Bahasa merupakan alat bagi manusia untuk menjalin komunikasi satu sama lain. Penggunaan bahasa melalui suatu kata, — misalkan membangun suatu proposisi, premis, pernyataan, kalimat, maupun argumentasi– berfungsi sebagai simbol dengan tujuan untuk mencapai makna, maksud, dan penggambaran realitas tertentu dari pesan yang disampaikan, dengan harapan suatu pesan dapat dimengerti dan ditangkap oleh indera (sense) penerimanya. Hal ini juga dinyatakan Ludwig Wittgenstein, bahwa bahasa merupakan suatu gambaran realitas dan makna adalah gambaran keadaan realitas faktual melalui bahasa (Bertens, 2014). Maka, penyampaian suatu pernyataan yang bermakna memerlukan kondisi yang faktual dan bersentuhan langsung dengan realitas sehingga suatu bentuk penggunaan bahasa (yang berupa pernyataan, proposisi, dan premis) dapat mencapai pengetahuan bagi manusia.
Lantas bagaimana memastikan suatu bahasa yang dituangkan dalam pernyataan dapat dikatakan mewakili atau menjadi gambaran suatu realitas faktual sehingga mencapai pengetahuan? Misalkan ketika seseorang membangun suatu pernyataan, bagaimana suatu pernyataan tersebut dapat memiliki makna (meaningful) dan mencapai maksud (realitas) dari apa yang digambarkan dan menjadi suatu pengetahuan bagi manusia secara rasional, objektif, dan empiris?
Itulah yang menjadi problem kajian para filsuf positivisme logis yang biasa dikenal sebagai Lingkaran Wina (yang beranggotakan matematikawan, filsuf, saintis dan dipimpin oleh Moritz Schlick). Gerakan positivisme logis memiliki anggapan bahwa suatu pengetahuan mengenai dunia dapat menjadi pengetahuan hanya jika suatu pengetahuan dapat diobservasi dan dituntut untuk mencapai maksud dari metode pengetahuan ilmiah (Ogan & Christanus, 2018).
Berkaitan dengan anggapan tersebut, kelompok positivisme logis mengembangkan suatu prinsip verifikasi berdasarkan semangat perkembangan sains yang hendak menyelaraskan filsafat dengan sains. Maka, Lingkaran Wina dengan gerakan positivisme logisnya berusaha untuk menyatukan ilmu pengetahuan dengan harapan dapat menghasilkan sebuah sistem yang bermakna dan valid (Gelner, 1979, Ogan & Christanus, 2018) sehingga lahirlah salah satu produk pemikiran yakni prinsip verifikasi. Prinsip verifikasi menuntut kebermaknaan dan kondisi yang harus dapat diobservasi dan diverifikasi pada suatu pernyataan dan hal ini berimplikasi pada penolakan pernyataan metafisik, etika, dan epistemologi bahkan teologi. Sebab tidak ada suatu cara untuk dilakukanya observasi dan verifikasi pada pernyataan-pernyataan tersebut. Sedangkan menurut para positivis, pengetahuan murni mengenai dunia hanya bisa didapat melalui fenomena yang dapat diobservasi dan harus mencapai suatu metode ilmiah. Namun dalam perjalanannya, prinsip verifikasi berkembang beriringan dengan berbagai kritik sebab prinsip ini disebut memiliki kecacatan dan beberapa kekurangan.
Prinsip verifikasi selanjutnya dikembangkan oleh A.J Ayer, yang merupakan seorang filsuf positivis berkebangsaan Inggris. Konsep dan pembaharuan prinsip verifikasi tertuang dalam bukunya Language, Truth and Logic yang ditulisnya pada usia 25 tahun. Ayer dianggap membawa prinsip verifikasi ke dalam bahasa Inggris. Dalam prinsip verifikasi Ayer, suatu pernyataan yang bermakna (meaningful) –yang dapat dipahami secara kognitif– merupakan suatu pernyataan terbuka terhadap observasi dan dapat diverifikasi secara empiris, atau dapat ditempuh suatu jalan untuk verifikasi dan observasi, jika tidak, suatu pernyataan tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai suatu pengetahuan atau mencapai ilmu pengetahuan (dimana hal ini sangat selaras dengan tradisi positivisme logis). Sebagaimana pernyataan Ayer, prinsip verifikasi berfungsi untuk menguji apakah suatu kalimat mengekspresikan hipotesis empiris yang murni (Ayer, 31). Karena alasan di atas, agar pernyataan dapat dikategorikan sebagai suatu pengetahuan atau ilmu pengetahuan maka pernyataan dituntut untuk dapat diobservasi dan diverifikasi sehingga mencapai objektivitas dan kebermaknaan (meaningful) dan nantinya dapat diketahui kebenarannya. Pengembangan Ayer mengenai prinsip verifikasi sangat erat kaitannya dengan tradisi positivisme logis, namun terdapat beberapa pembaharuan pada prinsip verifikasi Ayer.
