fbpx

Pembangunan dan krisis agraria di Indonesia

Krisis agraria di Indonesia disebabkan oleh orientasi pembangunan yang tidak sejalan dengan realitas masyarakat Indonesia.
Sawah di Indonesia
Sawah di Indonesia dilansir dari ekuatorial

Di tengah terjangan arus neoliberalisme yang semakin masif, tuntutan negara-negara berkembang atau negara dunia ketiga untuk mendorong dan menggiatkan pembangunan infrastruktur menjadi hal yang terus digalakkan. Infrastruktur yang menjadi instrumen penting untuk menopang aktivitas ekonomi di setiap negara memposisikan dirinya sebagai objek vital dalam menunjang roda pertumbuhan ekonomi suatu negara. Khususnya di Indonesia, di tengah sistem ekonomi global yang mencekik—sebagai perwujudan neoliberalisme, agenda stabilitas ekonomi bermuara pada derasnya transformasi pembangunan infrastruktur yang membawa perubahan besar dan sangat kontras terhadap perilaku kehidupan bersosial dan politik. Tekanan global yang memaksa Negara Indonesia untuk menghadapi pembangunan yang sangat masif baik pada tingkat regional hingga nasional nampaknya perlu untuk di-crosscheck kembali. Pasalnya berbagai gelombang proyeksi pembangunan yang bergulir tidak berjalan mulus dan lurus dari apa yang diharapkan oleh masyarakat Indonesia dan keberlangsungan lingkungan yang kemudian justru kian mendukung kapitalisme.

Indonesia yang kita kenal sebagai negara agraris dan kaya akan sumber daya alam seharusnya menjadikannya sebagai bangsa yang memiliki taraf hidup khusus dan spesial dalam aspek kesejahteraan sosial. Dengan latar belakang keadaan bumi yang kaya dan subur, telah dirasionalisasikan bentuk peraturan perundang-undangan yang menjadi acuan dalam hal pengelolaan sumber daya alam. Berangkat dari UUD 1945 Pasal 33 ayat 3 menegaskan dan mengatur bahwa negara berkuasa penuh untuk terhadap kekayaan alam atau sumberdaya dengan “ihwal” dimaksudkan tidak lain untuk demi kemakmuran dan kesejahteraan rakyat semata. Kemudian konkretnya, pengejawantahan pengelolaan sumber daya alam dituangkan secara material dalam UU No. 5 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria. Artinya secara struktural peraturan perundang-undangan Indonesia punya landasan yang jelas walaupun itu perlu untuk diradikalisasi sebagai payung hukum yang  mengatur dan mengelola sumber daya alam. Kendati demikian, dalam iklim gencatan pembangunan Indonesia kemudian penting untuk melihat dan menelaah bagaimana latar belakang keadaan agraria secara struktural agar bisa berbanding lurus dan sejalan dengan orientasi kebijakan pembangunan yang bercita-cita meningkatkan perekonomian.

Dalam perkembangannya hingga saat ini, skema pembangunan yang diselenggarakan oleh pemerintahan hari ini nampaknya tidak berjalan baik dan menyeleweng dari prinsip kerakyatan dan keberlangsungan lingkungan hidup. Dengan dalih pertumbuhan dan peningkatan ekonomi pembangunan infrastruktur besar-besaran yang diproyeksikan dan terpencar di beberapa wilayah di Indonesia realitanya menggumulkan anomali ketimpangan sosial dan krisis ekologi yang drastis. Besarnya kebutuhan lahan sebagai fasilitas pembangunan mengakibatkan maraknya tindakan penggusuran yang kemudian perampasan tanah dan ruang hidup atas nama kepentingan umum. Lebih lanjutnya, suburnya industri ekstraktif dan logika pembangunan yang eksploitatif berperan besar dalam mendegradasi nilai-nilai ekologis. 

