Ibrahim Abu M Rabi’ dalam artikelnya berjudul “Post September 11 Critical Assessment of Modern Islamic History” mendudukkan Sukarno sejajar dengan tokoh sekuler seperti Mustafa Kemal Ataturk. Abu Rabi’ mengatakan bahwa Soekarno adalah pemimpin negara yang menolak menggunakan atribut agama dalam pidato-pidato politiknya.

Ada pesan tersirat dari apa yang ditulis Abu Rabi’ mengenai kecenderungan pemimpin-pemimpin negara di masa itu. Mereka adalah pemimpin Negara Muslim yang menolak konsep negara-agama dan menganjurkan ide sekularisme sebagai basis-filosofis dalam pembentukan negara-bangsa (nation-state). Namun kata Rabi’ meski mereka familiar dengan ide kebebasan dan demokrasi ala Barat, ide itu justru dikenalkan dengan tangan otoritarianisme.

Saya melihat bahwa gejala inilah yang terjadi ketika Pancasila hanya dibatasi oleh tafsir tunggal negara. Politik Pancasila mungkin diperlukan, tapi Pancasila (sebagai produk) politik-sipil juga sama-sama diperlukan. Saya meyakini bahwa Pancasila saat ini haruslah diletakkan dalam dua diskursus sekaligus: ia menjadi diskursus “Politik Pancasila” lewat instrumen negara, di sisi yang lain, Pancasila merupakan diskursus publik, yang meniscayakan ia dilempar dan diuji lewat mekanisme rasionalitas publik (public-reasons).

Telah kita ketahui bersama bahwa, diskursus dasar negara di awal kemerdekaan adalah perdebatan yang melibatkan dua arus utama: kelompok sekuler-nasionalis di satu sisi, dan kelompok Islam di sisi yang lain. Para Founding Father ini memperdebatkan seperti apa rancang-bangun dasar negara yang cocok dengan bangsa yang akan merdeka itu. Hingga kemudian, Pancasila lahir dari perdebatan yang cukup alot sebagai satu konsensus politik dari perdebatan dua kelompok di masa awal kemerdekaan.

Artinya, perumusan dasar negara memang melibatkan kacamata kritis-filosofis dari para pendiri bangsa. Pancasila bukan dasar negara yang taken for granted, tapi ia lahir dari diskursus yang ketat.

Namun hari-hari, ada semacam gejala “sakralisasi” terhadap Pancasila. Pancasila dianggap sebagai produk yang final, tak boleh diganggu gugat, didebat dan dipersoalkan. Mereka yang berusaha menafsir ulang Pancasila dianggap “tak nasionalis” bahkan tidak jarang kita temui, mereka dianggap sebagai “radikalis” dan mengancam keamanan negara.

Tentu saja, saya tidak hendak menafikan apa yang dilakukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) itu sebagai hal yang tidak penting. Namun, kita mestinya tidak juga mengabaikan masalah-masalah serius dari cara pandang mapan yang seolah berusaha “memonumenkan” Pancasila sebagai Berhala yang dipahat Sukarno di awal kemerdekaan, lalu kita tak diperbolehkan untuk sekedar menyentuhnya.

Suatu cara pandang yang justru berpotensi mengantarkan kita pada satu bentuk kehidupan bernegara yang serba terbatas, sebuah gaya pergaulan antar warga yang ideologis-represif, sebagaimana lumrahnya gaya kehidupan bernegara ala fasisme dan komunisme.

Politik Pancasila

Politik Pancasila bergaya Structural Top-Down memberikan implikasi pengamalan Pancasila hanya menjadi kultur seremonial belaka. Publik tak diperbolehkan mendebatnya, saripati Pancasila hanya berasal dari definisi tunggal negara. Penutupan tafsir lain terhadap Pancasila berimplikasi secara serius terhadap pemaknaan-pemaknaan Pancasila yang sempit.

Hal ini berpotensi terhadap penggunaan Pancasila tidak sekedar dalam pengertian Politik Pancasila yang dilakukan oleh negara, namun ia memungkinkan satu kecenderungan menuju apa yang saya sebut sebagai “Politisasi Pancasila”.

Pancasila menjadi komoditas politik, yang dengan serampangan digunakan sekedar untuk menarik massa, memancing emosi-kolektif lewat algoritma media sosial yang semakin liar, dan kadang-kadang dijadikan sebagai instrumen memupuk kebencian antar-warga dengan komodifikasi Pancasila lewat slogan-slogan bernuansa populis.

