fbpx

Makna Indie menurut Teori Dekonstruksi Jacques Derrida

Indie menjadi istilah yang merepresentasikan gaya hidup bebas, melawan arus kerumunan (termasuk menjadi beragama), bahkan sering kali indie disalahpahami sebagai suatu tren
Jacques Derrida
Jacques Derrida

Belakangan ini istilah anak indie terdengar begitu akrab dalam pembahasan ruang publik, khususnya dalam bahasa pergaulan kawula muda dan tren industri musik, baik itu domestik maupun mancanegara. Sontak dengan mudah istilah anak indie di Indonesia ini selalu diidentikkan dengan seseorang yang suka mendengarkan musik-musik karya musisi yang uncommon atau nyentrik, menyukai aktivitas mendaki gunung, menikmati sunset di senja hari, suka membaca buku-buku puisi, minum kopi, sampai kecenderungan berkepribadian mellow terutama saat hujan turun. Pelebaran makna indie sendiri ditunjang dengan hadirnya sederet musisi yang muncul sebagai idola-idola dengan menampilkan kebiasaan-kebiasaan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Seperti contoh, Fiersa Besari, Payung Teduh, Fourtwnty, Hindia, Banda Neira, dan masih banyak lagi yang belum disebutkan. 

Dengan paduan irama musik yang mendayu, lirik dengan kata-kata puitis nan sendu, tampilan yang nyentrik, serta pola hidup yang melawan arus kebiasaan pada umumnya, musik indie kemudian menjadi salah satu tren yang banyak digandrungi kawula muda masa kini atau yang disebut dengan anak jaman now.

Seolah idola-idola dengan gaya baru ini mampu menghadirkan sudut pandang yang berbeda, merepresentasikan kegundahan, atau setidaknya mampu menyentuh ranah idealisme para penggemarnya. Paradigma seperti ini kemudian menjadi fenomena mass-culture yang digandrungi kawula muda, oleh karena semangat melawan arus yang dibawa oleh para musisi indie ini terkesan keren, mbeling atau rebel. Sungguh ironi ketika didapati bahwa semangat indie justru berubah menjadi budaya kerumunan yang tidak lagi bercirikan independen.

Dan fenomena yang menarik juga terjadi di beberapa persekutuan maupun ibadah di gereja, khususnya pada pemuda dan remaja. Didapati beberapa lagu-lagu indie ini juga pernah dinyanyikan dalam suatu persekutuan atau peribadatan, dan tentu hal ini menuai berbagai kontra khususnya pada kaum orang tua. Banyak yang menganggap bahwa lagu-lagu indie merupakan lagu sekuler, meskipun lirik-liriknya dapat ditafsirkan secara spiritual. Dari sini dapat diteliti lebih jauh mengenai persoalan: Apa itu musik indie sebenarnya? Mengapa pemuda masa kini cenderung menyukai musik indie? Dan bagaimana pengaruhnya bagi kehidupan remaja masa kini?

Sejarah Singkat Perkembangan Musik Indie

Hadir sebagai produk dari pop culture, musik indie sendiri berakar dari istilah independen, yang makna sesungguhnya bahwa musik indie adalah jenis musik yang diproduksi dan didistribusikan secara mandiri oleh musisi atau melalui label rekaman independen. Proses produksi musik indie dapat mencakup pendekatan otonom do it yourself untuk merekam dan menerbitkannya secara mandiri. Agaknya dapat dilihat sebagai budaya tanding, musik indie dari para musisinya sangat bebas dan berbeda dengan band populer atau band yang terikat dengan label rekaman, mulai dari pemilihan rekaman lagu hingga promosi lagu. Hal ini yang mengakibatkan musik indie yang muncul dari band-band yang lagunya berbeda dengan lirik sampai musik aransemennya sangat berbeda dengan lagu-lagu hits pasaran. Musisi indie juga umumnya menciptakan aransemen dan lirik sesuai dengan hati mereka tanpa adanya ikatan permintaan seperti pada label yang terikat dengan peraturan, sehingga musik indie cenderung mandiri dan tidak mengikuti tren pasar pada umumnya.

Pada sejarahnya, musik indie atau musik independen sendiri dimulai pada tahun 1920 setelah pertama kali digunakan untuk referensi perusahaan film independen tetapi kemudian digunakan sebagai istilah untuk mengklasifikasikan grup musik independen atau perusahaan rekaman. Musik indie mulai banyak berkembang sejak 1970-an lewat kancah musik dan gerakan punk di Inggris yang dilakukan secara underground atau bawah tanah. Di Indonesia, kebanyakan musisi indie mengadopsi budaya barat dalam berkarya.

