Dalam memandang kebaikan banyak orang sering kali merasa terharu atau tersentuh hatinya. Hal ini memperlihatkan bahwa kebaikan bukan hanya memiliki aspek emosional melainkan juga aspek rasio konkret yang membuat kita lebih terpengaruhi untuk berpikir mengapa hati kita ikut tersentuh. Menghadapi hal ini, kita mungkin bertanya-tanya, mengapa manusia dapat mengalami kondisi emosional saat melihat sebuah kebaikan. Hal ini, dalam pembahasan Plato dinyatakan dalam konsep keterkaitan antara kebaikan dan keindahan. Keindahan yang sering kali memuat hitungan, ketepatan, memesis dan lain sebagainya membuat kebaikan dapat dirasakan secara emosional oleh manusia. Dan dalam pemikiran Plato, hal ini berlaku vice versa.
Hubungan antara kebaikan (to agathon) dan keindahan (to kalon) dalam filsafat Plato setidaknya saling melengkapi—artinya bahwa segala sesuatu yang baik juga indah, dan segala sesuatu yang indah juga baik—dalam ranah hal-hal konkret. Akan tetapi kita perlu berhati-hati dalam memperlakukan forma-forma Kebaikan dan Keindahan sebagai hal yang identik, meskipun keduanya memiliki hubungan yang erat dalam dunia yang dapat dirasakan. Hal inilah yang membuat kita perlu mempertimbangkan implikasi lebih luas dari hubungan kedua hal (baik dan indah) ini, di antaranya adalah etika dan bahkan matematika.
Dalam perspektif etika, atau tatanan nilai, masyarakat dapat sepakat bahwa kebaikan moral selaras dengan kualitas estetika seperti harmoni, ukuran, dan proporsi, yang menunjukkan bahwa perilaku etis mencerminkan prinsip-prinsip yang sama yang mendefinisikan keindahan. Dengan kata lain etika dapat memuat nilai-nilai yang terukur dan dapat dipahami oleh manusia karena standar dari nilai tersebut disusun oleh manusia. Sementara itu, keindahan dalam objek matematika (misalnya, simetri, keteraturan) dengan kebaikan, dengan menyatakan bahwa kualitas-kualitas yang sama ini menjadikan matematika sebagai bagian integral dari pendidikan moral dan pemikiran Platonis.
Konsep kebaikan dan keindahan saling terkait erat dalam konteks praktis dan metafisik, makalah ini pada akhirnya menyoroti perbedaan yang bernuansa antara bentuk masing-masing, yang menunjukkan bahwa keduanya terkait tetapi tidak identik dalam kerangka metafisik Plato. Kebaikan dan keindahan saling melengkapi dalam filsafat Plato, khususnya dalam ranah hal-hal konkret. Argumen tersebut menetapkan bahwa Plato sering memperlakukan kebaikan dan keindahan sebagai hubungan bikondisional, yang berarti bahwa segala sesuatu yang baik itu indah, dan segala sesuatu yang indah itu baik. Namun, hubungan antara forma kebaikan dan keindahan tetap kurang jelas dan juga tampak berbeda.
Plato berusaha untuk mengajarkan kepada kita semua bahwa ketika berhadapan dengan hal-hal khusus yang masuk akal seperti manusia dan tindakannya, atau objek dengan nilai kebaikan serta keindahan, dapat secara konsisten disajikan sebagai sesuatu yang saling terkait. Koekstensi ini didukung oleh bukti tekstual dari dialog-dialog seperti Simposium dimana Socrates digambarkan berdialog tentang hal-hal yang baik sudah tentu indah, Timaeus dimana Plato menyatakan bahwa hal-hal yang baik itu indah dan proporsional, Lysis, dan Republic dimana Plato menghubungkan yang bermanfaat dengan yang indah, yang selanjutnya memperkuat hubungan keduanya.
Koekstensi atau keberadaan di saat yang sama berkenaan dengan keindahan dan kebaikan menggarisbawahi bahwa dalam ranah rasio, suatu keadaan yang menjadi baik juga berarti mewujudkan kualitas-kualitas keindahan tertentu, seperti simetri, proporsi, dan harmoni. Hal ini kemudian menjadi bukti yang dapat kita telaah bahwa keindahan dengan kebaikan memiliki implikasi etika yang mendalam. Bagi Plato, tindakan etis harus mewujudkan kualitas seperti ukuran dan proporsi, yang selaras dengan cita-cita matematika dan estetika. Hal ini khususnya terbukti dalam cara Plato menghubungkan kebaikan moral dengan keharmonisan dalam perilaku pribadi dan sosial. Hal ini yang menjadikan pemahaman mengenai etika Plato selalu menampakkan ajaran tentang hubungan bikondisional antara keindahan dan kebaikan selaras dengan kerangka metafisiknya yang lebih luas, di mana kebajikan etika mencerminkan struktur harmonis atau terforma.
Sebagaimana para pendahulunya, filsuf Yunani seperti Plato selalu tertarik dengan matematika, yang baginya ilmu ini dapat menunjukkan bahwa perluasan keindahan dan kebaikan menjelaskan keyakinan manusia tentang kebaikan moral. Plato sering kali mengaitkan keindahan dengan objek matematika karena tatanan dan simetri intrinsiknya, seperti yang terlihat dalam karya-karyanya seperti Timaeus. Berdasarkan logika perluasan, jika terdapat objek-objek yang indah, maka mereka juga akan dipenuhi dengan kebaikan. Jalinan etika dan matematika ini menggambarkan bagaimana Plato menggunakan penalaran matematika untuk menginformasikan pendidikan moral, menekankan perwujudan cita-cita seperti keseimbangan dan harmoni dalam perilaku etis.
Dalam pemikiran Plato, keindahan dan kebaikan sebagai sesuatu yang sama luasnya di dunia yang masuk akal, sehingga menciptakan hubungan yang mendalam antara cita-cita estetika dan etika. Namun, perbedaan dalam ranah forma, kita perlu berhati-hati unruk melihat bahwa keindahan dan kebaikan, meskipun saling terkait erat, namun mewakili prinsip-prinsip metafisik yang berbeda. Perspektif ganda atau bikondisional ini memungkinkan Plato untuk mengajarkan pada kita bahwa terdapat kesatuan antara estetika dan etika dalam konteks sehari-hari di mana pemahaman metafisiklah yang dapat menjadi penengahnya.
Referensi
Nicholas Riegel. Goodness And Beauty In Plato. Archai, n. 12, jan – jun, p. 147-158
Robin G. Collinwood, Plato’s Philosophy of Art. Mind, n. 34, p. 154 – 72.
Nicholas Riegel. Beauty, to Kalon, and Its Relation to the Good in the Works of Plato. Dissertation, University of Toronto.
Perdana Khoiruddin Aslan
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.