fbpx

Marxisme dan Psikoanalisis: Mengulas Pemikiran Herbert Marcuse tentang Masyarakat Modern

Alienasi secara ekonomi terjadi manakala hubungan produksi berjalan berdasarkan kepemilikan pribadi oleh kelas borjuasi, sementara alienasi hasrat terjadi manakala manusia harus menekan atau menunda dorongannya untuk mendapatkan apa yang dihasrati karena tuntutan kerja, rasio, norma, ideologi dan politik

“According to Freud, the history of man is the history of his repression. Culture constraints not only his societal but also his biological existence, not only parts of the human being but his instinctual structure itself.”

Herbert Marcuse, Eros and Civilization A Philosophical Inquiry into Freud

Kutipan ungkapan di atas akan menjadi topik perbincangan kita kali ini. Merujuk ungkapan tersebut, historiografi perkembangan peradaban manusia selalu mengisahkan sejarah represivitas dan penundukan. Pembentukan peradaban yang selalu melibatkan represi tak hanya berkonsekuensi menundukan kembali manusia sebagai agensi sosial yang membangun tatanan merek sendiri. Lebih jauh dari itu, penundukan pun melibatkan serangkaian upaya sistematis lewat dominasi dan manipulasi alam.

Manusia secara khusus mengalami represi dalam dua aspek, yakni yang pertama, aspek sosial dan eksistensial-biologis. Represi secara sosial melibatkan serangkaian mekanisme pengaturan sosial yang mendispilinkan dan mengatur kehidupan masyarakat secara umum. Sedangkan yang kedua, yakni, secara eksistensial-biologis, adalah implikasi dari represi sosial, yang mengakibatkan tercerabutnya individualitas manusia dari kondisinya yang paling paripurna, seksualitas dan agresivitas.

Paragraf sebelumnya dapat memberikan gambaran pemikiran seorang Marcuse. Ulasan kali ini akan difokuskan untuk membedah semesta pemikiran Marcuse sebagai salah satu generasi pertama Mazhab Frankfurt (Frankfurt School), utamanya perihal kritik-kritik dan proyek besar transformasi sosial terhadap masyarakat modern. Kritik Marcuse yang memadukan dua disiplin ilmu yaitu Marxisme dan Psikoanalisis yang dinilai dapat menghadirkan penjelasan komprehensif perihal pengaruh tatanan masyarakat terhadap populasinya hingga pada dampak yang paling individual. Selain Marcuse, penulis akan merujuk kembali Marxisme, guna menghadirkan gambaran lebih menyeluruh terkait hubungan produksi kapitalisme di masyarakat modern

Tentang Mazhab Frankfurt

Mengulas pemikiran kritis seorang Marcuse tentu harus ditempatkan dalam kerangka besar tradisi kritis Mazhab Frankfurt. Ini disebabkan karena Marcuse adalah salah satu pentolan dari generasi pertama yang turut melanjutkan tonggak besar proyek Mazhab Frankfurt, yakni dialektika negatif, sebuah paradigma kritik masyarakat modern. Secara umum, dialektika negatif mengkritik proyeksi awal peradaban modern terhadap kemajuan yang bersandar pada rasionalitas dan teknologi justru berakibat pada ketertundukan manusia dan alam. Teknologi, ilmu pengetahuan, dan institusi yang diciptakan oleh manusia sebagai solusi atas permasalahan bersama yang hadir, justru memperbudak balik manusia melalui mekanisasi, pengaturan sistem kerja, kebudayaan hingga kebijakan politik. Konteks sejarah tersebut tentunya merujuk pada sejarah perkembangan kapitalisme, yang juga menjadi perhatian kritik dari Mazhab Frankfurt.

