Pegunungan Kendeng Utara Liputan 6 dokumentasi dari JMPPK oleh Edhie Prayitno Ige

Jika berfilsafat tidak terlepas dari pembahasan mengenai manusia, maka siapakah manusia itu? Apa tujuan manusia hidup? Bagaimana relasi manusia dengan yang lain? Seluruh pertanyaan ini menjadi pembahasan filsafat selama lebih dari 26 abad.  Para filosof menggunakan berbagai cara untuk mendapatkan pemahaman mengenai manusia. Pertanyaan demi pertanyaan terjawab seiring dengan munculnya pertanyaan-pertanyaan baru yang menggiring manusia kepada pertanyaan lain yang lebih besar ialah mengenai hubungan, relasionalitas. Sebab manusia saling berinteraksi, bersosialisasi, dan berkomunikasi satu sama lain, maka yang menjadi pembahasan utama dari fenomenologi ialah membaca realitas bukan pada teks melainkan pada pengalaman konkret manusia dalam melakukan peziarahan hidup bersama.[1] Namun, manusia tidak hanya melangsungkan hubungan dengan sesamanya, melainkan juga dengan alam. Apapun itu, terutama bumi tempat ia berpijak.

Kasus Samin: Hubungan Manusia-Alam

Kasus Agraria yang terjadi pada masyarakat Samin menggambarkan buruknya hubungan antara perkembangan masyarakat tani, terutama para perempuan, dengan konteks pembangunan saat ini. Diceritakan dalam Samin vs Semen,[2] bahwa manusia membutuhkan ruang hidup untuk bergerak dan meneruskan kehidupan. Tesis awal dalam kajian ekofeminisme adalah bahwa perempuan secara harafiah dan metafisik sangat dekat dengan alam. Term ibu bumi bapak langit merupakan sebuah pengandaian dari sifat alam yang disejajarkan dengan konsep gender oleh masyarakat (dalam konteks ini: Jawa).

Term ibu bumi berusaha mengandaikan bahwa bumi adalah tanah dan air yang menghasilkan, mengolah, dan memberi kehidupan. Sementara bapak langit lebih cenderung diartikan sebagai sifat paternal dalam melingkupi dan melindungi (sama dengan udara yang juga dapat menghidupi makluk hidup baik melalui oksigen dan karbon dioksidanya). Dalam budaya barat, semua benda dibagi menjadi dua gender. Ambil saja contoh dalam bahasa Inggris yaitu “she” dan “he”. Binatang, benda-benda laut, dan bangunan diandaikan dengan gender “she. Sementara itu, benda-benda langit seperti matahari dan langit diandaikan sebagai “he (terkecuali bulan “Luna” dan bintang, “aster-stela”).

Dalam diskursus ekofeminisme, term ini berusaha untuk menggambarkan hubungan terdekat antara peran wanita atau sifat feminin lainnya (perdamaian, merawat, lokal) dengan lingkungan. Demikian Riyanto juga menyatakan hal yang sama bahwa alam bersifat ayu atau yang dapat dimengerti sebagai selaras. Baginya, selaras mengandaikan hubungan yang harmonis dan dialektis. Ini menunjukkan bahwa sifat alam ialah relasional. Karena manusia berada dalam alam maka manusia ialah bagian dari alam yang juga memiliki sifat relasional.

Sejarah mencatat bahwa manusia purba hidup pertama kali dengan cara berburu dan meramu. Kemudian dilanjutkan dengan bercocok tanam. Soekarno dalam Sarinah menyatakan bahwa petani pertama di bumi adalah kaum perempuan. Mengapa? Karena kaum pria lebih mampu berburu serta tidak mengalami masa-masa mengandung. Perempuan mengolah lahan dan mengurus anak. Namun bukan berarti perempuan tidak mampu berburu, melainkan karena saat mengandung, ia tidak dapat bepergian jauh dan melawan binatang buas. Oleh karena itu, kegiatan bertani dan beternak pada awalnya dikelola oleh kaum perempuan.