Pada tahun 1970-an, perkembangan musik indie di Indonesia dapat terlihat dari hadirnya Guruh Gipsy, Gang Pegangsaan, God Bless, Giant Step, Super Kid dan lain-lain. Pada kurun tahun 1990-an di Indonesia, istilah musik indie semakin banyak bermunculan dan menggantikan istilah musik underground yang pada saat itu mencoba melawan arus tren musik Melayu. Ini diikuti dengan hadirnya band-band underrated dan pendatang baru pada masanya seperti Pure Saturday, The Upstairs, White Shoes & The Couples Company, dan masih banyak lainnya. Skena musik indie pada umumnya selalu digandrungi oleh kawula muda, oleh karena musik indie sangat kental dengan tema semangat kebebasan, pencarian jati diri, dan gairah masa muda. 

Ironi dan Miskonsepsinya

Seperti yang sudah diterangkan pada bagian awal pendahuluan, istilah dan identitas musik indie sendiri telah mengalami pergeseran yang mereduksi kesejatian maknanya. Sungguh ironi ketika gerakan musik indie telah berubah jauh dari apa yang menjadi semangat awalnya. Yaitu independensi dan pergerakan melawan arus kerumunan, justru berubah menjadi suatu mass-culture yang bergerak dalam budaya massa, yang tentunya memberi banyak pengaruh bagi kehidupan pemuda masa kini.

Fenomena indie merangsang keberanian pemuda untuk melawan arus atau mendobrak tatanan yang sudah ada secara simplistik. Hal ini tentunya juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain dalam psikologi perkembangan remaja-pemuda yang sangat membutuhkan aktualisasi diri, validasi, dan juga mencari jati diri masing-masing. Sehingga, apa yang menjadi tren tentu dengan cepat akan direspon sebagai sesuatu yang “keren” untuk menunjang aktualisasi diri dalam remaja-pemuda. Untuk itu diperlukan upaya dekonstruksi makna yang akan ditelaah melalui pemikiran filsuf Jacques Derrida. 

Teori Dekonstruksi

Dekonstruksi sering kali dikaitkan dengan suatu konsepsi yang membongkar makna tertentu. Dalam hal ini, dekonstruksi Derrida selalu menggunakan pandangannya dalam membongkar ideologi yang telah menyatu dalam struktur bahasa. Dekonstruksi Derrida lahir sebagai respons terhadap pola oposisi biner (sebelumnya dikembangkan oleh strukturalisme Saussure) yang selalu muncul dalam paradigma sosial manusia. Pemikiran modern selalu berusaha untuk mengonstruksi dan mencari pola-pola universal yang bersifat absolut dan hierarkis. Pola oposisi biner ini nampak ketika terdapat pembedaan secara kontras seperti baik dan buruk, barat dan timur, kudus dan profan, pria dan wanita, pribumi dan nonpribumi, dan lain sebagainya. 

Adanya pola oposisi biner ini justru menyingkapkan suatu paradigma bahasa yang mengandung idea-idea tertentu yang bersifat hierarkis di dalamnya. Misalnya, dalam konteks Indonesia, kata “kudus” akan lebih bersifat superior daripada “profan” yang nilainya lebih rendah. Kata “hitam” akan memiliki konotasi “buruk” daripada kata “putih” yang sering kali dimaknai sebagai kesucian. Dari sini dapat disimpulkan bahwa bahasa memuat suatu struktur ideologi yang sudah dibangun dan membeku di dalamnya. Dengan demikian, hal-hal yang bersifat superior dapat dipandang sebagai suatu yang bersifat mutlak dan universal, sementara hal-hal yang bersifat inferior tersebut akan dipandang lebih rendah maknanya. Sehingga, pola oposisi biner telah mengaburkan atau membiaskan makna sejati dari suatu bahasa yang mengandung idea tertentu di dalamnya. 

Untuk itu, dekonstruksi dilakukan dalam rangka membongkar pola oposisi biner, bias-bias serta pergeseran makna yang ada. Dekonstruksi hendak membongkar ideologi apa yang terbangun dalam pola oposisi biner dan hierarki makna yang ada di dalamnya. Proyek pembongkaran ini dilakukan agar dapat ditemukan makna atau kebenaran yang sejati, yang selama ini telah menjadi bias-bias tertentu. Misalnya, dalam konteks pria dan wanita, keduanya merupakan individu yang setara. Namun oleh karena terdapat ideologi-ideologi yang membangun di belakangnya, sering kali “wanita” menjadi lebih rendah kedudukannya oleh karena standar-standar yang berlaku dan disepakati dalam suatu kebudayaan atau realitas sosial kemasyarakatan.1 Dengan demikian suatu bahasa yang mengandung makna dapat berpotensi menjadi tidak objektif dan mengalami pembiasan-pembiasan tertentu.

