Kebutuhan ekonomi adalah kebutuhan fundamental manusia di era globalisasi saat ini. Manusia tidak dapat terpisah dari ekonomi karena keduanya memiliki hubungan yang erat, layaknya pohon dan akar. Kegiatan ekonomi mencakup upaya individu, perusahaan, dan perekonomian secara keseluruhan dalam memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan. Oleh karena itu, untuk menghasilkan barang dan jasa sebagai produk ekonomi, diperlukan faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, tanah, modal, dan keahlian kewirausahaan.
Perkembangan Eropa pada abad pertengahan berlangsung secara bertahap di bawah pengaruh perubahan sosial dan ekonomi. Di wilayah seperti Flanders, Belgia, dan Italia Utara, negara-negara kota yang otonom mulai muncul seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Pada abad ke-14, ekspedisi pelayaran Eropa membuka jalur hubungan ekonomi baru dengan berbagai penduduk di belahan dunia lain. Pada saat yang sama, ekonomi global mulai berkembang, yang memicu munculnya beberapa pendekatan teoritis terkait hubungan antara ekonomi dan politik. Pendekatan-pendekatan ini, termasuk merkantilisme, liberalisme, dan marxisme, menjadi fondasi ideologi yang mempengaruhi pertukaran ekonomi dalam konteks ekonomi global. Perkembangan merkantilisme menekankan pentingnya kekayaan negara melalui kontrol perdagangan dan penumpukan emas, sementara liberalisme menekankan kebebasan pasar dan peran minimal negara dalam ekonomi. Marxisme, di sisi lain, menawarkan kritik terhadap sistem kapitalis dan menekankan hubungan antara kekuasaan politik dan kontrol atas alat-alat produksi. Ketiga ideologi ini telah membentuk cara pandang tentang hubungan ekonomi global yang masih relevan hingga saat ini.
Ekonom politik asal Skotlandia, Adam Smith (1723-1790), mencetuskan istilah “sistem merkantil,” yang ia jelaskan sebagai kebijakan yang “mendorong ekspor dan menekan impor.” Asumsi dasar dari merkantilisme adalah bahwa kebijakan ekonomi seharusnya memperkuat negara, terutama dalam hal kekuatan militer. Merkantilisme tumbuh pada masa ketika negara-negara Eropa, setelah melepaskan diri dari feudalisme, mulai memusatkan kekuasaan mereka dengan membentuk birokrasi-birokrasi. Kaum merkantilis berpendapat bahwa keberhasilan kebijakan ekonomi suatu negara tidak diukur berdasarkan peningkatan kekayaan absolut, melainkan dari seberapa besar kekayaan negara tersebut meningkat dibandingkan dengan kekayaan negara-negara pesaingnya.
Pergerakan bebas modal investasi dan tenaga kerja diyakini akan menghasilkan peningkatan kekayaan secara global, meskipun hal ini dapat menyebabkan penderitaan bagi negara-negara dan industri-industri yang kurang efisien. Dalam pandangan ini, efisiensi ekonomi dianggap lebih penting daripada keadilan ekonomi. Meskipun pasar bebas dapat menciptakan kesenjangan, pendukungnya percaya bahwa bahkan kelompok termiskin sekalipun akan mengalami peningkatan kesejahteraan seiring dengan pertumbuhan kekayaan secara keseluruhan.
Namun, liberalisme ekonomi juga mengakui bahwa kapitalisme bebas dapat menjadi sumber ketidaksetaraan ekonomi dan eksploitasi terhadap kelompok miskin. Meskipun pasar bebas dapat mendorong pertumbuhan dan inovasi, sistem ini sering kali menimbulkan disparitas dalam distribusi kekayaan, yang pada akhirnya dapat memperburuk kondisi sosial. Dengan demikian, tantangan utama dalam liberalisme ekonomi adalah menemukan keseimbangan antara efisiensi pasar dan keadilan sosial, memastikan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi dapat dirasakan oleh semua lapisan masyarakat.
Biografi Ali Syari’ati
Ali Syari’ati (23 November 1933 – 19 Juni 1977) adalah seorang sosiolog revolusioner terkemuka asal Iran yang dikenal karena kontribusi intelektualnya dalam sosiologi agama dan perannya sebagai salah satu penggerak utama ideologis di balik Revolusi Iran. Syari’ati lahir di Mazinan, sebuah desa kecil di Provinsi Khorasan, Iran, dari keluarga religius yang berperan besar dalam membentuk pandangan dunianya. Ayahnya, Mohammad-Taqi, adalah seorang ulama dan guru Islam yang berpengaruh, yang memberikan pendidikan awal Syari’ati dan menanamkan nilai-nilai keislaman yang mendalam dalam dirinya sejak kecil.
