Kekeliruan Kategori Bahasa dalam Komunikasi Menurut Gilbert Ryle

Gilbert Ryle adalah seorang filsuf Inggris yang mewakili generasi pemikir Inggris yang menggunakan pendekatan Wittgenstein untuk masalah filsafat, ia juga dikenal karena kritiknya terhadap dualisme Cartesian. Ryle dilahirkan di Brighten, Sussex, Inggris pada 19 Agustus 1900.  Ryle (1900-1976) belajar filologi klasik dan filsafat di Oxford dan pada tahun 1945 menjadi profesor di sana. Pada tahun 1947 ia menggantikan Moore sebagai pemimpin majalah Mind dan memegang jabatan ini sampai tahun 1971.

Karir akademiknya dihabiskan di Oxford sampai dengan masa pensiun di tahun 1968. Sementara itu karyanya yang terkenal adalah The Concept of Mind (1949). Beberapa ceramah yang dibawakan di Cambridge diterbitkan dengan judul Dilemmas (1954). Ia juga menulis buku yang menyangkut salah satu masalah sejarah filsafat Yunani: Plato’s Progress (1966). Sejumlah karangan yang sudah diterbitkan dalam majalah-majalah dikumpulkan dalam Collected Papers (1971), dua jilid. Sesudah meninggalnya masih terbit On Thinking (1979). Tidak jarang dikatakan bahwa The Concept of  Mind merupakan salah satu buku terpenting di bidang filsafat Inggris dalam periode sesudah Perang Dunia II.[1]

Latar Belakang Filsafat Bahasa

Sesudah Perang Dunia II, negara-negara di Eropa melakukan banyak pembaharuan. Hal ini berdampak hingga pada pendidikan. Para filsuf yang aktif dalam bidang pendidikan mulai memikirkan bagaimana mengembangkan pengetahuan menjadi lebih baik. Universitas Oxford kembali unggul dengan pembahasan baru mengenai filsafat analitis. Oxford menjadi pusat baru dalam gerakan filsafat analitis, oleh sebab itu fokus filsafat di Oxford pada periode itu difokuskan pada ordinary language philosophy. Para filsuf Oxford sangat dipengaruhi oleh Wittgenstein.[2]

Kaum terdidik mengalami banyak tantangan untuk diangkat menjadi profesor di sana. Para filsuf Oxford sebagian besar dididik sebagai ahli dalam filologi klasik (Yunani dan Latin). Hal ini mempengaruhi konsep fisafat analitis mereka termasuk Ryle. Tidak heran jika Ethica Nicomachea  (karya Aristoteles yang disukai Ryle), memiliki tempat penting dalam analisis sistematis terhadap pemahaman dari bahasa biasa. Meskipun demikian, pada sekitar tahun 1950-an Oxford mulai melebihi saingannya yaitu Cambridge, terutama dalam melopori aliran filsafat yang dikenali sebagai “filsafat analitis”.[3]Filsafat analitik sebelumnya didominasi oleh tokoh dari Universitas Cambridge, terutama Moore, Russel dan Wittgenstein. Tetapi setelah berakhirnya Perang Dunia II, filsafat analitik kemudian diambil alih oleh tokoh dari Oxford di antaranya adalah Ryle dan Austin.

Konsep Ryle bertitik-tolak pada penggunaan bahasa biasa bagi tujuan-tujuan filsafat. Warna filsafat Ryle dipengaruh oleh pemikiran Witgenstein dalam titik tolaknya pada bahasa biasa. Sedangkan prinsip analisisnya menunjukkan garis lurus dari prinsip analisis Moore (tokoh filsafat analitik (penguraian)). Ryle memang mendasarkan pada prinsip filsafat bahasa biasa, namun demikian nampak unsur logika juga mempengaruhi pemikirannya. Hal ini nampak pada bukunya “The Concept Of Mind”. Ia membahas dan menganalisis berbagai macam penggunaan bahasa sehari-hari terutama dalam filsafat, dimana seringkali terjadi kekeliruan kategori atau yang dikenal dengan istilah category mistake.

Filsafat Bahasa Ryle

Pokok pikiran filsafat Bahasa Ryle sebagian besar terdapat dalam bukunya yang berjudul The Concept of Mind. Buku ini salah satunya membahas dan menyelidiki konsep yang berkaitan dengan hidup psikis, seperti misalnya penyerapan (sensation), persepsi, fantasi, pengingatan, pengertian, kehendak, motif, dan lain sebagainya.[4]Kata–kata yang demikian tentu tidak asing bagi pembaca. Ryle menganalisis kata-kata ini dengan cara terperinci dan mendalam, sebab ia meyakini bahwa dengan demikian banyak salah paham yang timbul dalam filsafat dapat diminimalisirkan.

