fbpx

Nutut Ne Laku, Ngentekne Wektu

Manusia hidup tidak lebih dari ibarat "Sandal Jepit", menjalani saja, menghadapi saja, melewati saja

Manusia tidak serta merta hidup ndelujur saja, tidak juga melulu pasrah bongkokan. Hal tersebut dibahas misalnya dalam Islam yang memiliki beberapa aliran pemikiran, di antaranya: Yang pertama, Qadariyah, satu aliran yang berpendirian bahwa manusia memiliki kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya, sebuah free will dan free act. Bukan free wifi.

Kedua, Jabariyah di mana paham ini berpendapat bahwa qada dan qadar Tuhan yang berlaku bagi segenap alam semesta ini, tidaklah memberi ruang atau peluang bagi adanya kebebasan manusia untuk berkehendak dan berbuat menurut kehendaknya. Paham ini menganggap semua takdir itu dari Allah. Semua diasosiasikan dengan kemahakuasaan Allah dalam mengatur segalanya, termasuk bagian terkecil dalam kehidupan bahkan gas manusia sekalipun.

Menurut Heidegger, manusia ada di dunia begitu saja tanpa tahu dari mana asalnya dan ke mana ia menuju. Pernyataan itu bisa disebut juga dengan istilah “faktisitas”, kenyataannya bahwa manusia bersifat niscaya. Manusia tidak pernah ditanya, apakah ia ingin hidup atau mati. Manusia “begitu saja”, “ada di sana” ada di dalam dunia. Heidegger menyebutnya sebagai “keterlemparan”, gowerfen-sein. Manusia tidak diakibatkan oleh dirinya, melainkan ia muncul dari asalnya, yaitu terserah kepada dirinya, untuk meng-ada sebagai diri ini atau itu. Ia dilemparkan ke dalam keberadaan itu sebagai yang bertanggung jawab atas adanya dirinya yang tidak diciptakan dengan sendirinya itu.

Usaha-usaha pencarian oleh manusia dalam praktiknya menjadi berbeda-beda. Di antaranya ada yang menganggap sesuatu yang ada dan harus dikejar adalah materi, harta kekayaaan, maka yang selalu menjadi prioritas dalam hidupnya adalah upaya pencapaian itu sendiri. Apapun caranya. Ada lagi yang menganggap bahwa pangkat, jabatan, merupakan sebuah kemuliaan tiada tara yang harus direngkuh, maka setidaknya yang bersangkutan harus berada pada posisi “belajar dadi manungso”, karena apapun yang orientasinya politik tidak lain dan tidak bukan adalah perbincangan mengenai obyeknya, yaitu manusia. Ada lagi upaya pengejaran ilmu, pahala, surga, dan lain sebagainya.  Masih banyak.

Dalam satu kesempatan, Mbah Liem, Ponpes Al-Muttaqien Pancasila Sakti pernah ngendikan demikian:

“Akeh wong podo golek kasekten, nggoleki wiridan amalan nganti bingung, padahal anane kasekten kuwi ono nang Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh, saben dino diucapke ning ora ngerti manfaate. Mongko ora usah nggoleki kasekten, sing penting silaturrahim mengko lak sakti dewe. Kasekten kuwi koyo Gedang Empuk Watu Atos, wong urip wis dijamin sakti karo Gusti Allah, tinggal percoyo po ora”.

Manusia selalu mengejar apa yang ia anggap “paling penting” seturut tafsirannya.  Juga mencari apa yang menurutnya bisa menjadi penyebab ia menjadi berbeda dari yang lain. Ingin sakti, kuat, pintar, dan strata sosial yang tinggi. Batas pandangan hidup menjadikan penafsiran-penafsiran akan hidup teruslah berkembang sedemikian rupa.

Tarekat Kala Nyana

“Carilah guru untuk menuntun jalan hidupmu!” Ujar seorang yang mendaku sufi milenial. Setelah seseorang yang diperintah oleh sufi milenial tersebut tak kunjung mendapatkan guru, akhirnya seorang itupun berkeluh kesah. Dalam hatinya selalu berpengharapan bahwa di ujung jalan pasti secercah harapan muncul. Pucuk dicinta ulampun tiba.  Seorang alumni timur tengah pulang kampung ke Indonesia, boyong dari perguruannya di timur tengah. Namun apa yang terjadi, semua yang berbau Jawa ia menjadi alergi, semua yang berbau Madura ia menjadi mual, dan semua perangkat kebudayaan nusantara disangkanya sebagai sebab utama tertutupnya pintu surga.

Cerita di atas (mungkin) hanya ada dalam kisah-kisah rekaan dan setting-an kabar di media. Sebenarnya dalam kenyataannya tidak ada. Dimana letak “ketidak-adaannya”? Yaitu sebenarnya setiap dari diri kita yang telah melewatkan “guru dan waktu”. Guru dalam arti fungsional dan transendental, yakni kedua orang tua. Namun alih-alih orang tua menjadi guru pertama dan utama dalam kehidupan kita malah melupakan perannya.  Inilah peristiwa yang mengawali krisis “intelektualitas” dalam setiap manusia.  Banyak orang yang salah mengartikan bahwa intelektualitas terletak di bangku dan gedung-gedung sekolah. Padahal bukan.

Intelektualitas, yang sangat “awali” menurut saya adalah dalam rongga kedalaman “diri” kita. Pencarian ke dalam. Saat Kuba sedang mengalami geger wong ngoyak liyan, Fidel Castro menjadi pemimpin gerakan utama pada negeri tersebut. Saat ia menjadi pemimpin pemerintahan Kuba, mula-mula yang dilakukannya adalah membubarkan seluruh universitas yang ada. Kita sering luput dari pandangan tentang dhohir-batin, bahwa seringkali kita tertipu dengan perwajahan,  bentuk luar,  dan kabar udara.

