State of Exception dan Urgensi Hukum Tata Negara Darurat

Hakekat Negara

Negara merupakan perikatan yang lahir akibat kontrak sosial antar individu guna membentuk sebuah negara dalam rangka menjaga, menegakan, serta memajukan hak asasi manusianya. Jika menelaah dalam pemikiran John Locke, kontrak sosial lahir sebagai sebuah teori kedaulatan rakyat pada negara di mana kedaulatan berada di tangan rakyat yang membentuk dan memberikan kekuasaannya pada institusi-institusi negara untuk menjalankan peran negara dalam mencapai tujuannya.

Untuk memastikan berlangsungnya kehidupan bernegara, dibutuhkan hukum sebagai pedoman bersama. Dengan demikian maka dapat tercipta keadilan, di mana setiap orang dan institusi negara memiliki hak dan kewajiban.

Sejarah perkembangan manusia searah dengan laju perkembangan hukum tata negara yang melahirkan dan mengeliminasi berbagai konsep ketatanegaraan. Hasil pertemuan ketiganya terus merekognisi dan merelevansikan bentuk sesuai dinamika kebutuhan manusia. Tentunya hukum ketatanegaraan dituntut untuk mampu menjawab tantangan zaman hari ini, termasuk mengkontekstualisasikan dirinya ke dalam berbagai kondisi, dalam hal ini dalam keadaan kegentingan dan kedaruratan.

Dalam pemikiran Immanuel Kant, tegaknya hukum serta terjaminnya kebebasan rakyat merupakan tujuan negara. Penegakkan kebebasan rakyat diatur dengan hukum yang di mana hukum di sini berperan sebagai representasi kehendak rakyat.

Kondisi Darurat “State of Exception

Kedaruratan dan kegentingan yang lahir akibat perubahan keadaan objektif mengharuskan negara untuk mendeklarasikan State of exception.

State of exception merupakan keadaan pengecualian, di mana negara dapat membentuk hukum baru dan tidak mematuhi hukum yang telah ada. Negara dapat melakukan pengecualian ketika terjadi keadaan genting yang memicu kedaruratan, seperti bencana atau perang.

Merujuk pemikiran Carl Schmitt, state of exception merupakan tindakan yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan untuk melakukan pengecualian terhadap aturan hukum atas dasar adanya kegentingan serta kepentingan rakyat. Analisisnya kemudian mengandaikan perkembangan dunia yang dinamis dan cepat, menghadirkan berbagai tantangan hingga ancaman yang dapat datang tanpa diduga sebelumnya. Karenanya dalam keadaan yang darurat, sikap patuh terhadap hukum tertulis harus menjadi fleksibel, agar tujuan negara yang merupakan kepentingan rakyat tidak terkorbankan, hanya demi kepatuhan terhadap suatu hukum tertulis yang tidak mampu menjawab tantangan situasi darurat. Dalam hal ini “All law is situational law”.

Penetapan State of exception oleh negara tidak terlepas dari tanggung jawab negara dalam menjaga hak asasi dari rakyatnya. Namun hal yang perlu diantisipasi ialah kondisi ketika negara menjadi abusive dalam keadaan pengecualian tersebut. Atau, kemudian ada kekuatan tertentu yang hendak memanfaatkan situasi tersebut untuk memperoleh keuntungan. Dengan merefleksikan perjalanan hukum ketatanegaraan, negara yang memiliki kekuasaan berlebih cenderung akan bertindak secara semena-mena karena dapat bertindak di luar dari hukum dan membentuk hukumnya sendiri. Karenanya diperlukan seperangkat aturan (sistem) yang dapat diterapkan ketika negara berada dalam keadaan darurat. 

Urgensi Hukum Tata Negara Darurat 

Keadaan darurat dalam konteks State of exception mengedepankan pendekatan kedaulatan negara (sovereignty approach) dan menganggap keadaan bahaya merupakan extra legal.

Jimly Asshiddiqie mendefinisikan keadaan darurat sebagai keadaan bahaya yang tiba-tiba mengancam ketertiban umum, yang menuntut negara bertindak dengan cara-cara yang tidak lazim menurut aturan hukum yang biasa berlaku dalam keadaan normal.

Perbedaan mendasar antara hukum tata negara dengan hukum tata negara darurat terletak pada kondisi obyektif, hukum tata negara darurat hanya bisa diterapkan ketika negara berada dalam kondisi luar biasa atau situasi tidak normal. 

Secara subyektif, hukum tata negara darurat (staatsnoodrecht subjectip) merupakan hak negara dalam keadaan tertentu untuk melakukan segala tindakan yang sekiranya perlu untuk dilakukan dalam menjaga dan melindungi hak asasi warga negaranya, penyimpangan terhadap undang-undang bahkan undang-undang dasar menjadi dapat dibenarkan. Secara obyektif, hukum tata negara darurat (staatsnoodrecht objetip) ialah hukum yang diberlakukan semasa negara berada dalam keadaan darurat.

Deklarasi keadaan darurat menjadi tanda negara berada dalam keadaan genting dengan konsekuensi logis terabaikannya prinsip dasar seperti penangguhan hak-hak rakyat serta pembolehan terjadinya penyimpangan hukum.

Hadirnya hukum tata negara darurat dapat mengisi kekosongan hukum dan memberi kepastian hukum ketika negara berada dalam keadaan State of exception serta mampu mereduksi kesempatan abuse of power dari kekuasaan negara ataupun kekuatan tertentu yang hendak memanfaatkan situasi tersebut untuk memperoleh keuntungan. Meski dalam keadaan darurat, negara harus tetap mengedepankan prinsip kepastian hukum serta harus tetap memiliki pengawasan dan rakyat harus tetap mendapatkan kedaulatannya atas negara. 

Daftar Pustaka

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007.

Carl Schmitt, Political Theology: Four Chapters on the Concept of Sovereignty, Studies in Contemporary German Social Thought, 1985.

Rakha Ramadhan

Rakha Ramadhan adalah mahasiswa hukum di Universitas Muhammadiyah Yogyakarya.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.