Kritik Mazhab Frankfurt terhadap kapitalisme tidak terlepas dari pengaruh Marxisme sebagai titik pijaknya semula. Mazhab Frankfurt menuding kapitalisme sebagai biang penyebab segala represi dan alienasi manusia. Akan tetapi, berbeda dari Marxisme ortodoks, Mazhab Frankfurt mengkritik pandangan ekonomistis yang menjadi ciri khas saudara tuanya tersebut. Lain dari Marxisme ortodoks, Mazhab Frankfurt memfokuskan analisis pada suprastruktur (ideologi, politik, kebudayaan dll). Mazhab Franklfurt menyadari bahwa langgengnya hubungan produksi kapitalisme selalu melibatkan hegemoni ideologi dan bius kebudayaan. Maka dari itu, mengkoreksi konsepsi Marx tentang determinasi ekonomi Marx, Mazhab Frankfurt berpendapat bahwa basis tidaklah mendeterminasi suprastruktur secara absolut.

Selain Marx, Mazhab Frankfurt pun mendapat pengaruh besar dari konsep dialektika Hegelian. Pengaruh ini dapat diperhatikan secara epistemologis hubungan antara manusia (roh subjektif) dan lingkungan eksternal (roh objektif) yang membentuk realitas baru (Ide). Paradigma ini kental dalam Mazhab Frankfurt, terlebih dalam kritiknya terhadap ideologi.

Psikoanalisis adalah tradisi berikutnya yang mempengaruhi Mazhab Frankfurt. Tercatat beberapa intelektual, layaknya Adorno dan Marcuse, mengadopsi psikoanalisis dalam pendekatan pemikirannya. Dalam The Dialectics of Enlightment Adorno menuliskan tentang perkembangan ego manusia dalam sejarah perkembangan peradaban. Adorno menjabarkan perkembangan ego manusia selalu merupakan pengalaman traumatis dan menyakitkan, Ia mengilustrasikannya dengan Odysseus yang mengembara ke Ithaka yang penuh dengan halang rintang dan pengorbanan.

Begitupun Herbert Marcuse dalam opusnya Eros and Civilization. Dalam epos tersebut, ia menerangkan bagaimana peradaban modern telah mencerabut manusia dari hasrat paripurnanya. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memicu industrialisasi yang telah menciptakan tatanan masyarakat kapitalisme mengubah pola sosial masyarakat. Pengaturan sistem kerja, birokrasi politik, mekanisasi, ilmu pengetahuan telah menundukan hasrat manusia atas nama rasionalitas. Hasrat manusia ditundukan dan dimanipulasi demi kepentingan akumulasi kapital.

Proses berdirinya Mazhab Frankfurt diawali pada tahun 1923 ketika seseorang bernama Felix Weil mendonasikan sejumlah uangnya untuk pembangunan Institute for Social Research di Frankfurt. Tujuan didirikannya institut tersebut adalah demi mengembangkan studi pemikiran Marxis di Jerman, khususnya terkait fenomena gerakan buruh dan asal-usul anti-Semitisme yang banyak diabaikan kaum intelektual Jerman kala itu. Pada tahun 1933, institut tersebut tepaksa ditutup akibat gejolak politik dibawah rezim Nazi yang digalang oleh Adolf Hitler. Setelah ditutup, institut tersebut pun pindah ke Amerika Serikat, tepatnya ke Universitas Kolumbia.

Pada tahun 1960 Universitas Frankfurt, yang di dalamnya mencakup Institute for Social Research, disematkan sebagai “Universitas Karl Marx”. Direktur resmi pertama institut tersebut adalah Carl Grunberg setelah mendapat pengakuan dari Menteri Pendidikan, seorang profesor Marxis dan politik  Selanjutnya universitas ini berkontribusi mengembangkan pemikiran Marxis, utamanya seputar gerakan buruh yang terangkum dalam Grunber archiv.

Mazhab Frankfurt terdiri atas tiga generasi, yakni Max Hokheimer (1895-1973), Theodor Adorno (1903 1969), Herbert Marcuse (1898-1979), Walter Benjamin (1892-1940), Frederick Pollock (1894-1970), Leo Lowenthal (1900-1993, Erich Fromm (1900-1980). Generasi ini dicirikan dengan upaya re-kualifikasi konsep dialektika Hegel.

Generasi kedua dipelopori oleh Jurgen Habermas. Generasi ini berusaha untuk memadupadankan tradisi filsafat analitis dan filsafat kontinental. Beberapa tokoh dari generasi ini adalah Ralf Dahrendorf, Gerhard Brandt, Alfed Schmidt, Klaus Offe, dan Oskar Negt. Akhirnya generasi ketiga dan keempat masing-masing diwakili oleh Axel Honneth dan Rainer Frost.

