Ilustrasi Megara. Ilustrator tidak diketahui.

Logika merupakan studi dalam mempelajari metode dan prinsip yang digunakan untuk membedakan penalaran lurus (valid/correct) dan tidak lurus (invalid/incorrect). Model logika paling umum yang kita kenal adalah logika klasik. Setidaknya di Indonesia, logika klasik masuk dalam kurikulum pembelajaran matematika. Bahkan logika klasik masuk dalam bagian Tes Potensi Skolastik (TPS) yang digunakan dalam berbagai jenis ujian masuk perguruan tinggi, PNS, dan lain-lain. Tetapi apakah logika klasik dapat menjadi metode dan prinsip yang mewakili cara kita bernalar? 

Untuk mengawali pembahasan, kita perlu tahu apa yang dimaksud dari pernyataan kondisional. Pernyataan kondisional adalah pernyataan yang menggunakan kalimat “Jika A, maka B”. Dalam logika kita menulisnya dengan A → B. A disebut sebagai anteseden sedangkan B disebut sebagai konsekuen. Kondisional merupakan hal yang mendasar dan sering kita gunakan dalam bernalar. Namun kondisional merupakan hal yang membingungkan. Bahkan di antara beberapa logikawan, hanya ada sedikit kesepakatan tentang apa dan bagaimana kondisional yang tepat. Masalah ini bukan masalah yang baru. Kita dapat menelusurinya kembali ke perdebatan antara logikawan megaric dan stoik.

Philo dari Megara mengajukan bahwa suatu bentuk kondisional, “jika A, maka B” persis seperti “Tidaklah demikian bahwa A benar dan B salah”. Terdapat kesamaan pendefinisian antara pendapat Philo dari Megara dengan apa yang disebut sebagai material implikasi dalam logika klasik (era modern) yang dilakukan oleh Bertrand Russell dan Gottlob Frege. Hal tersebut dapat disimbolkan sebagai ¬(A & ¬B). Misalkan kalimat “Jika Naruto bangun jam 9 pagi, maka Naruto  terlambat ke sekolah.” (A → B). Kalimat tersebut menyimpulkan bahwa “Tidaklah demikian bahwa Naruto bangun jam 9 dan tidak terlambat ke sekolah.” (¬(A & ¬B)). Contoh lainnya misalkan seseorang menginformasikan bahwa “Naruto tidak bisa mengikuti ujian chunin tanpa (perlu) membayar SPP.” (Tidaklah demikian bahwa Naruto bisa mengikuti ujian chunin dan Naruto tidak membayar SPP). Dari informasi tersebut dapat disimpulkan bahwa “Jika Naruto tidak bisa mengikuti ujian chunin, maka Naruto (perlu) membayar SPP”.

Pernyataan kondisional memiliki tabel kebenaran sebagai berikut:

ABA → B
benarbenarbenar
benarsalahsalah
salahbenarbenar
salahsalahbenar
Tabel kebenaran dalam logika klasik

Terlihat pada tabel kebenaran ada yang ganjil, ketika B benar pada suatu situasi (baris pertama dan ketiga), itu berarti A → B benar. Hal itu benar untuk contoh “Jakarta adalah ibu kota Indonesia.” tetapi untuk kondisional “Jika Jakarta bukan kota di Indonesia maka Jakarta adalah ibu kota Indonesia.” tampak jelas salah. Begitu juga pada tabel kebenaran ketika A salah (baris ketiga dan keempat). Kondisional “Jika Malang adalah ibu kota Indonesia maka Surabaya adalah ibu kota Indonesia.” ini juga jelas sekali salah. 

Apa yang ditunjukan pada contoh paragraf sebelumnya menunjukkan bahwa → bukanlah fungsi kebenaran: kebenaran dari A → B tidak ditentukan oleh nilai kebenaran dari A dan B. “Jakarta ada di Jepang.” dan “Bangkok ada di Jepang.” keduanya salah. Tetapi kondisional, “Jika Indonesia bagian dari Jepang, maka Jakarta ada di Jepang.” benar. Dan akan salah ketika kondisional “Jika Indonesia bagian dari Jepang, maka Bangkok ada di Jepang”. Jadi bagaimana kondisional bekerja?

Untuk melihat bagaimana kondisional bekerja dan variasinya, kita perlu terlebih dahulu mempelajari operator modal. Ada dua operator modal yaitu mungkin (◊) dan niscaya (□). ◊A dibaca mungkin bahwa A, dan □A dibaca niscaya bahwa A. Kedua operator modal ini saling berhubungan, □A = ¬◊¬A (niscaya bahwa A sama dengan tidak mungkin bahwa tidak A) dan ◊A= ¬□¬A (mungkin bahwa A sama dengan tidak niscaya bahwa A). Untuk contoh sebagai berikut, “Manusia mungkin akan mati sama dengan manusia tidak niscaya tidak mati.” (◊A=¬ □¬A). Contoh lainnya “Benda yang dilempar ke atas niscaya akan jatuh sama dengan benda yang dilempar ke atas tidak mungkin tidak akan jatuh.” (□A=¬◊¬A).

