fbpx

Rene Descartes: Tinjauan Singkat

Sebelum abad 17, filsafat tampak tertidur nyenyak dalam zona nyaman pemikiran yang terbentuk mulai dari era Yunani sampai pada era Skolastik. Pasca era Skolastik, terjadi fenomena yang berpengaruh dalam proses rekonstruksi filsafat di Eropa; masa tersebut disebut Kebangkitan Kembali (Renaisans). Renaisans memiliki tiga hal yang membuatnya berkembang ke banyak wilayah daratan Eropa, yaitu penggunaan mesin, seni mencetak, dan kompas.[1] Artinya, semangat ilmiah dan pengembangan teknologi menjadi salah satu prinsip yang mengarahkan renaisans. Namun ketika ditelusuri lebih dalam lagi, pembaharuan terpenting yang terlihat pada zaman renaisans adalah antroposentrisme.[2]  Rene Descartes beranggapan bahwa inilah saatnya manusia menjadi pusat: pembentukan subjektivitas tidak lagi sebagai viator mundi (perjiarahan manusia)tetapi menjadi faber mundi (manusia menciptakan dunianya sendiri).[3] Pelopor terkemuka Renaisans adalah Rene Descartes, maka dari itu kita akan mencoba untuk mengenalnya.

Riwayat Hidup

Descartes dilahirkan pada tanggal 31 Maret 1596 di sebuah kota kecil di Haye, Perancis. Ia memiliki empat saudara dan memiliki seorang ayah yang bernama Joachim. Ayahnya bekerja sebagai seorang hakim (karena profesinya, ayahnya jarang hadir di tengah keluarga, apalagi ketika istrinya meninggal). Descartes hidup bersama nenek dan perawatnya. Semasa kecil, Descartes adalah seorang anak yang kesepian namun ia dikenal sebagai anak yang hati-hati dalam bertindak dan juga cerdas.  Di usia ke delapan tahun, ia dikirim untuk studi di Kolose Jesuit, Fleche dan selesai ketika berusia sekitar 16 tahun. Kemudian dikuliahkan di Universitas Poitiers mempelajari ilmu hukum selama dua tahun. Setelah itu, ia kembali ke Paris dan terlibat dalam kegiatan sosial masyarakat. Pada tahun 1618 ia bergabung dengan tentara Pangeran Maurice dan tahun 1619 bergabung dengan tentara Duke Bavaria. Pada akhirnya ia memilih untuk hidup menyendiri di Faubourg, tempat ini sunyi dan jauh dari keramaian kota sehingga ia dapat menghabiskan waktu untuk menciptakan pelbagai karya. Pada tahun 1649 ia diundang Ratu Christina, Swedia (daerah yang dijuluki tanah es dan beruang) untuk mengajarinya filsafat. Konon waktu itu ia hanya dapat mengajari ratu di pagi hari, yaitu jam 5 subuh. Ritme ini tentunya mengubah kebiasaanya bangun di siang hari dan tidak lama mendatangkan musibah kepada dirinya. Descartes menderita karena Pneumonia selama seminggu dan pada tanggal 1 November 1650 ia ditemui dalam keadaan tidak bernyawa.

Semasa hidupnya, Descartes menulis beberapa buku. Pada tahun 1637 ia menulis Discourse De La Method, kemudian teori tentang metode matematika digunakan untuk fisika. Sekitar 10 tahun setelahnya, tepatnya tahun 1647, ia menulis buku yang berjudul Meditation on First Philosophy.

Pemikiran

Pada bagian ini kita akan melihat pelbagai pemikiran Descartes dalam permenungannya selama masa hidupnya. Pembahasan ini dimulai dari gagasan tentang: 1) Metode; 2) Cogito Ergo Sum; 3) Gagasan-gagasan lainnya

Metode

Risalah tentang kesangsian metodis (metode), merupakan suatu salah satu pokok pemikiran Descartes dalam permenungannya. Ia mengawali karya dengan sesuatu yang tidak mudah yaitu keraguan (keraguan Cartesian) terhadap segala hal yang dilihat oleh indra manusia. Latar belakang ia membuat karyanya ini karena Descartes melihat pemikiran filsafat yang umum masih kurang sistematis, terutama kekurangan suatu metode ilmiah. Menurutnya, metode yang cocok untuk membaharui filsafat adalah kesangsian metodis.”[4] Inilah yang menjadi dasar filsafatnya tentang metode: segala sesuatu itu dapat diragukan.