Memasuki awal peradaban manusia, domestifikasi ini masih berlanjut dan mulai ada pembagian kerja dalam kelompok. Di sini lah terjadi pertentangan awal antara pria dan wanita ditemukan. Posisi sentral dapat ditempati oleh kedua pihak, namun dengan alasan yang berbeda-beda di setiap kelompok. Melompat ke zaman selanjutnya, manusia mulai memiliki kemampuan untuk menerima wahyu. Berkembanglah agama-agama patristik yang dikembangkan oleh para Abrahamik (Islam, Kristen, dan kembangannya). Pada era ini, kepercayaan mendikte manusia untuk bersikap dalam kehidupan berkelompok. Perempuan diposisikan sebagai simbol kesucian. Kita dapat melihat bahwa pelabelan yang muncul pada era ini semakin berpihak. Perempuan masih bertani dan mengurus perihal domestik. Alam belum terintimidasi oleh populasi manusia yang terus meningkat.

Keahlian manusia berkembang dan kemudian muncul era industri. Para penggarap lahan pertanian kini berpindah menjadi buruh atau tenaga kerja pabrik. Domestifikasi perempuan, selain bertani dan mengurus rumah tangga, juga mengalami perubahan. Perempuan pada era ini memiliki kesempatan untuk keluar dari domus-nya. Hingga hari ini industri menyerap banyak sekali tenaga kerja perempuan dibandingkan dengan pria. Perempuan yang selama ini telah mengurus banyak sisi kehidupan manusia, kini dipercaya untuk menjalankan roda kapital. Pada tahap ini, kita dapat melihat perubahan besar peranan perempuan: perempuan yang jauh dari rumahnya, juga kemudian jauh dari lahan dan domus-nya.

Ekofeminisme berusaha membangkitkan kembali hubungan perempuan dengan alam, serta mencoba untuk menyelidiki pengaruh atas eksploitasi alam pada perempuan. Dalam kasus semen Kendeng-Rembang, dikenal 9 Kartini. Mereka ialah para perempuan yang memasung kakinya sebagai aksi damai untuk memprotes tindakan eksploitatif PT. Semen Indonesia, terutama juga menyatakan sikap penolakannya kepada pembangunan pabrik PT. Semen Indonesia. Salah satu di antaranya yang dikenal adalah Almarhumah Yu Padmi yang meninggal saat aksi pasung kaki. Mengapa muncul Kartini-Kartini Rembang? Apakah para petani pria tidak mampu menyuarakan suaranya? Tidak. Munculnya Kartini Rembang adalah sebuah simbol aksi, keberpihakan manusia kepada alam yang diibaratkan sebagai ibu, perempuan, dan para petani.

Selanjutnya dalam tinjauan eksploitasi alam, ketika alam dikeruk sehabis-habisnya, maka ruang hidup perempuan hanya seluas rumah dan tempat kerja. Mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengaktualisasikan diri dalam pekerjaan yang dikehendaki. Mengambil istilah Marx manusia sejatinya ditentukan oleh apa yang mereka kerjakan. Jika alam dihabisi, maka habislah ruang hidup mereka. Tidak ada hal yang mereka kenali sejak lahir yang dapat mereka olah. Sistem industri merupakan hal baru yang dikenal setelah lahan mereka direngguh. Oleh sebab itu, para aktivis ekofeminisme (baik laki-laki atau perempuan) selalu berusaha untuk mengembalikan kembali ruang hidup masyarakat. Dengan kembalinya ruang hidup, sifat-sifat femini manusia dapat kembali teraktualisasikan.

Kajian ekofeminisme apabila dapat disederhanakan adalah sebuah usaha untuk melawan dominasi kapitalisme terhadap alam dan perempuan. Inilah yang membedakannya dengan beberapa posisi seperti sosialisme yang selalu menunjukkan jari kepada kapitalisme sebagai yang bersalah atas sistem. Sedangkan gerakan feminis liberal sering kali hanya menyalahkan sistem patriarki. Sementara itu kajian sosialis berusaha menjelaskan bahwa sistem patriarki sendiri merupakan sebuah turunan dari dominasi kapitalis terhadap apapun yang lemah, baik alam maupun perempuan dan kaum tertindas lainnya. Dominasi patriarki dinilai sebatas usaha kaum pemilik modal untuk menguasai sistem.

