Kita sebagai manusia selalu berupaya untuk dapat memahami alam semesta melalui dua pilar utama, yaitu sains dan filsafat. Melalui pilar sains, usaha untuk memahami semesta tentu saja banyak menghadapi kendala, seperti teknologi yang belum mencukupi dan pemahaman atas semesta yang mungkin belum memadai. Di pihak lain, melalui pilar filsafat yang mengandalkan kebenaran logis amatlah terbatas. Kebenaran logis masih terbatas di kawasan kemampuan nalar pikir manusia, yang tentu saja belum merupakan kebenaran universal (Yusman, 2004).
Ruang dan waktu merupakan salah satu persoalan ilmu pengetahuan dan filsafat yang sangat fundamental. Sejak Zeno, filsuf Yunani Kuno, yang memperbincangkan paradoks ruang, waktu, dan gerak hingga Einstein yang membangun teori relativitas, kita saksikan begitu beragamnya para ilmuwan dan filsuf memberi makna ruang dan waktu. Ada sekelompok ilmuwan yang berpendapat bahwa ruang dan waktu merupakan realitas riil, objektif; seolah-olah dapat kita pegang dan kita kuasai. Di lain pihak ada kelompok yang berpendapat bahwa ruang dan waktu bersifat subjektif, melekat dalam diri subjek (Siswanto, 1996). Maka banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang muncul terkait ruang dan waktu, seperti “Apa hakikat waktu?”, Akankah waktu berakhir?”, “Apa kaitan waktu dengan ruang?”, “Dari mana alam semesta berasal dan kemana tujuannya?”, dan lain sebagainya.
Filsafat memang tidak secara spesifik membahas mengenai alam semesta. Akan tetapi, teori-teori awal mengenai alam semesta banyak dimunculkan pertama kali oleh para filsuf (walaupun belum tentu teori tersebut sepenuhnya benar). Hal ini ditandai dengan munculnya pemikiran Thales, filsuf Yunani Kuno, yang mengenai unsur-unsur penyusun alam semesta. Bahkan pada tahun 340 SM, Aristoteles dalam bukunya Peri Ouranou (Mengenai Angkasa) sudah mengajukan dua argumen bagus untuk percaya bahwa bumi berbentuk bola, bukan bidang datar. Pertama, Aristoteles menyadari bahwa gerhana bulan disebabkan bumi berada di antara matahari dan bulan. Bayangan bumi di bulan selalu bulat, yang hanya bisa terjadi apabila bumi berbentuk bola. Jika bumi adalah lingkaran datar, maka bayangannya akan berbentuk jorong dan elips, kecuali kalau gerhana selalu terjadi ketika matahari berada tepat di balik tengah lingkaran itu. Kedua, bangsa Yunani tahu berdasarkan pengalaman perjalanan bahwa Bintang Utara tampak lebih rendah di angkasa ketika dilihat di selatan, dari pada di utara. (Karena Bintang Utara terletak di atas Kutub Utara, maka di Kutub Utara, Bintang Utara terlihat tepat di atas kepala pengamat, namun bagi pengamat di khatulistiwa, Bintang Utara terletak dekat cakrawala). Dari perbedaan posisi tampaknya Bintang Utara di Mesir dan Yunani, Aristoteles bahkan menyebutkan perkiraan bahwa panjang keliling bola bumi adalah 400.000 stadium. Tak diketahui dengan tepat seberapa panjangkah satu stadium, tapi kira-kira sekitar 200 yard (183 m), sehingga perkiraan Aristoteles adalah dua kali lipat panjang keliling Bumi yang sekarang diketahui. Bangsa Yunani bahkan punya argumen ketiga yang menunjukkan bahwa Bumi berbentuk bola, karena kapal yang datang dari kejauhan di cakrawala terlihat layarnya dahulu, baru luasnya (Hawking, 2013). Menurut saya ini adalah sesuatu yang luar biasa, sebab di Yunani sana telah ditemukan bahwa bumi berbentuk bola pada beratus tahun sebelum Masehi.
