fbpx

Perayaan Eksistensialisme Kecil-Kecilan

Pendasaran yang digunakan oleh Sartre adalah sebagaimana ungkapan masyhur “Existence comes before essence” yang dilekatkan pada manusia. Eksistensi mencakup makna “keberadaan” sehingga pertanyaan padanya adalah “adakah (sesuatu) itu?” sedangkan esensi memuat makna “keapaan” sehingga pertanyaan berikutnya adalah “apakah itu?”. Melalui ungkapan “eksistensi mendahului esensi” ini, Sartre secara tegas membalik paradigma filsafat tradisional yang dianggapnya gagal menempatkan manusia pada kesadarannya.

Sebagai sebuah aliran dalam filsafat, jejak-jejak eksistensialisme dapat ditemukan pada setiap pendahulu yang telah merenungkan keberadaan manusia secara mendalam. Tradisi ini baru menjadi tren pemikiran di era posmodern dan banyak mewariskan literatur yang merombak pemikiran barat. Pada prinsipnya eksistensialisme lahir sebagai kritik terhadap cara-wujud manusia yang serba-semu perihal penampakan dan berbagai relasi kebersamaannya, baik itu berupa relasi dengan alam maupun relasi dengan sesama. Karenanya, ceroboh untuk mengatakan eksistensialisme telah usang, lebih-lebih ditinggalkan begitu saja.

Mendefinisikan eksistensialisme dalam satu rumusan utuh juga tidak mudah, sebab tokoh-tokoh yang mendakukan diri sebagai eksistensialis—atau setidaknya filsuf yang digolongkan kedalam aliran ini—telah menunjukkan berbagai perbedaan anggapan mengenai eksistensi itu sendiri. Anda dapat memaknai ‘eksistensi’ secara harfiah sebagai keberadaan, kehadiran, cara-wujud, cara mengada, atau gejala adaan. Terserah saja. Tidak perlu heran andai tokoh-tokoh yang Anda dapati nantinya menarik penghayatan ke dalam situasi yang kian baru dan lagi-lagi asing.

Berbagai upaya untuk merumuskan eksistensialisme mencapai satu titik temu bahwa manusia harus dipandang sebagai eksistensi. Corak pikir ini dipertegang oleh nama-nama besar seperti Kierkegaard, Dostoyevsky, Jaspers, Berdyaev sebagai eksistensialisme dan begitupun Nietzsche, Heidegger, Martin Buber, Gabriel Marcel dan lainnya sebagai filsafat eksistensi. Walau demikian bukan berarti eksistensialisme tidak memiliki alur. Masing-masing tokoh memiliki alur yang tegas dan berhasil mempresentasikan diri sebagai pemukau kesadaran yang ganas.

Sebagai langkah awal untuk menjajaki belantara filsafat ini, kita memerlukan sosok yang dapat mengantar masuk pada gerbang eksistensialisme. Kita memerlukan sesosok eksistensialis yang dekat untuk dijangkau, yang karya-karyanya bertebaran, yang cakupannya luas dan substantif, yang pandangan-pandangan relatif mudah dijajaki sebagai alur. Dialah Jean-Paul Sartre.

Eksistensialisme Sartre

Pendasaran yang digunakan oleh Sartre adalah sebagaimana ungkapan masyhur “Existence precedes essence” yang dilekatkan pada manusia. Eksistensi mencakup makna ‘keberadaan’ sehingga pertanyaan padanya adalah “adakah (sesuatu) itu?” sedangkan esensi memuat makna ‘keapaan‘ sehingga pertanyaan berikutnya adalah “apakah itu?” Melalui ungkapan ini Sartre secara tegas membalik paradigma filsafat tradisional yang dianggapnya salah kaprah sebab menempatkan eksistensi kesadaran manusia setelah esensi-esensi yang dilekatkan atasnya.

Mula-mula, segala penjelasan tentang kesadaran adalah sederhana, yakni manusia berhasil menyadari sesuatu. Kesadaran, sebagaimana dinyatakan Edmund Husserl (1859-1938) bersifat intensional, artinya selalu mengarah pada objek tertentu. Tentu kesadaran yang dimaksudkan masihlah umum dan bukan dalam kapasitas tertentu. Artinya, meliputi kesadaran primordial bayi yang mengintuisi suhu dingin saat jatuh dari rahim, sampai kesadaran paling kompleks yang dialami seorang dokter bedah syaraf dalam ruang operasi.