Prinsip Verifikasi Lingkaran Wina
Lingkaran Wina merupakan sekelompok matematikawan, filsuf, dan juga saintis yang dipimpin oleh Shlick yang merupakan filsuf epistemologis dan sains. Anggota dari kelompok ini terdiri dari Gustav Bergman, Rudolf Carnap, Herbert Feigl, Philipp Frank, Kurt Godel, Otto Neurath, dan Friedrich Waismann (Britannica). Lingkaran Wina terinspirasi oleh perkembangan sains terutama dalam ilmu fisika dan ilmu formal, dimana mereka mengusung gerakan positivisme logis dan mengembangkan prinsip verifikasi sebagai salah satu doktrin, yang berdampak pada sikap anti terhadap metafisika.
Lingkaran ini mengusung gerakan positivisme logis yang berusaha untuk kembali merekonstruksi empirisme dengan membebaskannya dari tugas mustahil dalam menjustifikasi klaim dari ilmu pengetahuan formal (plato.stanford.edu). Selain itu mereka berupaya untuk mereduksi pengetahuan manusia secara sistematis menuju landasan logika dan saintifik sehingga menghasilkan suatu pemikiran yang dikenal dengan istilah prinsip verifikasi. Melalui prinsip verifikasi para positivis logis, mereka membangun teori bahasa yang telah dikenalkan Ludwig Wittgenstein dalam bukunya yang berjudul Tractatus Logico Philosophicus yang mengungkapkan:
“The world is the totality of facts, not of things” (proposition 1.1), “What is the case—a fact—is the existence of states of affairs” (prop. 2), “In a proposition a thought finds an expression that can be perceived by the senses” (3.1), “A proposition is a picture of reality” (4.01), “The simplest kind of proposition, an elementary proposition, asserts the existence of a state of affairs” (4.21), and “If an elementary proposition is true, the state of affairs [it pictures or describes] exists; if an elementary proposition is false, the state of affairs [it pictures or describes] does not exist” (4.25).(https://www.newworldencyclopedia.org/).
Prinsip verifikasi menyatakan bahwa pernyataan hanya bermakna ketika ia memiliki sifat formal (seperti matematika dan logika) dan dapat diverifikasi secara empiris (Philosophybasics.com). Lebih jelasnya prinsip verifikasi menyatakan bahwa suatu pernyataan hanya bermakna (meaningful) –secara kognitif atau dapat dipahami secara kognitif (signifikansi kognitif)– jika dan hanya jika dapat diverifikasi secara analitik maupun empiris (Ayer 5). Selaras dengan hal tersebut para positivis menyatakan bahwa kalimat yang bermakna harus bersifat analitik maupun sintetik. Pembagian ini mengkategorikan penalaran apriori dalam kerangka analitik dan a posteriori dalam kerangka sintetik (plato.stanford.edu). Pada sifat analitik lingkaran wina menganggap logika dan matematika termasuk di dalam sifat tersebut. Mereka menanggap bahwa matematika tidak mengungkapkan suatu kebenaran yang faktual, namun hanya mewakili dunia dan mengimplikasikan hubungan antar pernyataan (plato.stanford.edu). Namun prinsip verifikasi hanya merupakan suatu kriteria dari signifikansi kognitif daripada kebenaran, sebab dalam pandangan para positivis, untuk mengetahui bagaimana suatu kalimat dapat menjadi kebenaran adalah dengan mengetahui kebermaknaannya (Dinneen, 1956). Prinsip verifikasi, yang berorientasi pada kondisi faktual, material, dan empiris berimplikasi pada penolakan pernyataan metafisika, etika, dan teologis. Karena pernyataan-pernyataan tersebut tidak dapat diobservasi dan diverifikasi sehingga tidak memiliki makna, kosong, dan tidak memiliki signifikansi kognitif.
