fbpx

Transformasi modernitas padat ke modernitas cair

Proses perubahan yang demikian cepat membuat individu hanya menjadi sebuah “debu” di tengah lautan manusia yang tidak saling mengenal.
Zygmunt Bauman
Zygmunt Bauman

Pasca meletusnya Perang Dunia II, Zygmunt Bauman mencermati bahwa konteks kehidupan masyarakat mengalami dinamika. Arus kuat yang menyebabkan dinamika ini adalah adanya intervensi globalisasi. Nilai-nilai modernitas yang lahir, seperti sikap konformitas, rasionalitas serta progresivitas suatu bangsa-negara berangsur-angsur ditinggalkan karena nilai-nilai tersebut melahirkan suasana traumatik, khususnya yang disebabkan oleh banyaknya sikap represif dan jutaan kematian. “Janji modernisme” adalah menghadirkan kehidupan manusia yang lebih mapan dan nyaman melalui cara berpikir rasional. Akan tetapi, jika modernisme menggunakan cara berpikir yang rasional, mengapa terjadi bencana kemanusiaan, seperti Perang Dunia dan holocaust? Timbulnya rasa kecewa terhadap skenario “modernitas lama” atau “modernitas padat” telah membuat masyarakat Eropa Barat melakukan redefinisi dan juga transisi untuk beralih ke dalam mode “modernitas baru”. Lahirnya percik pemikiran mode “modernitas baru” disebabkan oleh pandangan bahwa negara dan sistem sosial kaku yang menjadi ciri khas “modernitas lama” adalah akar penderitaan manusia dan masyarakat. Meminjam analogi yang dikemukakan oleh Sorokin, bahwa konteks perubahan sosial ibarat sebuah “pendulum”, di mana dinamika sosial dari masyarakat modern yang terlalu kaku “dibalas” dengan konstruksi modernitas yang memprioritaskan kebebasan. Kontes modernitas yang menjunjung tinggi kebebasan inilah yang selanjutnya dikenal dengan istilah “modernitas baru” atau “modernitas cair”.

Negara tidak lagi memegang kendali atas dinamika sosial yang disebabkan oleh globalisasi dan pasar global. Pada saat yang sama, individu menjadi semakin apatis terhadap segala implikasi dari sistem ideologi dan pemerintahan. Sikap apatis inilah yang menjadi penyebab masyarakat tidak ikut larut pada “modernitas padat” (solid modernity), melainkan bersikap liberal dalam memasuki era “modernitas cair” (liquid modernity), yang diasumsikan sebagai sebuah pola baru yang membawa kemajuan—sama-sama “modern”, sama-sama sedang mencari “kemajuan”, akan tetapi kedua pola paradoksal soal “wajah modern” tersebut memiliki kelemahannya masing-masing.

Berbicara konteks dinamika atau perubahan sosial yang terjadi, perlu dilakukan penjelajahan secara kontemplatif tentang beragam peristiwa yang terjadi antara tahun 1950 dan 2000. Peristiwa yang terjadi pada era tersebut menjadi cikal bakal melemahnya ekspansi ideologis yang melunturkan pengaruh “modernitas padat” (solid modernity). Peristiwa yang dimaksud antara lain: (a) meletusnya Perang Dingin antara ideologi kapitalis Amerika Serikat dan paham komunis Rusia, (b) munculnya social movement dari kelompok pemuda dan lahirnya pop culture yang mengkritisi peristiwa Perang Dingin serta tindakan rasisme, (c) perkembangan jejaring komunikasi dan internet, dan sebagainya. Peristiwa-peristiwa tersebut menjadi indikator bagaimana sistem ekonomi-politik internasional serta masifnya jejaring komunikasi dapat terjadi lintas negara serta melemahkan fungsi negara modern. Ketika kekuatan globalisasi (mobilisasi manusia, uang, teknologi, dan lain-lain) melewati batas teritorial geopolitik sebuah negara. Ini menandakan bahwa individu dan masyarakat tidak perlu lagi percaya pada kekuatan nasional seperti pada era modern padat.

