fbpx

Atas Nama Kebebasan: Cinta, Perkawinan, dan Maternitas di Mata Simone de Beauvoir

Membaca buku-buku memoar Simone de Beauvoir, kita akan menemukan sosok yang optimis, penuh energi, dan vitalitas.

Membaca buku-buku memoar Simone de Beauvoir, kita akan menemukan sosok yang optimis, penuh energi, dan vitalitas. Sepanjang hidupnya, ia terus bergerak, melakukan apa yang ia inginkan sejak masa kecil: berpetualang menemukan diri yang sejati atas nama kebebasan.  

Tidak ada yang membatasi kita, tidak ada yang mampu mengatur kita, tidak ada yang mampu menundukkan kita; hubungan kita dengan dunia adalah kita yang menciptakan, kebebasan adalah substansi kita (La Force de l’âge, 1960, p.16). Kalimatnya ini merupakan gambaran sempurna dirinya.

Atas nama kebebasan, Beauvoir menolak masuk dalam kehidupan perkawinan. Atas nama kebebasan, ia tidak menginginkan maternitas. Dan atas nama kebebasan, ia menikmati keragaman cinta dan seksualitas. 

Pecinta Cinta

Tulisan-tulisan Beauvoir tidak hanya sangat terstruktur, sistematis, begitu runtut, dan rapi. Tetapi juga kesan yang paling utama adalah intelektual. Terasa sekali bahwa penulisnya membangun karya-karyanya dari keluasan wawasan dan kedalaman analisis. Dalam hal ini, Beauvoir disebutkan sebagai tanpa cacat. 

Namun juga, kalimat-kalimatnya yang “kering” dan pilihan kata yang “blak-blakan” sering dikritik oleh mereka yang tidak menyukainya. Gaya menulisnya dianggap menyiratkan kepribadian yang kaku dan dingin. Mereka menghubung-hubungkan kepribadian ini dengan pandangannya terhadap perkawinan dan menjadi ibu. 

Beauvoir yang menolak perkawinan dan maternitas dituduh sebagai frigid dan tidak mengenal pernah cinta yang sesungguhnya. Namun hubungan asmaranya dengan sejumlah laki-laki (dan perempuan) mematahkan prasangka negatif atas dirinya bahwa ia frigid dan tidak mengenal cinta. 

Surat-surat cintanya yang dipublikasikan setelah kematiannya menjadi bukti bahwa Beauvoir sungguh jauh dari frigid (Lettres à Sartre Tome I, Lettres à Sartre Tome II, Lettres à Nelson Algren, dan Correspondances Croisée). Cinta dengan yang lebih tua, lebih muda, atau seumur sudah dikenalnya, dengan laki-laki ataupun dengan perempuan, yang penuh birahi ataupun yang bersifat afeksi. 

Mengenai Perkawinan dan Maternitas, benar bahwa Beauvoir menolak keduanya. Menurutnya, kehidupan “internal” ini adalah kondisi feminin yang paling menghancurkan perempuan. Namun sebenarnya bukan perkawinan dan maternitas yang ia tolak, tetapi ide pengekangan dan dependensi yang ada di balik kehidupan internal ini. Karena yang terpenting bagi Beauvoir, lagi-lagi, adalah kebebasan individu.

Menurut Beauvoir, jika perempuan menginginkan eksistensi penuh atas hidupnya sendiri, ia memang sebaiknya menolak maternitas. Karena salah satu kutukan terhadap perempuan adalah bahwa ia harus mengurus anak-anaknya, ”tegasnya. Dan jika perempuan tidak mau menjadi budak perasaan ataupun tidak mau tunduk pada kehidupan seksualitas laki-laki, harus mampu memaksakan diri untuk tidak berhasrat kecuali yakin bahwa hasrat itu memang dapat membawa pada kebebasan yang memuaskan.

Perlu saya tekankan bahwa yang Beauvoir tidak setujui adalah maternitas yang mengalienasi perempuan. Tetapi jika maternitas itu dimaknai positif oleh perempuan, ia tidak menentangnya. “Saya melihat maternitas yang memutilasi perempuan tetapi saya juga mengenal maternitas yang membahagiakan dan memperkaya pengalaman perempuan,” demikian katanya dalam sebuah wawancara dengan filsuf Francis Jeanson (1966, p.283).

Ia juga berpendapat bahwa paternitas bisa sama-sama membahagiakan bagi seorang laki-laki seperti maternitas bagi perempuan. Menurutnya kecuali bahwa perempuan mengalami yang namanya hamil dan melahirkan, sebenarnya tidak ada bedanya antara menjadi ayah dan menjadi ibu. Ia khawatir kalau-kalau ini adalah bentuk “narsisisme” perempuan, bahwa ia yang telah mengandung dan melahirkan, sehingga ia merasa lebih punya ikatan dan hak terhadap anak (p. 283).