PT. SI lepas dari tujuan pembangunan nasional, merupakan salah satu bentuk dari eksploitasi alam. Pembahasan AMDAL belum mencapai tahap akhir, namun AMDAL palsu telah diterbitkan tanpa mengikutsertakan masyarakat lokal. Hal ini merupakan salah satu cara tipu daya perusahaan untuk memperlancar pembangunan pabrik semen. Eksploitasi alam yang berimbas pada berakhirnya ruang hidup masyarakat dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan. Dari perjuangan petani-petani di Jawa Tengah ini, dapat dilihat satu nilai yang sangat kuat: pergerakan perempuan bukan lagi mengenai perihal seksual dan kesetaraan Perjuangan perempuan setara dengan laki-laki, yakni tentang bagaimana manusia dapat merebut kembali ruang hidup yang telah direnggut oleh penguasa modal.

Keseharian

Membahas keseharian merupakan hal yang sering terlupakan. Ernst Breisach dalam An Introduction to Modern Existentialism[3] menyatakan bahwa pandangan terhadap kehidupan manusia menjadi dasar pemikiran eksistensialis. Hal ini dibuktikan dari bahan-bahan refleksi para filosof eksistensialis yang menitikberatkan pembahasan pada manusia dan kesehariannya. Sartre menulis beberapa naskah drama dan novel yang menceritakan kehidupan manusia sehari-hari. Dalam karyanya yang berjudul No Exit, ia menggambarkan kehidupan setelah kematian sebagai sebuah lobby yang hanya dihuni oleh tiga orang (ditambah seorang bellboy sebagai pemeran figuran). Sedangkan Le Mots menceritakan kisah kanak-kanak Sartre dalam balutan refleksinya. Bagi Sartre, kejadian sehari-hari bukan merupakan hal yang dapat diacuhkan dan  dilupakan begitu saja.

Riyanto dalam Menjadi–Mencintai menyatakan bahwa keseharian merupakan sumber pengetahuan[4]. Berfilosofi dan berteologi bukan merupakan hasil dari diskusi dalam ruang kelas namun merupakan refleksi kehidupan sehari-hari yang direlasikan kepada Tuhan. Sartre juga mengkritik filosof-filosof bourgeois yang menghasilkan pemikirannya melalui teori dan kontemplasi namun jauh dari keseharian manusia. Menurutnya, berfilosofi adalah dengan mengetahui dan menyadari manusia sebagaimana manusia hidup. Sementara itu Riyanto mengemukakan pula bahwa keseharian ialah yang menunjukkan eksistensi manusia. Dengan kata lain bahwa air, tanah, udara, kebudayaan, kondisi geografis, dan sebagainya berpengaruh terhadap kesadaran dan realitas manusia. Alam membentuk manusia dan demikian juga sebaliknya. Hal ini mempersingkat kesimpulan yang tegas bahwa manusia berelasi, tidak hanya dengan manusia melainkan juga dengan alam.

Dalam mengamati hubungan manusia dengan alam, terkadang justru kebudayaan yang menjadi aspek utama menjauhnya hubungan manusia dengan alam. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan pengalaman keseharian para perempuan Samin dan para pekerja PT. Semen Indonesia. Kebudayaan konsumtif dan pembangunan yang berlebihan menjauhkan manusia dari alamnya. Ini tampak sesuai dengan motif pembentukan konsep Liyan, ialah mereka yang terpinggirkan.[5] Bukti nyata dari terpinggirkannya alam dari keseharian PT. Semen Indonesia ialah keputusan untuk melakukan pembangunan yang pasti akan mengubah, mengekploitasi, dan merusak alam. Sementara itu keseharian bercocok tanam, dan bahkan berias menggunakan tanah liat sawah yang dilakukan oleh ibu-ibu Samin merupakan bukti nyata kedekatan mereka dengan lingkungannya, dengan alamnya.

Sartre merupakan seorang eksistensialis ateis yang berpandangan bahwa manusia adalah ia yang berhadapan dengan dirinya, yang terjun ke dalam dunia lalu mendefinisikan dirinya. Pada tahap ini Sartre mencoba menjabarkan kondisi di mana manusia hidup (baik dalam kehidupan yang sederhana maupun kompleks) dan berusaha memahami apa yang manusia lakukan sehingga dapat mengenali dirinya sebagai yang Ada. Manusia dapat mendefinisikan dirinya hanya setelah ia menyadari atau memiliki intensi terhadap kehidupannya sehari-hari. Intensi terhadap keseharian menentukan bagaimana manusia hidup, yang merupakan kesadaran tentang manusia itu sendiri.[6] Keseharian menurut Riyanto dan Sartre menjadi landasan awal manusia untuk mengerti dirinya. Hal serupa dengan Sartre dikemukakan oleh Sigmund Freud mengenai bagaimana manusia mengenali Tuhan melalui kesadarannya terhadap alam. Walaupun tesis Freud ini mengarah kepada bantahan mengenai perdebatan teologis-ontologi Tuhan, namun kesadaran Freud mengenai pentingnya peran alam terhadap manusia sangat besar. Bagi Freud, alam merupakan yang memiliki kuasa besar atas hidup manusia. Akibatnya, manusia ingin menguasai dan mengelola alam agar manusia dapat hidup sesuai dengan apa yang ia butuh atau inginkan. Dari pemahaman ini, Freud beranggapan bahwa alam sangat berarti dan dekat hubungannya dengan manusia.