Syari’ati melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Mashhad, di mana ia mulai memperdalam pemahamannya tentang sosiologi dan filsafat. Semangatnya untuk mengejar pengetahuan membawanya ke Universitas Paris, tempat di mana ia memperoleh gelar doktor di bidang filsafat dan sosiologi pada tahun 1964. Di Paris, ia terpapar pemikiran-pemikiran progresif dan revolusioner dari tokoh-tokoh Barat, yang memperluas wawasannya. Selain itu, ia juga sangat terinspirasi oleh karya-karya intelektual Islam seperti Moulana Rumi dan Muhammad Iqbal, yang semakin memperkuat gagasan-gagasannya tentang reformasi sosial dan spiritual.
Setelah kembali ke Iran, Syari’ati dengan cepat menjadi tokoh kontroversial karena pandangan politiknya yang berseberangan dengan rezim Islam Iran yang berkuasa saat itu. Akibatnya, ia ditangkap dan dipenjara. Setelah dibebaskan, ia mulai mengajar di Universitas Mashhad sebelum kemudian pindah ke Institut Hosseiniye Ershad di Tehran. Di institut ini, Syari’ati menyampaikan serangkaian kuliah yang menggabungkan gagasan-gagasan Barat dan Islam dalam sebuah kerangka baru yang menarik banyak mahasiswa dari berbagai latar belakang sosial. Kuliah-kuliahnya, yang kemudian dikumpulkan dalam berbagai tulisan, menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda Iran yang menginginkan perubahan sosial dan politik.
Sebagai seorang pemikir revolusioner, Syari’ati berusaha menyelaraskan Islam dengan tuntutan modernitas, sambil tetap kritis terhadap imperialisme Barat dan kapitalisme. Dia meyakini bahwa Islam memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan pembebasan bagi masyarakat tertindas, asalkan dipahami dan dipraktikkan dengan cara yang benar. Meskipun Syari’ati menjadi salah satu ideolog utama yang mengilhami Revolusi Iran, banyak dari gagasannya yang tidak diadopsi oleh Republik Islam Iran yang terbentuk setelah revolusi. Hal ini terutama karena pandangan Syari’ati yang lebih menekankan pada kebebasan individu dan pemurnian spiritual, yang sering kali bertentangan dengan pendekatan negara yang lebih otoriter.
Syari’ati meninggal dunia secara mendadak di Southampton, Inggris, pada tahun 1977, dalam usia 43 tahun, di bawah keadaan yang hingga kini masih menimbulkan spekulasi. Beberapa pihak percaya bahwa kematiannya mungkin merupakan hasil dari pembunuhan politik yang direncanakan, mengingat pengaruhnya yang besar dan pandangannya yang sering kali berseberangan dengan rezim yang berkuasa. Meski demikian, karya-karyanya tetap hidup dan terus memengaruhi generasi baru pemikir di Iran dan di seluruh dunia Muslim. Syari’ati dihormati sebagai salah satu pemikir Muslim paling penting pada abad ke-20, yang karyanya menjembatani antara tradisi Islam dan Teori sosial di era modern.
Kritik Ekonomi Ali Syari’ati
Aktivitas politik Ali Syari’ati dimulai sejak masa kuliahnya di Institut Keguruan. Pada saat itu, ia bergabung dengan gerakan nasionalisasi minyak, sebuah gerakan yang mewakili impian generasi muda Iran yang murni dan idealis. Gerakan ini menjadi titik awal bagi kebangkitan semangat pemuda Iran yang berjuang untuk mewujudkan perubahan sosial dan politik. Mereka berusaha keras untuk melawan ketidakadilan dan eksploitasi yang dipaksakan oleh kekuatan Barat, yang diwakili oleh rezim Syah. Bagi Syari’ati dan rekan-rekan seperjuangannya, gerakan nasionalisasi minyak bukan sekadar perjuangan ekonomi, tetapi simbol perlawanan terhadap dominasi asing dan korupsi yang melanda negara mereka. Mereka melihat Syah sebagai personifikasi dari penindasan dan kolaborasi dengan kekuatan Barat yang merampas kekayaan nasional dan mengabaikan kesejahteraan rakyat Iran. Oleh karena itu, aktivitas politik Syari’ati tidak hanya berfokus pada isu nasionalisasi minyak, tetapi juga pada upaya yang lebih luas untuk menciptakan perubahan sosial yang adil dan berkelanjutan di Iran.
