Filsafat sebagai upaya untuk memahami realitas dan pengetahuan, memiliki pengaruh signifikan terhadap perkembangan paradigma penelitian. Dalam konteks penelitian kualitatif, filsafat modern dan pasca modern memberikan sumbangsih terhadap landasan teoretis dan metodologis. Esai ini akan membahas keterkaitan antara filsafat modern dan pasca modern dengan paradigma penelitian kualitatif, dengan fokus pada pengaruhnya terhadap asumsi, metodologi, dan interpretasi dalam penelitian.
Filsafat Modern dan Pasca Modern: Selintas tentang Khazanah Intelektual Eropa Barat
Di Eropa Barat, abad 17-18 yang mana disebut juga sebagai abad pencerahan menjadi titik balik dari sejarah kehidupan manusia. Eropa di masa tersebut mengalami satu kemajuan alam berpikir yang pesat. Hal tersebut ditandai dengan pentingnya rasionalitas, empirisme, dan objektivitas. Misalnya, empirisme Bacon dan rasionalitas Descartes menjadi fondasi utama bagi alam berpikir abad pencerahan.
Filsafat modern, yang berkembang pada abad ke-17 dan 18, ditandai dengan pergeseran fokus dari pemikiran teologis dan skolastik ke penekanan pada rasionalitas dan pengalaman inderawi. Hal ini berakar pada beberapa faktor seperti pergeseran paradigma dalam revolusi ilmiah dan penemuan mesin cetak. Pergeseran ini berakar pada beberapa faktor penting; 1) revolusi ilmiah heliosentrisme Copernicus, menantang pandangan tradisional tentang alam semesta dan mendorong pemikiran kritis dan empiris, 2) penemuan mesin cetak yang memungkinkan penyebaran ide-ide baru secara lebih luas dan mendorong diskusi dan perdebatan intelektual. 3) renaisans, dengan fokusnya pada humanisme dan individualisme serta penekanan pada manusia dan potensinya, mendorong eksplorasi ide-ide baru tentang moralitas, politik, dan epistemologi.
Pergeseran ini melahirkan asumsi-asumsi utama dalam filsafat modern seperti penekanan pada akal budi yang dianggap sebagai sumber pengetahuan yang paling andal. Pengetahuan diperoleh melalui proses berpikir logis dan rasional. Selain itu, pentingnya pengalaman inderawi sebagai dasar dari pengetahuan menjadi salah satu asumsi yang menjadi titik sentral dari filsafat modern. Dalam sudut pandang ini, pengetahuan diperoleh melalui observasi dan eksperimen. Tak hanya itu, penekanannya pada universalitas pengetahuan juga menjadi asumsi dari filsafat modern yang berprinsip bahwa pengetahuan yang diperoleh melalui akal budi dan pengalaman inderawi bersifat universal dan berlaku untuk semua orang.
Filsafat modern memiliki pengaruh besar pada berbagai bidang, termasuk ilmu pengetahuan, politik, dan budaya. Aliran ini membantu mendorong perkembangan ilmu pengetahuan modern dengan menekankan pentingnya rasionalitas dan empirisme. Filsafat modern juga berperan dalam memodernisasi masyarakat dengan mendorong pemikiran kritis dan sekuler.
Dalam perkembangannya, filsafat modern, yang menjadi sumber inspirasi bagi para filsuf dan pemikir kontemporer, mengalami dialektika pemikiran dengan lahirnya filsafat pasca modern. Filsafat pasca modern, yang muncul pada abad ke-20, menantang asumsi-asumsi dasar modernisme tentang rasionalitas, objektivitas, dan universalitas. Hal ini bermula kekecewaan terhadap modernisme yang dianggap sebagai awal mula permasalahan yang terjadi di dunia, termasuk Perang Dunia 1 dan 2. Filsafat ini juga lahir sebagai kritik atas positivisme yang dianggap terlalu simplistik dalam memandang realitas dan mengabaikan peran nilai dan subjektivitas. faktor terakhir yang menjadi tanda dari lahirnya filsafat pasca modern ialah perkembangan termutakhir dalam ilmu pengetahuan, seperti fisika kuantum dan psikoanalisis yang menantang asumsi-asumsi tradisional tentang realitas dan pengetahuan.