Berikutnya, Sartre merekonstruksi fenomenologi Husserl untuk melancarkan manuver eksistensialisme. Situasi ‘menyadari sesuatu’ yang mengarah keluar tersebut juga diseret masuk kembali di dalam ego empiris. Kesadaran artinya menjadi transparan. Aktivitas kesadaran dapat dapat tembus pandang berupa ‘menyadari diri’ yang mana diri (ego empiris) tersebut sedang ‘menyadari sesuatu’. Pernyataan pra-reflektif semisal “Aku menyadari adanya meja” akhirnya juga ditarik ke dalam dan menjadi reflektif: “Aku menyadari kesadaranku akan adanya meja”.

Setelah melalui persitegangan ontologis, Sartre berikutnya membedakan dua modalitas Being. Pertama adalah L’etre en soi (being-in-itself), atau jika dialih-bahasakan menjadi ada-dalam-dirinya-sendiri. L’etre en soi dipahami sebagai eksistensi yang padanya melekat status padat; pejal; tanpa lubang; beku. Kerakteristik mode eksistensi ini: it is what it is. En soi tidak dapat merealisasikan dirinya sendiri menjadi yang bukan dirinya, sebab ia tidak memiliki tujuan bagi keberadaannya sendiri. Eksistensi en soi ada dan terlempar begitu saja dalam dunia tanpa alasan eksistensial (kontingen) serta tidak dapat menentukan atau bahkan mengakui eksistensinya. Mode kemengadaan en soi dapat berupa segala adaan material atau juga dapat berupa objek immaterial seperti ego.

Sedangkan entitas kedua oleh Sartre disebut L’etre pour soi (being-for-itself). Ada-untuk-dirinya merupakan manifestasi dari eksistensi kesadaran; ada-bagi-dirinya berarti terus merealisasikan diri sebagai ‘yang-bukan’. Karakteristik pour soi adalah: it is not what it is. Mode eksistensi ini secara konstan mengonfrontasikan diri pada being-in-itself. Sebab kesadaran selalu intensional, maka ia menyadari dirinya sabagai ‘yang-ada’ hanya jika ia menyadari objek tertentu

Menurut Sartre hubungan kesadaran dengan dunia merupakan bentuk rekonsiliasi antara subjek dan objek melalui kegiatan aktif kesadaran baik memaknai atau menegasi, tapi sumber makna juga bukan ego transendental sebagaimana yang ditegaskan Husserl pada akhir evolusi pemikirannya, karena dengan demikian artinya fenomenologi pulang pada idealisme dan menyalahi jargon “kembali pada realitas itu sendiri”

Bagi Sartre manusia itu mengada dengan kesadaran sebagai dirinya sendiri sehingga hal yang demikian itu tidak dapat dipertukarkan dengan harga apapun. Keberadaan manusia berbeda dengan keberadaan benda-benda lain yang tidak memiliki kesadaran atas keberadaannya sendiri. Bagi manusia, eksistensi adalah keterbukaan, berbeda dengan benda-benda lain yang keberadaannya sekaligus berarti esensinya. Hal tersebut tidaklah serentak—eksistensi mendahului esensi. Oleh karenanya, penghayatan atas manusia, selama ia terus mengada, tidak dapat dibekukan menjadi apa yang dikatakan esensi sebagaimana yang selain manusia. Melalui pandangan Sartre ini, boleh ditegaskan bahwa keterbatasan manusia dibayar lunas oleh kesadarannya.

Menebus Kebebasan Cara Sartre

Penghayatan atas eksistensi manusia membawa Sartre pada ide tentang kebebasan. Jika ditarik mundur, setiap manusia telah dihadapkan dengan berbagai situasi imperatif yang hadir sebagai implikasi atas pilihan yang diambil sebelumnya, dan seterusnya sampai pada keterlemparan awal manusia dalam dunia. Ketika seseorang mengingat-ingat kembali kondisi patah hati terkini adalah akibat dari kecerobohan apa; sebagai sebab menjatuhkan pilihan pada apa; karena pergi kemana lantas melihat apa; sampai pada potensialitas paling sederhana yang dia ambil, misalnya. Meskipun ilustrasi pendek ini tidak cukup lugas untuk menggambarkan betapa kehidupan dan segala pilihan di dalamnya adalah absurd, tapi setidaknya hal tersebut berhasil membawa Sartre pada gagasan manusia dihukum oleh kebebasan.

