Mendekati paruh pertama abad ke-19, kala pabrik-pabrik mulai memenuhi sudut setiap kota dan kepulan asap hitam dari puluhan cerobong melesat keluar bercampur dengan segarnya udara, kebanyakan orang pada masa itu sering kali menganggapnya sebagai awal mula kemajuan industri modern yang semangatnya akan berdampak bagi kesejahteraan ekonomi. Implikasinya jelas, budaya kerja begitu digalakkan yang kemudian didorong sampai ke titik paling gemilang ─ jika tidak ingin menyebutnya eksploitatif. Mereka, dengan keyakinan jika kemapanan ekonomi adalah satu-satunya yang harus dihidupi, perlahan bertransformasi menjadi sebuah mesin. Sebab, hampir seluruh waktu kesehariannya1 dicurahkan untuk berdiri dan melakukan pekerjaan yang sama di tempat yang sama. Kehidupan para pekerja tersebut telah terkonfigurasi sedemikian rupa: bangun tidur pukul lima pagi, berangkat menuju pabrik selang satu atau dua jam kemudian, pulang ke rumah pada jam lima, enam, hingga bahkan delapan malam. Meski begitu, tetap saja. Kemunculan wahana industrial, kemajuan teknologi, dan kedatangan “bos besar” di wilayah mereka pada masa itu, cenderung ditafsirkan sebagai penanda dari akan terwujudnya harapan menuju ekonomi yang mapan.
Dalam kondisi terengah-engah yang di awal sebenarnya dapat dengan mudah dibaca sebagai gejala pertama dari lahirnya krisis dan degradasi masyarakat secara sosial, orang-orang pada masa itu seperti menutup mata dengan realitas yang menindas.2 Sebelum pada akhirnya Marx-Engels datang dan melemparkan puluhan tulisan radikal guna menyegarkan kesadaran pekerja mengenai kondisi, posisi dan peran seperti apa yang sedang mereka mainkan dalam dunia industrial. Tentu saja, kita semua sama-sama mengetahui jika kemunculan Marx-Engels beserta segenap tulisannya merupakan titik balik dari bagaimana pekerja khususnya di dataran Eropa tergerak untuk melawan sistem yang telah menginjak-injak mereka. Ini tentu sebuah prestasi, akan tetapi juga merupakan perkara di sisi lain. Lantaran, pergerakan tersebut bisa juga dibilang terjebak oleh sejumlah carut-marut politik tertentu yang justru seperti menghambat agenda pergerakan yang digadang-gadang akan menjadi hal yang paling revolusioner.
Beralih mata menuju bagian utara dunia, tepatnya Amerika Serikat. Kondisi sosial-politik negara tersebut tidak jauh berbeda dari apa yang didapat ketika membaca situasi di Eropa: kapitalisme tumbuh subur, pabrik di mana-mana, dan kelompok-kelompok pekerja berjuang mencari keadilan. Namun, satu hal yang menarik tidak datang dari sana. Melainkan pada satu wilayah yang saat itu masih terpencil di negara bagian Massachusetts, yakni Concord. Keberadaannya yang dikelilingi oleh hutan dan sangat dekat dengan toko-toko buku, ceramah ilmiah, dan akademi di Boston, cukup membuat Concord dipercaya sebagai tempat menyepi para penggiat seni untuk hidup sederhana dan memperbincangkan persoalan tingkat tinggi.3 Satu hal lain yang membuat daerah Concord terkenal adalah fakta mengenai kedekatannya secara batin dengan salah satu penulis paling berpengaruh, Henry David Thoreau.
Concord menjadi saksi bisu dari semangat menggebu-gebu Thoreau yang menolak gagasan hidup konvensional. Thoreau tercatat pernah mengambil keputusan untuk melangkahkan kakinya menuju Walden Pond dan hidup di sana selama dua tahun, dua bulan, serta dua hari (1845-1847). Pengalaman selama menjalani kehidupan tidak konvensional tersebut ia tulis dalam sebuah memoar atau esai puitis berjudul Walden; or Life in the Woods (1854). Melalui karyanya sekaligus tindakannya itu, Thoreau seolah memberi jawaban kepada masyarakat di zamannya mengenai apa yang harus dilakukan ketika kehidupan sosial terancam krisis: bilamana di Eropa Marx dan Engels melawan dengan berfokus pada lautan teori sosial ilmiah sementara Louis-Auguste Blanqui atau Wilhelm Wietling sibuk mengorganisasi dan melakukan agitasi terhadap buruh, di belahan dunia lain, Thoreau mengumandangkan seruan untuk segera hidup di tapal batas dan tidak bergantung pada peradaban yang sering kali hanya menyisakan kekecewaan.