Descartes memutuskan untuk memulai dari dirinya sendiri dalam meragukan segala hal (mulai dari keraguannya terhadap indra manusia). Descartes memulai keraguannya dengan melihat fenomena hidup setiap hari. Misalnya ketika ia duduk di dekat api sambil mengenakan baju lengan Panjang, tetapi ia meragukan hal itu sungguh-sungguh terjadi. Mengapa? Karena peristiwa seperti ini bisa saja terjadi dalam mimpi. Kita bermimpi akan suatu hal dan beranggapan bahwa itu benar terjadi, padahal hanya berada di dunia mimpi. Apa bedanya hal yang kita alami ini dengan orang yang mungkin mengalami gangguan jiwa (berhalusinasi)? Contoh ini menjadi jembatan bagi kita para pembaca bahwa suatu fenomena agar dapat dipahami, hal itu harus diragukan terlebih dahulu.

Saat meletakkan keraguan sebagai pembuka jalan menuju kebenaran, ketika itu pula muncul suatu aliran filsafat rationalism yang mengandalkan akal budi sebagai satu-satunya jalan demi mencapai kebenaran pada zamannya. Descartes membutuhkan cara agar pemikirannya dapat tersusun dengan baik. Maka—dari itu—lahirlah metode matematika yang menjadi pisau bedah agar seorang subjek dapat mencapai kebenaran. Metode matematika ini dibagi menjadi dua, yaitu intuisi dan deduksi. Metode matematika secara intuisi artinya mereka membuktikan diri dengan menggunakan akal. Contoh, persamaan arimatika 3 + 2 = 5. Sedangkan, deduksi adalah pemikiran atau kesimpulan logis yang ditarik dari aksioma, seperti halnya semua geometri dipikirkan dalam urutan pasti dengan menggunakan deduksi dari aksioma.[5] Sederhananya, semesta fakta ini dapat disusun secara deduktif dan logis. Hal inilah yang menjadi impian Descartes dalam permenungannya agar memiliki landasan filsafat yang dapat menyimpulkan dan tiba pada kebenaran absolut. Karena permenungannya yang terus bergerak akhirnya memunculkan hal baru, bahwa ada sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi yaitu pikiran. Slogan yang terkenal darinya adalah cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada). Inilah yang menjadi inti dari keseluruhan pemikirannya.

Cogito Ergo Sum

Idenya tentang metode ternyata berlanjut pada kesadarannya akan satu hal. Bahwa, ketika ia meragukan sesuatu, ada hal lain yang tidak dapat disangkal kebenarannya yaitu dirinya sendiri yang sedang berpikir itu. Ia mengatakan bahwa subjek yang berpikirlah yang menjadi dasar filsafatnya karena memberikan suatu entitas yang tidak dapat disangkal. Maka dari itu ia berargumen Je pense, donc je suis; Cogito ergo sum”[6] yang artinya kalau saya berpikir maka saya ada. Cetusan ini adalah salah satu yang memberikan angin segar dari dunia filsafat akan ide baru.

Apakah yang dimaksudnya dengan berpikir? Descartes mengatakan tentang berpikir artinya (menyadari), maka dari itu cogito ergo sum harus berperan menjadi fundamentum certum et inconcussum veritatis (dasar yang pasti dan tak tergoyahkan untuk kebenaran).[7] Lebih jelas lagi dikatakan bahwa:

“konsep berpikir digunakan Descartes dalam pengertian yang sangat luas. Sesuatu yang berpikir, menurutnya, adalah sesuatu yang meragukan, memahami, mengerti, menegaskan, menolak, berkehendak, membayangkan, dan merasakan – karena perasaan, ketika muncul dalam mimpi, adalah suatu bentuk berpikir. Karena berpikir adalah esensi dari pikiran, pikiran pasti selalu berpikir, bahkan ketika sedang tertidur nyenyak.”[8]

Kesimpulan kecil yang kita pahami dari pembahasan ini yaitu, bepikir ala Descartes adalah sesuatu yang luas dan tidak seperti pandangan zaman sekarang. Semua ini disebut sebagai teori pengetahuan dengan metode keraguan (skeptisisme). Pada peziarahan selanjutnya, ia kembali mempertanyakan pengetahuan tentang benda-benda (semesta gerakan jam), keberadaan Tuhan yang sedikit banyak diadopsinya dari filsafat skolastik, disertai tanggapan dari para pemikir setelahnya serta tubuh dan jiwa. Pelbagai ide ini akan dibahas singkat pada bagian selanjutnya, karena tidak menjadi ide pokok dari pemikiran Descartes selama hidupnya. Mari kita lihat satu persatu.

