tidak memiliki kebebasan sebagai warga negara dalam sebuah negara yang menjunjung tinggi hak dan kebebasan setiap warga negaranya. Dalam konteks inilah, gema dari seruan Sartre yang mengatakan bahwa konflik sebagai esensi dari relasi antarmanusia mendapatkan perwujudannya. Bagi saya, wajah Ahok dan mereka yang menyatakan dirinya sebagai Gerakan Nasional Pembela Islam Indonesia menjadi wujud dari relasi konfliktual itu. Ahok menjadi wajah dan wakil dari mereka yang disebut minoritas di negeri ini.

Dalam kasus Ahok, mayoritas menjadi wakil dari wajah kebebasan yang berusaha untuk memertahankan subyektivitasnya. Mayoritas yang kini bersuara dalam corong agama menuntut agar apa yang disebut kebebasan hanya menjadi milik mereka. Lalu minoritas? Minoritas bagi mayoritas adalah neraka. Minoritas adalah mata yang selalu memandang dan mongbyekkan mayoritas. Tidak hanya itu. Minoritas juga menjadi penghalang kebebasan mutlak mayoritas. Karena itu, agar mayoritas mendapatkan kebebasan yang mutlak guna memertahankan eksistensi mereka maka minoritas harus disingkirkan. Minoritas harus sungguh-sungguh dipandang sebagai “Yang Lain” sama sekali. Tentang hal ini Hardiman menulis, “Kita melihat bahwa kelainan dari Yang Lain itu lebih merupakan sebuah konstruksi sosial. Konstruksi inilah yang bisa mendramatisasi kelainan Yang Lain dan membuatnya dipersepsi sebagai ancaman” (F. Budi Hardiman, 2005:16).

Tidaklah mengherankan bila akhir-akhir ini relasi konfliktual menghiasi pola relasi mayoritas-minoritas di Indonesia. Dan dalam realitas itulah visi Sartre mengenai kebebasan mutlak mewujud dalam sebuah negara yang Undang-Undang Dasarnya menjamin kebebasan dan hak setiap warganya. Sebuah ironi yang terjadi di abad ke-21 ini.

Tanpa bermaksud untuk menganalisis kasus Ahok secara detail namun saya berani mengatakan bahwa vonis yang dijatuhkan kepada Ahok (http://megapolitan.kompas.com/read/2017/05/09/10560111/terbukti.menodai.agama.ahok.divonis.2.tahun.penjara,) menjadi legitimasi konsep relasi antarmanusia yang didengungkan Sartre. Vonis itu menjadi kemenangan mayoritas. Hal ini membenarkan pola relasi mayoritas-minortias di negeri ini. Tidak hanya itu. Kebenaran, kebebasan, hukum, dan keadilan seolah-olah telah menjadi milik mereka.

Bagi saya, hal yang patut dikritisi berkaitan dengan apa yang diuraikan oleh Sartre berikut relevansi yang telah diuraikan ialah kemutlakan kebebasan. Sartre lupa bahwa kebebasan dalam arti tertentu bersifat relatif. Artinya ialah kebebasan setiap orang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Pengakuan akan adanya hak dan kebebasan pada orang lain menjadi kewajiban bagi saya untuk menghargai hak dan kebebasan itu. Mengikuti Bertens, saya menyetujui bahwa kebebasan itu memilik batas-batasnya (K. Bertens, Etika, 2002: 118-120). Salah satu dari batasan kebebasan ialah kebebasan orang lain. Tentang hal itu Bertens menulis:

Kebebasan saya dibatasi oleh kebebasan orang lain. Semua gerak-gerik saya dibatasi oleh kebebasan teman-teman saya. Tidak bisa dibenarkan bahwa saya begitu bebas, sehingga tidak ada lagi kebebasan untuk orang lain… Mengakui kebebasan orang lain di sini secara konkrit berarti menghormati hak-haknya (ibid., 119).

Seruan Bertens di atas menjadi referensi bagi saya untuk mengerti mengapa pola dominasi mayoritas-minoritas di Indonesia menjadi contoh dari pengejawantahan paham kebebasan Sartre. Yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini menjadi bukti bahwa minoritas hadir sebagai kelompok yang hak-hak serta kebebasannya tidak diakui. Hembusan wacana anti Cina, Kafir, dan sebutan yang lainnya yang disebarkan oleh mayoritas menjadi alasannya. Pada saat itulah, mereka (mayoritas) menjadi wakil dari mereka yang menginginkan agar kebebasan sungguh-sungguh menjadi milik mereka. Yang lain (minoritas) harus tunduk dalam setiap definsi yang mereka miliki.