Yang lebih hebat lagi, Aristoteles menganggap bumi yang bergerak dan matahari, bulan, planet-planet, serta bintang-bintang bergerak dalam orbit berbentuk lingkaran mengelilingi Bumi. Teori ini kemudian dikembangkan oleh Ptolemeus pada abad ke-2 Masehi menjadi model alam semesta yang lengkap. Bumi berada di tengah, dikelilingi delapan lingkaran yang mencakup bulan, matahari, bintang-bintang, dan lima planet yang sudah dikenal ketika itu: Merkurius, Venus, Mars, Jupiter, dan Saturnus (Hawking, 2013). Alasan mengapa ini saya anggap hebat ialah karena satu pertanyaan, bagaimana mereka berpikir sejauh itu bahkan sampai menyusun letak benda-benda langit itu yang pada saat itu pastinya tak ada alat-alat canggih untuk mengamati benda langit seperti sekarang ini?
Filsuf Pendukung Eternalitas Semesta
Parmenides kiranya dapat disebut sebagai peletak ajaran bahwa alam semesta tidak memiliki saat-awal dan saat-akhir. Filsafat Parmenides mendasarkan pada asumsi bahwa Yang-Tetap adalah Yang-Ada, tanpa gerak, tanpa perubahan, ruang dan waktu adalah ilusi. Ia menerima segala bentuk kelanggengan termasuk alam semesta. Aristoteles adalah filsuf yang kemudian dengan tegas menyatakan bahwa kosmos tidak memiliki saat awal, jadi kekal adanya. Kosmos tidak diciptakan oleh Tuhan. Waktu tidak lebih dari perubahan. Dari hakikat perubahan terbuktikan, bahwa selalu harus ada perubahan dan waktu yang lebih dahulu lagi. Maka hakikat ketakterbatasan adalah adanya suatu proses, dengan selalu terdapat sesuatu di luar batas-batas yang mau ditentukan. Oleh karena itu, kosmos tidak mempunyai awal (Siswanto, 2005).
Spinoza dalam pandangannya tentang substansi berpendapat bahwa alam pada hakikatnya identik dengan Tuhan. Tidak ada perbedaan antara Tuhan dan alam. Tuhan bukan pencipta alam, tetapi Tuhan adalah alam itu sendiri (Siswanto, 1998). Immanuel Kant berpendapat, bahwa tidak dapat dibuktikan apakah kosmos itu memiliki awal, juga tidak ada bukti bahwa kosmos itu berakhir. Sebagaimana telah dibuktikan dalam antinomi ruang dan waktu; apa pun argumentasi yang diajukan, apakah alam memiliki awal waktu atau tidak memiliki akhir waktu; semua jawaban yang diajukan akan sampai pada antinomi. Sebab, ruang dan waktu bukanlah realitas, melainkan hanya satu bentuk “a priori pengamatan”. Sebagai jendela pengamatan untuk menguji apakah kesan yang diperoleh tentang suatu objek itu gejala-gejala (fenomena) atau noumena (Siswanto, 2005). Argumen Kant mendukung tesis alam semesta punya permulaan adalah bahwa bila alam semesta tak punya permulaan, maka akan ada jangka waktu yang tak terhingga sebelum peristiwa apa pun, yang dia anggap absurd. Argumen Kant mendukung antitesis bahwa alam semesta selalu ada adalah jika alam semesta punya permulaan, akan ada jangka waktu yang tak terhingga sebelum permulaan itu. Jadi, mengapa alam semesta harus bermula pada satu waktu tertentu? Sebenarnya, alasan Kant bagi tesis dan antitesis adalah argumen yang sama. Keduanya didasarkan kepada asumsi yang Kant tak sebut, bahwa waktu berlanjut terus ke belakang ke masa lalu yang tak terhingga, tanpa peduli alam semesta selalu ada atau tidak (Hawking, 2013).