Prinsip Verifikasi A.J. Ayer
Alfred Jules Ayer (1910-1989) merupakan pengikut dan penerus tradisi positivisme logis dari Lingkaran Wina, meskipun Ayer bukan anggota dari Lingkaran Wina, pemikirannya disebut brilian dan memiliki pengaruh besar dalam tradisi positivisme logis. Dalam meneruskan tradisi tersebut Ayer berusaha menyatukan pengetahuan atau ilmu pengetahuan melalui penciptaan bahasa deskriptif ilmiah seperti halnya para positivis logis (Walsh, dalam Ogan & Christanus, 2018). Selain itu ia menolak dengan keras pernyataan metafisika dan menolak sintetik apriori Immanuel Kant. Penolakan terhadap pernyataan metafisika disebabkan karena pernyataan-pernyataan tersebut tidak dapat diuji melalui pengamatan empiris, tidak dapat diobservasi, dan diverifikasi sehingga tidak memiliki makna dan relevansi faktual.
Penolakan ini merupakan implikasi dari prinsip verifikasi, dimana prinsip ini mensyaratkan bahwa suatu pernyataan dapat bermakna (meaningful) jika dan hanya jika pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara analitik maupun empiris (Ayer, 9). Ayer mengatakan suatu pernyataan dapat diverifikasi secara langsung jika pernyataan tersebut bersifat observasional (observational-statement) atau setidaknya mempunyai hubungan dengan observasi (Ayer, 13). Sebagai contoh “Paus adalah mamalia.” atau “Ayam merupakan hewan unggas.”, pernyataan ini memiliki makna sebab berhubungan dengan realitas faktual dan bersifat observasional sehingga dapat diverifikasi secara langsung, Sedangkan “Beramal merupakan sesuatu yang baik.” atau “Taman penuh bunga itu indah sekali.”, pernyataan ini merupakan pernyataan yang tidak bermakna, sebab tidak ada suatu cara untuk mengobservasi dan memverifikasi secara empiris maksud dari kalimat tersebut.
Lalu bagaimana dengan pernyataan “2 x 2 = 4” atau “Planet Pluto terbuat dari keju.” atau bahkan pernyataan sejarah seperti; “Bung Karno membaca teks proklamasi pada tahun 1945”? Apakah pernyataan-pernyataan seperti ini tidak bermakna? Jika terdapat pernyataan sejarah seperti pada contoh tersebut, apakah kita harus kembali pada peristiwa tersebut untuk memverifikasi pernyataan tersebut? Di sinilah Ayer membedakan antara verifikasi secara praktis (practical verifiability) dan verifikasi secara prinsip (verifiably in principle). Verifikasi secara praktikal merupakan verifikasi yang dapat dilakukan secara langsung saat ini juga oleh usaha manusia, sedangkan verifikasi secara prinsip merupakan verifikasi yang tidak dapat dilakukan secara langsung atau sekarang juga sebab kita memiliki kekurangan sarana untuk menempatkan diri secara langsung ke dalam situasi dimana pengamatan dapat terjadi (Ayer, dalam Ogan & Christanus, 2018).
Prinsip verifikasi yang di embangkan oleh Ayer juga membedakan antara istilah “Kuat (strong)” dan “lemah (weak)”. Suatu pernyataan yang dapat dikategorikan dalam verifikasi yang kuat, jika dan hanya jika kebenarannya dapat secara meyakinkan dan berakar pada pengalaman. Sedangkan dapat diverifikasi dalam arti yang lemah, jika terdapat kemungkinan untuk pengalamanan dalam membuatnya menjadi mungkin (Ayer, 37).
Pada contoh sebelumnya pernyataan pertama merupakan pernyataan yang bermakna, sebab seperti yang telah dijelaskan pada prinsip verifikasi Lingkaran Wina sebelumnya, prinsip verifikasi tidak terbatas pada pernyataan yang bersifat a posteriori, tetapi juga mencakup suatu pernyataan a priori, pernyataan pertama “2 x 2 = 4” merupakan pernyataan a priori, analitik, atau para positivis menyebut dengan pernyataan tautologi, sehingga pernyataan tersebut bermakna, karena matematika mewakili realitas keduniaan. Sedangkan pernyataan kedua, juga merupakan pernyataan bermakna, karena pernyataan tersebut dapat diverifikasi secara prinsip, karena kita tidak memiliki sumber daya untuk langsung terbang ke Planet Pluto, namun kita dapat mengobservasi dan memverifikasi melalui data-data atau penelitian saintifik, dan pernyataan kedua dapat dikategorikan dalam sifat verifikasi lemah (weak verification), selanjutnya pernyataan ketiga juga merupakan pernyataan yang bermakna, sebab kita dapat memverifikasi pernyataan tersebut melalui dokumen-dokumen sejarah, foto, atau yang lainya, sehingga memungkinkan kita untuk melakukan verifikasi terhadapnya. Tetapi pernyataan ketika ini juga termasuk pernyataan verifikasi yang lemah, sebab verifikasi yang dilakukan hanya sebatas secara prinsip.
