Memahami cara pandang Cina tentang hukum internasional

Ilustrasi hukum di Cina karya Orbis Act
Ilustrasi hukum di Cina karya Orbis Act

Laut Natuna Utara (nama ini baru dipakai pada 2017 sejak Indonesia memutuskan mengubah nama untuk wilayah kedaulatannya dalam Laut Cina Selatan) masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan batas kontinen Indonesia berdasarkan United Nations Convention in the Law of the Sea (UNCLOS) yang disahkan pada 1982 dan hukum laut internasional. Berdasarkan UNCLOS tersebut, Indonesia memiliki hak berdaulat atas Laut Natuna Utara, yaitu untuk eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan pemanfaatan sumber daya alam yang ada di wilayah tersebut. Sedangkan untuk negara atau kapal asing lain tidak; namun mereka masih diperbolehkan untuk sekedar melintas.

Cina yang merupakan salah satu negara yang ikut menandatangani UNCLOS justru yang paling sering melakukan pelanggaran hak maritim di perairan Natuna. Pelanggaran yang paling sering terjadi ialah illegal fishing. Pelanggarannya mulai tercatat pada tahun 2009, di mana pada tahun ini mereka mengklaim kembali peta nine-dash-line atau sembilan garis putus-putus. Klaim tersebut merupakan upaya untuk menguasai hampir 90% Laut Cina Selatan.

Terutama baru-baru ini muncul berita terkait Cina yang mengirimkan nota protes kepada Indonesia terkait kegiatan pengeboran minyak dan gas alam (migas) di kawasan laut lepas di pantai Natuna Utara. Dalam nota protes itu mereka secara terang-terangan meminta Indonesia menghentikan kegiatan pengeboran di ring lepas pantai sementara karena bersinggungan dengan klaim wilayah melalui prinsip nine-dash-line. Secara terpisah mereka juga mengirim nota protes tentang latihan militer Garuda Shield yang dilakukan bersama AS pada Agustus lalu. Mereka khawatir latihan itu akan mengganggu stabilitas kawasan. Selain itu, pada bulan Agustus lalu, Kapal Pengawas Indonesia memantau adanya kapal riset atau kapal survei milik Cina yang diduga kuat sedang melakukan penelitian ilmiah di ZEE Indonesia. Jika terbukti benar maka penelitian yang dilakukan oleh pihak Cina tersebut merupakan pelanggaran besar terkait hak berdaulat Indonesia atau Laut Natuna Utara. Dengan demikian mereka tidak menghormati dan mengabaikan hukum internasional, termasuk UNCLOS.

Pantang mundur mempertahankan klaimnya atas wilayah teritorial yang masuk dalam peta nine-dash-line-nya tersebut membuat hubungan antara Cina dan Indonesia kerap memanas. Terhitung sejak 2009 sampai akhir 2021, dapat dikatakan mereka tidak pernah jera dengan sanksi yang telah diterapkan Indonesia atas pelanggaran hak maritim yang terjadi di perairan Natuna. Indonesia sudah sering kali memperingati Cina untuk menghormati hukum internasional yang berlaku, termasuk UNCLOS 1982 terkait Laut Cina Selatan.

Lantas bagaimana sebenarnya Cina memandang hukum internasional? Menjadi sangat penting bagi kita untuk memahami sedikit banyak terkait alasan atau dasar perilaku mereka di Laut Cina Selatan. Bagaimanapun juga dengan tidak menghormati hukum internasional yang telah mereka tandatangani telah memberikan kesan buruk bagi integritas mereka sendiri.

Sebagai peradaban dengan budaya dan struktur masyarakat yang sudah berusia berabad-abad, Cina memiliki gagasannya sendiri tentang perilaku sosial baik domestik maupun internasional. Dalam tataran domestik, perilaku sosial masyarakatnya didasarkan pada filosofi Li dan Fa. Li (yang merupakan konsep Konfusianisme; paling dekat diterjemahkan sebagai “appropriateness) mengatur perilaku setiap elemen masyarakat berdasarkan pangkat atau tingkatannya masing-masing, misalnya hubungan antara ayah dan anak; suami dan istri; kakak dan adik. Oleh karena itu, mematuhi Li adalah satu-satunya cara untuk menjaga keharmonisan masyarakat.

Berbeda dengan Li, Fa adalah norma untuk mendisiplinkan elemen masyarakat yang mengancam ketertibannya. Fa tidak dilihat sebagai hukum yang menjamin atau melindungi hak-hak sipil melainkan hanya sebagai sarana untuk mendisiplinkan pelanggaran hukum.

Sederhananya, Li merupakan standar kebajikan dan keluhuran bagi masyarakat Cina, sedangkan Fa merupakan upaya penertiban dengan menjatuhkan hukuman. Dengan demikian Li menjadi jauh lebih vital dalam mengatur hubungan manusia daripada Fa. Peran Fa tidak lain sebagai pelengkap Li. Dalam Li, para penguasa diharapkan untuk berperilaku benar dan memberi contoh dalam kepemimpinannya. Pemimpin yang baik akan dihormati, sebaliknya yang kejam akan digulingkan. Dari konsep itu Konfusius menekankan pentingnya mendapatkan rasa hormat dari orang-orang daripada memaksakan cara-cara koersif, seperti Fa, karena Fa cenderung disalahgunakan dan dimanipulasi demi kepentingan pribadi.