Manusia yang Berelasi

Manusia ialah ia yang mencari, mengejar, menyerahkan diri, bermimpi, dan menciptakan sejarah hidupnya sendiri. Pernyataan ini senada dengan Sartre yang menyatakan bahwa manusia adalah bukan apa-apa selain apa yang ia buat dari dirinya sendiri.[7] Kesamaan dari dua pengertian mengenai manusia berikut adalah titik berat manusia dan apa yang ia sendiri hadapi. Manusia ialah yang mengalami segala sesuatu dalam dirinya. Pada penjabaran selanjutnya kita akan mencoba memahami bersama bagaimana manusia sebagai kesatuan dari badan dan jiwa hadir dalam pengalamannya.

Manusia sebagai diri sendiri memiliki komponen penyusun yang berbeda namun tidak terpisahkan. Manusia memiliki tubuh dan jiwa. Dalam hidup sehari-hari, bukan hanya tubuh atau badan yang mengalami perjalanan melainkan juga jiwa. Perjalanan jiwa inilah yang dituliskan Teresa dalam buku hariannya. Jiwa melakukan perziarahan melalui kesadaran atau intensi atas sesuatu. Dari intensi muncul kesadaran. Dalam pengalaman ini, manusia dihadapkan pada pengetahuan, pertanyaan, dan pilihan. Keputusan yang dipilih oleh manusia menimbulkan segala hal yang menjadi pengalaman dari dirinya sendiri. Sartre menyebut pengalaman ini sebagai Subjektivitas.

Tubuh mencetuskan “diri” manusia yang menghidupinya. Tubuh merupakan satu cetusan eksistensi dari manusia. Hal ini diperkuat oleh pandangan Sartre bahwa melalui eksistensi, manusia menyatakan kehadirannya. Tubuh manusia merupakan keseluruhan dari kehadiran manusia, di mana keadilan adalah  perkara memperlakukan manusia dalam keseluruhan dirinya dan keseluruhan hidup manusia. Eksistensinya merupakan keseluruhan dari apa yang dapat dikenali, dinilai dan diproses oleh dirinya dan orang lain. Fenomena tersebut akan menjadikan manusia melakukan perlawanan terhadap kemanusiaan karena merendahkan nilai dari tanda kehadirannya sendiri.

Eksistensi memiliki sifat yang tidak dapat terparsialkan, ia merupakan suatu keseluruhan. Tubuh mewakili kehadiran manusia sebagai keutuhan dengan esensinya. Apabila tubuh hadir, maka dapat diketahui bahwa manusia tersebut hadir pula di sana. Tubuh sebagai suatu keutuhan bukan berarti mengharuskan keutuhan fisik dari tubuh tersebut. Tubuh yang secara fisik kurang lengkap dibandingkan dengan tubuh pada umumnya tetap merupakan suatu keutuhan. Tubuh manusia juga menandakan keberadaan manusia dan berkaitan dengan pengalaman yang dimilikinya.

Manusia merupakan kebebasan total yang membuat manusia dapat mengada dan mengalami, baik secara individual maupun dalam kelompok. Tiap manusia bebas melakukan apa saja sehingga dapat memperoleh keutuhannya. Dengan kata lain, keutuhan eksistensi manusia dapat diperoleh dengan kebebasan total. Namun segala hal memiliki konsekuensi. Konsekuensi dari kebebasan total ini adalah intervensi dari kehadiran liyan. Setiap manusia memiliki kesempatan untuk mengalami kebebasan total, namun manusia tidak hidup sendiri. Manusia hidup dengan liyan yaitu sistem dan makhluk lain di sekitarnya.