Bagi Syari’ati Islam memiliki esensi yang mampu menawarkan solusi konkret bagi berbagai masalah sosial, ekonomi, dan politik. Di dunia Islam, konsep tauhid menjadi landasan utama pemikiran Ali Syari’ati. Dalam pandangan Syari’ati, tauhid bukan hanya sekadar keyakinan tentang keesaan Tuhan, tetapi juga mencerminkan kesatuan universal antara Tuhan, alam, dan manusia. Tauhid dijadikan sebagai prinsip keadilan dalam masyarakat, yang menolak segala bentuk kontradiksi dan ketidakadilan. Lebih dari itu, tauhid juga menjadi fondasi bagi seluruh prinsip yang mengarahkan aktivitas manusia dalam bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Selain menghapus sikap apatis, rasa cemas, dan keserakahan, tauhid juga mendorong penerimaan terhadap kesetaraan dan kebebasan.
Ali Syari’ati berjuang melawan eksploitasi, ketidakadilan, dan perpecahan kelas sosial. Menurut Syari’ati, keadaan saat ini penuh dengan kemungkaran dan penipuan terhadap masyarakat. Ia menganggap bahwa setiap individu memiliki tugas moral untuk menentang kebohongan dan kejahatan, seperti yang diamanatkan dalam Al-Qur’an, dan memperjuangkan kebebasan manusia. Ia percaya bahwa setiap orang berhak mendapatkan keadilan dan harus berjuang melawan penindasan, penganiayaan, struktur masyarakat kelas, eksploitasi, dan kebijakan yang tidak adil.
Bagi Syari’ati, kecerdasan dan wawasan intelektual saja tidaklah cukup; hal ini harus disertai dengan keyakinan yang kuat, pemahaman Islam yang mendalam, dan kesadaran yang mendalam tentang komitmen pribadi dalam menghadapi berbagai persoalan. Ia mengaitkan struktur masyarakat yang terpecah antara kelas borjuis dan proletar dengan pertentangan historis yang dimulai sejak zaman Habil dan Qabil. Menurut Syari’ati, konflik antara Habil dan Qabil adalah simbol dari pertentangan yang berlangsung sepanjang sejarah, menggambarkan pertarungan antara dua kekuatan yang saling bertentangan. Konflik ini dimulai dari perselisihan mengenai pernikahan silang antara kedua saudara, di mana Qabil bersikeras bahwa saudara kembarannya lebih menarik daripada saudara kembar Habil. Ketidaksetujuan ini akhirnya mengarah pada pertentangan yang memuncak dalam pembunuhan Habil oleh Qabil. Dalam pandangan Syari’ati, Qabil mewakili pihak yang berkuasa sementara Habil mewakili pihak yang tertindas.
Ali Syari’ati berpendapat bahwa sejarah manusia menciptakan dua kelas utama: kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas proletar. Dalam pandangannya, struktur sosial ini dapat ditelusuri kembali ke pertentangan antara Habil dan Qabil. Habil mewakili sistem ekonomi milik bersama, sementara Qabil menerapkan kepemilikan pribadi, monopoli, dan akhirnya perbudakan, kapitalisme industrial, dan imperialisme. Dalam Islam, kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial adalah prinsip dasar yang sangat ditekankan. Islam memandang prinsip-prinsip ini sebagai syarat esensial untuk mengatasi kesengsaraan, kemelaratan, dan diskriminasi melalui pertumbuhan moral. Sistem nilai dan norma Islam bertujuan membentuk perilaku umatnya untuk fokus pada kemanusiaan, keadilan, kebaikan, dan kejujuran, menjadikannya sebagai kekuatan ideologi yang dapat menciptakan tatanan sosial yang lebih maju dan manusiawi.
Dalam Islam, manusia memiliki kebebasan untuk mengembangkan dorongan ilahiah dalam dirinya. Hal ini penting karena Islam menekankan unsur ketuhanan yang lebih tinggi daripada sifat material, yang mampu mengungkapkan nilai-nilai moral utama, fitrah yang baik dan suci, serta kemajuan dan kreativitas umat manusia.