Ryle dan Category Mistake

Menurut Ryle kekeliruan pokok yang sering terjadi dalam filsafat adalah apa yang disebutnya sebagai category-mistake, kekeliruan mengenai kategori. Mereka yang mengadakan kekeliruan ini akan melukiskan fakta-fakta yang termaksud kategori satu dengan menggunakan ciri-ciri logis yang menandai kategori lain. Hal ini tentu memiliki arti dan tujuan yang berbeda dengan pengertian yang sesungguhnya. Berikut adalah contoh yang sederhana untuk memahami kekeliruan ini: Seorang mahasiswa yang baru masuk di STFT Widya Sasana, karena ingin tahu lebih mendalam tentang sekolah tersebut, maka ia berkeliling kampus. Ia melihat genung A, gedung B, gedung C dan Gedung D. Setelah selesai berkeliling, mahasiswa tersebut bertanya: “Dimanakah letak kampus STFT Widya Sasana?”. Bentuk pertanyaan seperti ini adalah termasuk category mistake. Sebab, STFT Widya Sasana bukanlah gedung-gedung, disamping yang lainnya. Suatu perguruan tinggi, seperti kasus STFT Widya Sasana tidak lain adalah satu kesatuan yang terdiri dari gedung-gedung.

Contoh lainnya, seorang mahasiswa pergi ke perpustakaan UIN Malang. Setelah sampai di perpustakaan ia melihat koleksi buku di salah satu lemari perpustakaan, yang berisi buku-buku: sosiologi, ilmu sejarah, antropologi, psikologi, dan ilmu ekonomi. Kemudian ia bertanya: “Pak, saya ingin mengetahui tentang salah satu buku yang membicarakan tentang sains sosial.”Perkataan ini jelas merupakan category mistake, sebab jenis buku yang membahas tentang ilmu sosial adalah buku yang baru saja dilihat oleh mahasiswa tersebut, sebab mengandung ilmu-ilmu sosial (social science) seperti sosiologi, ilmu sejarah, antropologi, psikologi, dan ilmu ekonomi dan sebagainya.

Category mistake yang diungkapkan Ryle menegaskan bahwa peran logika menjadi sangat sentral. Tujuan yang ingin dicapai namun menggunakan logika yang keliru tentu tidak akan sampai pada tujuan semula. Ungkapan dari kata-kata yang ingin disampaikan perlu diperhatikan kembali apakah mengandung makna yang keliru atau tidak.

Kritik terhadap Pandangan Descartes tentang Manusia Dualistik

Melalui category mistake, Ryle telah membantu pembaca dengan memperlihatkan kekeliruan pandangan Descartes (1596-1650) tentang manusia yang dualistik. Menurut Descartes, manusia terdiri dari dua substansi, yaitu roh dan materi. Keduanya berlainan satu sama lain. Inilah “category mistake” kata Ryle. Sebab sangatlah aneh dua substansi berlawanan, yang memiliki perbedaan kategori bisa harmonis bersatu dalam satu wadah. Pandangan dualisme Descartes tentang manusia ini oleh Ryle disebutnya sebagai “suatu hantu dalam sebuah mesin”.[5]

Kekeliruan kategori yang diungkapkan Descartes adalah bahwa manusia mempunyai pikiran, dengan cara yang sama ia juga mempunyai tubuh (fisik). Yang dimaksudkan oleh Descartes di sini adalah bahwa apa yang dipikirkan itulah yang dilakukan. Dengan kata lain pikiran manusia menentukan tindakan fisiknya. Gilbert menentang pendapat ini. Menurutnya tidak semua yang dipikirkan adalah itu yang dilakukan oleh fisik. Ia mengacu pada behaviorisme dimana alam bawah sadar juga dapat mempengaruhi tindakan fisik. Berjalannya waktu ia juga meyangkal pendapatnya tentang behaviorisme. Sebab prinsip tersebut juga mengandaikan proses dari satu sebab ke sebab yang lain. Ryle menyimpulkan bahwa baik teori Cartesian maupun teori behaviorisme mungkin terlalu kaku dan mekanistik untuk memberi pembaca pemahaman yang memadai tentang konsep pikiran. Roh dianggap sebagai suatu hal yang dapat dibandingkan dengan tubuh tetapi berbeda dengannya, karena tidak bersifat spasial, tidak terbuka untuk orang lain, dan hanya dikenal melalui intropeksi. Untuk memperjelas pandangannya, Ryle menggunakan analogi berikut:

[…] Jadi seorang pembeli boleh saja mengatakan ia membeli sebuah sarung tangan kiri dan sebuah sarung tangan kanan, tetapi ia tidak dapat mengatakan telah membeli sebuah sarung tangan kiri dan sebuah sarung tangan kanan dan sepasang sarung tangan.[6]

