Worldview Simulacra: Revolusi Final Peradaban Manusia?

Mediumistic Paranoid karya Salvador Dali
Mediumistic Paranoid karya Salvador Dali

Tidak ada yang bisa menyangkal bahwa salah satu kapasitas utama manusia adalah kemampuannya dalam menciptakan peradaban. Hewan, tumbuhan, alam, di hari ini hampir sama sekali tidak ada beda dengan yang di masa lalu. Namun, manusia kontemporer hampir seluruhnya berbeda dari pendahulu. Seolah jika manusia lampau hidup, mereka akan terperangah dengan modernitas.

Yang menarik juga bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu menyadari diri dan segala apa diluar itu. Entah kesadaran itu atas manusia lain, alam semesta hingga bahkan Tuhan. Kesadaran kemudian menimbulkan pertanyaan: manakah yang utama, yang nyata. Apakah itu alam, Tuhan atau manusia sendiri?

Zaman Kuno – Kosmosentrisme

Pada zaman ini manusia menangkap eksistensi dirinya sebagai butiran debu di tengah sahara luas. Kecil, tak berarti. Sebagian yang belum tercerahkan menanggapi kehidupan dengan ketergantungan pada mitos-mitos mengenai alam. Mereka meyakini adanya Tuhan, namun seringkali Tuhan itu adalah perwujudan dari sifat-sifat alam yang mereka anggap adidaya.

Lautan yang luas, gelombang pasang yang dapat menenggelamkan kapal raksasa, namun sekaligus mengandung sumber makanan melimpah menjelma jadi Dewa Poseidon. Hingga langit cerah seketika dihinggapi awan pekat dan halilintar tanda hadirnya Dewa Zeus.

Zaman ini manusia merendah kepada kekaguman mereka atas kuasa alam. Namun, zaman ini pula adalah ketika rasio belum banyak berkembang. Filsuf-filsuf kuno hadir memberikan terjemah dunia yang kontemplatif dengan daya akal mereka. Sayang, pikiran mereka sekedar riak zaman. Barangkali memang demikian takdirnya filsuf.

Plato, misalnya, mengidentifikasi dunia dalam dua tingkat, alam ide dan alam bawah. Bahwa apa yang kita perbuat merupakan manifestasi dari alam ide itu. Aristoteles menolak dengan menyatakan bahwa kunci dari realitas adalah materi dan forma. Setiap materi selamanya sekedar potensi hingga forma hadir mengaktualisasi.

Alam sebagai pusat sangat tampak dalam pandangan kedua filsuf itu. Plato berobsesi menemukan alam yang sejati, asal dari segalanya, yaitu alam ide. Sedangkan Aristoteles, murid Plato sendiri, bergerak menjelaskan unsur-unsur dari segala yang ada di alam (materi dan forma itu tadi).

Zaman ini segera tergeser oleh zaman baru, dimana keyakinan pada kuasa alam dipandang ‘sesat dan harus dimurnikan’ oleh kepercayaan pada Tuhan sejati. Disinilah agama-agama mencapai puncak dalam singgasana zaman.

Zaman Pertengahan – Teosentrisme

Agama menggantikan keyakinan kosmosentris. Akibatnya, alam kehilangan sifat ‘ketuhanan’. Ia tidak lagi dipandang sebagai kekuatan yang menentukan, melainkan alam itu sekedar ciptaan pula yang diatur oleh Tuhan.

Satu hal yang juga mencirikan zaman ini adalah revolusi epistemologis disamping ontologis. Pada periode sebelumnya, penangkapan inderawi dan analisa intelek dianggap memadai untuk menerjemahkan realitas. Tapi kesadaran akan Tuhan berkonsekuensi pada penerimaan kelemahan epistemologis yang tersedia.

Pun, Tuhan tidak hadir tanpa petunjuk-petunjuk. Tuhan memiliki kitab-kitab yang berisikan sabda-Nya, yang mengungkap segala macam perkara. Mulai dari rahasia alam semesta, penciptaan manusia hingga hukum tertinggi yang musti dipatuhi manusia. Maka, kini hadir kitab suci sebagai sumber dan alat kebenaran berikutnya.

Zaman ini melahirkan ilmu-ilmu baru dalam memahami pesan-pesan ketuhanan. Baik hermeneutika di Barat, maupun tafsir di Timur, sama-sama memiliki tujuan untuk menggali makna dalam kitab Tuhan. Tentu, setali dengannya ilmu-ilmu filsafat yang lahir dari zaman sebelumnya turut dikembangkan. 