Filsafat pasca modern terdiri dari berbagai macam arus pemikiran besar seperti filsafat kritis Mazhab Frankfurt yang menawarkan reinterpretasi teori Marx untuk memahami realitas kontemporer dengan berfokus pada kritik terhadap kapitalisme dan struktur sosial untuk mencapai emansipasi manusia dari struktur yang menindas; poststrukturalisme yang menantang konsep-konsep tradisional tentang struktur, makna, dan berfokus pada bagaimana makna dikonstruksi melalui bahasa dan wacana; postmodernisme memiliki ketidakpercayaan terhadap metanarasi dan grand narrative; pragmatisme yang menekankan aspek praktis dan konsekuensial dari pengetahuan dan kebenaran sehingga berfokus pada bagaimana ide-ide dan teori-teori berguna dalam kehidupan nyata; eksistensialisme yang berfokus pada eksistensi individu dan menekankan kebebasan, tanggung jawab, dan makna hidup; serta fenomenologi yang fokus pada pengalaman subjektif dan bagaimana kita memahami dunia. Menariknya, setiap aliran memiliki fokus penekanannya sendiri, dan mereka sering saling terkait dan tumpang tindih. Ini yang sering kali membingungkan dalam upaya memahami ragam pemikiran filsafat pasca modern. Meski demikian, filsafat pasca modern memiliki pengaruh besar pada berbagai bidang, termasuk ilmu sosial, seni, dan budaya. Aliran ini membantu mendorong pemikiran kritis dan dekonstruktif terhadap berbagai asumsi dan nilai tradisional.
Pergeseran Paradigma: Dari Objektivitas Modern ke Pluralitas Pascamodern dalam Penelitian Kualitatif
Sekali dilicinkan jalannya oleh filsafat modern dan diragamkan bentuknya oleh filsafat pasca modern, Alam Pikiran Barat menjadi semakin digdaya dengan mengukuhkan pengaruhnya secara fundamental ke dalam pemahaman tentang ragam cara berpikir yang bisa diterima sebagai wacana dalam ilmu pengetahuan kontemporer. Alam Pikiran Barat ini akan ikut menentukan bagaimana asumsi tentang realitas terbentuk dan metodologi dapat digunakan dalam penelitian.
Dalam tradisi filsafat modern, realitas diasumsikan sebagai objektif dan eksternal, terpisah dari pengamat. Peneliti berusaha untuk memahami realitas ini secara objektif melalui pengumpulan data yang sistematis dan terstruktur. Realitas dipahami sebagai sesuatu yang “ada di luar sana”, terlepas dari keberadaan pengamat. Realitas memiliki sifat yang intrinsik dan tidak terpengaruh oleh persepsi atau interpretasi subjektif sehingga peneliti berusaha untuk “menemukan” dan “menggambarkan” realitas ini secara akurat dan objektif. Ini merupakan konsekuensi logis dari terbentuknya dikotomi subjek – objek sebagai bagian dari tradisi filsafat modern.
Filsafat pasca modern di sisi lain, menantang asumsi-asumsi modern tentang realitas dan pengetahuan. Aliran ini menekankan pluralitas, subjektivitas, dan konteks. Hal ini mendorong munculnya pemahaman tentang realitas yang subjektif dan intersubjektif, dikonstruksi secara sosial melalui interaksi dan pengalaman manusia. Peneliti tidak lagi berusaha untuk mencapai objektivitas, tetapi untuk memahami bagaimana makna dan realitas dibentuk oleh individu dan kelompok.
Alhasil, metodologi yang digunakan pun akan memiliki corak yang berbeda antara satu dengan yang lain. Filsafat modern dengan pengaruhnya pada penelitian kualitatif, mendorong penggunaan metode seperti observasi partisipan, wawancara mendalam, dan analisis dokumen untuk mengumpulkan data yang kaya dan kontekstual. Analisis data kualitatif dilakukan dengan berbagai cara, tergantung pada pendekatan penelitian yang digunakan. Interpretasi data didasarkan pada makna yang terkandung dalam data itu sendiri dan konteks di mana data tersebut diperoleh. Temuan penelitian kualitatif tidak dimaksudkan untuk digeneralisasi, tetapi untuk memberikan pemahaman yang mendalam tentang fenomena yang diteliti.
