fbpx

Sanggahan Filsafat Islam atas Tesis Infinite Regression

Infinite regression menyebut bahwa realitas tidak memiliki ujung dan pangkal baik dalam permulaan maupun akhir.
Islamic Astronomer karya incognito
Islamic Astronomer karya incognito

Dalam ontologi, dikenal tesis tasalsul atau infinite regression. Tesis ini menyebut bahwa realitas tidak memiliki ujung dan pangkal baik dalam permulaan maupun akhir. Selalu ada sebab-sebab lain di satu ujung, dan ada akibat-akibat lain di ujung satunya. Baik sebab dan ujung itu tidak terbatas (infinite).

Konsep ini dapat dipahami dengan cara lain. Katakan bahwa kita adalah akibat dari ayah, kakek, buyut dan seterusnya hingga tak terkira. Hingga para pendahulu yang tidak kita kenali, tidak pernah kita temui. Namun mereka pastinya harus ada agar buyut, kakeh, ayah dan—puncaknya—diri kita menjadi ada.

Demikian pula kita adalah sebab bagi anak, cucu, cicit hingga tak terhingga. Hingga setiap keturunan yang tidak kita temui. Yang belum tentu juga mereka akan ada, namun juga tidak bisa kita tolak sepenuhnya kemungkinan adanya mereka. 

Persoalan ini mendapat perhatian dari filsuf muslim karena ia mengisyaratkan ketiadaan satu sebab dari segala sebab, sang Prima Kausa, sang Tuhan. Islam meyakini bahwa Tuhan Allah yang sejati itu ada, dan Dia tempat bergantung bagi eksistensi segala yang ada dari ketiadaan. 

Maka, infinite regression bertentangan secara diametral dengan ontologi Islam. Saat tesis tasalsul menyebut tiada Tuhan dan yang ada hanya rangkaian tak berujung, sebaliknya, Islam memposisikan dzat Tuhan “ada” di “kedua ujung”. Sebabnya sudah barang tentu bagi akidah Muslim: Tuhan adalah “Sang Permulaan sekaligus Sang Akhir”.

Sanggahan Pertama, Pembuktian Terapan Burhani

Beberapa ulama menggunakan argumen yang dikenal dengan istilah “pembuktian terapan”. Dalam Kitab al-Qawāid al-Falsafiyyah al-‘Āmmah fi al-Falsafah al-Islāmiyyah karya Al-Dinani, pembahasannya dilakukan pada kaidah keenam yang berbunyi:

“Suatu tambahan pada yang terbatas, dengan jumlah berapapun itu, akan tetap menjadikannya terbatas.” 

Mereka memulai dengan mengandaikan adanya rangkaian tak terhingga dari segala eksistensi yang ada (contingent being/possible thing). Bahwa katakan memang ada rangkaian sebab yang tidak berujung dan akibat yang tidak berujung.

Lalu, mereka mengurangi jumlah dari rangkaian itu di salah satu bagiannya. Entah pada satu titik yang manapun hingga pada titik manapun. Maka kemudian mereka bertanya, apakah yang terjadi ketika rangkaian itu telah kita ambil sebagian?

Jawaban hanya ada tiga kemungkinan. Satu, bahwa jumlah rangkaian itu akan lebih sedikit antara sebelum dan sesudah diambil sebagiannya. Dua, bahwa jumlah rangkaian itu sama belaka jumlahnya. Atau yang ketiga, jumlah rangkaian lebih banyak setelah dikurangi rangkaiannya.

Secara logis, pilihan jawaban kedua dan ketiga adalah mustahil. Yang kedua yang menyatakan jumlahnya sama adalah mustahil karena rangkaian itu telah dikurangi. Dan pada ketiga juga berlaku hal yang sama: mana mungkin sesuatu yang dikurangi justru bertambah jumlahnya.

Artinya hanya pilihan jawaban pertama yang berlaku secara logis. Bahwa jumlah rangkaian tak terhingga itu akan berkurang. Dari sini kemudian dinyatakan bahwa tesis ketakterhinggaan telah batal, mengingat bahwa rangkaian tersebut “dapat berkurang”.

Demikian pula sebaliknya. Keterbatasan dari rangkaian itu tidak akan berubah menjadi ketakterhinggaan walaupun ditambahkan rangkaian berapapun jumlahnya. Maka, terbukti kaidah itu, bahwa tambahan pada yang terbatas, dengan jumlah berapapun, akan tetap menjadikannya terbatas.