Ali Syari’ati mengatakan :
Bedasarkan pencarian ilmiah, saya telah menemukan Islam. Bukan Islam kebudayaan yang memanjakan kepentingan kaum teolog, akan tetapi Islam sebagai ideology yang mendorong para mujahid (pejuang). Bukan dalam sekolah-sekolah teologi, dan juga bukan dalam tradisi yang demikian awam, akan tetapi Islam dalam tradisi Abu Dzar.
Kutipan di atas menjelaskan bahwa dalam Islam, Abu Dzar dipandang sebagai simbol perjuangan dan panutan bagi umat Muslim, terutama dalam hal kesetaraan, persaudaraan, keadilan, dan pembagian kekayaan yang adil. Abu Dzar diidentifikasi sebagai contoh manusia ideal dalam Islam, yang menjadi inspirasi Ali Syari’ati dalam menggambarkan masyarakat yang ideal. Ali Syari’ati mengemukakan dua unsur kunci dalam upaya perubahan revolusioner untuk rakyat tertindas. Pertama, revolusi nasional bertujuan untuk mengakhiri dominasi Barat dan memperkuat kebudayaan serta identitas nasional. Kedua, revolusi sosial bertujuan menghapus eksploitasi dan kemiskinan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan tanpa kelas. Ini berarti bahwa perubahan harus melawan hegemoni Barat, memperkuat kebudayaan sebagai identitas nasional, dan mengatasi politik Barat dengan kecerdikan.
Kaum proletar yang menolak penghinaan memerlukan keberanian, harga diri, dan semangat yang lebih dari sekadar kebutuhan materi untuk meraih kemerdekaan. Agama menekankan nilai moral dan kebajikan spiritual yang harus dipertahankan. Bagi mereka yang memahami moralitas dan hubungan dengan agama, penting untuk menghargai nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh agama. Cita-cita manusia melampaui ideologi, sistem sosial, dan sejarah. Cita-cita ini berasal dari esensi manusia dan membentuk nilai-nilai moral yang abadi. Ini mencakup kebebasan dari penindasan, pencapaian keadilan dan kebenaran, kesadaran diri, serta mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi. Prinsip-prinsip ini melibatkan keseimbangan antara konsumsi dan penghasilan, penolakan terhadap tindakan sewenang-wenang, pertumbuhan ekonomi, peribadatan, serta melawan kebodohan, kelemahan, dan diskriminasi rasial serta kelas. Semua ini mencerminkan keinginan manusia sepanjang sejarah untuk menciptakan bangsa yang bebas dan damai.
Nilai hakiki manusia tidak diukur dari kesejahteraan materi, melainkan dari kebutuhan yang dirasakannya. Tingkat perkembangan dan kesempurnaan manusia dapat diukur dengan tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya. Dengan kata lain, semakin berkembang dan kompleks kebutuhan seseorang, semakin dekat ia dengan kehidupan sosial dan kemanusiaan. Orang-orang dari golongan bawah, seperti proletar, memiliki kebutuhan yang lebih sederhana, sementara golongan atas, seperti borjuis, memiliki kebutuhan yang lebih banyak dan kompleks. Ini mengarah pada pemahaman bahwa seseorang yang lebih kaya sebenarnya bisa dianggap lebih miskin dalam hal kebutuhan yang belum terpenuhi. Bagi Ali Syari’ati, nilai sejati seseorang tidak terletak pada ketidakbutuhan terhadap orang lain, tetapi pada kesadaran akan kebutuhan yang lebih besar dan perasaan kekurangan yang mendalam, yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Inti dari pemikiran Ali Syari’ati dalam bidang ekonomi adalah pembentukan sistem ekonomi yang adil dan sejahtera. Syari’ati berusaha menghapus ketidakadilan dalam masyarakat dan membangun kesejahteraan berdasarkan keimanan dan moral. Dalam pandangannya, Islam berfungsi sebagai ideologi pembebasan. Kesejahteraan manusia, menurut Syari’ati, diukur berdasarkan tingkat perkembangan dan kesempurnaan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Achmad Jazuli
Anggota Lingkar Studi Filsafat Discourse. Mahasiswa Fisika Universitas Negeri Malang.
- 17/08/2024