Herbert Marcuse dan Kritik Masyarakat Modern

Seperti telah disinggung sebelumnya, Herbert Marcuse identik dengan kritik terhadap masyarakat modern. Marcuse mengkritik masyarakat modern yang ada dibawah dominasi sistem kapitalisme telah mencerabut manusia dari kondisi hasrat paripurnanya. Ketercerabutan ini dicirikan dengan pergeseran dari pleasure principle ke reality principle. Marcuse dalam Eros and Civilization menyebutkan beberapa pergeseran yang terjadi, yakni:

  1. Immediate satisfaction ke delayed satisfaction: Kepuasan yang pada awalnya bersifat langsung (Immediate) ketika ada di rahim atau pangkuan sang Ibu, ketika memasuki sistem sosial kapitalisme harus mengikuti logika kapitalisme untuk mendapat kepuasan. Mislanya, ketika ingin mendapat barang yang diinginkan harus bekerja menjadi buruh terlebih dahulu.
  2. Pleasure ke restraint of pleasure: Mulanya, kegiatan manusia yang bersifat langsung berorientasi untuk meraih kesenangan lewat kebutuhan. Kini, manusia harus menekan kesenangannya sendiri untuk bisa meraih kesenangan yang diinginkan. Di sini terdapat paradoks mengingat untuk mendapat kesenangan ataupun kepuasan manusia harus menggadaikan kesenangannya terlebih dahulu untuk bekerja maupun menjalankan kewajiban sosial.
  3. Joy (play) ke toil (work): Prinsip mendasar manusia dalam menjalani kehidupan pada mulanya adalah kesenangan, waktu luang, dan kebebasan. Kini, manusia terikat pada aturan dan sistem kerja. Kegiatan manusia tidak lagi berlandaskan waktu luang dan kebebasan,
  4. Receptivness ke Productivness: Manusia pada mulanya selalu menerima apa yang diberikan oleh Sang Ibu, namun, semenjak memasuki lingkup sosial manusia harus berproduksi untuk memenuhi kebutuhannya.

Beberapa poin di atas adalah manifestasi pergeseran dari pleasure principle ke reality principle. Pergeseran ini menandai suatu proses yang traumatis dalam diri manusia, karena melibatkan proses alienasi. Erich Fromm menjelaskan alienasi sebagai terasingnya manusia dari dirinya sendiri. Manusia tidak punya lagi kendali atas perilakunya sendiri, dan tidak mampu untuk mengenali hasratnya sendiri. Ini karena pemenuhan hasrat yang semula bersifat langsung kini harus diperantarai oleh kerja. Dengan kata lain dorongan untuk memenuhi hasrat kebutuhan disublimasi oleh sistem sosial. Dorongan untuk memperoleh kebutuhan secara langsung dari dorongan hasrat paripurnanya (id) juga harus ditekan oleh tuntutan dan aturan kerja. Dengan kata lain, hasrat manusia juga mengalami represi dari sistem sosial

Marx sendiri menjelaskan alienasi sebagai sesuatu yang lekat dalam kapitalisme. Kelas buruh, dalam relasi kerja kapitalisme, tidak memiliki kendali atas kerjanya sendiri. Dalam Economic & Philosophic Manuscript of 1844 Marx menuturkan bahwa kelas buruh mengalami keterasingan dari produk dan perilaku produksi itu sendiri. Ini karena material produksi (objects of production) dan alat produksi (means of production) dimiliki secara privat oleh para kapitalis. Implikasinya kelas buruh harus menggadaikan kerjanya kepada si kapitalis agar mendapat upah. Pada titik ini, kelas buruh tidak memiliki otoritas atas dirinya dan harus menggantungkan hidupnya pada korporasi.