Di sini dapat diketahui lebih jelas, mengapa prinsip verifikasi menolak pernyataan metafisika, etika, epistemologi, bahkan teologi. Sebab tidak ada suatu cara yang mungkin dilakukan untuk melakukan verifikasi dan observasi terhadap pernyataan-pernyataan tersebut. Sebagaimana Ayer menyebutkan dalam bukunya Language, Truth and Logic “We may accordingly define a metaphysical sentence as sentence with purports to express a genuine proposition, but does, in fact, express neither a tautology nor an empirical hypothesis…. We are justified in concluding that all metaphysical assertion are nonsensical.” (Ayer, 41). Sangat jelas melalui pernyataan tersebut Ayer memiliki pandangan bahwa semua pernyataan metafisika merupakan pernyataan yang tidak masuk akal dan tidak bermakna (meaningless).
Kritik Terhadap Prinsip Verifikasi
Meskipun banyak disebutkan bahwa hasil pemikiran para positivis logis sulit untuk dibantah, prinsip verifikasi banyak menuai kritikan. Sebab prinsip verifikasi dipertanyakan akan kebermaknaannya, prinsip verifikasi tidak dapat diverifikasi dan diobservasi secara empiris, juga prinsip ini tidak masuk kedalam ranah analitik, tautologi, maupun sintetik. Sehingga prinsip verifikasi dianggap menghancurkan dirinya sendiri. Lalu masuk ke dalam pernyataan apakah prinsip ini? Jika prinsip verifikasi yang dimaksud Ayer masuk ke dalam pernyataan metafisika, maka prinsip verifikasi merupakan prinsip yang pertama dalam menghancurkan dirinya sendiri, karena prinsip verifikasi menuntut adanya observasi dan verifikasi secara empiris untuk mencapai kebermaknaan dari suatu pernyataan. Jika prinsip verifikasi mengikuti aturan prinsipnya, maka ia juga harus melalui verifikasi empiris juga. Selain itu terdapat kritik dikemukakan oleh Karl Popper, yang menyebutkan prinsip verifikasi terlalu kuat untuk sains sehingga berimplikasi kepada pengesampingan seluruh hukum ilmiah (Okasha, Ogan & Christanus, 2018). Dari berbagai kritik tersebut, dapat ditemui dengan jelas bahwa prinsip verifikasi yang dirumuskan Ayer merupakan prinsip yang cacat dan gagal.
Referensi
Bertens., K. 2014. Sejarah Filsafat Kontemporer: Jerman dan Inggris. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dinneen, J., A. 1956. Logical Positivism and the Principle of Verification. Master’s Theses. 1384. https://ecommons.luc.edu/luc_theses/1384
Ogan , T. V., & Ariche , C. K. 2021. A Critical Evaluation of Ayer’s Verification Principle. Journal of Good Governance and Sustainable Development in Africa , 4(1), 23-36. DIakses dari http://journals.rcmss.com/index.php/jggsda/article/view/304.
Ayer, A.,J. 1952. Language, Truth, and Logic. Dover Publication, INC. New York.
Britannica, T. Editors of Encyclopaedia. 2017. Vienna Circle. Encyclopedia Britannica. https://www.britannica.com/topic/Vienna-Circle
Britannica, T. Editors of Encyclopedia. 2016. verifiability principle. Encyclopedia Britannica. Diakses 18 Juni, 2022 dari https://www.britannica.com/topic/verifiability-principle
Verifiability principle. 2020. New World Encyclopedia, . Diakses 18 Juni, 2022 dari https://www.newworldencyclopedia.org/p/index.php?title=Verifiability_principle&oldid=1036819.
verification principle. Oxford Reference. Diakses 18 Juni, 2022 dari https://www.oxfordreference.com/view/10.1093/oi/authority.20110803115510609.
Logical Positivism. Philosophy Basic. Diakses 18 Juni 2022 dari https://www.philosophybasics.com/branch_logical_positivism.html
Vienna Circle. Plato Stanford Edu. Diakses 18 Juni 2022 dari https://plato.stanford.edu/entries/vienna-circle/#RedFouTwoCriParReb
Vienna Circle. Roudledge Encyclopedia. Diakses 18 Juni 2022 dari https://www.rep.routledge.com/articles/thematic/vienna-circle/v-1
Alfred Jules Ayer. Plato Stanford Edu. Diakses 18 Juni 2022 dari https://plato.stanford.edu/entries/ayer/#2