Gambaran tentang Paman Geppetto atau Nabi Yunus yang terperangkap dalam perut ikan raksasa tidak lagi hadir dalam pemaknaan masyarakat Indonesia saat ini. Apa yang terdapat dalam perut ikan gigantik seperti paus pilot dan paus sperma pada masa ini adalah sampah plastik dan residu budaya konsumtif lainnya. Laut yang menjadi muara sumber air dan sungai, serta lokus purifikasi air dalam proses penguapan dan kondensasi kini beralih menjadi TPA masyarakat dunia. Banyak lembaga dan negara berusaha mengentas permasalahan ini melalui berbagai kebijakan praktis. Namun aliran sampah dan kematian satwa bahari hanyalah fenomen kecil yang tampak dari persoalan yang lebih kompleks. Simpul permasalahan utama terdapat pada konstruksi pikiran atau behavioral problem manusia sebagai penghuni bumi yang memiliki potensi akal budi rasional sekaligus kebrutalan tindakan di saat yang sama.

Dalam kuliah umum bertema Ecological Crisis as Common Concern bersama Prof. Dr. Frans Wijsen di STF Widya Sasana Malang pada Senin, 21 Januari 2019 lalu tersiratkan pesan bahwa keseimbangan ekologis merupakan bagian dari pertanggung jawaban manusia seutuhnya. Pernyataan dan pertanyaan mengalir dalam dialog hingga bermuara pada kesimpulan bahwa filsafat dan spiritualitas berperan penting dalam pengelolaan lingkungan yang seimbang. Dalam cakrawala iman umat beragama, manusia mengimani sungai sebagai bagian ritual pemurni jiwa, perlambang inisiasi manusia dengan Tuhan, hingga pemberian Allah yang menghidupkan. Nilai tersebut berkembang melalui ragam tafsir dari tiap agama atau kepercayaan namun tidak pernah kehilangan esensi sakralitas dan urgentisitasnya. Pencemaran berton-ton sampah di Sungai Citarum merupakan bentuk dari hilangnya iman dan nilai spiritualitas manusia.

Selain spiritualitas, filsafat juga berperan dalam pengendalian ekologi dan keseimbangan alam. Penelitian saintifik dan penyimpulan logis telah mengafirmasi bahwa manusia memiliki susunan serupa kosmos. Hal tersebut merupakan objek materia dari filsafat alam dimana manusia sebagai subjek bernalar dapat menyadari hubungan dan kesamaan dirinya dengan alam. Di samping itu filsafat sebagai induk seluruh ilmu seharusnya tidak boleh berhenti melahirkan sistem berpikir yang kritis dan sehat demi kehidupan seimbang. Hal serupa disampaikan Jurgen Habermas dalam dialognya bersama Joseph Ratzinger bahwa filsafat harus memiliki aspek teleologis dari konsep nilai-aksiologis (Dialektika Sekularisasi, 2010) hingga filsafat dapat berarti bagi hidup manusia. Dengan demikian filsafat tidak direduksi sebagai bentuk tindakan melainkan tunas dari penilaian dan penyikapan yang bermuara dalam komitmen dan aksi.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.