Implikasi yang sangat dirasakan ketika terjadi transisi pola modernitas, khususnya yang terjadi di negara-negara Barat adalah bergantinya sistem ekonomi industri menjadi sistem ekonomi jasa-finansial—berubahnya sistem kapitalisme Keynesian menuju kapitalisme Neoliberal. Aspek kehidupan ekonomi masyarakat pada masa “modernitas padat” (solid modernity) mengakumulasikan kapital dengan cara bekerja keras dalam sebuah pabrik dan optimalisasi kerja pada sektor industri, baik yang dilakukan oleh kelompok borjuis maupun oleh kelompok proletar. Namun, ketika memasuki era “modernitas cair” (liquid modernity), corak berekonomi dan cara mengakumulasikan kapital diperoleh melalui cara yang kreatif sekaligus eksklusif. Anda bisa datang kapan saja ke dalam pasar kontemporer dan menjumpai beragam produk yang ditawarkan, seperti banyak sekali merek tas, baju, atau sepatu dengan brand eksklusif. Kita bisa menggunakan akses internet untuk menonton (bukan lagi menonton  televisi); bagaimana banyak produk yang diiklankan di layar; semakin banyak produk handphone terbaru yang menawarkan spesifikasi hardware atau software terbaru; produk all you can eat secara visual yang ingin ditawarkan oleh produsen melalui jejaring digital. Akan tetapi, coba Anda perhatikan dengan seksama dan lebih dalam lagi, apakah Anda benar-benar membutuhkan produk tersebut atau hanya sekedar menginginkannya saja? Jika Anda hanya sekedar menginginkan produk yang ditawarkan, berarti Anda sedang “dihipnotis” oleh sistem kapitalisme global.

Bauman memandang bahwa perkembangan ekonomi saat ini sudah sangat berbeda dengan zaman dulu, sebelum Perang Dunia corak kehidupan ekonomi sangat industrialis, kolonialis, dan militeristik. Namun pasca Perang Dunia, perkembangan ekonomi berupaya untuk menggugah hasrat sikap konsumerisme dari masyarakat global, “merayu” untuk menyukai produk-produk negara maju dan menopang sistem kapitalisme mereka dengan soft power, seperti produk telepon genggam, makanan cepat saji, film, dan lagu-lagu populer (Bauman dalam Kurniawan, 2020: 111).

Kemudian, apa implikasi yang didapatkan oleh masyarakat? Bauman memandang bahwa ekonomi berbasis jasa dan finansial dalam konteks modernitas cair telah mengubah pola berpikir individu. Bauman berpendapat bahwa di masa lalu, masyarakat mempunyai tipe ideal berbasis otoritas legal-rasional, akan tetapi seiring masuknya pengaruh globalisasi, masyarakat yang semakin “terkini” dan digital ini sudah dibentuk oleh otoritas “karismatik dan emosional”. Pengaruh ekonomi berbasis simbol (ketertarikan) dan jasa telah menawarkan banyak sekali produk kreatif di pasar besar, para pemilik modal mencoba untuk merayu pembeli untuk terus mengonsumsi barang-barang baru. Dalam “modernitas cair” (liquid modernity), kita tidak lagi digerakkan oleh kebutuhan, tetapi oleh keinginan. Kita tidak lagi mengonsumsi barang-barang primer, tetapi membeli produk fashion yang mahal untuk menunjukkan posisi sosial kita di depan orang lain. Semakin kita mengonsumsi sesuatu, semakin “baik” citra diri kita di tengah masyarakat dan semakin “maju”. Bauman mengatakan bahwa saat ini tiap individu harus terus bersaing untuk menyenangkan para konsumen, yaitu orang lain, agar dapat memenangkan rekognisi mereka. Setiap orang mencoba untuk mendapatkan perhatian dengan “menjual” hal-hal personal dan privat di tengah media sosial demi mendapatkan rekognisi. Akan tetapi, di dalam diri kita sebenarnya merasa kesepian sehingga terus mencoba untuk menggantikan koneksi lama dengan yang baru, mengganti begitu saja bahan konsumsi lama dengan yang lebih terkini. Andaikan kita benar-benar “terkenal” di tengah “modernitas cair” (liquid modernity), itu tidak menjamin bahwa kita akan selamanya dikenang, sebab segala situasi menjadi semakin tidak pasti, ambivalen, dan penuh kecemasan. Proses perubahan yang demikian cepat membuat individu hanya menjadi sebuah “debu” di tengah lautan manusia yang tidak saling mengenal (Bauman dalam Kurniawan, 2020: 112-113).

Daftar Pustaka

Kurniawan, Kevin Nobel. 2020. Kisah Sosiologi (Pemikiran yang Mengubah Dunia dan Relasi Manusia). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Made Kurniawan

Peneliti di Bali Science Institute. Penulis buku Sosiologi, Gender dan Semiotika (2020).

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content