Pembangunan yang digalakkan tersebut merupakan manifestasi dari semangat rezim masa kini yang menjelma sebagai rezim pembangunan. Sejak 2014, untuk mendorong perekonomian seluruh wilayah Indonesia, pemerintah telah menginisiasi program percepatan ekonomi yang terbagi menjadi enam koridor, yang dikenal dengan nama (MP3EI) ialah : (a) koridor Sumatera, sebagai sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional; (b) koridor Jawa, sebagai pendorong industri dan jasa nasional; (c) koridor Kalimantan, pusat produksi dan pengolahan hasil tambang dan lumbung energi nasional; (d) koridor Bali dan Nusa Tenggara, pintu gerbang pariwisata nasional dan pendukung pangan nasional; (e) koridor Sulawesi, sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, migas dan pertambangan nasional; (f) koridor Papua, pengembangan energi, pangan, perikanan dan tambang nasional yang sejatinya itu semua membutuhkan pembangunan infrastruktur besar untuk dan tanah atau tanah yang luas (Ervianto, 2017).

Ketika kembali melihat ke belakang, implikasi sejarah sangat jelas diperlihatkan bahwa Orde Baru, sebuah babak baru pembangunan Indonesia yang diampu oleh pemerintahan Soeharto, setelah instruksi legendaris Supersemar melahirkan sebuah lonjakan pembangunan yang secara ekstrim berorientasi pada eksploitasi sumber daya alam untuk melaksanakan pembangunan-pembangunan nasional. Ketegangan dialektis antara kebijakan pembangunan dan bayang-bayang krisis agraria menyimpan banyak catatan penting dalam perkembangan bangsa. Logika pertumbuhan ekonomi menjadi domain utama dalam mindset pembangunan bangsa dan sebagai akibatnya, semua aktivitas sosial politik bermuara pada kepentingan ekonomi yang sejatinya mendegradasi nilai – nilai lainnya.

Corak kebijakan pembangunan yang dijiwai oleh prinsip ekonomi neoliberal dan ideologi developmentalisme, Orde Baru kemudian meninggalkan sebuah warisan paradigma yang hingga kini masih terinsepsi ke dalam tata kelola pembangunan yang kemudian dilanjutkan dan semakin digalakkan oleh rezim pemerintah hari ini. Kebijakan hari ini didukung oleh beberapa produk undang-undang yang seyogyanya bertujuan untuk kepentingan ekonomi kapital semata. Seperti Undang-Undang Omnibus Law sebagai alat legitimasi untuk menciptakan ruang aman para investor dan menjadikan indonesia menjadi arena pertempuran modal investor. Yang pada gilirannya, dampak dari pembangunan-pembangunan besar akan mengalienasi dan memarginalkan banyak masyarakat lokal.

Di sisi lain, cara pandang antroposentris dalam ideologi developmentalisme juga mencederai komitmen Indonesia dalam menjaga keberlangsungan lingkungan hidup. Watak pembangunan yang dijalankan hari ini mendudukkan relasi hidup manusia dengan lingkungan hanya sebagai relasi ekonomi tanpa melihat dimensi lain dari nilai ekologi, sosial, dan spiritual. Banyaknya lahan dan ruang hidup yang disulap atau dialihfungsikan sebagai proyek nasional seperti: jalan tol, bendungan, jembatan, bandara, tambang, dan segala infrastruktur penopang roda ekonomi. Bermuara pada maraknya penggusuran, perampasan tanah, dan ruang hidup akibat pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan yang menjadi petaka besar bagi sebagian rakyat Indonesia. 