Mengenai perkawinan, ia sendiri bukannya tidak pernah menginginkannya. Saat remaja, ia jatuh cinta dengan Jacques Champigneulle, sepupunya. Ia bahkan terpikir akan menikah dengannya. Tetapi sepupunya tidak punya semangat hidup yang sama dengannya. Beauvoir sadar bahwa ia tidak akan mampu hidup dengan laki-laki seperti itu, karena hidup yang ia inginkan adalah hidup yang “intense”, yang melahap, dan menggairahkan.   

Ia kemudian menemukan Sartre, yang tidak ingin menikah atau apalagi punya anak, yang menginginkan cinta yang “bebas”. Sartre menawarkan konsep cinta esensial dan kontingen yang mengutamakan kebebasan dan kesetaraan untuk menikmati setiap bentuk cinta. Beauvoir menyetujuinya. Di satu titik dalam hubungannya dengan Sartre, Sartre pernah menawarkan perkawinan. Tetapi Beauvoir menolaknya. Ia paham bahwa bukan perkawinan yang Sartre dan dirinya inginkan. 

Dengan Nelson Algren, konon satu-satunya pria dengan mana ia benar-benar merasakan cinta yang sesungguhnya, cinta yang menggebu-gebu, cinta penuh hasrat, ia pernah mempertimbangkan secara serius lamaran Algren. Ia memikirkan kemungkinan untuk menikah. Namun ia akhirnya menolak Algren dengan konsekuensi kehilangan cinta Algren. 

Algren meyakini bahwa Beauvoir lebih memilih Sartre ketimbang dirinya. Keyakinan yang tidak keliru, apalagi Beauvoir sendiri mengatakan pada Algren bahwa ia memang tidak bisa meninggalkan Sartre. Tetapi persoalannya tidak terletak antara Algren dan Sartre, ini yang luput dari pemahaman Algren. 

Sebagaimana yang dijelaskan Ester Lianawati dalam buku Beauvoir Melintas Abad (2021), persoalan sesungguhnya terletak antara Algren dan kebebasannya, antara Algren dan Diri-nya sendiri. Jika ia memilih Sartre, itu karena Sartre satu-satunya yang bisa dan telah memberikan kebebasan ini, yang telah memungkinkannya untuk menjadi Diri-nya saat itu . 

Menikah dengan Algren bukan hanya berarti harus meninggalkan Paris, Sartre, Keluarga, dan komunitas eksistensialis. Menikah dengan Algren sama saja dengan meninggalkan Diri-nya, dan meninggalkan, melepaskan, menyerahkan Diri untuk kehidupan pernikahan yang akan merampas Diri adalah salah bentuk ketidakautentikan diri (Lianawati, p.244). Ini adalah la mauvaise foi (the bad faith). 

Pada akhirnya, meski Beauvoir menyematkan cincin yang diberikan Algren sepanjang hidup dan bahkan dimakamkan dengan cincin ini masih melingkar di jarinya, ia lebih memilih merenung, berpikir, menulis, berdiskusi, dan berdebat dengan Sartre. Kenikmatan dan kebahagiaan intelektual ini yang dipilihnya, dan ia tidak pernah menyesalinya.  

Dalam epilog buku La Force des choses (1960), Beauvoir menuliskan : “Dalam hidup saya ada sebuah keberhasilan yang pasti : hubungan saya dengan Sartre. Bukan sebuah kebetulan jika saya memilih Sartre, karena memang saya yang telah memilihnya. Saya yang datang menghampirinya. Saya mengikutinya dengan kegembiraan dan antusiasme karena ia membawa saya dalam jalan yang memang saya inginkan.”  

“Dalam kenyataannya, tidak ada perceraian antara filsafat dan kehidupan. Setiap langkah yang diambil manusia dalam kehidupannya adalah pilihan filosofis,” demikian pernyataan Simone de Beauvoir dalam Existentialisme et la sagesse des nations (p.9, dikutip dalam pengantar Beauvoir Melintas Abad, 2021). Kehidupannya adalah wujud kebebasan, yang telah memungkinkannya untuk mempersembahkan kepada kita sebuah filsafat yang membebaskan sebagaimana yang dapat kita nikmati dalam puluhan karyanya 1.

Referensi

Ester Lianawati. (2021). Beauvoir Melintas Abad. Yogyakarta : EA Books. 

Francis Jeanson. (1966). Simone de Beauvoir ou l’entreprise de vivre. Paris : Seuil. 

Simone de Beauvoir.  (1949).  Le deuxième sèxe. Paris : Gallimard.

Simone de Beauvoir. Mémoires d’une jeune fille rangée. (1958). Paris : Gallimard.

Simone de Beauvoir. La Force de l’âge. (1960). Paris : Gallimard.

Simone de Beauvoir. La Force des choses. (1963). Paris : Gallimard.

Psikolog, peneliti, dan penulis.

Catatan

  1. Filsafat Beauvoir tidak terbatas pada apa yang ia tulis dalam Le Deuxième sexe (The Second Sex). Karya-karyanya mencapai puluhan.

3 Responses

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content