Adapun sebagian filsuf tidak puas dengan argumen ini. Menurut mereka, operasi pengurangan tersebut tidak dapat dilakukan. Mengurangi jumlah rangkaian sebab akibat pada sembarang titik di tengah rantai kausalitas akan meniscayakan gugurnya semua akibat setelahnya. Intinya, operasi itu mustahil berlaku pada realitas.

Sanggahan Kedua, Sifat Eksistensi

Sanggahan ini utamanya digagas oleh Ibnu Sina, dan diikuti oleh filsuf seperti Allamah Attabatabai. Pembahasan oleh keduanya dapat dijumpai dalam karya mereka, baik Isyarat wattanbihat, dan Nihayatul Bidayah.

Pada argumen yang kedua ini mulanya kita harus memahami sifat-sifat pada setiap yang ada dari dua sisi. Pertama pada sisi keniscayaan dan kemungkinan eksistensinya. Kedua, dari sisi kebergantungan atau kemandirian eksistensinya.

Kita amati diri kita sendiri misalnya. Kita ada, niscaya ada, karena memang nyatanya ada. Saya menulis, dan kalian membaca. Singkatnya, kita adalah eksistensi wajib ada (wajibul wujud). Sedangkan anak, cucu, karya dan karsa yang akan kita ciptakan, segalanya adalah eksistensi yang mungkin saja ada (mumkinul wujud). 

Tapi, eksistensi kita membutuhkan eksistensi di luar diri kita. Kita butuh ayah, ibu, makanan, waktu dan berbagai eksistensi lain yang menunjang eksistensi kita selama ini. Karena kebergantungan itu, maka kita adalah dzat yang bergantung (wujud robit). 

Kita boleh jadi wajib ada, namun kita ada dalam ketergantungan dengan yang ada lainnya. Kita berhutang pada segala yang mendahului, yang memberi nutrisi, dan merawat kita. Kita juga, sayangnya, bukan yang ada setiap saat. Kita pernah tidak ada, sekedar “potensi”, sebagai dzat yang mungkin, dan lalu mengalami “aktualisasi”. 

Dari sini kemudian filsuf muslim menyatakan, mustahil rangkaian kausalitas eksistensial itu dapat terbentuk tidak terhingga. Bahwa tidak mungkin untuk membayangkan ada rangkaian yang berisikan hanya eksistensi-eksistensi yang wajib namun sekaligus bergantung pada yang lain. 

Toh eksistensi yang kita kira niscaya ada, tidaklah sepenuhnya niscaya ada. Dia hanya wajib atau niscaya ada dari sisi “pernah ada” dan ada karena ada yang lain. Maka, kita membutuhkan satu yang wajib ada, sekaligus mandiri adanya. Dia adalah eksistensi yang niscaya, tapi tidak membutuhkan yang selainnya (wujud mustaqil). 

Dengan demikian, jelas saja tasalsul atau sebab dan akibat tak terhingga gagal menolak dua hal sekaligus. Pertama, keberadaan Dia, Tuhan yang eksistensinya wajib, mandiri, dan selalu ada. Kedua, kenyataan bahwa rantai kausalitas eksistensial hanya berlaku di realitas dalam kondisi terbatas, dibatasi oleh Dzat nan wajib dan mustaqil itu.

Sanggahan Terakhir, Ketiadaan Eksistensi dalam Infinite Regression

Untuk melengkapi sanggahan filsafat Islam, perlu pula dibahas argumen Ibnu Arobi. Beliau mengandaikan skenario berikut. Semisal dalam perang, terdapat pasukan yang memiliki garis komando panjang tak terhingga yang memberlakukan satu kondisi. Kondisi itu menyatakan bahwa setiap pasukan, hanya akan berperang jika yang lain telah maju terlebih dahulu. 

Maksudnya begini, pasukan A hanya menggempur jika B telah maju. Tapi, B hanya akan menyerang hanya jika C telah maju. Begitu pula seterusnya, pasukan-pasukan D, E, F dan pasukan lain yang tak terdefinisikan hanya akan menyerbu jika selainnya telah maju berperang. Jika begitu, kata Ibnu Arabi, tidak akan ada perang. 

Sama halnya dalam rangkaian kausalitas eksistensi, tidak akan ada eksistensi sama sekali jika tidak ada Tuhan diujung sana, yang tanpa bergantung kondisi apapun, telah eksis dan memberi eksistensi bagi lainnya. Demikianlah, tasalsul atau infinite regression ditolak olehnya.

Ahmad Amin Sulaiman

Menulis buku-buku filsafat Pedagogi Kritis. Pernah mendapatkan beasiswa untuk Master Psikologi Kognitif di Flinders University, serta Magister Filsafat Islam di Sadra. Sehari-hari, mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content