Alienasi tersebut juga semakin difasilitasi oleh pengorganisasian kerja secara sosial lewat teknologi dan ilmu pengetahuan. Teknologi membuat sistem kerja semakin efisien dan terstruktur, sementara ilmu pengetahuan memungkinkan operasionalisasi teknologi dan menjadi dasar legitimasi. Hal senada diutarakan Marcuse dalam opus Manusia Satu-Dimensi bahwa masyarakat modern dibawah sistem ekonomi kapitalisme telah menundukan manusia dengan teknologi yang diciptakannya sendiri. Masyarakat kapitalisme modern tumbuh dengan bercirikan rasionalitas instrumental.

Pada dua paragraf sebelumnya dapat disaksikan manusia mengalami represi secara berganda. Pertama manusia (termasuk kelas buruh) direpresi oleh sistem masyarakat yang mengalienasi manusia secara massal. Kedua, dalam level individual, manusia teralienasi dari hasratnya sendiri lewat sublimasi dan represi. Kondisi ini disebut oleh Marcuse sebagai surplus-repression, yakni ketika manusia mengalami represi secara berganda, secara sosial dan individual.

Represi, sublimasi, surplus-repression ataupun bentuk pengondisian lainnya tidak hanya melanda kelas buruh, akan tetapi juga masyarakat secara umum. Mengelaborasi konsep Michel Foucault, dalam konteks kekuasaan teknologi dapat dimanfaatkan sebagai mekanisme kekuasaan via pendsiplinan (dalam hal ini represi dan sublimasi). Teknologi dalam terma Foucault tidak hanya mencakup pengertiannya yang harafiah, melainkan juga seperangkat institusi dan ilmu pengetahuan. Dalam konteks masyarakat modern, manusia didisiplinkan melalui birokrasi, sistem kerja dan ilusi-ilusi citra media.

Sistem sosial kapitalisme di era modern selalu dilengkapi dengan serangkaian teknologi institusi, hukum, politik, ekonomi, ideologi hingga agama yang senantiasa mengoperasikan pendisiplinan. Pendisiplinan sebagai modus operandi dari sistem yang hadir selalu memiliki tujuan untuk mencegah berbagai penyimpangan. Ini karena dalam sistem kapitalisme, penyimpangan secara sosial dan ekonomi adalah dapat menghambat produktivitas, sehingga dapat secara simultan menghambat proses akumulasi profit. Oleh karena itu, upaya-upaya pendisiplinan harus senantiasa dilakukan demi keberlangsungan sistem.

Menurut pandangan Marcuse, sistem sosial kapitalisme modern lekat dengan represivitas. Ini menyusul Marcuse, yang mengutip Freud, bahwa penyimpangan-penyimpangan sejatinya adalah kateksis dari hasrat paripurna manusia yang menuntut untuk dipenuhi. Mengatasi letupan-letupan hasrat tersebut, sistem sosial bertindak sebagai anti-kateksis yang merepresi hasrat tersebut. Misalnya melalui larangan LGBT+Q yang mendapat legitimasinya memalui hukum dan agama di suatu negara. Ini tentu memberikan tekanan bagi mereka yang berorientasi seksual LGBT+Q, sehingga harus terpaksa mengikuti hukum dan agama berlaku dengan berlagak heteroseksual.

Selain merepresi, sublimasi menjadi modus lain dari pengondisian hasrat. Hal ini erat kaitannya dengan “pengalihan” kegiatan manusia yang dinilai menyimpang atau tidak produktif pada kegiatan yang dinilai produktif. Dalam hal ini, kateksis hasrat manusia secara sistematis dialihkan orientasinya untuk dikonversikan berdasarkan indikator sosial. Misalnya kebijakan menyalurkan dorongan-dorongan menyimpang (erotis dan agresif) pada kegiatan seperti bekerja, berolahraga, berkesenian dll.

Masyarakat Tanpa Represi?

Setelah menyimak ulasan singkat kritik Marcuse pada masyarakat modern, patut juga diperbincangkan jalan keluar yang Marcuse tawarkan.