Pancasila menjadi alat politik yang diperhadapkan vis a vis kepada kelompok yang dianggap tidak Pancasilais. Pancasila yang tertutup itu menjadi semacam apa yang disebut Muhammaed Arkoun sebagai “Official closed corpus” (Korpus Tertutup Resmi).Tafsir tunggal terhadap Pancasila itulah yang menyebabkan terjadinya polarisasi tajam antar kelompok di tengah masyarakat, bahwa Pancasila yang benar adalah apa yang didefinisikan oleh otoritas negara, selain itu salah dan tidak Pancasilais.

Chantal Mouffe dalam artikelnya berjudul “Deliberative Democracy or Agonistic Pluralism” (1999) berusaha membedakan antara apa yang disebutnya sebagai “yang politis” (the politic) di satu sisi dan politik (politics)  di sisi yang lain. Menurut Mouffe ada perbedaan dari dua istilah tersebut. Yang politis (The politic) selalu menghendaki watak antagonis dari demokrasi, ia merupakan seperangkat praktik dan “institusiasi” dari kehidupan warga negara yang meniscayakan hubungan konfliktual. Sebaliknya Politik (politics) merupakan suatu perwujudan persatuan (unity) dari apa yang disebutnya sebagai un-us (kekitaan) dalam konteks keberagaman yang konfliktual.

The Political (yang politis) kata Mouffe mestinya memberikan ruang terhadap iklim demokrasi yang agonistik, kata Mouffe jika watak antagonisme demokrasi selalu melihat mereka yang berbeda sebagai musuh (enemies) mestinya sudah mulai menggeser paradigmanya ke watak yang agonistik, agar mereka yang berbeda mulai dilihat sebagai lawan (adversaries), pendapatnya boleh didebat tapi haknya untuk mempertahankan pendapat itu tidak boleh dirampas.

Watak Agonistik

Mungkinkah Pancasila dapat bersikap Pancasilais terhadap mereka yang tidak Pancasilais?

Pertanyaan ini dapat dijawab bergantung pada bagaimana kita melihat watak Pancasila itu sendiri. Apakah Pancasila kita yakini memiliki watak yang antagonis-ideologis? Atau kita memaknainya sebagaimana kata Soekarno, bahwa Pancasila merupakan Philosofische Grondslag? Ia adalah value, falsafah bernegara semata? Ini juga bergantung pada dimana domain Pancasila itu kita dudukkan. Apakah pada spektrum tafsir tunggal negara? Atau ia bebas kita tafsirkan dalam mekanisme penalaran sipil (civic-reason)?

Memang ada semacam batas yang kabur antara Pancasila sebagai ideologi, dan Pancasila sebagai falsafah negara. Hari-hari ini kita ketakutan menafsirkan Pancasila sebab nilai-nilainya terlanjur “dilembagakan” oleh tangan negara. Meskipun pelembagaan itu tidak semenakutkan cara Orde Baru, namun watak kekuasaan selalu tidak lepas dari watak hegemonik yang meniscayakan represi dan kekerasan berkelindan sedemikian rupa.

Tesis Hannah Arendt mengenai relasi antara kekuasaan dan kekerasan dalam karyanya “Reflection of Violence” mengatakan bahwa kekuasaan (power) selalu menghendaki watak represif dan pemaksaan (force) yang pada taraf tertentu meniscayakan keterlibatan senjata dan kekerasan di dalamnya.

Dalam taraf ini, saya setuju dengan diktum Mouffe bahwa demokrasi tidak memerlukan rekonsiliasi akhir. Konfrontasi dalam demokrasi, mestinya dibiarkan bekerja sepanjang ia tidak melanggar batas paling radikal dari prinsip kebebasan dalam demokrasi: kekerasan.

Bagi saya, upaya ‘menimbang’ kembali “wajah represif” Pancasila diperlukan, agar ia tidak semata-mata menjadi wacana menara gading yang hanya dimiliki elite negara semata (sebutlah BPIP), ia harus dibiarkan dalam mekanisme penalaran publik (public-reason).

Dengan cara demikian Pancasila dapat mulai menggeser wataknya dari yang Antagonistik menuju Pancasila berwatak Agonistik. Pancasila sebagai “The politic” (yang politis) bergaya top-down yang dimotori oleh BPIP dapat tetap berjalan, dan Pancasila sebagai “politics” (politik) bergaya bottom-up juga dimungkinkan terjadi lewat mekanisme penalaran sipil dan perdebatan publik, sebagaimana cara Pancasila itu sendiri lahir bertahun-tahun yang lalu.

Adib Khairil Musthafa

Mahasiswa Doktor Studi Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.