Dalam politik dan masyarakat Cina modern, alih-alih memiliki aturan hukum, para pemimpin negara lebih memilih memainkan peran sebagai pembela tatanan moral (lebih menghidupi Li daripada Fa); memutuskan mana yang benar dan salah.

Oleh karena itu, Fa, atau hukum dalam perspektif Konfusianisme menjadi kurang penting dan bukan merupakan sarana utama untuk menjaga ketertiban sosial. Menurut mereka, berurusan dengan hukum bisa menjadi ancaman serius bagi kredibilitas seseorang. Sebagai peradaban yang menjunjung tinggi nilai kehormatan dan kredibilitas, Cina tidak akan membiarkan persoalannya dengan negara lain diselesaikan secara hukum internasional. Bukan karena takut kalah dalam perkara, tetapi karena tindakan ke pengadilan itu sendiri dianggap memalukan.

Dalam tataran internasional, hubungan luar negeri Cina didasarkan pada prinsip-prinsip politik dan sosial yang sama yang diterapkan secara internal dalam masyarakat Cina yang keduanya terkait erat. Prinsip ini dikenal sebagai tributary system. Mark Mancall merangkum tributary system ini dalam lima elemen:

  1. Hubungan hierarkis dengan Cina sebagai otoritas pusat dan penerima upeti, sedangkan negara tetangga atau yang lebih kecil sebagai pembayar upeti;
  2. Cina menggunakan budaya, norma, dan kebajikannya sebagai dasar tatanan dunia;
  3. Cina mempertahankan keunggulannya tanpa menyeimbangkan kekuatan;
  4. Dengan kebajikan sebagai sumber kekuasaan, sebuah negara menjadi kuat karena kebajikan dan peradabannya yang agung;
  5. Batas-batas antar negara terutama bersifat budaya, bukan politik atau yurisdiksi.

Dengan demikian, sistem ini bersifat bilateral, tetapi hanya berpihak pada Cina. Sistem ini menempatkan Cina sebagai pusat sistem, dikelilingi oleh negara-negara lain yang berperan sebagai bawahan atau pembayar upeti. Namun, menurut Zhang Yongjin dan Barry Buzan, tributary system ini bersifat tidak memaksa, melainkan sukarela. Bagi Cina, tributary system adalah kerangka kerja untuk mendapatkan pengakuan atas kebajikan dan peradabannya yang unggul. Akan tetapi Cina harus tetap berperilaku murah hati dengan mengambil tanggung jawab untuk membantu negara-negara pembayar upeti.

Pada abad ke-19, ketika kekuatan Barat menyusup ke dalam urusan Cina, sistem anak sungai ini pun mengalami perubahan. Di satu sisi mengharapkan Barat untuk menyesuaikan diri dengan praktik hubungan luar negerinya yang hierarkis dan non-egaliter, sementara di sisi lain, Barat sama sekali tidak bisa menerima tributary system, karena mereka percaya pada prinsip kedaulatan. Barat memiliki keyakinan kuat bahwa sistem hukum internasional Eropa mewakili modernitas dan harus menjadi norma untuk mengatur hubungan di antara negara-negara beradab. Meskipun demikian Cina tidak terkesan dengan hukum, keunggulan militer serta teknologi yang maju yang ditawarkan oleh Barat karena budaya dan norma kebajikanlah yang terpenting bagi Cina.

Peristiwa-peristiwa tidak menguntungkan bagi Cina, seperti intrusi kekuatan Barat, Perang Candu, penerapan perjanjian yang tidak setara, dan perebutan konsesi ekonomi, mengakibatkan kehancuran dominasi budaya dan keunggulan politik Cina di hadapan Barat. Karena kekalahannya ini, mereka menandatangani Perjanjian Nanjing pada tahun 1842. Cina mau tidak mau harus mengadopsi norma-norma Barat dalam mengatur hubungan luar negerinya. Termasuk dalam ikut serta menandatangani dan menyetujui UNCLOS pada 1982.

Mengadopsi materi dan praktik Barat dalam menangani hubungan luar negeri tidak berarti harus merangkulnya; posisinya hanya dimaksudkan untuk membela Cina dan menyelamatkan peradabannya dari kerugian yang lebih besar. Perjanjian yang dibuatnya dengan Barat mencerminkan dominasi kekuatan Barat, tetapi Cina tidak menganut gagasan supremasi hukum. Mereka menganggap perjanjian hanya sebagai perjanjian tertulis, tanpa menghormati lembaga hukum yang mengaturnya. Narasi sejarah ini membuat mereka sangat curiga terhadap hukum internasional yang didominasi Barat.

Yesika Sianipar

Mahasiswi Pasca Sarjana STF Driyarkara Jakarta

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.