Filsuf Pendukung Semesta Temporal
Tidak semua filsuf menerima gagasan kekekalan alam semesta, salah satunya ialah St. Agustinus. Menurut Agustinus, argumen yang mendukung adanya awal mula alam semesta adalah perasaan bahwa diperlukan “Penyebab Pertama” untuk menjelaskan keberadaan alam semesta. (Di dalam alam semesta, suatu peristiwa selalu dijelaskan sebagai sebab peristiwa lain sebelumnya, tapi keberadaan alam semesta itu sendiri dapat dijelaskan dengan cara demikian hanya bila alam semesta punya awal mula.) Argumen lain diajukan St. Agustinus dalam bukunya De Civitate Dei (Kota Tuhan). St. Agustinus menunjukkan bahwa peradaban umat manusia mengalami kemajuan, dan kita harus mengingat siapa yang membuat segala sesuatu itu terjadi atau siapa yang membangun mekanisme tersebut. Jadi manusia, dan barangkali juga alam semesta tak mungkin sudah ada dalam jangka waktu yang sangat panjang (Hawking, 2013). St. Agustinus menerima 5000 tahun SM sebagai hari penciptaan alam semesta sesuai dengan Kitab Genesis (Kitab Kejadian). Ini menarik bahwa masa ini tidak begitu jauh dengan zaman es terakhir, sekitar 10.000 tahun SM, ketika peradaban benar-benar dimulai (Hawking, 2007).
Seorang fisikawan dan teolog yang filsuf Keith Ward, menolak hipotesis bahwa semesta berasal dari kebetulan dan hipotesis bahwa semesta terbentuk secara niscaya. Ward menyatakan bahwa semesta secara keseluruhan mungkin saja terkait dengan proses entropi, yang bergerak menuju kekacauan akhir. Apabila semesta memiliki tujuan, maka tujuan itu tidak terletak pada titik akhir fisiknya, melainkan pada penciptaan dan kontemplasi tahap-tahap yang berharga dalam proses keberadaannya. Jika tahap-tahap itu ada, maka sekalipun akan lenyap dan hilang, dan memang akan begitu, tujuan semesta tetap akan tercapai (Yusman, 2004).
Perspektif Saintis
Begitu banyak pendapat para filsuf mengenai alam semesta, termasuk di dalamnya konsep ruang dan waktu. Akan tetapi, para filsuf memikirkan konsep-konsep tersebut menggunakan rasionalitas, tanpa melalui pengamatan-pengamatan saintis. Bahkan Karl Popper mengkritik metode induktif yang digunakan oleh para saintis. Karl sepakat dengan mendukung metode empiris David Hume, bahwa terdapat masalah serius dengan induksi. Seluruh bukti induktif adalah terbatas. Kita tidak pernah mengamati alam semesta di semua waktu dan di seluruh tempat. Karena itu, kita tidak dapat memperoleh pengesahan dalam membuat kaidah umum dari pengamatan-pengamatan khusus (Yusman, 2004).
Dengan penemuan-penemuan sains yang semakin canggih, penolakan terhadap eternalitas alam semesta semakin kuat. Hal ini dinyatakan oleh Hawking, bahwa dalam suasana pemikiran umum sebelum abad keduapuluh, tak seorang pun pernah menggagas bahwa alam semesta sedang mengembang atau menyusut (Hawking, 2013). Itu berarti, alam semesta yang ditempati oleh manusia sekarang ini tidak statis. Penolakan terhadap alam semesta statis tak terhingga juga datang dari filsuf Jerman, Heinrich Olbers. Ia menyatakan kesulitannya adalah bahwa dalam suatu alam semesta statis tak terhingga, nyaris tiap jalur pandangan bakal berakhir di permukaan satu bintang. Jadi seharusnya, seluruh langit itu terang seperti matahari, bahkan pada malam hari. Argumen kontra Olbers adalah bahwa cahaya dari bintang-bintang yang jauh bakal redup karena terserap zat (matter) yang dilewati. Tapi jika itu terjadi, maka materi yang dilewati akan memanas sampai berpendar seterang bintang. Satu-satunya cara menghindari kesimpulan bahwa langit malam harus seterang permukaan matahari kiranya adalah dengan menganggap bintang-bintang tak bersinar selama-lamanya, melainkan baru mulai bersinar pada waktu tertentu yang sudah lampau. Kalau demikian, maka zat yang menyerap cahaya mungkin belum cukup panas atau cahaya dari bintang-bintang yang jauh mungkin belum sampai ke kita, dan itu membawa kita ke pertanyaan apa yang dapat menyebabkan bintang bersinar (Hawking, 2013).