Berbeda dengan Theodor. W. Adorno, Max Hokheimer dan teoretisi Mazhab Frankfurt kebanyakan yang urung menggagas sebuah tatanan masyarakar alternatif, Marcuse beranjak dengan sebuah proyek besar transformasi sosial, yakni mewujudkan masyarakat non-represif. Antitesis masyarakat yang digagas oleh Marcuse tidak sama seperti apa yang diperjuangkan oleh kaum Marxis ortodoks. Kaum Marxis ortodoks (Marxis, Marxis-Leninis, Marxis-Leninis-Maois) yang memperjuangkan komunisme bagi Marcuse tidaklah akan menciptakan masyarakat tanpa represi. Sebaliknya, bagi Marcuse tatanan yang diperjuangkan kaum Marxis ortodoks hanya akan mengubah bentuk represi-nya saja, tidak menghilangkannya.

Ini karena perjuangan Marxis orotdoks sangat kental dengan muatan-muatan ideologis. Bagi Marcuse, perjuangan yang bersandarkan pada ideologi akan menutup kemungkinan-kemungkinan jalan keluar alternatif lain. Selain itu, ideologi yang selalu mendasarkan pada indoktrinasi etika dan pengetahuan, akan kembali menjebak manusia dalam kubangan alienasi. “Dalam setiap revolusi akan selalu ada pengkhianatan atas revolusi” demikian tukas Marcuse dalam Eros and Civilization.

Marcuse melihat realitas pertentangan Blok Barat dan Blok Timur. Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat yang berhaluan sistem kapitalisme telah berujung pada kesengsaraan masyarakat, khususnya kelas buruh. Uni Soviet di kubu Blok Timur yang berhaluan sistem sosialisme galangan Stalin pun tidak mencerminkan situasi yang lebih baik. Lewat sistem khas otoritarianisme, Uni Soviet ditenggarai sering membungkam, bahkan merenggut korban jiwa lewat sistem ekonomi dan negara yang terlampau sentarlistis-birokratis.

Lantas solusi apa yang ditawarkan oleh Marcuse? Tidak seperti Marx yang menjunjung tinggi komunisme dan kediktatoran proletariat, Marcuse tidak mendefinisikan secara khusus bentuk tatanan masyarakat yang dimaksud. Akan tetapi, Marcuse memberikan pendasaran-pendasaran masyarakat non-represi yang ia gagas. Marcuse meletakan pendasaran tersebut manakala melakukan pengujian sistematis terhadap konsep revolusi ala Marxisme ortodoks.

Marcuse menekankan bahwa arah perjuangan masyarakat harus menuju pada tatanan yang berlandaskan kooperasi dan solidaritas. Dalam hal ini, tatanan tatanan masyarakat inu tidak berlandaskan pada kolektivitas sentralisme-demokratis ala kediktatoran proletariat. Sebaliknya, kolektivitas yang dimaksud Marcuse harus berlangsung secara setara. Dengan kata lain, semua kalangan, termasuk laki-laki dan perempuan, secara kolektif menentukan kebutuhan dan aspirasinya masing-masing. Singkat kata, kolektivitas dan semangat menentukan nasib sendiri (self-determination) adalah arah perubahan masyarakat yang baru.

Pengujian Marcuse terhadap Marx juga menghasilkan gagasan bahwa kelas buruh (proletariat) tidak bisa lagi sepenuhnya menjadi tulang punggung revolusi. Ini karena kelas buruh tidak hanya berkontradiksi dengan kapitalisme secara antagonis, namun juga serikat buruh itu sendiri sebagai alat perjuangannya. Dalam pandangan Marcuse, serikat buruh seringkali justru memoderasi perjuangan kelas buruh dalam revolusi. Oleh karena itu, kelas buruh hanya bisa menjadi revolusioner ketika mereka mampu untuk menentang otoritas serikat dan membebasakan diri darinya, dan menggalang aliansi dengan para intelektual dan kaum-kaum marjinal lainnya. Dengan kata lain, Marcuse menekankan bahwa revolusi masyarakat tanpa represi tidak bisa berlangsung di bawah vanguardianism partai dan serikat buruh. Revolusi harus muncul dari gerakan yang spontan.