Pola relasi mayoritas-minoritas yang ada di negeri ini mencerminkan sebuah gejala heterophobia (Pius Pandor, Seni Merawat Jiwa. Tinjauan filosofis, 2014: 29). Gejala itu menjadi tanda bahwa mereka yang disebut mayoritas sungguh-sungguh merasa tidak bebas dengan adanya keberagaman. Kehadiran minoritas sungguh-sungguh dirasakan sebagai ancaman dan “penjara”. Artinya, ketakutan mayoritas akan hadirnya agama, etnis, atau pun ras lain menjadi tanda bahwa mereka sungguh-sungguh takut akan ketidakeksisan mereka di negeri ini. Mayoritas berubah menjadi satu-satunya subyek yang bebas. Karenanya mereka berusaha agar senantiasa eksis. Menyingkirkan minoritas sebagai penghalang untuk mengaktualkan kebebasan merupakan cara yang dapat dibenarkan. 

Harus diakui bahwa konsep kebebasan yang diutaraka Sartre sangat memengaruhi pola berpikir dan kehidupan banyak manusia. Tidak ada orang yang tidak menuntut untuk diakui dan dihargai kebebasannya. Sebab kebebasan memang tampak sebagai nasib manusia yang tidak bisa dihindarkan.  Oleh karena itu, semua orang berjuang dan hidup demi kebebasannya masing-masing.

Optimisme Sartre akan kebebasan yang dimiliki oleh manusia meyakinkan dirinya bahwa manusia adalah kebebasan. Keyakinan itu didasari pada proyek filsafatnya yang menemukan bahwa manusia memiliki kesanggupan untuk ‘menidak’ dalam dirinya. Kesanggupan untuk ‘menidak’ ini lahir dari kesadaran manusia akan dirinya juga akan sesuatu yang bukan dirinya. Sebab ketika entitas yang sadar itu sadar akan sesuatu maka pada saat yang sama ia sadar bahwa ia bukan sesuatu itu dan tidak identik dengannya. Hal ini berdasar pada cara bereksistensi ada sebagaimana yang digagasnya, yaitu etre-en-soi dan etre-pour-soi.

Jarak antara subyek yang sadar dengan obyek yang disadarinya memungkinkan subyek yang sadar itu ‘mengiyakan’ atau ‘menidak’ apa yang disadarinya. Namun dalam konteks kebebasan yang digagas oleh Sartre, kapasitas dan kesanggupan untuk ‘menidak’ menjadi dasar sekaligus tanda kebebasan manusia. 

Kebebasan mutlak yang dimiliki manusia tentu memengaruhi pola relasi antarmanusia. Relasi antarmanusia merupakan bentuk sekaligus wujud dari relasi antara entitas yang sama-sama bebas. Dalam relasi itu, yang dipertaruhkan ialah kepentingan untuk memertahankan subyektivitas masing-masing. Darinya timbul usaha untuk saling mengekslusikan satu sama lain. Dan relasi yang berciri konfliktual pun tidak dapat dihindari. Konsekuensinya ialah hanya mereka yang menang dalam relasi itulah yang dapat mewujudkan kebebasannya.

Indonesia, sebagai negara hukum yang menjamin kebebasan bagi setiap warganya akhir-akhir ini jatuh ke dalam relasi konfliktual sebagaimana yang digagas oleh Sartre di atas. Pola relasi mayoritas-minoritas yang saling mengeksklusi, dalam kasus Ahok contohnya menjadi butkinya. Tuntutan mayoritas agar semua yang disuarakan dipenuhi menjadi bukti bahwa kehadiran minoritas di negeri ini sungguh-sungguh menjadi ancaman dan gangguan. Hal itu menyebabkan adanya legitimasi kepentingan mayoritas dalam mengatur roda kehidupan bersama. Sartre rupanya lupa perihal prinsip relativitas kebebasan. Artinya kehadiran orang lain menjadi batasan kebebasan tiap orang. Orang lain juga berhak untuk bebas. Saya wajib untuk menghormatinya. Prinsip itu mestinya berlaku di Indonesia yang pada saat ini tengah menghadapi pergulatan untuk mendefinisikan tempat minoritas di dalamnya.

Daftar Pustaka

Bertens, K. Filsafat Barat Kontemporer Prancis (Jilid II). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2006.

——- Filsafat Barat Abad XX Inggris-Jerman. Jakarta: PT Gramedia, 1983.

——- Etika, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Blackham, H. J. Six Existentialist Thinker (Kierkegaard, Nietzsche, Jaspers, Marcel, Heidegger, Sartre). London: Routledge, 1978.

Hardiman, F. Budi. Memahami Negativitas. Diskursus tentang Massa, Teror, dan Trauma. Jakarta: Kompas Media Nuasantara, 2005.

https://www.voa-islam.com/topic/54/aksi-bela-islam-1234-dan-5/ diakses pada: Senin, 08 Mei 2017, pkl. 17.00.

http://megapolitan.kompas.com/read/2017/05/09/10560111/terbukti.menodai.agama.ahok.divonis.2.tahun.penjara, diakses pada: Rabu, 10 Mei 2017, pkl. 16.00.

Pandor, Pius. Seni Merawat Jiwa. Tinjauan Filosofis. Jakarta: Obor, 2014.

Sirilus Yekrianus

Sirilus Yekrianus adalah mahasiswa sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content