Teori – teori lainnya

Rene Descartes, karena didasari ide-ide yang mendobrak filsafat sebelumnya, melahirkan gagasan baru yang mengubah cara pandang atau pola pikir di masa itu. Salah satunya adalah tentang gagasan terhadap benda-benda atau istilah dari seorang tokoh menyebut gagasan ini sebagai semesta gerakan jam. Dalam bukunya Meditasi, Descartes sebenarnya memiliki tujuan untuk menemukan filsafat yang seharusnya diterima oleh pemikiran rasional. Dan tentu saja hal ini kembali kepada teori pengetahuannya yang menggunakan metode matematika. Hal ini disebutnya sebagai ide yang jelas dan nyata misalnya aku yang berpikir, lebih jauh lagi, Descartes membuktikan keberadaan benda fisik, yang intinya meragukan pengindraan terhadap benda fisik yang dicicipi, dilihat, dsb.[9]  

Di masa itu Descartes juga disebut sebagai pakar behavior karena memiliki hipotesis tentang dunia baru. Gagasannya tentang alam disebut mekanisme. Intinya, Ia berusaha menjelaskan bahwa bentuk alam bisa dijelaskan dengan gerakan mekanis zat material. Dunia ini—menurutnya—berkembang tak terbatas, dengan benda yang memiliki berbagai bentuk dan ukuran yang terus-menerus bergerak dan berubah”.[10] Artinya, gerakan-gerakan dari pelbagai benda di semesta ini adalah akibat dari yang mekanis. Gagasan ini nantinya mendapatkan respon dari para pengikutnya yang mendistingsikan pendapat Descartes dengan teori-teori fisika. Secara keseluruhan teori tentang dunia baru ini mengatakan bahwa pelbagai benda di semesta ini, keberadaannya saling bersinggungan atau berhubungan satu dengan yang lain.

Descartes juga melakukan dualisme metafisik tentang manusia yang disebutnya memiliki tubuh dan jiwa. Descartes mengatakan bahwa tubuh manusia memiliki hubungan dengan jiwa. Jiwa adalah penggerak, sedangkan badan adalah determinatif.[11] Artinya, ketika manusia melakukan segala sesuatu, hal itu dipengaruhi oleh manusia sebelumnya, bukan karena kebebasan yang mendorong manusia itu. Melalui permenungan ini muncul lah pandangan tentang etika: yaitu manusia dikendalikan oleh hasrat yang sifatnya pasif (menunggu) rangsangan. Oleh karena itu, manusia disebut makhluk yang bebas karena memiliki akal budi dan independen, jika ia mampu mengontrol nafsu (cinta, benci, kagum, gairah, senang dan sedih). Hal ini juga karena tuntunan dari penyelenggaraan yang Ilahi.[12]

Rene Descartes memberikan suatu fenomena yang menggelitik penulis dalam mendalami ide-idenya. Banyak hal yang belum saya ketahui terhadap tokoh ini, bahkan belum mendalaminya dengan baik. Namun satu hal yang selalu dapat dipahami, yaitu bahwa kesadaran dalam menjalani hidup, dan mencintai kebenaran yang selalu dicari oleh Descartes. Pemikiran ini membawa pemahamnya untuk berani berpikir dan berani untuk meragukan pelbagai hal, bahkan agama sendiri harus diragukan. Hal ini nantinya membantu orang lain untuk semakin dalam melihat sesuatu. Meragukan bukan berarti sebatas ragu, tetapi mencari dan menggali suatu hal secara terus-menerus. Semua ini dilakukan agar banyak orang menyadari bahwa keseimbangan antara iman dan akal budi itu penting. Rere Descartes mengajak kita kembali untuk berpikir akan suatu hal dengan metodis.

Daftar Pustaka

Delfgaauw, Bernard. Sejarah Ringkas Filsafat Barat. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1992.

Hamersma, Harry. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Jakarta, 1986.

Hamersma, Harry. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008.

Lavine, T. Z. Descartes Masa Transisi Bersejarah menuju Dunia Modern. Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003.

Mudhofir, Ali. Kamus Istilah Filsafat. Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1992.

Magee, Bryan. The Story of Philosophy Kisah tentang FIlsafat. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008.

Strathern,Paul. 90 Menit Bersama Descartes. Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001.


[1] Bdk. Ibid.,

[2] Harry Hamersma, Pintu Masuk ke Dunia Filsafat (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008), 57.

[3] Bdk. Bernard Delfgaauw, Sejarah Ringkas Filsafat Barat (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1992), 103.

[4] Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Jakarta, 1986), 6.

[5] ibid., 46.

[6] Harry Hamersma, Ibid., 8.

[7] Ali Mudhofir, Kamus Istilah Filsafat (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1992), 31.

[8] Bertrand Russell, Sejarah Fisafat Barat Kaitannya Dengan Kondisi Sosio-Politik zaman kuno hingga sekarang (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 741.

[9] Bdk. T. Z. Lavine, Descartes Masa Transisi Bersejarah menuju Dunia Modern (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2003), 77.

[10] Ibid., 88.

[11] Bdk. Bryan Magee, The Story of Philosophy Kisah tentang FIlsafat (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008), 88-89.

[12] Bdk. Paul Strathern, 90 Menit Bersama Descartes (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001), 59-61.

One Response

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content