Hal yang berbeda dapat dilihat dari filsafat pasca modern. Filsafat pasca modern mendorong penelitian kualitatif untuk menggunakan metode yang lebih beragam dan fleksibel, seperti naratif, studi kasus, dan fenomenologi, untuk memahami kompleksitas fenomena sosial. Interpretasi data dalam penelitian kualitatif pascamodern bersifat interpretatif. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan pemahaman yang kontekstual dan multi-perspektif.
Memahami Paradigma
Memahami asumsi-asumsi filosofis merupakan langkah awal untuk membangun pandangan holistik tentang realitas dan pengetahuan. Dari pemahaman ini, kita dapat menggali lebih dalam tentang paradigma. Pertanyaan mendasar seperti “apa itu paradigma?” dan “apa saja jenis paradigma?” dapat dijawab dengan lebih mudah jika kita memahami sejarah filsafat Barat, baik modern maupun pascamodern. Mengenai pertanyaan seperti ‘apa itu paradigma?’, saya lebih cenderung mengikuti pendapat Kuhn (1962) yakni:
“Paradigma adalah seperangkat keyakinan dan kesepakatan bersama di antara para ilmuwan tentang bagaimana masalah-masalah harus dipahami dan ditangani.”
Paradigma merupakan kesepakatan dan keyakinan bersama di antara para peneliti tentang cara memahami dan menangani masalah. Sinonim dari paradigma adalah worldview, yang merujuk pada sekumpulan pengalaman, keyakinan, dan nilai yang membentuk cara individu melihat dan merespons realitas.
Lalu mengapa penting bagi kita untuk memahami paradigma sebagai dasar melakukan penelitian? Paradigma memberikan kerangka berpikir dan panduan bagi peneliti dalam memahami realitas, pengetahuan, dan kebenaran. Paradigma ibarat peta yang memandu peneliti dalam menavigasi kompleksitas realitas sosial. Paradigma membantu peneliti untuk menentukan jenis pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitiannya. Contohnya, paradigma positivisme lebih fokus pada pertanyaan tentang hubungan sebab akibat, sedangkan paradigma interpretivisme lebih fokus pada pertanyaan tentang makna dan interpretasi. Tak hanya itu, paradigma membantu peneliti untuk memilih metode penelitian yang sesuai dengan asumsi tentang realitas dan pengetahuan. Contohnya, paradigma positivisme sering menggunakan metode kuantitatif seperti survei dan eksperimen, sedangkan paradigma interpretivisme sering menggunakan metode kualitatif seperti wawancara mendalam dan observasi partisipan.
Paradigma memberikan fondasi filosofis yang kokoh bagi penelitian. Paradigma membantu peneliti untuk menentukan asumsinya tentang realitas, pengetahuan, dan kebenaran. Selain itu, paradigma membantu peneliti untuk merumuskan asumsi penelitian dengan jelas dan konsisten. Hal ini membantu peneliti untuk melakukan penelitian yang koheren dan logis. Asumsi ini kemudian menjadi dasar bagi seluruh proses penelitian. Melalui asumsi ini, peneliti dapat membangun kerangka teoritis yang menjelaskan fenomena yang diteliti. Kerangka teoritis ini membantu peneliti untuk memahami hubungan antara berbagai variabel dan faktor yang terlibat dalam fenomena tersebut.
Dalam memahami paradigma, paling tidak terdapat lima jenis paradigma penelitian yakni positivisme, konstruktivis atau interpretatif, pragmatis, subjektivisme, dan kritis. Masing-masing memiliki asumsinya tersendiri yang akan dibahas dari sisi ontologi, epistemologi, perspektif teoritis, dan metodologi.
Positivisme: Mencari Kebenaran Objektif Melalui Pengukuran
Paradigma positivisme mendasarkan diri pada keyakinan adanya realitas tunggal yang objektif dan dapat diukur. Realitas ini dianggap independen dari pengamat, dan pengetahuan tentang realitas tersebut dapat diperoleh melalui observasi dan pengukuran yang sistematis. Asumsi ini mendorong penggunaan metode penelitian yang fokus pada data kuantitatif.