Pada awal ke-20, fisikawan Rusia Alexander Friedman, dan ahli kosmologi Belgia George Lemaitre, secara teoretis menghitung bahwa alam semesta senantiasa bergerak dan mengembang. Fakta ini dibuktikan dengan menggunakan data pengamatan pada tahun 1929. Ketika mengamati langit dengan teleskop, Edwin Hubble, ahli astronomi Amerika, menemukan bahwa bintang dan galaksi terus bergerak saling menjauhi. Penemuan ini dianggap sebagai salah satu tonggak sejarah dalam astronomi. Dalam pengamatan ini, Hubble menemukan bahwa bintang-bintang memancarkan cahaya yang menjadi semakin merah bergantung pada jarak mereka. Itu karena menurut hukum-hukum fisika yang berlaku, cahaya yang mendekati titik pengamatan berubah menjadi ungu dan cahaya yang menjauhi titik tersebut menjadi merah. Dalam pengamatannya, Hubble mencatat kecenderungan ke arah merah dalam cahaya yang dipancarkan oleh bintang-bintang. Singkatnya, bintang-bintang bergerak menjauh dan semakin jauh setiap saat. Bintang dan galaksi tidak hanya menjauhi kita, tetapi terus bergerak menjauhi satu sama lain, yang berarti ia terus-menerus “mengembang” (Harun, 2008).
Argumen alam semesta akan berakhir juga datang dari Albert Einstein. Menurutnya, seluruh gejala alam, baik yang kelihatan maupun yang tidak, di dalam atom maupun di luar angkasa, menunjukkan bahwa zat dan energi alam semesta tak dapat ditawar-tawar telah menyebar seperti uap melalui kehampaan yang tidak terbatas. Bintang-bintang yang membara menjadi pudar dan di mana pun panas kosmis berubah menjadi dingin, materi larut menjadi radiasi dan energi berhamburan di ruang angkasa. Alam raya menuju suatu “kemusnahan panas yang pasti”, yang dalam istilah fisika disebut suatu keadaan “entropi maksimum”. Tatkala alam semesta mencapai keadaan seperti itu, semua proses alam semesta menjadi berhenti. Semua ruang akan bertemperatur yang sama. Tidak ada cahaya, tidak ada kehidupan, kecuali kemacetan terus menerus yang tidak dapat dicegah. Waktu sendirilah yang mengakhiri, karena entropi menunjukkan arah waktu. Ketika semua sistem dan tatanan di alam semesta musnah, alam semesta akan runtuh. Maka, tidak ada waktu dan tentu tidak ada cara untuk mengelak dari takdir itu. Inilah yang mungkin dalam terminologi agama diterjemahkan dengan “hari kiamat” (Siswanto, 1996).
Dalam National Geographic Indonesia, Michael Finkel menjelaskan bahwa setelah bahan bakar hidrogennya habis terbakar sekitar lima miliar tahun lagi, lapisan-lapisan luar matahari akan terlepas perlahan. Bagian intinya akhirnya akan memadat, menjadi apa yang disebut sebagai katai putih. Ini artinya, matahari akan mati kelak. Harun Yahya juga mengutarakan bahwa penciptaan alam semesta dimulai dengan ledakan besar. Dari tahap itu, alam semesta terus mengembang. Para ilmuwan menyatakan bahwa ketika massa jagat raya telah mencapai tingkat memadai, pengembangan ini akan berakhir karena gravitasi, dan dengan itu mengakibatkan alam semesta runtuh dengan sendirinya. Jagat raya akan berakhir dalam panas dan penyusutan dahsyat yang disebut dengan “Big Crunch (keruntuhan total)”. Ini akan mengakibatkan tamatnya riwayat semua bentuk kehidupan yang kita kenal. Pendapatnya ini senada dengan pendapat dua professor fisika dari Universitas Stanford, Renata Kallosh dan Andrei Linde (Harun, 2008).
