Hagia Sophia karya Anonim
Hagia Sophia karya Anonim

Semangat umat untuk merevitalisasi Islam tentunya layak untuk diapresiasi, tetapi yang patut dipertanyakan disini adalah bagaimana jika semangat tersebut justru malah menghilangkan potensi masa depan itu sendiri?

Islam, seperti agama yang lain, memiliki narasi-narasi yang dipegang oleh pemeluknya, dan narasi ini juga akan membentuk identitas dan perspektif dari para pemeluknya. Salah satu narasi yang sering diumbar oleh seorang Muslim adalah “Masa Keemasan Islam”, suatu masa dimana ilmu pengetahuan, kultur, serta ekonomi berpusat di dunia Islam. Penulis kira masa ini pula yang menyebabkan para pemeluknya bisa dibilang cukup taat, karena merasa bahwa Islam lah memang agama yang menghantarkan manusia dari masa yang jāhilīyah (kebodohan/ketidaktahuan) menjadi masa yang beriman serta berintelektual tinggi.

Tetapi tentu saja saya tidak akan dengan mudah menyanjung masa ini hanya karena penulis seorang muslim. Tulisan ini hanya sebagai kritikan penulis terhadap umat, bukan kepada masa keemasan itu sendiri. Hal ini saya lakukan dikarenakan seringkali ketika ada penemuan dari Barat, atau pun tokoh Barat yang menyampaikan suatu kebijaksanaan, seringkali akan diapropriasikan oleh umat Islam sebagai kearifan lokal mereka yang dicuri oleh Barat. Dalam hal ini penulis tidak menafikan terobosan-terobosan yang dilakukan oleh ilmuwan Muslim, tetapi memang harus disadari oleh umat bahwa saat ini, umat Islam telah kalah dari Barat dalam segi kemajuan teknologi dan pembangunan. Kalau tidak, kenapa pakem modernitas seringkali disinonimkan dengan westernisasi, bukan islamisasi?

Penulis kira, semangat umat untuk mencoba mereplikasi semangat Masa Keemasan Islam, bukannya membawa Islam kepada revitalisasi, tetapi malah membawa umat kepada spirit yang depresif, kecewa, dan hilang arah. Secara ironis, Islamic Golden Age malah memberikan apa yang disebut Lost Futures dan perasaan Hauntology, yakni sebuah keadaan bahwa kenyataan masa depan tidak semanis apa yang dibayangkan masa lalu, tetapi malah kepada masa depan tanpa harapan.

Apa itu Lost Futures dan Hauntology?

Hauntology, atau Hauntologi, adalah sebuah terminologi yang diciptakan oleh filsuf Prancis Jacques Derrida. Dalam Specters of Marx, Derrida merujuk bahwa masa lalu bukanlah suatu masa yang statis dan berhenti, tetapi ada keadaan yakni masa lalu yang menghantui masa sekarang hingga mempengaruhi persepsi seseorang tentang masa depan. Derrida mengacu Hauntologi layaknya seorang hantu yang gentayangan, membayangi seseorang hingga ia harus melakukan sesuatu, yang berarti bahwa seseorang ini sudah dipengaruhi oleh “hantu” tersebut.

Konsep Hauntologi kemudian dikembangkan lagi oleh filsuf Inggris bernama Mark Fisher, atau lebih sering dikenal sebagai k-punk di blognya. Fisher mengembangkan konsep Hauntologi Derrida, dengan contoh dari budaya pop-kultur musik alternatif. Kalau di Indonesia, mungkin musik yang paling cocok dengan pemahaman Fisher adalah dari band Bvrtan. Band yang merupakan singkatan dari Bvrvh Tani (Buruh Tani), yang seringkali membuat lagu kritik terhadap sistem, tetapi sekaligus memuat perasaan melankolis nostalgia ke masa dimana rakyat sejahtera, tidak ditindas, dan semacamnya. Pasrah sekaligus marah terhadap masa lalu, sekarang, dan masa depan — masa lalu yang meromantisasi bagaimana masa depan terjadi, masa sekarang membuat kita bernostalgia atas masa lalu, tetapi juga menghantarkan kita terhadap realitas pahit masa depan, dan kepada masa depan karena kita tidak mampu menjangkaunya, alias hanya jadi angan-angan — inilah yang dimaksud Fisher sebagai Lost Futures, yakni masa depan yang hilang.

Islam Punya Hantu, Masa Emaslah Hantunya

Kembali lagi pada Masa Keemasan Islam, seringkali masa atau periode ini menjadi tolak ukur umat atas kejayaan Islam masa lampau, dan berbicara banyak kepada orang luar Islam mengenai bagaimana Islam dulunya telah menjadi pusat dunia. Namun makin ke sini usaha mereplikasi kejayaan yang sama ini tidaklah begitu berhasil, justru umat makin tidak mampu mengejar ketertinggalannya dengan Barat.

Revitalisasi Islam tentunya bukan perkara mudah, tetapi juga bukan perkara personal, seringkali umat hanya bisa menunggu satu tokoh yang akan ditunjuk sebagai mujaddid sebagai pakem revitalisasi Islam. Padahal bagi saya, revitalisasi atau pembaruan ini harus dipromosikan oleh seluruh umat, bukan segelintir, apalagi seorang saja. Selain itu, bagi saya memang tidak ada salah untuk mengakui kekalahan dari Barat, justru bagi saya itu adalah langkah yang baik, ini berarti kita melepaskan diri kita dari beban dan hantu “Masa Emas” ini. Karena ketika kita masih berpusat terhadap periode ini, akan ada momen dimana umat tidak mampu memenuhi ekspektasi masa depan, dan jatuh kepada perasaan melankolia, persis seperti apa yang dikatakan Fisher.

Saya kira perkataan dari Tan Malaka lumayan pas untuk umat sekarang:

Belajarlah dari Barat, tapi jangan jadi peniru Barat, melainkan jadilah murid dari Timur yang cerdas.

Tidak perlu malu mengambil ilmu dari Barat, bukannya dulu Masa Emas dimulai dengan cara yang sama, yakni Islamisasi ilmu Barat?

Aryaguna Kusuma Putra
Aryaguna Kusuma Putra

Mahasiswa Ilmu Komunikasi di UIN Sunan Ampel Surabaya

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.