fbpx

Sinergisitas Agama dan Sosiologi

Jika lingkungan keberagamaan cenderung ke arah moderat, maka individu yang terbentukpun akan memiliki sikap moderat.
tokoh sosiologi max weber
Tokoh sosiologi Max Weber

Kajian agama tidak akan pernah tuntas jika tidak menyertakan perihal sosial kemasyarakatan di dalamnya. Agama dipahami dan dibentuk oleh masyarakat sebagai sebuah kepercayaan yang menjadi pegangan setiap individu meskipun, sebagian kalangan meniadakan pegangan tersebut atau mengingkarinya. Dalam sistem kepercayaan ada hal yang diyakini dan subjek yang meyakini, hingga artinya konsep agama atau kajian-kajian keagamaan tidak bisa dijauhkan dengan berbagai aspek yang terdapat juga dalam sosiologi.

Keterkaitan dan sinergisitas antara agama dan sosiologi terlihat sangat jelas dalam praktik  langsung di lingkup masyarakat. Berbagai permasalahan terkait keanekaragamaan kepercayaan bisa saja terjadi dalam satu wilayah yang sama. Sehingga, tidak menutup kemungkinan muncul berbagai fanatisme kepercayaan tertentu. Perihal demikian dikategorikan dalam permasalahan sosial menyangkut kepercayaan agama.

Namun hal demikian dapat dijauhi oleh beberapa kalangan yang telah ‘‘mapan’’ dalam perilaku beragama. Tindakan ini dilakukan dikarenakan konsep keberagamaan yang dipahami serta membentuk sikap toleran yang bersifat ‘mau tidak mau’ sebagai individu dalam lingkup sosial di mana tiap umat memiliki cara pandang berbeda antara satu dengan lainnya. Bahkan bukan hanya berbeda agama, sesama umat beragama yang sama pun akan dapat dipahami dengan cara yang berbeda dan memunculkan berbagai perbedaan. Hal demikian disebabkan karena setiap latar belakang sosial ikut serta membentuk cara berfikir dan bertindak individu. Sehingga, dalam kelompok agamawan yang ‘mapan’ akan menormalisasikan perbedaan tersebut dalam garis normal atau patut diterima dengan berbagai alasan yang ada.

Kelompok agamawan yang ‘‘mapan’’ merupakan salah satu hasil dari pembentukan masyarakat, dan juga merupakan upaya individu dalam membentuk dirinya sebagai kelompok minoritas dalam masyarakat yang memiliki visi membentuk lingkup areanya. Dalam arti lain, masyarakat ikut serta membentuk individu dan individu juga ikut serta membentuk dirinya sendiri melalui pikiran dan tindakannya. Hal demikian selaras dengan teori sosial yang diperkenalkan oleh Max Weber dan Emile Durkheim yakni mengenai tindakan sosial dan solidaritas sosial.

Menurut Weber, agamawan ‘‘mapan’’ dibentuk oleh kesadaran intelektualitas dan pengalamannya dalam mengembara sehingga ia memiliki konsep berfikir bebas tanpa terpengaruh oleh lingkungan bahkan cenderung mempengaruhi pikiran masyarakat. Untuk itu, agamawan ‘mapan’ dalam konsep sosial Weber menghadirkan manusia sebagai salah satu makhluk sosial yang memiliki daya mempengaruhi yang lainnya dengan intelektualitas dan pengalamannya. Dalam artian lain dapat dipahami, bahwa agamawan ‘mapan’ memiliki kesadaran tinggi atas agama dan eksistensinya disertai esensinya bagi manusia melalui nalar kritis. Sehingga, tidak sedikitpun ada faktor eksternal yang ikut serta mempengaruhinya.

Secara tidak langsung konsep sosiologi Weber memberikan kontribusi bahwa individu memiliki peran penting dalam masyarakat sebagai makhluk yang memiliki pengalaman dan intelektualitas dalam beragama. Individu memiliki kebebasan dalam menentukan alur bergamanya melalui nalar kritis yang kemudian membentuk tindakan-tindakan yang dapat mempengaruhi sekitarnya. Masyarakat dalam hal ini merupakan objek individu sebagai agamawan yang ‘mapan’. Ia dapat memilah sikap apa saja yang layak dan pantas untuk diaplikasikan serta disuntikan kepada masyarakat. Jika tidak demikian maka tidak ada masyarakat yang ‘mapan’ dalam beragama karena tidak ada kesadaran tinggi dalam membentuk cara pandang lingkungan terhadap perbedaan dalam kepercayaan.

Agamawan ‘mapan’ merupakan hasil dari konsep berfikir manusia sebagai makhluk berakal yang dapat berfikir kritis dan mengeksiskan dirinya dalam masyarakat sebagai kontributor aktif yang serat dengan pengaruh-pengaruh besarnya. Sehingga, masyarakat merupakan hasil dari bentukan tindakan sosial begitu pun agamawan yang ‘mapan’ merupakan bentukan dari kesadaran tinggi sebagai makhluk yang berfikir dan dapat mempengaruhi sesamanya termasuk membentuk masyarakat.

Berbeda dengan sosiologi Weber, Durkheim berpendapat sebaliknya. Bahwa individu atau agamawan yang ‘mapan’ merupakan hasil bentukan dari budaya dalam masyarakat. Tanpa masyarakat, individu tidak dapat menjadi agamawan ‘mapan’. Bukan itu saja, bahkan bisa jadi individu menjadi problem dalam lingkup masyarakat. Sehingga, mau tidak mau masyarakat merupakan pembentuk utama individu yang ‘mapan’ dalam beragama.

Pemikirannya ini didukung oleh beberapa realitas yang dapat diamati saat ini, ketika individu hadir dalam suatu kajian keagamaan, maka ia secara tidak langsung akan berbaur dan ‘mapan’ atas komunitas yang ada di dalamnya. Seandainya, ia tidak nyaman atau merasa tidak cocok, atau sebaliknya, jika individu yang masuk komunitas kajian keagamaan berbeda dengan karakter komunitasnya, maka akan menjadi problem.

Dalam hal ini, Durkheim secara tidak langsung menyoroti kaum agamawan yang hidup di pesantren. Solidaritas sosial sangat tergambar jelas dalam dunia  pesantren, dimana individu secara tidak langsung harus beradatasi dengan lingkungan pondok, hingga akhirya berbaur dengan para senior dan menjadi santri yang sama seperti lainnya.

Konsep Durkheim dewasa kini dapat kita lihat di berbagai tempat atau wilayah. Bagaimana individu dibentuk oleh lingkungan? Artinya lingkungan menjadi subjek pembentuk individu sebagai objek. Dalam hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut; individu baik merupakan ciptaan dari lingkungan yang baik, pun sebaliknya. Konsep ini secara logis dapat diterima dengan berbagai biasnya.

Adalah perlu disadari bahwa dalam keberagamaan, lingkungan menjadi modal penting dalam terbentuknya individu. Jika lingkungan keberagamaan cenderung ke arah moderat, maka individu yang terbentukpun akan memiliki sikap moderat. Begitu pula jika lingkungan individu cenderung liberal, maka individu yang terbentukpun akan secara tidak langsung mengalir, dan sebagainya. Oleh sebab itu, dalam pemikiran Durkheim, lingkungan menjadi modal awal mempertimbangkan untuk hidup, meskipun, individu telah kokoh beragama, jika ia hidup dalam lingkungan yang berbeda, akan menjadi problem.

Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content