Dalam ranah epistemologi, positivisme meyakini bahwa realitas dapat diukur secara akurat dan objektif. Oleh karena itu, penelitian menggunakan instrumen dan metode yang diyakini dapat menghasilkan data yang andal dan valid. Eksperimen terkontrol dan survei penelitian merupakan contoh umum metodologi yang digunakan dalam paradigma ini.
Secara metodologis, positivisme bergantung pada pengumpulan dan analisis data kuantitatif. Teknik seperti pengambilan sampel, pengukuran dan penyekalaan, serta analisis statistik menjadi alat utama dalam mengungkap kebenaran objektif. Kuesioner dan wawancara kelompok terfokus juga dapat dimanfaatkan untuk mengumpulkan data dalam kerangka positivisme.
Dengan berfokus pada pengukuran dan analisis data yang terukur, positivisme berusaha menyusun gambaran realitas yang objektif dan bebas bias. Paradigma ini telah berkontribusi banyak pada berbagai bidang ilmu pengetahuan, terutama melalui penelitian yang menghasilkan generalisasi dan prediksi akurat. Namun, kritik terhadap positivisme juga muncul, di antaranya keterbatasannya dalam memahami pengalaman subjektif dan kompleksitas fenomena sosial.
Konstruktivisme/Interpretatif: Menjelajah Makna Bersama dan Subjektif
Berbeda dengan positivisme, paradigma konstruktivis/interpretatif memandang realitas sebagai sesuatu yang tidak tunggal dan objektif. Realitas dibangun oleh individu dan kelompok melalui interaksi sosial dan pengalaman bersama. Konsekuensinya, realitas dalam paradigma ini bukanlah sesuatu yang diukur, melainkan diinterpretasi untuk memahami makna yang mendasari peristiwa dan aktivitas.
Epistemologi konstruktivis/interpretatif menekankan pentingnya memahami realitas dari sudut pandang individu dan kelompok yang mengalaminya. Hal ini mendorong metode penelitian kualitatif yang kaya dan mendalam, seperti etnografi, grounded theory, penelitian fenomenologi, penyelidikan heuristik, penelitian aksi, analisis wacana, dan penelitian feminis berbasis titik pandang. Metode-metode ini melibatkan wawancara kualitatif, observasi partisipan atau non-partisipan, studi kasus, sejarah hidup, narasi, dan identifikasi tema.
Melalui proses penelitian yang partisipatif dan refleksif, peneliti konstruktivis/interpretatif berupaya memahami bagaimana individu dan kelompok menciptakan makna bersama. Alih-alih mencari kebenaran tunggal, paradigma ini bertujuan mengungkap perspektif-perspektif subjektif yang kaya dan kompleks, sehingga menghasilkan pemahaman yang lebih holistik tentang fenomena sosial dan budaya. Pendekatan ini telah memperkaya ilmu pengetahuan dengan membuka wawasan tentang pengalaman hidup yang dimaknai berbeda-beda oleh berbagai kelompok sosial.
Kritik terhadap paradigma ini adalah sulit dalam mencapai generalisasi dan mengesampingkan perspektif objektif. Meski demikian, kontribusi konstruktivis/interpretatif dalam memahami makna dan subjektivitas individu dan kelompok tetap tidak dapat diabaikan.
Pragmatisme: Mencari Solusi Praktis Melalui Fleksibilitas
Paradigma pragmatisme memandang realitas sebagai sesuatu yang dinamis, terus-menerus dinegosiasi, diperdebatkan, dan diinterpretasikan berdasarkan kegunaannya dalam situasi baru yang tidak terduga. Asumsinya adalah kebenaran bukanlah tujuan akhir, melainkan solusi efektif untuk permasalahan nyata. Pendekatan ini berfokus pada “apa yang berhasil” alih-alih berdebat soal realitas absolut.
Epistemologi pragmatisme meyakini bahwa metode terbaik adalah yang mampu memecahkan masalah. Pencarian pengetahuan (finding out) merupakan alat, sementara perubahan (change) menjadi tujuan pokok. Perspektif teoretis dalam paradigma ini diwakili oleh Pragmatisme Dewey-an dan Riset Melalui Desain (Research through Design).
