fbpx

Menjadi Tuhan

Menjadi manusia yang sempurna tidaklah mungkin. Katanya, kesempurnaan hanya milik Tuhan. Maka, tak jarang, jika ada orang yang tidak pernah merasa salah tetapi selalu menyalahkan orang lain, dialah Tuhan.
The Interval At The Theatre karya Charles Henry Tenre

Menjadi manusia yang sempurna tidaklah mungkin. Katanya, kesempurnaan hanya milik Tuhan. Maka, tak jarang, jika ada orang yang tidak pernah merasa salah tetapi selalu menyalahkan orang lain, dialah Tuhan. Anselmus, tokoh dari awal masa kekristenan pernah berkata, bahwa Tuhan adalah segala sesuatu yang lebih besar daripada manusia, esensi yang tak dapat dipikirkan lagi. Dengan asumsi dasar tersebut, maka dapat pula secara sederhana ditarik kesimpulan bahwa hanya Tuhan merupakan yang paling benar, dan hanya Tuhanl yang mampu memberikan label benar atau salah. Tuhan yang saya maksud adalah Tuhan yang sebenarnya, Tuhan yang imanen sekaligus transenden, ada serta dipercaya oleh manusia. Namun di dalam keseharian, kita dapat melihat fenomena yang lain di mana banyak manusia berhasrat menjadi Tuhan.

Selebriti dan Narkotika

Akhir-akhir ini lini masa kita digegerkan dengan berita-berita seputar pandemik Covid-19. Virus mematikan ini sudah terbukti ampuh mengeliminasi manusia dari dunia. Lihat saja di laman https://www.worldometers.info/coronavirus/, per tanggal 16 April 2020 tercatat sudah lebih dari 134 ribu jiwa yang meninggal akibat virus tersebut. Pandemi ini pun pada akhirnya sangat membatasi ruang gerak. Isolasi mandiri, lock-down, PSBB, hingga pemberlakuan jam malam menjadi alternatif yang diambil sejumlah negara untuk menekan angka persebarannya. Pembatasan ruang gerak yang tertuang dalam social distancing dan physical distancing menyadarkan bahwa manusia butuh kebebasan untuk mengekspresikan diri di ruang terbuka. Kita butuh kebebasan. Saat kebebasan tersebut dibatasi, apalagi secara ketat, masyarakat seperti merasa masuk ke dalam neraka sebagaimana Garcin, Inez, dan Estelle dalam Huis Clos karya Jean Paul Sartre.

Terbatasnya ruang gerak kita, ternyata justru memberikan sensasi tersendiri kepada beberapa pihak untuk melakukan kebiasaan-kebiasaan, yang sayangnya membahayakan diri sendiri. Kebiasaan tersebut tak lain adalah soal penggunaan narkotika oleh para selebriti yang notabene merupakan tokoh publik. Sebagai tokoh publik tentu saja, para selebritis dan keseluruhan hidupnya menjadi panutan penggemarnya. Berbagai gaya selebriti ditiru. Terdapat narasi identitas yang disosialisasikan oleh para selebriti yang kita kenal dengan sebutan branding image. Mulai dari gaya rambut, pola hidup sehat, celetukan yang khas, hingga tato. Kehidupan para selebriti seringkali menjadi penyemangat para penggemarnya, manakala mereka hidup hanya cukup untuk makan hari ini saja. Di hadapan penggemarnya, para selebriti seperti oase di padang gurun; menyejukkan dan memberi harapan. Namun sayangnya, profesi selebriti semakin hari semakin dekat dengan narkotika. Kita ketahui bersama bahwa Jenifer Dunn, Tora Sudiro, Iwa K, Ello, Ridho Roma, Nunung Srimulat, dan yang terakhir ini adalah Tio Pakusadewa adalah jajaran selebriti yang sudah terlebih dulu tersandung kasus narkotika. Entah esok atau lusa siapa lagi selebriti yang akan tertangkap, tidak ada yang tahu.

Identitas adalah sifat dan karakter, bisa pula diartikan sebagai relasi dan peran sosial dan keanggotaan dalam kelompok tertentu yang mendefinisikan seseorang. Secara mendasar, identitas terbentuk karena manusia mampu menjadikan dirinya sebagai objek pemikiran. Dalam hal ini para selebriti dengan segala kehidupannya. Mereka mendefinisikan dirinya sebagai sekelompok orang yang pada prinsipnya memiliki peran untuk menghibur khalayak ramai lewat media televisi. Karena kemampuannya di depan layar kacalah mereka digemari khalayak ramai. Sebagai pengetahuan akan diri, identitas terbentuk melalui narasi. Siapa saya, ditentukan oleh masyarakat yang memaknai keberadaan saya. Dengan demikian, narasi menentukan identitas seseorang. Walaupun demikian adanya, narasi membutuhkan ingatan. Dalam benak para fans, para selebriti adalah tokoh publik yang patut dicontoh, namun dengan deretan selebriti yang terjerat kasus narkotika, para fans lambat laun tahu, bahwa menjadi seorang selebriti artinya menjadi pemakai obat haram tersebut. Hal itu terjadi lantaran ada konsolidasi ingatan yang terasosiasi dengan profesi selebriti.