Operator modal tidak seperti operator lainnya (negasi, atau, dan, jika maka, jika dan hanya jika) yang jika kita mengetahui nilai kebenaran dari A kita tahu nilai kebenaran dari ¬A dan sebagainya. Operator modal bukanlah fungsi kebenaran, jadi nilai kebenaran dari □A ataupun ◊A tidak ditentukan oleh nilai kebenaran A. Untuk memperjelas perhatikan contoh berikut:

  • Misalkan pernyataan A = “Sasuke akan berangkat ke sekolah jam 7 pagi”, pada faktanya kalimat A salah, tetapi pernyataan A mungkin benar (Sasuke memasang alarm jam 6 pagi) maka ◊A benar.
  • Misalkan pernyataan B = “Sakura akan terbang tanpa alat bantu ke sekolah”, pada faktanya kalimat B salah, berbeda dengan pernyataan A pernyataan B tidak memiliki kemungkinan benar karena jika kalimat B benar akan melawan hukum gravitasi. 
  • Misal pernyataan C = “Shikamaru akan berangkat ke sekolah jam 8 pagi”, pada faktanya kalimat C benar, tetapi tidak benar secara niscaya karena ada kemungkinan hal lain yang bisa seperti Shikamaru sakit.
  • Misal pernyataan D = “Jika Konohamaru berjalan 10 meter ke depan, Konohamaru berada di tempat yang berbeda dari tempat asal”, pada faktanya kalimat D benar, pernyataan D benar secara niscaya karena tidak ada kemungkinan untuk salah.

Bisa disimpulkan bahwa kebenaran ◊A, ◊B, □C, dan □D tidak ditentukan oleh kebenaran A, B, C, dan D.

Jadi dari mana kita bisa menentukan nilai kebenaran ◊A dan □A? Nilai ◊A  dinyatakan benar pada situasi s (kita sebut situasi = s, setiap situasi berasal dari kumpulan kemungkinan yang berhubungan situasi), jika A benar pada beberapa situasi yang berhubungan dengan s. Sedangkan nilai □A dinyatakan benar pada situasi s, jika A benar pada seluruh situasi yang berhubungan dengan s

Kembali ke kondisional, lalu apa hubungan modalitas dengan kondisional? Dari sini bisa kita lihat bahwa hubungan A → B benar pada situasi s, hanya jika B benar pada seluruh situasi yang berhubungan dengan s di mana A benar. Hubungan A → B salah pada situasi s, ketika B salah pada beberapa situasi yang berhubungan dengan s di mana A benar. Dengan pengertian ini, ada dua jenis kondisional yang akan dibahas yaitu A → □B dan □(A → B). 

Yang pertama A → □B, pernyataan ini berarti jika A secara fakta benar maka B secara niscaya benar. Biasanya pernyataan ini digunakan untuk menyatakan pernyataan “Kamu tidak dapat mengubah masa lalu, jika sesuatu itu terjadi di masa lalu, sekarang hal itu sudah menjadi kenyataan dan tidak ada yang bisa kamu lakukan untuk mengubahnya.” Contoh lainnya yaitu “Jika ditemukan mayat di kamar tidur, maka terjadi pembunuhan kemarin malam”, “Terjadi pembunuhan kemarin malam”, merupakan sesuatu yang telah terjadi di masa lalu dengan kata lain hal itu tidak bisa diubah. Dari sini bisa kita lihat bahwa misalkan pernyataan “Perang shinobi terjadi pada tahun 1889” merupakan pernyataan yang niscaya benar. Tetapi jika pernyataan tersebut diucapkan pada tahun 1888 pernyataan tersebut tidak niscaya benar. Dengan kata lain sesuatu yang terjadi benar di masa lalu menjadi niscaya benar saat ini ( Q → □Q).

Yang kedua □(A → B), pernyataan ini berarti jika A maka tidak bisa tidak terjadi B. Biasanya kita menggunakan pernyataan ini untuk menunjukkan fakta bahwa B mengikuti dari A. Contohnya pernyataan “Jika Hinata akan bercerai maka tidak bisa tidak Hinata telah menikah”. Kita tidak berbicara soal jika Hinata akan bercerai, pernikahannya tidak dapat dibatalkan. Yang dimaksudkan adalah bahwa Hinata tidak bisa bercerai tanpa telah menikah terlebih dahulu. Di sini tidak ada situasi yang mungkin bahwa A benar namun tidak diikuti B. Artinya dalam situasi apapun yang mungkin jika yang satu benar maka yang lain juga benar. Hal inilah yang oleh C. I. Lewis disebut sebagai kondisional ketat, untuk mengkritisi penggunaan material implikasi dalam principia mathematica di mana material implikasi membolehkan konsekuen yang benar mengikuti dari anteseden yang salah. 

Note: 

Semua penyataan modal disini termasuk kemungkinan nomologis, dimana sesuatu itu mungkin sejauh tidak bertentangan dengan hukum alam yang berlaku di dunia aktual.

Widyan Hirzi

Widyan Hirzi saat ini menjadi ketua Departemen Pendidikan di Lingkar Studi Filsafat Discourse (LSF Discourse) dan sedang menempuh studi teknik sipil di Universitas Negeri Malang.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.