Ryle melalui analogi di atas ingin menegaskan bahwa dogma tentang hantu dalam sebuah mesin harus memiliki konsep yang serupa. Konsep Descartes tentang manusia yang dualistik tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Apa yang dimaksudkan oleh Ryle adalah bahwa manusia dalam tindakannya harus serentak antara proses fisik dan mental. Para filsuf mengakui bahwa inteligensi misalnya merupakan suatu hal yang dikuasai oleh hukum-hukum yang lain. Tetapi mereka keliru dalam mengandaikan bahwa kata “inteligensi” menunjuk kepada suatu entitas. Fungsi kata inteligensi hanyalah melukis tingkah laku seorang manusia.[7]

Bahasa Biasa (The Ordinary Language)

Penggunaan bahasa biasa bagi Ryle adalah penekanan terhadap penggunaan yang biasa dari bahasa atau penggunaan bahasa yang baku, yang standar dan bukannya pengunaan bahasa yang dipakai dalam komunikasi sehari-hari. Untuk lebih memahami penggunaan bahasa biasa dalam meyelesaikan masalah filsafat, Ryle membedakan pelbagai jenis kata. Misalnya, menurut dia perlu dibedakan kata-kata yang menunjukan kepada suatu disposisi (sifat, kebiasaan) dengan kata-kata yang menunjuk kepada suatu pengertian peristiwa. Ungkapan seperti “ia mengerti bahasa Indonesia” (pernyataan disposisi) dengan “ia mendengarkan siaran berita bahasa Indonesia” (pernyataan yang menunjukkan peristiwa). Dalam contoh ini konteks menyeluruh tentu akan mengizinkan untuk memastikan arti mana yang dimaksudkan.

Seringkali yang terjadi dalam uraian filosofis, sang filsuf beralih dari arti jenis satu ke arti jenis kedua tidak diperhatikannya. Contoh lain adalah perbedaan antara kata kerja yang mengacu ke suatu tugas dan kata kerja yang mengacu ke suatu hasil. Dua jenis kata kerja ini seringkali digabung sebagai pasangan. Jika demikian, aktivitas yang sama diucapkan dengan cara yang berlainan oleh dua jenis kata kerja tersebut. Jadi, pembaca tidak perlu mengandaikan dua aktivitas. Satu-satunya perbedaan ialah bahwa aktivitas yang tadinya suatu percobaan saja, pada saat tertentu mencapai keberhasilannya.[8] Contoh yang kiranya dapat membantu pembaca untuk mengerti hal ini: jika pembaca mengatakan umpamanya bahwa seorang atlet renang, jika ia berenang seratus meter dan menang, pembaca memakai dua jenis kata kerja itu, karena berenang adalah suatu kata kerja yang mengacu pada suatu tugas sedangkan menang adalah suatu kata kerja yang mengacu pada suatu hasil.

Perlu diperhatikan bahwa kata kerja yang mengacu pada suatu hasil tidak menunjukan aktivitas di samping berenang, tetapi suatu hasil yang diperoleh dengan berenang. Atlet ini tidak melakukan dua hal, pertama berenang dan kedua menang; ia hanya melakukan satu hal saja, yaitu berenang dengan sekuat tenaga. Hal ini perlu pembaca ketahui untuk mengerti banyak kata yang menyangkut hidup psikis pembaca.

Relevansi

Komunikasi yang terjadi dalam kehidupan manusia pada umumnya dibagi menjadi tiga bagian yaitu komunikasi lisan, tertulis dan isyarat (bahasa tubuh). Komunikasi lisan adalah berupa bahasa percakapan langsung maupun tidak langsung. Sedangkan komunikasi tertulis adalah komunikasi berupa bahasa tulisan dan komunikasi bahasa tubuh adalah komunikasi berupa gerak tubuh. Relevansi yang dibahas dalam tulisan ini adalah berupa komunikasi tertulis. Penulis lebih menyoroti bagaimana komunikasi yang terjadi melalui tulisan seringkali mengandung makna ganda. Hal ini dapat dikatakan sebagai kekeliruan ketegori yang menjadi sorotan Ryle.   

Di Indonesia misalnya, pembuatan poster atau spanduk kerap kali mendapat perhatian, sehingga tidak jarang berbagai penilaian pun bermunculan. Penilaian atau bahkan kritik diberikan bukan semata-mata karena mencemari pandangan tentang keindahan suatu kota, tetapi lebih dari pada itu. Masyarakat yang memiliki pandangan kritis terutama pada zaman ini, menilai sesuatu tidak berdasarkan bagian perbagian tetapi mulai melihat secara keseluruhan (bentuk fisik, isi dari tujuan pembuatan, letak tempat dan sebagainya).