Metodologi yang digunakan dalam pragmatisme sangat fleksibel, memadukan unsur metode kuantitatif dan kualitatif sesuai kebutuhan permasalahan. Penelitian metode campuran, penelitian berbasis desain, dan penelitian aksi merupakan contoh umum dalam paradigma ini. Berbagai metode dapat dikombinasikan, termasuk penambangan data, tinjauan ahli, pengujian kegunaan, dan pembuatan prototipe fisik.
Fleksibilitas dan fokus pada kebermanfaatan menjadi ciri khas pragmatisme. Paradigma ini tidak terikat pada metode atau perspektif tunggal, melainkan senantiasa mencari pendekatan terbaik untuk menghasilkan solusi praktis dan menjawab permasalahan nyata. Meskipun dikritik karena terkadang mengabaikan ketelitian metodologis yang ketat, kontribusi pragmatisme dalam mengembangkan solusi inovatif dan praktis dalam berbagai bidang tidak dapat dibantahkan.
Subjektivisme: Membongkar Konstruksi Realitas Individu
Paradigma subjektivisme membawa kita ke dunia realitas yang terbentuk dari persepsi individual. Asumsi dasarnya adalah bahwa yang kita anggap sebagai realitas hanyalah refleksi dari pengalaman dan interpretasi kita sendiri. Dengan kata lain, tidak ada kebenaran tunggal yang objektif, hanya perspektif individu yang membentuk realitas subjektif masing-masing.
Epistemologi subjektivisme menyatakan bahwa semua pengetahuan semata-mata adalah soal sudut pandang. Pengetahuan tidak bisa dipisahkan dari individu yang mengonstruksinya. Perspektif tersebut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti budaya, sejarah, dan posisi sosial. Teori postmodernisme, strukturalisme, dan poststrukturalisme menjadi bingkai teoretis yang menyokong pandangan ini.
Metodologi yang digunakan dalam paradigma ini cenderung dekonstruktif, yaitu menggali lapisan-lapisan makna dan penafsiran yang tersembunyi di balik permukaan. Diskursus kritis (arkeologi dan genealogi), serta dekonstruksi menjadi metode utama untuk mengurai dan menganalisis konstruksi realitas.
Teknik penelitian dalam subjektivisme juga beragam dan bersifat eksploratif, seperti autoetnografi, semiotika, analisis sastra, pastiche, dan intertekstualitas. Melalui teknik-teknik ini, peneliti berusaha memahami bagaimana persepsi dan pengalaman individu membentuk realitas yang mereka jalani.
Paradigma subjektivisme menawarkan perspektif yang kritis terhadap gagasan kebenaran tunggal dan universal. Ia mengajak kita untuk merangkul keragaman pengalaman dan mengakui bahwa realitas adalah sesuatu yang dinamis dan terus dikonstruksi. Namun, kritik terhadap paradigma ini menyoroti kesulitan dalam menggeneralisasi temuan dan potensi subjektivitas yang berlebihan. Meski demikian, subjektivisme tetap memiliki kontribusi penting dalam memperkaya pemahaman kita tentang bagaimana individu dan kelompok membentuk dan memahami realitas mereka sendiri.
Kritis: Menggugat Realitas dan Pengetahuan dari Sudut Keadilan Sosial
Paradigma kritis menantang pandangan realitas sebagai entitas statis dan pengetahuan sebagai kebenaran objektif. Ia bertolak dari asumsi bahwa realitas dan pengetahuan keduanya dikonstruksi secara sosial, namun bukan dalam ruang hampa, melainkan selalu diwarnai oleh relasi kuasa yang dinamis di dalam masyarakat. Realitas dipahami sebagai medan pertarungan di mana kelompok-kelompok sosial yang berkuasa berusaha meneguhkan pandangan mereka sebagai ‘kebenaran’.
Epistemologi kritis menekankan bagaimana realitas dan pengetahuan tidak hanya dibentuk oleh interaksi sosial, tetapi juga dipengaruhi oleh struktur dan hierarki kekuasaan yang ada. Perspektif teoretis dalam paradigma ini meliputi Marxisme, Teori Queer, dan Feminisme.