Seperti telah dijabarkan di atas, manusia beserta segala penyusunnya merupakan suatu keseluruhan. Keseleruhan ini juga berlaku pada hubungan manusia dengan liyan. Manusia mengada tanpa henti dengan melakukan beraktivitas, berpikir, menyadari, dan disadari. Lain kata bahwa manusia selamanya merupakan manusia pengalaman. Hal ini diperkuat oleh pemaparan Sartre tentang pandangan kaum eksitensialis mengenai manusia: “The existentialist will never consider man as an end because he always in the making.[8] Manusia selalu berada dalam sebuah perjalanan menjadi. Perjalanan, perziarahan ini menyatakan bahwa manusia adalah ia yang mengalami, manusia pengalaman.

Relasi

Eksistensialisme berpatokan pada manusia dalam dirinya sendiri. Namun bukan berarti manusia tersebut hidup dalam dunia dengan kesendiriannya. Tiap manusia hidup menjadi dirinya sendiri sekaligus menjadi liyan. Ketika intensi mengarah ke dalam, manusia bereksistensi sebagai pribadi. Ketika intensi mengarah keluar, ia menyadari keberadaan liyan. Kesadaran manusia bekerja dengan cara yang sama dalam mengenali keberadaan diri dan liyan. Oleh karena itu, pada saat yang sama manusia hidup dalam dirinya sekaligus manjadi liyan bagi yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa eksistensi manusia tidak dapat dipisahkan dengan keberadaan liyan karena liyan juga merupakan keberadaan dirinya sendiri. Pengertian tersebut menyebabkan manusia tidak dapat menghindar dari relasi satu dengan lainnya. Relasi manusia adalah persahabatan: sebuah hubungan manusia dengan liyan yang mengatasi segala kenyamanan.

Melalui eksistensi, manusia tidak hanya menjadi satu kesatuan dalam dirinya sendiri namun juga dengan orang lain. Subjektivitas yang berusaha dijelaskan oleh Sartre adalah suatu kondisi di mana manusia memilih dirinya sendiri sekaligus memilih semua manusia karena keputusan akan selalu berada dalam konteks. Sartre berpandangan bahwa manusia sebagai-dirinya-sendiri meletakkan keseluruhan tanggung jawab kehidupannya yang merupakan satu kesatuan dari diri, baik esensi maupun eksistensinya, dan melibatkan tanggung jawab tersebut kepada manusia lain.[9]

Tanggung jawab merupakan salah satu bentuk relasi manusia dengan liyan. Relasi antara manusia dan liyan terjadi dalam suatu ruang publik. Ruang publik adalah wilayah di mana manusia mendapat keleluasaan untuk menyejarah, berjalan, dan menjadi sebagai sebuah pengalaman. Di dalam ruang publik pula, manusia memperoleh pemahaman mengenai hidup relasional atau tata hidup bersama. Ruang publik digambarkan Sartre dalam No Exit sebagai ruang-ruang tertutup di mana ketiga tokoh saling berinteraksi satu sama lain.

Persahabatan

Persahabatan merupakan aktivitas relasional yang dirindukan oleh setiap manusia. Dalam keseharian, manusia selalu berusaha untuk bertemu, berkomunikasi, dan berpengalaman bersama pihak lain. Menurut Riyanto, persahabatan bukan mengenai untung rugi atau kalah menang.[10] Dan, persahabatan bukan mengenai memanfaatkan atau mengendalikan orang lain. Persahabatan adalah mengenai relasi yang manusiawi dengan liyan. Dikatakan manusiawi karena dalam persahabatan manusia menghargai keberadaan satu sama lain sebagai sesama manusia. Kata manusiawi juga menandakan kehadiran sifat-sifat manusia yang mulia: sifat-sifat manusia yang kreatif, yaitu cinta dan kemegahan.  Dengan kata lain, relasi yang manusiawi adalah hubungan yang berkaitan sebab adanya cinta. Selain itu, persahabatan juga realitas relasi yang menempatkan martabat sebagai nilai tertinggi personalitas.

