Illustration by Dika Sri Pandanari

Keadilan, Anda tahu, adalah problem klasik umat manusia yang terus menjelang, membelum dan menyejarah. Kakek moyang filsafat Barat, Sayyid Aflathun alias Plato (427-347 SM) dalam Politeia telah membeberkan ihwal keadilan sejak lebih dari dua milenium silam. Dan hingga kini, kita belum sungguh-sungguh memahami.

Dalam pandangan Plato, untuk sampai pada manusia adil, mula-mula kita harus tahu apa itu negara yang adil. Negara yang adil tentu saja berangkat dari tatanan yang adil.

Apakah Plato coba mengagitasi kita pada keadilan politis? Tentu saja, Kisanak! Apa sebab? Dari, oleh dan dengan negaralah manusia—sebagai masyarakat—akan menerima haknya berupa keadilan dengan menjalankan kewajibannya untuk mewujudkan keadilan.

Pada episentrum ini, keadilan bisa kita tilik pada dua sisi, masyarakat dan negara. Keadilan pada komunitas masyarakat lazim disebut keadilan “prapolitis” karena ia dibentuk oleh kelompok-kelompok suku bangsa dan kelompok agama dengan nilai-nilai, tradisi, pola pikir dan pola sikap yang berbeda dan bahkan berseberangan satu sama lain. Sementara negara adalah “kontrak” dari seluruh elemen masyarakat untuk hidup bersama di bawah payung hukum dan undang-undang. Nah, kelompok-kelompok masyarakat di bawah naungan satu negara manakala ingin mendapatkan keadilan lazim disebut sebagai keadilan “politis”.

Keadilan pada masyarakat pranegara adalah the idea of the good, sedangkan keadilan pada masyarakat bernegara adalah the idea of the right. Pertanyaan yang tidak bisa kita hindari kemudian: bagaimana mempertemukan keduanya?

Sebelum menjawab, tidak ada salahnya kita renungi sosok Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) dalam De Officii yang mengingatkan kita bahwa hukum tertinggi acapkali menjadi ketidakadilan terakbar (jus summum est saepe summa). Benarkah air liur Cicero ini terjadi di Indonesia?

Seperti biasa, saya ingin menjawabnya dengan bertanya: adakah diskriminasi dan kesewenang-wenangan pada kelompok minoritas yang dilakukan oleh mayoritas di Negeri ini, baik agama, etnis dan bahkan ormas tertentu? Adakah serigala-serigala politik berjubah tokoh agama yang terus menjual agama dengan cara menebar teror dan kebencian? Tentu Anda lebih tahu jawabannya apa!

Lantas, di manakah keadilan? Benarkah negara masih menjadi rumah bersama untuk “bangsa Indonesia” yang melindungi setiap anak bangsa yang berbeda-beda?

Pepatah Latin bertutur: justitia exaltat gentem (keadilan meningkatkan derajat bangsa). Bangsa yang beradab, setidaknya bisa kita tahu dari cara mereka memaknai dan mendapatkan keadilan. Seberapa biaskah tafsir kita sebagai masyarakat di satu sisi serta sebagai negara tentang keadilan?

Baik, keadilan bukan hanya nilai yang lahir dan didefinisikan secara politis pasca negara, ia telah lama dimiliki segala bangsa dan masyarakat sebelum berdirinya negara, sebelum turunnya agama-agama. Keadilan sangat tua dan primitif. Hukuman potong tangan boleh jadi adil menurut agama, tapi menurut negara adalah hukuman penjara yang adil, belum tentu menurut hak asasi manusia, menurut moral, menurut adat, menurut akal sehat, menurut…menurut…

Negara adalah demos, bukan ethnos, demikianlah keadilan diupayakan dalam masyarakat majemuk di bawah negara, yakni memberikan hak-hak kolektif yang tidak pandang bulu pada seluruh elemen masyarakat. Ini adalah cita-cita negara sebagaimana tertuang dalam Pancasila, filsafat paling otentik dari bangsa Indonesia.

Kita bisa melacak upaya mendamaikan keadilan prapolitis dan keadilan politis itu misalnya dengan apa yang dirintis oleh Mahatma Gandhi dengan gerakan satyagraha, gerakan anti-apartheid yang digagas oleh Nelson Mandela, serta gerakan Islam moderat yang dilokomotifi oleh Gus Dur.

Oleh karena keadilan teramat berat untuk dipikul oleh lembaga-lembaga peradilan, oleh karena moralitas lebih tinggi dari hukum, oleh karena cara berdemokrasi kita belum sungguh-sungguh memanusiakan demos, maka masyarakat dan negara harus sama-sama membuka diri untuk terus berbenah, bukan lantas memutlakkan “sistem” tertentu seperti khilafah yang disembah-sembah kaum defisit otak.

Saya ingin mengakhiri tulisan ini lagi-lagi dengan sebilah tanya: bagaimanakah keadilan itu seharusnya dimaknai untuk kemudian diupayakan?

Datangkan setidaknya tiga orang: Jawa, Sunda, dan Madura dalam posisi berhadap-hadapan, letakkan satu ekor ayam jantan di tengah-tengah meraka, biarkan ketiga anak manusia itu menuggu sampai si ayam berkokok. Mas Jawa mengatakan suara ayam tersebut dengan sebutan “kukuruyuk”, ujang Sunda menyebutnya “kongkorongkong”, sementara kacong Madura mengatakan “kukurunuk”.

Nah, suara ayam tersebut adalah analogi akan substansi keadilan, jarak antara ketiga orang itu dengan sang ayam adalah tafsir tentang keadilan yang masing-masing agama, suku dan budaya tidak boleh saling menyalahkan dan mengklaim tafsirnyalah yang paling benar, sebab ruang di mana mereka menafsir adalah negara. Dan, negara itu demos, bukan ethnos!

Jelaslah kini bahwa tugas negara adalah (1) menyediakan “ayam”, bukan malah membiarkan rakyat untuk saling berburu berebut ayam di hutan, sebab rimba punya hukumnya sendiri, (2) menjamin setiap warganya untuk mendapatkan “suara” ayam yang sama, ayam yang asli, bukan ayam sintetis hasil kawin silang ayam dengan musang, juga ayam-ayaman yang bersuara dengan baterai (3) serta melindungi sang ayam agar tidak dimonopoli oleh segelintir warga dengan dalih apapun.

Tapi, kenapa analoginya harus ayam jantan? Karena ayam jantan tidak bertelur, ia aman dari pertanyaan kaum defisit nalar dan otak cingkrang perihal duluan mana ayam dengan telur, mana dalilnya telur?!

Jangan lupa bahagia!

Pengasuh Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan menjabat sebagai Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Al-Farabi Malang. Penulis buku Peradaban Sarung (2018) dan Kondom Gergaji (2018).

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.