Pertautan Akal Budi dan Alienasi dalam Peradaban Kontemporer: Sebuah Usaha untuk Melacak Kembali ke Akar
Ketika membaca pengalaman Thoreau, barangkali kita dapat menduga bahwa Thoreau sendiri telah sangat jeli merasakan degradasi kehidupan sosial yang ditandai oleh keterasingan manusia dari hidupnya. Dalam karyanya Walden, Thoreau (2018: 9) secara puitis sekaligus sinis menulis:
“Sesungguhnya, manusia-manusia pekerja tak memiliki ruang untuk mempertahankan integritas yang sejati dari hari ke hari; tak mampu mempertahankan hubungan paling manusiawi dengan manusia; jerih payahnya dijual murah di pasaran. Dia tak punya waktu untuk menjadi apa pun selain sebuah mesin.”
Dalam peradaban serba mutakhir, mungkin apa yang dikumandangkan oleh Thoreau lebih dari 150 tahun yang lalu tidak lagi begitu relevan meski substansi dasarnya masih begitu melekat pada kulit peradaban kita hari ini. Keterasingan dalam setiap sela-sela kehidupan masih berlaku, bahkan terasa lebih kental. Perbedaannya, jika dulu keterasingan sering kali diterjemahkan sebagai suatu fenomena yang menerpa kelas pekerja4, akan tetapi sekarang dapat menimpa siapa pun yang tinggal dalam lengkungan kubah modernitas dan kapitalisme. Lebih lanjut, jika kembali kepada penelisikan krisis sosial masyarakat dengan mengacu pada studi sosial-humaniora yang berkembang, kita akan menemukan beberapa argumen yang lebih analitis ─ alih-alih romantis seperti pada tulisan Thoreau ─ mengenai keterasingan manusia yang akarnya berasal dari kungkungan budaya modern.
Kehidupan modern yang selama ini diyakini oleh kebanyakan orang sebagai titik balik dari kemajuan manusia karena dalam perkembangannya sering kali mempromosikan sejumlah gagasan populer penuh kemewahan dan gemerlap antroposentris: manusia berdaulat atas dirinya sendiri, kebebasan di mana-mana, dan pembangunan serta kemajuan teknologi yang begitu memanjakan. Sebetulnya, telah menyimpan sisi paradoksalnya tersendiri. Marshal Berman sebagaimana dikutip oleh Budiman (2002: 1), suatu waktu pernah memberikan penggambaran mengenai kontradiksi kehidupan modern:
“Menjadi modern berarti mendapatkan diri kita sendiri dalam suatu keadaan yang menjanjikan petualangan, kekuasaan, keriangan, pertumbuhan, transformasi diri dan dunia dan pada saat yang sama, yang mengancam akan memusnahkan segala yang kita punya, semua yang kita tahu, segalanya dari kita.”
Dari mana datangnya kontradiksi tersebut? Melalui teori tentang rasionalisasinya, Max Weber (dalam Widyanta, 2002: 12) seolah memberikan sebuah jawaban bahwa rasionalitas atau akal budi yang mulanya merupakan pendorong modernisasi, kini telah bertransformasi menjadi suatu yang memiliki dunianya sendiri. Weber melihat jika kapitalisme dan masyarakat modern merupakan hasil akhir dari proses rasionalisasi. Seakan menjadi afirmasi atas kritik Weber terhadap modernitas dan masyarakat kapitalis, Jones, et al., (2016: 126), menuliskan komentar sebagaimana berikut:
“Weber menunjukkan kepada kita bahwa munculnya bentuk masyarakat ini ilusi saja, yaitu khayalan untuk membangun utopia itu tentang kelahiran modernitas yang dijanjikan untuk para pemikir sosial. Dunia yang didominasi oleh rasionalitas instrumental—dunia di mana efisiensi, penuh perhitungan dan dapat diprediksi adalah sasaran dominan—yang berarti dunia kehilangan makna, kehilangan misteri, atau kehilangan perhatian pada pencapaian spiritual.”