Sarana persahabatan adalah bahasa. Di dalam bahasa, manusia bersentuhan dan berkomunikasi.[11] Bahasa bukan saja apa yang manusia tulis atau ucapkan, namun merupakan simbol dari sikap yang diutarakan manusia kepada liyan. Bahasa dinyatakan sebagai perwujudan maksud manusia kepada liyan. Konsepsi maksud yang terwujud dalam bahasa merupakan bentuk eksistensi manusia. Ide-ide yang hendak manusia haturkan terpancar berkat keberadaan bahasa. Hal ini semakin membuktikan bahwa eksistensi manusia merupakan suatu keutuhan, tidak hanya pada manusia yang berelasi namun juga caranya.

Persahabatan sebagai relasi manusia dan liyan tidak hanya membawa pengaruh pada satu kutub saja. Sebab, kita perlu mengingat kembali bahwa manusia sebagai suatu yang ada saling berhubungan karena ia bereksistensi. Manusia sepanjang hidup mengalami perjalanan dalam hubungannya dengan eksistensi lain. Yang lain ini merupakan mereka yang berada di luar diri manusia itu sendiri, baik manusia atau entitas alam. Dalam perjalanan itu, manusia hidup sebagai dirinya sendiri namun ia tidak hidup sendiri. Terdapat liyan yang akan bersentuhan dengannya dalam perjalanan, karena ia sendiri menjadi liyan bagi pribadi lain. Hubungan di antaranya disebut sebagai relasi yang dapat disebut sebagai penderitaan, keputusasaan, dan persahabatan. Relasi tersebut terbentuk dengan sarana bahasa yang menghubungkan mereka. Nilai-nilai akan pengalaman manusia dapat ditemukan dari pendalaman atas kehidupan sehari-hari.

Pada posisi ini, manusia menjadikan dirinya sebagai subjek dan sebagai bentuk penghargaan manusia kepada yang lain, maka ia melihat pula entitas lain sebagai subjek. Dalam kasus Samin vs Semen, nampak jelas bahwa pengusaha semen tidak membangun hubungan intersubjektif dengan alam. Sementara di sisi lain, orang-orang Samin merupakan manusia yang terbentuk dari pengalaman, dan dengan sukarela berelasi dengan alamnya.

Daftar Pustaka

Breisach, Ernest. Introduction to Modern Existentialism. 1962. Grove Press, inc. New York, USA.

Riyanto, Armada, CM. Menjadi – Mencintai : Berfilsafat Teologis Sehari-hari. 2013. Kanisius. Yogyakarta.

————, Relasionalitas: Filsafat Fondasi Interpretasi: Aku, Teks, Liyan, Fenomen. 2018. Kanisius. Yogyakarta.

————. Aku dan Liyan. 2011. Widya Sasana Publication. Malang.

————. Berfilsafat Politik. 2014. Kanisius. Yogyakarta.

————. Kearifan Lokal Pancasila: Butir-Butir Filsafat Keindonesiaaan. 2015. Kanisius, Yogyakarta.

Sartre, Jean-Paul.  Essay in Existentialisme. 1965. Citadel Press. New Jersey, USA.

  ——-  . Eksistensialisme dan Humanisme. terj.Yudhi Murtanto. 2002. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

  ——-  . No Exit (Huis Clos). 1989.terj. S. Gilbert. Vibtage Books. New York,USA.

  ——-  . Psikologi Imajinasi. terj. Silvester G. Sukur. 2000. Yayasan Bentang Budaya. Yogyakarta.

Schutz, Alfred. The Phenomenology of the Social World.1967. George Walsh dan Frederick Lehnert (trans.) North West University Press, USA. 


[1] Armada Riyanto. Kearifan Lokal Pancasila: Butir-Butir Filsafat Keindonesiaaan. hlm. 27.

[2] Dandhy Dwi Laksono, 2015

[3] Ernst Breisach, An Introduction to Modern Existentialism.  hlm. 5

[4]Armada Riyanto, Menjadi-Mencintai. hlm. 5

[5] Riyanto, Relasionalitas. Hlm. 326.

[6] Jean-Paul Sartre. Psikologi Imajinasi. hlm. 129

[7]Jean-Paul Sartre. Eksistensialisme dan Humanisme. hlm.46

[8] Jean-Paul Sartre, Essays in Existentialism, hlm.61

[9] Eksistensialisme dan Humanisme. hlm.46

[10] Menjadi-Mencintai. hlm.114

[11] idem

Penulis merupakan alumnus Ilmu Politik di salah satu universitas swasta di Malang.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.