Crossing the Red Sea karya Christoffer Wilhelm
Crossing the Red Sea karya Christoffer Wilhelm

Sudah menjadi keresahan terdalam penulis sejak lama ketika melihat banyak orang seolah-olah “mentalak-tiga” atau menceraikan etika politik dari tubuh politik itu sendiri, seolah politik pada level praktis adalah hal yang terpisah dengan etika politik. Masyarakat kini sering kali lupa (atau kurang memahami paham) bahwa akar dari politik adalah adanya kesadaran akan perlunya keberadaban dalam kehidupan, politik adalah sebuah upaya untuk mendistribusikan nilai-nilai etiko-politis dan bukan alat untuk memuaskan “birahi praktis” belaka.

Kita telah sampai pada suatu masa ketika kritik etiko-politik disempitkan pada kamar kecendikiawanan semata. Kita telah tiba pada suatu masa di mana kritik adabushsiyasah adalah sebuah jahalah yang disebabkan oleh tiadanya kemampuan membaca realitas. Memang, saat ini adalah masa penuh kemalangan, ketika ilmu pengetahuan dan normativisme dimarjinalisasi sehingga manusia tinggal menunggu waktu di mana segala kezaliman politik akan mencapai titik ledaknya. Pada akhirnya kapal negara, dalam konteks kita adalah Indonesia, juga akan meledak.

Andaikan saja kritik etiko-politik dieliminasi dari struktur kehidupan politik, maka segala bentuk penyakit yang masuk ke dalam tubuh politik akan sangat mudah untuk membunuh virus-virus seperti korupsi, kolusi, nepotisme yang dibalut dengan perisai oportunisme akan (dalam waktu yang tidak lama) menghancurkan keseluruhan konstruksi politik tersebut. Dalam struktur biologis politik, kritik etiko-politik bagaikan sistem imun yang mencegah berbagai sebab penyakit untuk masuk ke tubuh. Semakin lemah eksistensi kritik etiko-politik dalam suatu negara maka akan semakin merebaklah segala penyakit politik tersebut.

Pembuntutan Kritik Etiko-Politik

Dalam konteks kita saat ini, masyarakat Indonesia sudah terbiasa meletakkan kritik etiko-politik pada pembahasan buntut semata. Ketika daftar-daftar kehancuran sudah semakin menumpuk, dan sudah terlalu banyak tikus yang keluar dari lubangnya, memangsa berbagai sumberdaya, di sanalah kita akan menyesali dan kembali pada refleksi etiko-politik sebagai penenang reflektif semata namun tidak sebagai reorientasi prinsip. Nilai-nilai keadaban politik hanya dijadikan penenang semata ketika batin sudah terlalu gundah akibat “kekotoran praksis” yang terjadi, alih-alih dijadikan orientasi dalam bersikap Dalam terminologi masyarakat modern kini, itulah yang mereka sebut sebagai realisme, itulah yang real. Namun mulai detik ini, mari kita mencurigai bahwa terdapat suatu masa di mana apa yang dikenali sebagai realitas adalah keacuhan alih-alih penyikapan praktisnya, karena sungguh dalam keacuhan tidak ada keotentikan selain kebodohan itu sendiri.

Peningkatan Kritik Etiko-Politik

Upaya kritik etiko-politik perlu dimultiplikasi di Indonesia, sebab hal tersebut akan menjadi penyeimbang dialektika kehidupan politik. Setidaknya dengan upaya penyebaran wacana etiko-politik maka kehidupan politik tidak hanya berisi cerita tentang “kezaliman Fir’aun” tetapi diimbangi juga dengan cerita tentang “perjuangan Musa”. Kritik etiko-politik yang semakin diperbanyak diharapkan akan menghasilkan kesadaran reflektif keadaban politik yang terletak di kepala, alih-alih terletak di buntut pewacanaan masyarakat Indonesia. Dalam nuansa perpolitikan tanah air, di samping kita mendapatkan jaminan konstitusional untuk mendapatkan kebebasan politik yang seutuhnya, kita juga mendapatkan kasus-kasus di mana elit-elit politik Indonesia kelewat batas dalam berpolitik. Hal ini berkonsekuensi pada pendidikan yang tidak optimal hingga kelaparan. Masyarakat semakin meronta dan ketidaksadaran atas kemiskinan rakyat semakin menyeruak. Mungkin hanya Tuhan dan nurani kita yang masih sedikit terbangun, yang mengerti mengapa kita lebih suka diam terhadap fakta pembututan etiko-politik tersebut.

Muhammad Farras

Mahasiswa ilmu politik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.