Masifnya konflik agraria menggambarkan bagaimana rezim menyeleweng dari bingkai pembangunan nasional. Konflik bandara Kulon Progo, Kendeng, Majalengka, Jomboran, dan daerah lainnya menjadi saksi bisu terampasnya hak-hak rakyat atas tanah. Berdasarkan dari catatan akhir tahun Konsorsium Pembaharuan Agraria menjelaskan:

“Untuk sepanjang tahun 2021 saja ada 52 kasus besar konflik agraria yang itu terjadi di sektor pembangunan infrastruktur, yang 38 kasus tersebut adalah diantaranya oleh proyek pembangunan yang teragenda dalam proyek strategis nasional negara (PSN). Ini disebutkan melonjak 123 dari tahun sebelumnya. Dan pemicunya adalah target percepatan eksekusi proyek yang ditopang oleh regulasi pemerintah. Dari sekretaris jenderal KPA Dewi Sartika menuturkan bahwa, jenis pembangunan infrastruktur yang menjadi penyebab konflik dimulai dari pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol, bendungan, Pelabuhan, kereta api, Kawasan industri, pariwisata, hingga pengembangan Kawasan ekonomi khusus (KEK). Dan ada 40 kasus konflik di sektor proyek properti.’’

KPA, 2021

Dalam perkembangannya hingga saat ini, mindset pembangunan yang didominasi oleh logika pertumbuhan ekonomi menggerus aspek penting yang melekat pada arti dari sebuah tanah yang menjadi sumber agraria utama. Tanah yang menjadi aset produksi utama masyarakat tempat mereka bergantung hidup kerap kali dirampas dengan dalih pembangunan. Akibatnya, selain daripada aspek ekonomi, kehilangan tanah bagi masyarakat juga merupakan kehilangan sejarah, dan yang jelas memiskinkan. Masyarakat kehilangan alat produksi utama dan menggantungkan hidupnya ke pasar dan sebagai tenaga kerja yang diupah.

Oleh karena itu, untuk negara agraris seperti Indonesia, penguasaan tanah, dan sumber-sumber agraria lainnya sangatlah menentukan karena hal itu menyangkut tentang penghidupan dan kemakmuran. Hal tersebut menegaskan bahwa betapa pentingnya peranan negara untuk melindungi dan menjamin kepastian dan keberlangsungan penguasaan rakyat atas tanah. Dalam kaitan ini, maka momen historis pembentukan kemiskinan pada suatu masyarakat lokal sebenarnya bermula dari konflik tenurial semacam di atas, ialah ketika dominasi negara dalam relasi-relasi agraria telah menyebabkan tercerabutnya hak-hak penguasaan masyarakat lokal atas tanah dan sumber daya alam lainnya di satu sisi, dan di sisi lain terakumulasinya penguasaan sumber-sumber agraria itu pada badan-badan usaha yang memiliki kekuatan modal besar (Suryo, 2020).

Uraian di atas menjelaskan bahwasanya krisis agraria di Indonesia saat ini makin nyata, yang diakibatkan oleh orientasi pembangunan yang tidak sejalan dengan realitas yang diharapkan masyarakat Indonesia dan hanya kepentingan ekonomi negara belaka. Sejarah menunjukkan bahwa terdapat berbagai permasalahan yang muncul terkait dengan penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Baik sebelum maupun sesudah masa kemerdekaan, masyarakat Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan yang terkait dengan ketidakadilan dalam mendapatkan hak atas penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria. Fakta ketidakadilan agraria seringkali dipicu oleh berbagai kebijakan politik pada setiap fase pemerintahan yang merusak basis sosial secara struktural. Akibatnya masyarakat tidak mampu melakukan reproduksi sosial dalam jangka panjang; dalam kata lain, masyarakat kehilangan hidup, tanah, dan sejarahnya. 

Ervianto, W. I. (2017). Tantangan Pembangunan Infrastruktur dalam Proyek Strategis Nasional Indonesia. Simposium II UNIID 2017, 2(1), 98–103.

Suryo, D. (2020). Sejarah Indonesia ; Perspektif Lokal dan Global Persembahan untuk 70 Tahun Prof. Dr. Djoko Suryo.

(KPA), K. P. (2021). Catatan akhir tahun 2021. Konsorsium Pembaruan Agraria.

Muh Abdillah Akbar

Penulis merupakan mahasiswa jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content