Apabila berpacu pada pemikiran Max Weber, degradasi sosial yang melahirkan semacam alienasi manusia atas kehidupannya ialah berasal dari dominannya rasionalitas instrumental dalam struktur kesadaran manusia di alam modern. Semua hal bahkan manusia itu sendiri tidak lebih dari angka-angka statistik dan sarana untuk mencapai sesuatu yang lain. Layaknya logika pasar, yang ada hanyalah untung dan rugi. Maka konsekuensinya sampai sini pun menjadi jelas: dalam perputaran dunia kontemporer, manusia menjadi terasing lantaran kehidupannya semata-mata digerakan oleh struktur rasio instrumental yang membuat kesehariannya erat dengan habitus untuk saling menjatuhkan manusia lain demi meraih keuntungan dan terhindar dari kerugian.
Usaha penafsiran Weber yang mencari akar dari krisis pada kehidupan modern tampak menarik perhatian intelektual lain setelahnya, seperti beberapa tokoh teori kritis Mazhab Frankfurt ─ Theodor Adorno dan Max Horkheimer. Dalam beberapa tulisan yang dihasilkan5, mereka sering kali menjadikan tema seputar rasionalitas sebagai kerangka utama dalam upaya untuk menganalisis masyarakat modern. Adapun mengenai pemikir teori kritis lain yang diketahui sama radikalnya ketika membicarakan modernitas ─ Herbert Marcuse.6 Santoso (2014: 105) dengan sedemikian rupa menulis jika “Marcuse menganggap bahwa rasionalitas masyarakat modern merupakan biang keladi segala bentuk penindasan dan perbudakan manusia atas manusia, eksploitasi manusia atas manusia, dan eksploitasi alam secara berlebihan”.
Menafsir dari bagaimana banyaknya pemikir yang melihat rasionalitas dalam alam modern secara negatif, kritis dan sinis. Pada kenyataannya, harus diakui jika hal yang selama ini dipandang sebagai sesuatu yang memiliki andil besar dalam mengubah sejarah manusia menuju fase gemilang dan tercerahnya ─ rasionalitas ─ juga mampu menjadi bumerang bagi manusia itu sendiri. Dalam arti, rasionalitas dan alienasi mempunyai pertautannya sendiri pada konteks modernitas ─ rasionalitas menjadi irasionalitas. Kebiasaan berpikir melalui rasio positif yang dipandang sebagaimana adanya telah membawa manusia itu sendiri terjerembab pada akhir yang serba krisis, termasuk alienasi, yang seolah itu merupakan suatu hukuman atau konsekuensi permanen yang tidak bisa terhindarkan ─ sekeras apa pun manusia berusaha.
Menanggung Konsekuensi Alienasi Alam Modern: Absurditas dan Jalan Terbuka menuju Konsumsi
Kehidupan modern yang di awal menawarkan sejenis optimisme kemegahan dan kilauan cahaya hidup, pada akhirnya menjadi semacam buah perkara baru. Ia menyisakan begitu banyak persoalan. Di hadapan modernitas, manusia adalah mesin yang totalitas kehidupannya dicurahkan hanya untuk meningkatkan konsumsi sekaligus produksi material.
Ketidakutuhan manusia sebagai manusia itu sendiri menyebabkan ia terasing secara sosial. Keterasingan yang berasal dari patologi modernitas ini kemudian melahirkan absurditas pada hati manusia modern. Dalam kondisi semacam ini, manusia sering kali merasa ia adalah sehelai bulu yang beterbangan di udara: tidak ada tempat untuk menapak, sekaligus juga sulit untuk mencari jalan keluar. Ini merupakan tanda dari bagaimana kerinduan manusia akan kejelasan yang menggema hebat berkonfrontasi dengan situasi dunia irasional. Namun, bila dianalisis kemudian. Manusia, tetap mencari jalan untuk berpegang guna bertahan dari terpaan absurditas masyarakat kontemporer. Pertanyaannya adalah, jalan seperti apa yang kemungkinan akan dilalui?