Dekonstruksi Makna Indie

Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian awal, kata indie sering kali dengan simplisistik selalu diartikan oleh pemuda sebagai pola hidup bebas, gaya hidup nyentrik, tren keren dan kekinian, serta cara hidup melawan arus kerumunan. Dalam penerapan teori dekonstruksi Derrida, pertama-tama perlu dilihat kembali apa sebenarnya makna kata “indie” itu sendiri. Untuk itu perlu dilacak kembali sejarah istilah indie dalam konteks perkembangan musik di Indonesia. Pada mulanya, indie merupakan suatu istilah yang digunakan bagi setiap musisi yang secara independen melakukan proses pengkaryaan. Dalam hal ini, pengkaryaan musisi menjadi tidak terikat oleh batasan-batasan tertentu yang ditetapkan oleh label dan pasar. Tidak ada muatan makna yang lain selain daripada prinsip independensi pengkaryaan tersebut.

Namun belakangan istilah indie menjadi istilah yang merepresentasikan gaya hidup bebas, melawan arus kerumunan (termasuk menjadi beragama), bahkan sering kali indie disalahpahami sebagai suatu tren. Padahal, indie bukanlah suatu genre musik dan lebih-lebih indie bukanlah suatu tren. Indie hanya merepresentasikan bagaimana para musisi dapat mengekspresikan karyanya tanpa ikatan label rekaman maupun tuntutan pasar yang ada. Tidak lebih dari itu.

Idea yang menjadikan istilah indie selalu dimaknai sebagai sesuatu yang bersifat “keren”, “berbeda”, “kekinian”, dan “melawan arus cara hidup kerumunan” adalah gambaran para musisi yang selalu bersifat nyentrik, “out of the box”, dan “berbeda dari yang lain”. Semangat-semangat seperti ini yang seolah diamini oleh para pemuda dalam rangka mengaktualisasikan dirinya. Sehingga, sesuai dengan semangat pencarian jati diri pemuda (yang dapat diasosiasikan dalam psikologi perkembangan remaja-pemuda), hal ini berkembang dan memunculkan suatu makna baru.

Implikasi

Dalam fenomena ini, penulis bersifat netral. Penulis hanya mencoba untuk membongkar kembali sebenarnya makna sejati dari indie itu apa, lalu membongkar sejak kapan terdapat oposisi biner antara lagu-lagu rohani dengan lagu-lagu tidak rohani. Dalam upaya dekonstruksi ini, penulis melihat bahwa baik adanya ketika bias-bias yang terbangun di dalam pola oposisi biner itu perlu ditinjau kembali sampai menemukan makna yang sejati akan apa itu indie sebenarnya. Bagi pemuda, bergerak mengikuti tren memang dapat dikatakan keren, edgy, atau kekinian. Namun, pemuda juga perlu kritis. Pemuda dapat mendekonstruksi tren indie dan menemukan apa makna indie yang sebenarnya. Dengan upaya dekonstruksi ini, pemuda menjadi lebih memiliki kesadaran dan kebijaksanaan untuk tidak selalu bergerak mengikuti arus tren, dan dapat memilah dengan baik apa yang menjadi fenomena di sekitarnya. 

Berdasarkan analisis yang sudah telah penulis coba lakukan, bisa dilihat bahwa fenomena tren indie yang banyak digandrungi oleh pemuda masa kini memang dimungkinkan muncul karena perkembangan teknologi informasi dan budaya populer. Perkembangan budaya populer tentu memberikan banyak pengaruh bagi perkembangan para pemuda yang sedang dalam berproses untuk menemukan jati dirinya. Bintang-bintang dan publik figur indie muncul menjadi role model para pemuda. Hadirnya idola-idola tersebut tentu bukanlah suatu yang harus dipermasalahkan. Namun, melalui upaya dekonstruksi, dapat ditemukan bahwa fenomena-fenomena tersebut merupakan fenomena yang perlu untuk dilihat secara kritis dan terbuka agar tidak dimaknai secara salah dan simplisitas.

David Ryantama Sitorus
David Ryantama Sitorus

Mahasiswa Filsafat Keilaihan Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta, Kader Kependetaan (Calon Pendeta) Gereja Kristen Indonesia (GKI).

Catatan

  1. Wibowo, Wahyu S. “Iman dan Agama Yang Membebaskan” dari Teologi Yang Membebaskan dan Membebaskan Teologi. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2016

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content