Marcuse terlihat sangat terinspirasi dengan gerakan Paris 1968. Gerakan Paris 68 memang diinisiasi oleh kaum intelektual situasionis dan anarkis yang menggalang aliansi dengan kelas buruh yang membangkang dari serikat buruhnya. CGT, serikat buruh Perancis berideologi komunis kala itu memang seringkali mendemoderasi perjuangan hak-hak normatif anggota buruhnya. Tak hanya itu, dikotomi elit-non elit dalam serikat berakibat pada diskriminasi dalam serikat buruh tersebut, utamanya bagi buruh-buruh asing. Mencermati kontradiksi internal dalam serikat buruh tersebut, para situasionis pun mulai melancarkan propaganda melalui usaha-usaha edukasi. Edukasi bahasa Perancis bagi para buruh-buruh asing akhirnya berhasil menarik keluar mereka dari serikat yang mendiskriminasi mereka. Akhirnya, kelas buruh, baik lokal maupun asing, para situasionis, anarkis dan mahasiswa pun menyatukan diri dalam sebuah komite aksi yakni Citroen Action Commitee. ***

Sebagai sebuah khazanah ilmu pengetahuan, eksperimentasi yang dikembangkan oleh Mazhab Frankfurt telah bersumbangsih besar, khususnya dalam tradisi pemikiran Marxisme. Mazhab Frankfurt mampu menghadirkan terobosan pengembangan Marxisme dengan mengolaborasikannya dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya. Hasilnya, Teori Kritis sebagai platform besar Mazhab Frankfurt mampu menghadirkan suatu paradigma segar dalam pemikiran Marxisme, yang semula, dalam kerangka Marxisme ortodoks, terlampau ekonomistis. Teori Kritis membuktikan bahwa kritik atas wilayah suprastruktur (ideologi, politik, agama, pendidikan, dan lain-lain) tak kalah krusial dalam membongkar selubung kekuasaan dalam masyarakat modern di bawah sistem kapitalisme.

Perpaduan antara Marxisme dan Psikoanalisis yang dikembangkan Mazhab Frankfurt terbukti mampu menawarkan perspektif kritis terhadap realitas masyarakat modern. Ulasan pemikiran kritis Marcuse sebelumnya menjadi contoh bagaimana masyarakat modern tidak hanya mengalami dominasi dalam wilayah ekonomi (alienasi secara produksi), melainkan juga pada wilayah hasrat paling paripurna dari manusia itu sendiri. Alienasi secara ekonomi terjadi manakala hubungan produksi berjalan berdasarkan kepemilikan pribadi oleh kelas borjuasi, sementara alienasi hasrat terjadi manakala manusia harus menekan atau menunda dorongannya untuk mendapatkan apa yang dihasrati karena tuntutan kerja, rasio, norma, ideologi dan politik. ***

Daftar Pustaka

Coradetti, Claudio. 2013. The Frankfurt School and Critical Theory di https://www.iep.utm.edu/frankfur/ (diakses 25 Mei 2019)

Foucault, Michel. 1988. Technologies of the self: A seminar with Michel Foucault. Amherst: University of Massachusetts Press.

Fromm, Erich. 1966. Marxism, Psychoanalysis and Reality di https://www.marxists.org/archive/fromm/works/1966/psychoanalysis.htm (diakses 25 Mei 2019)

Gregoire, Roger & Perlman, Fredy. Workers-Student Action Committees. France May ’68. Detroit: Black & Red

Marcuse, Herbert. 1956. Eros and Civilization A Philosophical Inquiry into Freud. London: Routledge

Marcuse, Herbert. 2016. Manusia Satu-Dimensi. Yogyakarta: Pustaka Promethea

Marcuse, Herbert. 1968. Re-Examination of the Concept of Revolution. Diogenes, 16(64), 17–26.

Marx, Karl.1844. Economic & Philosophic Manuscript of 1844. Buffalo, N.Y: Prometheus Book

Marx, Karl. 1990. Capital Vol.I: A Critique of Political Economy. London. Penguin Books

Whitebook, Joel. 2004. The Marriage of Marx and Freud: Critical Theory and Psychoanalysis. Carmbridge University Press,-, pp 74-102



Mahasiswa biasa, kolektor Pdf Full-Timer, diskusi di LSF Nadhliyin, dan Aktivis Part-Timer di Front Mahasiswa Nasional (FMN) dan Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK).

One Response

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content