Hidup dalam ruang modern berarti sama saja bergantung pada peradabannya.7 Itu berarti kesempatan manusia untuk meninggalkan absurditasnya kemungkinan besar adalah dengan mengikuti standar-standar kehidupan kontemporer yang pada faktanya ditopang oleh kapitalisme. Naasnya, kapitalisme dan pola-pola industrial bukanlah suatu objek pasif. Ia memiliki dimensi untuk menguasai subjek-subjek, yakni manusia itu sendiri dengan berbagai strategi. Budiman (2002: 90) memberikan penjelasan yang apik bahwa strategi kapitalisme paling mutakhir yang membuatnya tidak dapat dinegasikan lagi adalah ketika berhasil membangun dunia hiperrealitas.
Dunia hiperrealitas berarti adalah dunia citra: dunia yang penuh tanda, simbol, bahkan makna. Dunia seperti inilah yang lalu membuat korporasi melahirkan beragam mitos seperti, misalnya, ia merupakan pelayan setia masyarakat. Namun, di balik itu sebetulnya menyembunyikan realitas bahwa sejatinya yang berkuasa adalah korporasi itu sendiri. Dengan tafsiran yang berbeda, dunia hiperrealitas ialah kondisi di mana pasar kapitalisme sukses menyodorkan citra ke dalam masyarakat, sehingga “tidak lagi mampu mengenali dan membedakan antara kebutuhan (needs) dan keinginan (wants)” (Budiman, 2002: 91).
Apa imbas paling nyata ketika kebutuhan dan keinginan seakan tidak memiliki perbedaan mendasar? Jawabannya adalah konsumsi. Dalam kondisi yang sudah sedemikian mutakhir, konsumsi yang awalnya berkaitan dengan pemakaian nilai guna terhadap suatu barang untuk memenuhi kebutuhan dasar, bertransformasi menjadi suatu yang berkaitan dengan unsur-unsur simbolik. Dengan mengonsumsi, manusia secara bersamaan juga mengekspresikan berbagai simbol sosial: posisi, status, hingga kelasnya dalam masyarakat─inilah yang nantinya menjadi pelarian dari absurditas yang menimpa masyarakat kontemporer.
Objek atau barang konsumsi tidak lagi dipandang sebagaimana adanya, melainkan dilihat sebagai ekspresi diri atau eksternalisasi sekaligus proses internalisasi nilai-nilai budaya yang ada pada dirinya. Untuk perkara ini, Judith Williamson sebagaimana ditulis oleh Piliang (2004: 184), mengemukakannya dengan lebih jelas:
“Konsumsi memberikan kesempatan tertentu bagi daya kreativitas, seperti sebuah mainan di mana seluruh bagian-bagiannya telah ditentukan, akan tetapi memungkinkan kombinasinya berlipat ganda… Membeli dan memiliki, di dalam masyarakat kita, memberikan rasa mengontrol. Bila Anda membeli sesuatu Anda cenderung merasa bahwa Anda mengontrolnya.”
Williamson melalui tulisannya melihat jika konsumsi merupakan sesuatu yang positif.8 Ada semacam perasaan kebebasan bahkan kekuasaan ketika subjek mengonsumsi. Maka dalam konteks ini, konsumsi juga berarti merupakan aktivitas menandai/merepresentasikan/mengkomunikasikan pesan─kekuasaan. Ketika kita membeli gawai mutakhir, di situ pula timbul perasaan dominan lantaran itu merupakan penanda jika kita memiliki power dan status sosial paling atas dalam masyarakat. Sampai sini, bisa dibilang perasaan absurditas manusia merupakan pembuka jalan terbentuknya masyarakat konsumsi. Sederhananya, dalam dunia kontemporer, bukan lagi agama atau keimanan spiritual yang menjadi tempat melompat manusia untuk berpegang dan lari dari absurditas, melainkan objek-objek konsumsi. Karena hanya dengan mengkonsumsi lah, manusia bisa menapak dan berdiri dengan gagahnya seakan ia telah menggenggam sekaligus berjalan di atas dunia industrial ini.