Ketegangan pun muncul. Bagaimana realitas sejati itu, Sang Tuhan yang melampaui materi, atau materi yang tampak itulah yang azali? Atau, menggunakan kerangka pikir dari zaman sebelulnya, haruskah kita turut kepada Plato yang meyakini alam idea sebagai kebenaran absolut atau Aristoteles yang memandang bahwa segalanya ada pada benda itu sendiri?

Thomas Aquinas meresolusi dengan membagi persoalan. Pada wilayah teologis, ia mengakomodasi Plato, sedang pada urusan duniawi ia menggunakan Aristoteles. Terlepas capaiannya, ysaha Thomas menunjukkan bahwa manusia senantiasa membangun jembatan pemikiran dari zaman ke zaman.

Yang mencemaskan, ironisnya, bahwa pada zaman ini agama dan Tuhan mengalami pencemaran. Ajaran-ajaran sakral dipahami sempit demi kepentingan para agamawan korup dan pemimpin serakah. Demikian hingga sampailah pada suatu arus pemberontakan intelektual besar yang membawakan zaman pencerahan, renaissan.

Zaman Pencerahan – Subjektivisme

Descartes memberi dasar bagi zaman ini melalui ‘Cogito Ergo Sum’nya. Menurutnya, satu-satunya hal yang tidak mungkin diingkari adalah diri manusia itu sendiri. Buktinya, coba sangkal eksistensi diri, semakin berusaha semakin kita sadar hal itu mustahil.

Adapun alam semesta di luar diri manusia hingga Tuhan tidak lekas dapat diafirmasi. Setiap orang memiliki dalil masing-masing yang dapat saling menegasi. Namun, eksistensi diri jelas dapat segera diterima secara intuitif dan langsung. Sebabnya tentu karena diri manusia itu adalah subjek yang mengamati sekaligus objek teramati.

Pelan-pelan kemudian subjektivisme Descartes menjadi gerakan intelektual besar yang berkonsekuensi pada dua hal berikutnya. Pertama, tidak lain adalah rasionalisme atau pengembangan kembali akal budi untuk mencapai kebenaran. Serta yang kedua, sekaligus paling penting, antroposentrisme: keberpusatan realitas pada diri manusia.

Maka lahirkan wordview yang manusia sentris ini dengan berbagai turunan. Sejak dari manusia universal, atau Homo Universale, hingga Homo Mensura, manusia sebagai ukuran untuk segalanya. Segalanya kemudian memenuhi fungsi sekedar menjadi objek bagi manusia.

Kita bisa menebak bahwa zaman tidak pernah diam. Manusia yang tidak pernah puas terus mencoba mengubah zaman menjadi lebih tunduk bagi dirinya. Untuk itulah manusia menciptakan alat-alat bantu yang meringankan kerja mereka. Alat-alat itu kemudian bermetamorfosa menjadi sebuah zaman baru: zaman teknologi.

Zaman Teknologi – Peradaban Simulasi

Ujungnya, manusia memenuhi ramalan Plato. Bahwa mereka menciptakan benda-benda yang dapat menjadi simulasi tingkat kedua dari diri manusia itu sendiri. Simulasi atas fungsi kaki dilakukan melalui roda-roda. Simulasi bahasa, indra-indra produksi dan penangkap informasi menghadirkan jejaring digital.

Akan tetapi yang paling puncak adalah ketika manusia ingin lepas dari sekedar ciptaan semesta, lantas menjadi pencipta semesta dalam artian yang sebenarnya. Kecerdasan buatan yang telah dikembangkan dalam beberapa dasawarsa adalah wujud ambisi besar manusia untuk menciptakan simulasi—tidak hanya fisik—tapi juga jiwanya.

Di sinilah ramalan Plato tidak mencakupi. Bahwa manusia bakal menciptakan jiwa artifisial yang dapat menjadi simulacra bagi jiwa mereka. Jiwa yang total, yang dapat berpikir, merasa, bertindak secara otonom.

Uniknya, manusia sendiri telah meramalkan bagi dirinya. Ramalan tentang masa dimana robot-robot pembunuh memburu mereka dalam pengasingan. Masalahnya, bagaimana bila film-film futuris-apokalipstik itu bukan cuma simulasi imajinasi, melainkan masa depan yang telah sangat dekat akan menghampiri?

Ahmad Amin Sulaiman

Menulis buku-buku filsafat Pedagogi Kritis. Pernah mendapatkan beasiswa untuk Master Psikologi Kognitif di Flinders University, serta Magister Filsafat Islam di Sadra. Sehari-hari, mengajar di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.