Mohon maaf apabila kebebasan di sini menjadi tak seindah yang didambakan banyak orang. Sebelumnya telah ditegaskan bahwa Sartre melihat manusia sebagai L’etre pour soi. Kesadaran dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri. Kesadaran hanya ditemukan pada orang yang bergerak dan mencari pijakan mana pun sehingga ia dapat berdiri. Ia berusaha untuk dapat berada–dalam–diri (en soi), padahal mustahil—tidak mungkin manusia sebagai the for-itself (pour soi) menjadi the in-itself (en soi). Manusia dikepung pilihan-pilihan agar kemudian terjebak dalam modalitas en soi apapun yang berusaha ia negasi. Tepat pada inilah kebebasan bersemayam sebagai kutukan.

Kebebasan dimutlakkan oleh Sartre melalui pernyataannya, “Human reality is free, basically and completely free.” Tapi dari sini muncul apa yang disebut Anguish, sebab adanya kesadaran refleksif yang menegaskan diri sebagai eksistensi yang bebas menidak atau menarik diri dari bentuk en-soi manapun. Kebebasan penuh ini tentunya berarti juga menuntut tanggungjawab tanpa batas, serta menyituasikan kenyataan manusia yang serba dilematis oleh sebab eksistensinya sebagai ‘yang-bebas’. Manusia memikul sendiri tanggungjawabnya tanpa mempergantungkan tanggungan pada yang selainnya, bahkan Tuhan sekalipun. Dengan ini Sartre menjadi seorang ateis. Meski begitu, dalam karya lainnya, Sartre juga menyebutkan bahwa eksistensialisme tidaklah sedemikian ateistik sehingga mengarahkan segala-galanya untuk menunjukkan bahwa Tuhan tidak ada. Eksistensialisme hanya menyatakan bahwa meskipun entitas Tuhan ada sebagaimana kepercayaan banyak orang, itu tidak akan mengubah kenyataan apapun, sebab manusia bebas dan bertanggungjawab.

Existentialism is not so atheistic that it wears itself out showing that God does not exist. Rather, it declares that even if God did exist, that would change nothing.

(Existentialism and Human Emotions, hal. 5)

Berdasarkan pengertian panjang ini Sartre meneguhkan prinsip dasar bagi eksistensi manusia:

“Man is nothing else but what he makes for himself. Such is the first principle of existentialism”

(Existentialism and Human Emotions: 15)

Bahwasanya manusia tiada lain adalah apa yang ia perbuat bagi dirinya sendiri. Being-for-itself mengarahkan manusia pada tujuan dan realisasinya. Manusia menanggung proyeknya sendiri. Ia mengada sejauh ia memenuhi dirinya sendiri. Segala yang dilakukan oleh manusia ini mengungkapkan kebebasannya dalam menentukan being-nya sendiri. Oleh sebab itu, ia tiada lain adalah kumpulan tindakannya.

“Man is nothing else but his plan; he exists only on the extent that he fulfills himself; he is therefore nothing else than the ensemble of his acts, nothing else than his life.”

(Existentialism and Human Emotions: 32)

Jatuh dan Menghadapi Faktisitas

Kejatuhan (falleness) manusia dipahami sebagai keterlemparan-dalam-dunia yang begitu saja dan diluar kehendak manusia. Kejatuhan ini secara pasti memberi jarak pengalaman yang dimulai saat ia terlahir hingga hembusan napas terakhir. Sepanjang rentang tersebut, manusia senantiasa diiringi kegelisahan berulang, artinya tidak pernah selesai atau benar-benar melunasi jawabannya. Kegelisahan eksistensial paling umum muncul dalam pertanyaan-pertanyaan mendasar: siapa aku? Apa makna kehadiranku di dunia? Bagaimana aku menjamin orang-orang di sekitarku adalah nyata? Mengapa segala identitas disematkan atasku? Pertanyaan-pertanyaan sedemikian lazim dialami setiap manusia ketika menyadari eksistensinya yang tidak penuh. Kejatuhan tak ubahnya rentang hidup yang membuat lubang semakin mendalam, dan hanya kematian yang berhasil menyumbatnya.