Bonum est faciendum et prosequendum, et malum vitandum; lakukanlah yang baik, jangan melakukan yang jahat. Ungkapan bahasa Latin itu merupakan perintah moral paling dasar dari Thomas Aquinas dalam karya besarnya berjudul Summa Theologiae. Filsuf ini membedakan synteresis (hati nurani) dan conscientia (suara hati). Hati nurani berisi orientasi paling dasar yang tersimpan dalam sanubari setiap orang. Bila manusia sedang menghadapi situasi konkret untuk memilih apa yang harus ia ambil, pemahaman moralitas yang ada dalam hati nurani akan beralih wujudnya menjadi pemahaman menurut ukuran suara hati miliknya sendiri untuk menyatakan pilihan sikap dan perilaku yang hendak diambil.

Syukurlah kita, memiliki hati nurani yang selalu jujur, yang merupakan pemberian Tuhan. Sementara suara hati manusia bisa salah dan tumpul. Tentu dalam menghadapi berbagai godaan menggiurkan, banyak orang yang lebih mendasarkan pada suara hatinya, yang bisa salah itu, daripada hati nuraninya. Hati nurani adalah penengah dan jalan terabas untuk menuju sebuah Kebenaran. Sedulur papat, limo pancer.

“Rumah Cahaya”

Tanean Lanjhang. Madura memiliki budaya yang adiluhung berupa “rumah cahaya”. Rumah itu bernama Tanean Lanjhang. Konsep Tanean Lanjhang pastilah berangkat dari pengharapan. Sebuah konsep hunian yang mengakar. Pastilah bangga kiranya siapapun yang menjadi bagian dari sebuah “panorama profetik” yang memancarkan percikan nilai tersebut.

Tanean Lanjhang yang merupakan permukiman tradisional terdiri dari suatu kumpulan rumah yang terdiri atas keluarga-keluarga yang mengikatnya. Letaknya sangat berdekatan dengan lahan garapan, mata air atau sungai. Antara permukiman dengan lahan garapan hanya dibatasi tanaman hidup atau peninggian tanah yang disebut galengan atau tabun, sehingga masing-masing kelompok menjadi terpisah oleh lahan garapannya. Satu kelompok rumah terdiri atas 2 sampai 10 rumah, atau dihuni sepuluh keluarga yaitu keluarga batih yang terdiri dari orang tua, anak, cucu, cicit dan seterusnya. Jadi hubungan keluarga merupakan ciri khas dari kelompok ini.

“Cahaya”, yang saya maksud adalah spirit dari hidup mereka.  Mereka memiliki spirit “pengayoman”, dan cita-cita luhur dari ujung kehidupan yakni kemakmuran bersama (keluarga, masyarakat, etnis). Kita sering menjumpai penjual nasi goreng Madura, pemilik warung sate Madura, bos besi tua Madura, dan kerja-kerja kebudayaan lainnya yang dipandegai oleh orang-orang Madura. Iya, mereka melakukan kerja-kerja kebudayaan.

Saya beberapa kali pernah melihat “kerumunan” gerobak nasi goreng di malam hari setelah pukul dua belas. Para penjual nasi goreng Madura selesai melakukan kerja kebudayaan (menjual nasi goreng) mereka sering berkumpul (saya melihat beberapa kali). Saya tidak mengetahui apa yang mereka wartakan saat “kumpul-kumpul” itu. Yang jelas, lagi-lagi mereka melakukan kerja kebudayaan. Lagi.

Beberapa kali saya menuliskan kata “kerja kebudayaan”, bukan tanpa maksud. Bahwa yang selama ini menganggap orang Madura melakukan aktifitas pekerjaan di tanah perantauan hanya bermotif ekonomi dan upaya surfifing hidup menurut saya perlu dirubah. Anda harus merubah prasangka tersebut. Perlu diketahui bahwa mereka tak hanya money oriented. Mereka memiliki harapan dan cita-cita mulia dalam setiap langkahnya. Saya menduga, itu semua bermula dari “cakrawala” yang mereka dapatkan dari “rumah cahaya”, Tanean Lanjhang. Masih belum percaya? Bergaulah dengan orang Madura. Maka kita akan mendapati betapa “dalam” mereka memaknai dan menjalani kehidupan ini.

Sejumput Purbasangka

Mari sejenak kita simak sajak berikut ini:

Derai-Derai Cemara

Cemara menderai sampai jauh

Terasa hari akan jadi malam

Ada beberapa dahan ditingkap merapuh

Dipukul angin yang terpendam

Aku sekarang orangnya bisa tahan

Sudah berapa waktu bukan kanak lagi

Tapi dulu memang ada satu bahan

Yang bukan dasar perhitungan kini

Hidup hanya menunda kekalahan

Tambah terasing dari cinta sekolah rendah

Dan tahu, ada yang tetap tidak diucapkan

Sebelum pada akhirnya kita menyerah

(Chairil Anwar, menjelang mati)

Manusia hidup tidak lebih dari ibarat “Sandal Jepit”, menjalani saja, menghadapi saja, melewati saja. Toh, seperti kata Chairil Anwar, “Hidup adalah menunda kekalahan”. Barangkali Chairil sepaham dengan Filsuf Martin Heidegger yang merefleksikan keberadaan manusia sebagai Zein Zum Tode (ada menuju kematian). Manusia ditakdirkan untuk mati begitu ia lahir. “Sejak kita lahir kita telah cukup tua untuk mati”. Karena hakikat hidup manusia ialah “ada” untuk menyongsong kematian. Inilah makna waktu dalam arti sejatinya, yakni lahir dan menuju kepada kematian. Selamat menunda!

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content