Metodologi yang digunakan dalam paradigma ini bertujuan mengungkap mekanisme kekuasaan yang tersembunyi dalam konstruksi realitas dan pengetahuan. Analisis kritis wacana, etnografi kritis, penelitian aksi, dan kritik ideologi menjadi beberapa instrumen utama. Metode penelitiannya melibatkan tinjauan ideologis, aksi sipil, pertanyaan terbuka, diskusi kelompok terfokus, kuesioner terbuka, observasi terbuka, dan jurnal.
Fokus utama paradigma kritis bukanlah menemukan kebenaran tunggal, melainkan mengkritik realitas yang ada dan menggugat relasi kuasa yang mendasari konstruksi realitas tersebut. Melalui proses pengungkapan dan pembongkaran, paradigma ini bertujuan mendorong transformasi sosial dan emansipasi kelompok-kelompok yang terpinggirkan.
Meskipun dikritik karena terkadang mengabaikan perspektif netral dan objektif, paradigma kritis memainkan peran penting dalam mempertanyakan struktur dan relasi kuasa, serta mendorong keadilan dan perubahan sosial.
Penelitian Kualitatif sebagai ‘Cara-untuk-Mengetahui’
Setelah memahami ragam paradigma dalam penelitian, kita dihadapkan pada pertanyaan baru yang menantang: bagaimana cara kita mengetahui suatu realitas? Secara sederhana, berbagai penelitian kualitatif dapat dilakukan untuk memahami realitas kompleks yang telah disebutkan sebelumnya. Setidaknya terdapat lima tradisi besar dalam penelitian kualitatif yakni studi kasus, naratif, fenomenologi, etnografi, dan grounded theory. Dalam bagian ini, kita akan mempelajari 3 pendekatan penelitian, yaitu studi kasus, naratif, dan fenomenologi.
Pendekatan Penelitian Studi Kasus
Pendekatan penelitian studi kasus adalah metode penelitian kualitatif yang fokus pada studi mendalam dan terperinci tentang suatu kasus. Kasus ini bisa berupa individu, kelompok, organisasi, peristiwa, atau program. Tujuan penelitian studi kasus adalah untuk memahami secara holistik dan kontekstual suatu kasus yang unik dan kompleks.
Sumber informasi dalam studi kasus beragam, termasuk observasi, wawancara, materi audio-visual, dokumentasi, dan laporan. Konteks kasus menyituasikan kasus dalam pengaturan fisik, sosial, sejarah, dan ekonomi. Fokus penelitian dapat pada keunikan kasus (studi kasus intrinsik) atau isu-isu yang ingin digambarkan dengan kasus tersebut (studi kasus instrumental). Ketika meneliti lebih dari satu kasus, digunakan studi kasus kolektif.
Struktur studi kasus menurut Lincoln Guba terdiri dari 1) Masalah yang berupa pertanyaan penelitian yang ingin dijawab. 2) Konteks mencakup latar belakang dan situasi yang melingkupi kasus. 3) Isu yang berupa pertanyaan atau topik yang ingin dipelajari dari kasus. 4) Pelajaran yang dipelajari; Kesimpulan dan temuan penelitian yang diperoleh oleh peneliti.
Meskipun demikian, studi kasus kualitatif memiliki beberapa tantangan. Pertama, peneliti harus mengidentifikasi kasus yang ingin diteliti dengan jelas. Kedua, peneliti harus memilih jenis penelitian dan tujuannya, apakah penelitiannya akan mencakup kasus tunggal atau multi kasus. Ketiga, peneliti harus menggunakan strategi sampling yang tepat untuk memilih data yang relevan dan representatif untuk menggambarkan kasus. Keempat, peneliti harus mampu mengelola dan menganalisis data yang banyak. Kelima, peneliti dapat merancang tabel untuk membantu pengumpulan data yang sistematis. Keenam, dan tak kalah penting, peneliti harus menentukan batasan waktu, peristiwa, dan proses dalam penelitian.
Pendekatan Penelitian Naratif
Penelitian naratif, sebuah metode kualitatif yang menggali pengalaman individu melalui cerita, menawarkan sebuah lensa unik untuk memahami dunia subjektif manusia. Berbeda dengan metode lain yang fokus pada generalisasi, penelitian naratif berfokus pada kekhasan dan kompleksitas pengalaman individu.