Akhirulkalam Praktikal: Sebuah Eksplorasi untuk Kabur dari Peradaban
Terlepas dari kenyataan bahwa dalam kehidupan kontemporer, manusia pada dasarnya terjerembab pada konfigurasi sosial penuh citra yang sudah diatur sedemikian rupa. Tetap akan selalu ada jalan menuju alternatif lainnya ─ meski itu penuh rintangan yang mesti dilalui. Dalam bagian pertama esai ini, kita secara tidak langsung telah belajar dari Henry David Thoreau. Seruannya untuk hidup di luar konvensionalitas, sangat menantang dan lantang sekeras jeritan ayam jantan di pagi hari. Singkatnya, Thoreau telah membuka suatu kemungkinan untuk kabur dari peradaban.
Kabur dari peradaban bukan berarti mengagendakan mobilisasi fisik untuk berpindah. Itu tidak selalu dapat dimaknai bahwa kita harus kembali ke pedalaman hutan dan terpencil di dalamnya. Secara mendasar, kabur dari peradaban dapat diterjemahkan sebagai upaya menghilangkan mentalitas budak guna mencerabut ideologi dominan dari kesadaran. Bellamy Fitzpatrick dengan singkat mengistilahkan hal tersebut dengan term desersi. Melalui karangannya, An Invitation to Desertion, Fitzpatrick (2018) memberikan pandangan mengenai desersi secara terang:
“Psychic desertion means the abandonment of the reified and submissive civilized slave ideologies on which the daily functioning of society is based; the alienated and false relationships of social scripts and roles; and the stupeyfing succour of delusory religions, pacifying entertainment, and commodity fetishism.”
Dalam tulisannya, Fitzpatrick memberikan suatu alternatif praktis bila untuk meningkatkan resistensi dari dunia yang secara ekonomi politik begitu kuat ─ dunia kapital ─ mula-mula yang mesti dilakukan ialah menghantam kesadaran kita, pandangan kita, bahkan ideologi kita mengenai kemustahilan untuk hidup di luar konvensionalitas peradaban. Ini menandakan bila liberasi diri atas peradaban adalah sebuah agenda utama yang harus selalu diperjuangkan. Sembari melakukan perjuangan yang melibatkan pergolakan batin dan pertarungan antara diri dengan rasio semacam itu, mengejar hubungan terbuka bebas dominasi yang didasarkan pada mutualitas dan asosiasi sukarela juga diperlukan.9
Ketergantungan terhadap peradaban bukanlah suatu totalitas. Itu dapat digantikan ketika manusia masuk ke dalam sebuah lokalitas: membentuk kolektif atau kelompok kecil dan mengorganisasinya secara mandiri dan otonom. Lebih dari 150 tahun yang lalu, Henry David Thoreau sudah mempraktikannya. Kini dengan terpaan peradaban modern yang lebih kompleks, manusia hanya memiliki dua pilihan: mati dengan leher masih tergantung di pancang kemegahan peradaban atau melampaui peradaban dengan kabur dan mengabaikan semua yang ditawarkannya.
Referensi
Bottomore, Tom. (2019). Mazhab Frankfurt: Gagasan dan Kritik. Penerbit Independen,
Budiman, Hikmat. (2002). Pembunuhan yang Selalu Gagal: Modernisme dan Krisis Rasionalitas Menurut Daniel Bell. Pustaka Pelajar.
Engels, Frederick. (1952). The Condition of the Working-Class History in England ini 1844. George Allen and Unwin Ltd.
Fitzpatrick, Bellamy. (2018, September 28). An Invitation to Desertion. https://theanarchistlibrary.org/library/bellamy-fitzpatrick-an-invitation-to-desertion
Jones, Pip, Liz Bradbury, dan Shaun Le Boutillier. (2016). Pengantar Teori-Teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme. Terj. Achmad Fedyani Saifuddin. Yayasan Pustakan Obor.
Magnis-Suseno, Franz. (1999). Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme. PT Gramedia Pustaka Utama.
Marx, Karl. (2007, Januari). Pendahuluan pada Sumbangan untuk Kritik terhadap Filsafat Hak Hegel. https://www.marxists.org/indonesia/archive/marx-engels/1844/PendahuluanSumbangan.htm
Piliang, Yasraf Amir. (2004). Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-Batas Kebudayaan. Jalasutra.
Piliang, Yasraf Amir. (2005). Realitas- Realitas Semu Masyarakat Konsumer: Estetika Hiperrealitas dan Politik Konsumerisme. Dalam Idi Subandy Ibrahim, Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam Masyarakat Komoditas Indonesia (hlm 170-186). Jalasutra.