Tujuan pembuatan poster, spanduk, dan jenis informasi lainnya adalah untuk memikat orang lain agar melihat dan membaca. Apakah orang tertarik dengan informasi tersebut adalah bagaimana bahasa yang ditulis dapat membuat orang lain mengerti secara logis. Seringkali yang terjadi dalam penyampain suatu informasi berupa poster dan lain sebagainya, kata atau frasa yang dipilih mengandung banyak penafsiran. Akibatnya maksud dan tujuannya tidak tercapai. Kekeliruan kategori yang merujuk pada penggunaan bahasa biasa tidak hanya terjadi dalam lingkungan filsafat. Kekeliruan kategori juga seringkali terdapat dalam kehidupan masyarakat luas dewasa ini.

Contoh kekeliruan kategori bahasa berikut:


Terima Kos

Karyawati/Mahasiswi

Free Wi Fi spot

Jl.Gondang Barat IV No. 4

Tembalang-Semarang

024-76482346/085740653315


Dari informasi di atas dapat dilihat bahwa ada beberapa kesalahan. Pertama, kata kos tidak terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kata yang benar dan yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah indekos, yang berarti tinggal di rumah orang lain dengan atau tanpa makan (dengan membayar per bulan).[9] Kedua, frasa terima kost tidak dapat dibenarkan karena kost tidak dapat diterima, yang diterima adalah laki-laki atau perempuan indekos, yang membayar untuk dapat tinggal di rumah tersebut. Pembetulan dari dari frasa terima kost adalah “Menawarkan Jasa Indekos.

Penulisan informasi seringkali mengandaikan orang yang membaca mengerti apa yang dimaksud. Pemahaman seperti ini adalah salah. Dalam menulis suatu informasi perlu adanya kelogisan dalam sruktur bahasa. Informasi yang bersifat umum seperti contoh di atas, dilihat dan dibaca oleh masyarakat umum. Hal ini harus disadari bahwa apa yang pembaca pikirkan berbeda dengan yang dipikirkan oleh orang lain sehingga perlu adanya pengertian atau kebenaran umum yang dimengerti oleh masyarakat umum. 

Filsafat bahasa Ryle mengajak pembaca untuk mampu menempatkan suatu bahasa dalam konteksnya masing-masing. Ryle tidak mendasarkan pada struktur logika bahasa yang memperhatikan dan menganalisis penggunaan bahasa sehari-hari berdasakan prinsip-prinsip logika, yaitu sering terjadi dalam penggunaan bahasa sehari-hari menyalahi prinsip-prinsip logika. Salah satu analisisnya category mistake yaitu kekeliruan mengenai kategori (kegalatan kategori). Kekeliruan kategori ini, menurut Ryle terjadi tatkala pembaca menuliskan fakta-fakta yang termasuk satu kategori dengan menggunakan ciri-ciri yang logis yang menandai kategori yang lain. Oleh karena itu tugas filsafat adalah berkaitan dengan analisis penggunaan bahasa yang biasa dari ungkapan-ungkapan tertentu dan bukannya menganalisis bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Daftar Pustaka

Bertens, K. (2013).  Sejarah Filsafat Kontemporer Jerman dan Inggris. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 

Kaelan. (2002). Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya. Yogyakarta: Paradigma.

Mustanyir, Rizal. (1995). Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peran Para Tokohnya. Jakarta: Rajawali Pers.

Ryle, Gilbert. (1983).  The Concept of Mind. Middlesex: Penguin Books. 1983

Setiawan, Ebta. (2010).  KBBI Offline Versi 1.1.


[1]  Bertens. (2013).  Sejarah Filsafat Kontemporer Jerman dan Inggris. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka   Utama.

[2] Ibid. Adat istiadat yang dimaksud adalah bahwa orang luar (bukan merupakan lulusan Oxford) tidak dapat menjadi pemimpin di universitas Oxford.

[3] Mustanyir, Rizal. (1995).  Filsafat Analitik: Sejarah, Perkembangan, dan Peran Para Tokohnya.    Jakarta: Rajawali Pers.

[4] Ibid.

[5] Ibid.

[6]  Ibid.

[7]  Ryle, Gilbert. (1983). The Concept of Mind.  Middlesex: Penguin Books.

[8] Bertens. (2013).  Sejarah Filsafat Kontemporer Jerman dan Inggris.

[9] Setiawan, Ebta. (2010). KBBI Offline Versi 1.1.

Gregorius Watu lahir di Desa Semayok Baru, Kec. Pemahan, Kab. Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat pada tanggal 22 November 1996. Ia dibesarkan dalam keluarga sederhana dengan seorang ayah dan ibu yang bekerja sebagai petani sawit dan karet. Hobi membaca novel di tengah kesibukannya kini sebagai mahasiwa STFT Widya Sasana Malang. Motto hidupnya adalah Serviens in Caritate - Melayani dalam Kasih.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.