Hakikat penelitian naratif berlandaskan pada keyakinan bahwa cerita bukan sekadar kumpulan peristiwa, tetapi refleksi identitas dan pandangan dunia seseorang. Cerita-cerita ini, baik yang didengarkan maupun diceritakan, membuka pintu untuk memahami bagaimana individu memaknai pengalamannya.
Penelitian naratif memiliki beberapa karakteristik utama, yaitu fokus pada individu, pengumpulan data melalui cerita, pelaporan pengalaman individu, dan analisis interpretatif. Peneliti menyusun narasi yang merangkum pengalaman individu dan bagaimana mereka memaknainya, kemudian menafsirkan makna di balik cerita dan menghubungkannya dengan konteks yang lebih luas.
Penelitian naratif dapat dikategorikan menjadi dua jenis: deskriptif dan eksplanatif. Penelitian naratif deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan pengalaman individu atau kelompok, hubungan antar cerita, dan manfaatnya bagi kehidupan manusia. Sedangkan penelitian naratif eksplanatif bertujuan untuk menjelaskan bagaimana sesuatu terjadi dengan membangun sebuah cerita tentang peristiwa tersebut.
Cresswell mengemukakan lima pertanyaan penting untuk menentukan jenis penelitian naratif yang akan digunakan yakni siapa yang menulis atau mencatat cerita? Berapa banyak dari suatu kehidupan yang dicatat dan disajikan? Siapa yang memberikan cerita? Bagaimana suatu pandangan teoretis digunakan? Dapatkah bentuk naratif dikombinasikan?
Penelitian naratif menawarkan beberapa manfaat, di antaranya adalah 1) memberikan pemahaman yang mendalam tentang pengalaman individu, 2) mengungkap suara dan perspektif yang terpinggirkan, 3) membuka ruang untuk refleksi dan transformasi diri, 4) meningkatkan empati dan toleransi antar individu.
Penelitian naratif dapat diterapkan dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, psikologi, sosiologi, dan antropologi. Penelitian naratif merupakan alat yang berharga untuk memahami kompleksitas pengalaman manusia. Dengan menggali cerita individu, penelitian naratif membuka wawasan baru tentang berbagai aspek kehidupan dan mendorong perubahan sosial yang positif.
Pendekatan Penelitian Fenomenologi
Pendekatan penelitian fenomenologi dapat diartikan sebagai pemaknaan umum dari sejumlah individu terhadap pengalaman hidup terkait dengan konsep/fenomena. Fenomenologi mencoba berfokus terhadap upaya mendeskripsikan apa yang sama/umum ketika individu mengalami fenomena. Tujuan dari fenomenologi adalah mereduksi pengalaman individu pada fenomena menjadi deskripsi tentang esensi yang universal.
Fenomenologi, dirintis oleh Edmund Husserl, merupakan sebuah gerakan filosofis yang bertujuan untuk mengembalikan tugas tradisional filsafat, yaitu meneliti pengalaman manusia secara langsung tanpa prasangka. Husserl menekankan intensionalitas kesadaran, di mana kesadaran selalu terarah pada sesuatu. Penolakan terhadap dikotomi subjek-objek menjadi ciri khas fenomenologi, dengan fokus pada bagaimana realitas terungkap dalam pengalaman subjektif.
Fenomenologi, sebuah metode penelitian yang menggali pengalaman manusia secara langsung, memiliki dua pendekatan utama: Transendental (Husserlian) dan Hermeneutical (Heideggerian). Pendekatan Transendental berfokus pada deskripsi murni dari pengalaman tanpa interpretasi peneliti. Pendekatan ini menekankan transendentalitas, di mana segala sesuatu dipahami secara segar dan murni, seolah-olah baru pertama kali dialami. Epoche menjadi langkah penting, di mana peneliti ‘mengurung diri’ dan merefleksikan pengalaman pribadinya terhadap fenomena. Analisis data dalam pendekatan ini terbagi menjadi dua: textural (apa yang dialami) dan structural description (bagaimana orang mengalaminya).