Tuhan masa kini

Sadar ataupun tidak, banyak di antara kita yang berniat menjadi Tuhan. Tuhan masa kini. Sejalan dengan salah satu pandangan ateisme yang mengatakan bahwa manusia adalah Tuhan bagi sesamanya. Prinsip tersebut, pada dasarnya ingin mengatakan kepada kita bahwa hanya manusialah, makluk yang mampu memberi makna pada apapun yang ada di hadapannya, termasuk pada figur manusia lain yang ada di hadapannya: termasuk kepada para selebriti. Kita semua memiliki kecenderungan ke arah itu. Kita mengidentifikasi orang lain berdasarkan subjektivitas ilutif. Dengan mudahnya kita memberi cap dan label kepada para selebriti, bahwa mereka adalah pemakai narkotika, tanpa melihat faktor lain yang mempengaruhinya, dan tanpa bersusah payah melihat bahwa ada juga selebriti yang tidak memakai narkotika.

Cap yang dilabelkan pada orang lain seakan-akan adalah sesuatu yang mutlak, namun sebenarnya hanyalah implikasi dari emosi yang membabi buta. Dengan emosi yang demikian meluap-luap, kita menuhankan diri kita sendiri. Tuhan masa kini, telah menjamur di seluruh pelosok negri. Sangat mudah untuk menjadi Tuhan masa kini, yakni dengan menyerahkan seluruh hidupmu ke dalam genggaman emosi. Secara etimologis, emosi berasal dari bahasa Latin, yang kurang lebih artinya adalah adanya suatu gerakan yang bergerak secara lebih atau dapat dikatakan berlebihan. Sigmund Freud seorang ahli psikoanalisis pernah mencontohkan, ketika seorang perempuan mengalami fobia pada saat ia melihat rerimbunan pohon. Perempuan itu bukan takut pada rerimbunan pohon tetapi karena rerimbunan pohon tersebut mengingatkan memorinya pada suatu insiden seksual yang pernah dialaminya. Dalam kasus itu, perempuan tersebut hanya melakukan penolakan atas rerimbunan pohon tersebut. Kondisi emosional seperti ini tidak mengetahui apa-apa mengenai ciri atau simbol tindakannya. Di dalam diri perempuan tersebut tidaklah terdapat sesuatu selain rangsangan emosi. Oleh karena itu, bagi psikoanalisa, kemarahan seorang perempuan merupakan simbol bermakna sesuatu yang bersembunyi di baliknya.

Premis tersebut terkesan membela emosi sebagai sesuatu yang bisa dilumrahkan begitu saja. Namun jika kita melihat dari kacamata lain, kita akan melihat bahwa terlalu naïf mempostulatkan ada kebermaknaan lain dari emosi yang membabi buta. Emosi tetaplah emosi dan harus dikontrol. Jika kita jatuh ke dalam emosi, dan emosi tersebut membelenggu diri kita, niscaya ada hal yang tak beres dalam diri kita dan harus dibenahi perlahan.

Kehendak untuk menjadi Tuhan dengan jalan menyerahkan sepenuhnya hidup kita ke dalam emosi yang membabi buta adalah suatu jalan yang kelam. Emosi tersebut bisa memberikan suatu presuposisi tertentu. Mungkin saja karena apa yang kita harapkan dari sang idol tidak terpenuhi. Lagi-lagi, para selebriti yang terperangkap oleh obat haram narkotika tidak bisa kita tuduh seperti seorang kriminal, karena dalam sudut pandang tertentu mereka dan seluruh pemakai narkotika di dunia ini pada dasarnya adalah korban.

Lahir di Jakarta pada tanggal 8 Juli 1989. Menyelesaikan studi magister Filsafat di Stf Driyarkara tahun 2017. Buku yang sudah terbit antara lain: Perempuan, Moralitas, dan Seni (Ellunar Publisher, 2018), dan Peran Imajinasi dalam Karya Seni (Rua Aksara, 2018). Saat ini aktif menjadi sutradara teater, dan mengajar di beberapa kampus swasta, serta menjadi peneliti di Yayasan Pendidikan Santo Yakobus, Jakarta.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content