Sehubungan dengan hal tersebut, keterlemparan-dalam-dunia memberi kesempatan bagi manusia untuk merenggut kembali kebebasannya. Akan tetapi, tawaran kebebasan mutlak dari Sartre akhirnya dihadapkan pada apa yang disebut facticity. Bukan berarti mengurangi kemutlakan kebebasan, melainkan Sartre mengakui adanya faktisitas-faktisitas yang dapat mengurangi penghayatan manusia atas kebebasan. Faktisitas atau kefaktaan yang dikemukakan Sartre antara lain adalah tempat (place), waktu (time), kematian (death) lingkungan (environment) dan orang lain (other). Pada prinsipnya keseluruhan faktisitas ini merupakan modalitas yang dilancarkan Sartre untuk menegaskan bahwa kefaktaan itu dapat saja dimanipulasi, dilupakan, diolah namun tetap tidak mungkin disangkal atau ditiadakan.

Akan tetapi kekhasan eksistensialisme Sartre justru ada pada perhatiannya atas kehadiran Sang Liyan (The Other). Pandangan Sartre mengenai kehadiran orang lain menjadi populer oleh pernyataannya dalam Bab The Look: “my original fall is the existence of the other.” (Being and Nothingness: 263). Keberadaan orang lain oleh Sartre dianggapnya sebagai asal mula kejatuhan. Hal ini dikarenakan tampilnya orang lain akan selalu kita pandang sebagai objek pengamatan kita. Artinya, kita adalah subjek yang menangkap orang lain sebagai objek. Dan orang lain telah juga memandang kita sebagai objek pengamatannya.

Sartre menggambarkan penghayatan objektifikasi ini dengan perumpamaan dunia yang seluas lubang kunci. Misalnya saya ingin melihat apa yang berada dibalik pintu kamar yang merupakan dunia saya saat ini. Tiba-tiba seseorang mendapati saya dalam posisi mengintip tadi. Saya menjadi sadar akan pandangan orang lain yang juga diarahkan kepada saya. Saya menjadi malu dan gelisah sekali. Oleh kehadiran orang lain saya tidak dapat sepenuhnya menguasai situasi. Saya terbekukan dalam objektifikasi, dan orang lain mendahului kemungkinan saya, orang lain dapat mengasumsikan atau bahkan mengatakan apapun yang bukan saya. Sebagai eksistensi yang bebas saya terjebak oleh pandangannya, sebagai kemungkinan tak terbatas saya didahului oleh objektifikasinya.

 “And this falling to pieces of my monopolized word is precisely the apparation of the Other in the Universe.”

(Being and Nothingness: 256)

Demikianlah ujar Sartre, runtuhnya monopoli atas dunia saya ini justru dikarenakan oleh tampilnya orang lain ke dalam universum. Dunia yang saya bina, yang saya percantik, yang saya hayati sebagai taman, yang saya singgahi dengan nyaman, semerta-merta dihampiri orang lain yang dengan brutalnya merenggut kekuasaan yang saya miliki. Ia tidak hanya menyusup ke dalam dunia yang saya miliki, dengan pandangannya ia juga mengubah saya menjadi objek. Orang lain yang tadinya tampil sebagai objek kini saya hayati sebagaai subjek yang memperlakukan saya sebagai objek. Sampai di sini kiranya cukup beralasan mengapa kemudian Sartre terkenal dengan sinismenya: “Hell is other people.”

Saran Bacaan

Being and Nothingness, (Paris, 1943), terjemahan Hazel Barnes, Philosophical Library, New York, 1953.

Existentialism and Human Emotions, (Paris, 1946) terjemahan Bernard Frechtman, Philosophical Library, New York, 1948

Berkenalan dengan Eksistensialisme, 1992, Fuad Hassan, PT. Dunia Pustaka Jaya, Jakarta Pusat

Pegiat Lingkar Studi Filsafat Discourse yang juga merupakan mahasiswa Psikologi di salah satu universitas di Kota Malang.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content