Pendekatan Hermeneutical berfokus pada interpretasi peneliti terhadap pengalaman hidup. Pendekatan ini menyamakan pengalaman hidup dengan teks, di mana peneliti berusaha menginterpretasikan makna di balik teks tersebut. Pendekatan Hermeneutical menekankan interpretasi peneliti dan kehidupan sebagai teks yang perlu dipahami. Kedua pendekatan ini menawarkan cara pandang yang berbeda dalam memahami pengalaman manusia. Pendekatan Empiris/Transendental/Psikologis memberikan deskripsi murni dari pengalaman, sedangkan Pendekatan Hermeneutical fokus pada interpretasi peneliti terhadap makna di balik pengalaman tersebut.
Moustakas dan van Manen, dua tokoh penting dalam pengembangan fenomenologi, menggarisbawahi beberapa ciri utama penelitian fenomenologis. Pertama, penekanan pada fenomena yang dieksplorasi, berdasarkan sudut pandang konseptual. Kedua, studi terhadap individu yang mengalami fenomena, biasanya melibatkan 3-15 orang. Ketiga, pembahasan filosofis tentang ide dasar studi, menelusuri pengalaman hidup individu dan bagaimana mereka memaknainya, baik secara subjektif maupun objektif.
Epoche merupakan langkah penting dalam penelitian fenomenologis, di mana peneliti ‘mengurung diri’ di luar studi dan merefleksikan pengalamannya sendiri dengan fenomena tersebut. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan individu yang mengalami fenomena, dan bisa juga dari beragam sumber lain seperti puisi, dokumen, dan observasi.
Analisis data dalam penelitian fenomenologi dimulai dari satuan analisis yang sempit (pernyataan penting) menuju satuan makna yang lebih luas, dan diakhiri dengan deskripsi detail tentang apa yang dialami dan bagaimana mengalaminya. Esensi dari pengalaman individu, yang merupakan puncak dari studi fenomenologis, dibentuk oleh kombinasi antara apa yang dialami dan bagaimana mengalaminya.
Fenomenologi menawarkan cara pandang unik untuk memahami pengalaman manusia. Dengan fokus pada subjektivitas dan intersubjektivitas, fenomenologi membuka wawasan baru tentang bagaimana individu memaknai dunia di sekitar mereka.
Epilog: Mempelajari Metode Riset Kualitatif, Memahami Pluralitas Realitas
Perjalanan mempelajari metode riset kualitatif membuka mata kita terhadap realitas yang kaya dan kompleks, jauh dari pemahaman tunggal dan objektif. Kita diajak menyelami pengalaman dan interpretasi individu, memahami makna yang mereka ciptakan dalam interaksi sosial dan konteks budaya yang beragam.
Metode kualitatif bagaikan lensa yang memperbesar detail dan nuansa yang sering luput dalam penelitian kuantitatif. Wawancara mendalam, observasi partisipan, dan analisis naratif membuka pintu menuju dunia subjektif manusia, memungkinkan kita memahami perasaan, motivasi, dan nilai-nilai yang mendasari tindakan mereka.
Lebih dari sekadar metode penelitian, riset kualitatif merupakan filosofi yang menghargai pluralitas realitas. Kita belajar bahwa tidak ada satu kebenaran absolut, melainkan berbagai perspektif yang sama validnya, tergantung pada posisi dan pengalaman individu dalam masyarakat.
Mempelajari metode kualitatif berarti membuka diri terhadap keragaman dan perbedaan. Kita belajar mendengarkan suara-suara yang sering terpinggirkan, memahami pengalaman mereka yang berbeda dari kita, dan membangun empati terhadap berbagai realitas yang ada.
Proses ini tidak hanya memperkaya pengetahuan dan pemahaman kita tentang dunia, tetapi juga mendorong refleksi kritis terhadap asumsi dan nilai-nilai yang kita pegang. Kita belajar mempertanyakan cara kita melihat dunia dan membuka diri terhadap kemungkinan baru.
Pada akhirnya, mempelajari metode kualitatif bukan hanya tentang mempelajari teknik penelitian, melainkan tentang transformasi diri. Kita menjadi lebih peka terhadap kompleksitas realitas, lebih terbuka terhadap perbedaan, dan lebih siap untuk terlibat dalam dialog konstruktif dengan orang lain.
Bintang S. Wicaksana
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.