Santoso, Heru. (2014). Kritik Herbert Marcuse Atas Selubung Ideologis di Balik Rasionalitas Manusia. Dalam Listiyono Santoso dan Abd. Qodir Saleh , Epistemologi Kiri (hlm 105-123). Ar-Ruzz Media.
Thoreau, Henry David. (2018). Walden. BASABASI.
Upe, Ambo dan Abdul Wahid. (2019). Paradigma Teori Kritis. Literacy Institute.
VanSpanckeren, Kathryn. Garis Besar Kesusasteraan Amerika Serikat. Terj. Sumantri AR., Eddy Saputra, Eliza Rahmi. Diterbitkan oleh Lembaga Penerangan Amerika Serikat.
Widyanta, AB. (2002). Problem Modernitas dalam Kerangka Sosiologi Kebudayaan Georg Simmel. Cindelaras Pustaka Rakyat.
Catatan
- Engels mencatat bila jam kerja buruh pada zamannya sangat tidak manusiawi; bahkan berkisar antara 14 hingga 16 jam perhari. Frederick Engels, The Condition of the Working-Class History in England in 1844, (George Allen and Unwin Ltd, 1952), hlm 150.
- Marx memandang bila agama menjadi biang keladi masyarakat pada zamannya seakan pasrah pada struktur yang menindas. Lih. Karl Marx, “Pendahuluan pada Sumbangan untuk Kritik terhadap Filsafat Hak Hegel”.
- “Concord”, demikian tulis VanSpanckeren, “adalah tempat pertama yang menawarkan alternatif spiritual dan budaya kepada Amerika Serikat”. Lih. Kathryn VanSpanckeren, Garis Besar Kesusasteraan Amerika Serikat, hlm 26.
- Ini didasarkan atas analisis ekonomi Marx yang memandang alienasi manusia sebagai hasil dari bekerja di bawah sistem ekonomi kapitalis. Lih. Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx, (PT. Gramedia Pustaka Utama, 1999), hlm 92.
- Contohnya seperti teks berjudul Dialectic of Enlightenment yang dipublikasikan pada 1944. Melalui teks itu, Adorno dan Horkheimer menilai bila wacana mengenai akal budi atau rasio selama ini dimaknai secara salah. Lih. Tom Bottomore, Mazhab Frankfurt: Gagasan dan Kritik, (Penerbit Independen, 2019), hlm 11.
- Sebagaimana yang kita ketahui, Marcuse memberikan suatu kontribusi besar ketika menerbitkan One Dimensional Man: Studies in the Ideology of Advanced Industrial Society pada 1964. Dalam karyanya itu, Marcuse mengkritik masyarakat modern yang telah terjebak ke dalam kungkungan prinsip-prinsip teknologi. Lih. Ambo Upe dan Abdul Wahid, Paradigma Teori Kritis, (Literacy Institute, 2019), hlm 103.
- Dalam kaitannya, Michel Foucault sendiri melihat ruang/peradaban/wilayah tidak pernah dapat dipisahkan dari bentuk-bentuk kekuasaan yang mengarahkan gerak tubuh manusia dalam proses sosial. Lih. Yasraf Amir Piliang, Realitas-Realitas Semu Masyarakat Konsumer, (Jalasutra, 2005), hlm 174.
- Berbeda dengan Willliamson, Jean Baudrillard melihat bila perasaan kuasa atau daya kontrol ketika manusia mengonsumsi ialah ilusi belaka. Menurutnya, manusia tidak lagi mengontrol objek, melainkan dikontrol olehnya. Lih. Yasraf Amir Piliang, Dunia yang Dilipat, (Jalasutra, 2004), hlm 194.
- Hari ini, telah banyak gerakan, kolektif atau organisasi sukarela yang bermunculan, seperti Ruang Bebas Uang, Pasar Gratis, Food Not Bombs. Meski dapat dipertanyakan kembali efektivitasnya, akan tetapi timbulnya hal-hal semacam ini telah cukup untuk membuka jalan mengenai alternatif-alternatif yang tersedia sebagai tandingan dari konvensionalitas peradaban. Karena, bukankah sesuatu menjadi dominan lantaran ia tidak memiliki tandingan?