Dalam teori Big Bang, Anton Bakker berpendapat kosmos berekspansi dengan kontinum sampai segala hidrogen dikonversi habis. Bimasakti atau galaksi lain akan mati rata-rata dalam waktu setriliun tahun, karena semua bintangnya telah tidak beradiasi lagi dan sudah mati. Seluruh kosmos mungkin akan mati dalam waktu sampai sekitar seribu kali lebih lama lagi. Karena tidak akan terbentuk bintang atau Bimasakti yang baru, maka kosmos akan gelap dan hanya akan tinggal kumpulan bintang “mati”, dan black holes, dan sejumlah planet tak tertentu, ibarat sekumpulan bara api, meskipun mereka terus berekspansi tanpa berhenti. Bahkan mungkin di situ akan terjadi keruntuhan dan penguapan atmosfer lebih lanjut lagi (Siswanto, 2005).
Banyak sekali gagasan-gagasan mengenai alam semesta. Ada filsuf yang menganggap bahwa alam semesta tercipta begitu saja (merupakan suatu keniscayaan), yang ini berarti alam semesta bersifat eternal. Ada pula yang beranggapan (baik filsuf, fisikawan, maupun astronom) bahwa alam semesta itu mempunyai awal dan akan berakhir kelak. Semua itu didasarkan atas metode berpikir rasional maupun melalui pengamatan-pengamatan saintis. Namun menurut saya, hal ini tidaklah semata-mata menjadi ajang untuk saling menyalahkan, akan tetapi menjadi salah satu pemicu untuk bersikap kritis terhadap sains. Jangan sampai manusia hanya membatasi pikirannya, seperti yang dinyatakan oleh Stephen Hawking. Menurutnya, para filsuf belum mampu menyusul kemajuan teori-teori sains. Pada abad ke-18, para filsuf menganggap seluruh pengetahuan manusia (termasuk sains) adalah bidang mereka dan membahas pertanyaan-pertanyaan seperti: apa alam semesta punya permulaan? Tapi pada abad ke-19 dan ke-20 sains menjadi terlalu teknik dan matematis bagi filsuf dan semua orang selain segelintir spesialis. Para filsuf mempersempit bidang mereka sampai-sampai Wittgenstein, filsuf paling terkenal abad ke-20 berkata, “Satu-satunya tugas yang tersisa bagi filsafat adalah analisis bahasa”. Mengenaskan sekali penurunan ini dibanding tradisi filsafat sejak Aristoteles sampai Kant (Hawking, 2013). Semoga ini bisa menjadi bahan introspeksi sekaligus menjadi motivasi bagi kita para penikmat filsafat.
Referensi
Finkel, Michael, 2013, Einstein Keliru Kebenaran Lubang Hitam, Artikel dalam Majalah National Geographic Indonesia, Jakarta
Hawking, Stephen, 2013, Sejarah Singkat Waktu, Alih bahasa: Zia Anshor, Gramedia, Jakarta
Hawking, Stephen W., 2007, Teori Segala Sesuatu, Asal-usul dan Kepunahan Alam Semesta, terjemahan Ikhlasul Ardi Nugroho, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Siswanto, Joko, 1996, Kosmologi Einstein, Tiara Wacana, Yogyakarta
Siswanto, Joko, 1998, Sistem-Sistem Metafisika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Siswanto, Joko, 2005, Orientasi Kosmologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Wiyatmo, Yusman, 2004, Misteri Lubang Hitam, Fenomena-fenomena Eksotis Hasil Singkatan Fisikawan Post-Modern, Pustaka Pelajar, YogyakartaYahya, Harun, 2008, Keajaiban Al Qur’an, alih bahasa: Rini Nurul Badariah & Ary Nilandari, Arkan Publishing, Bandung