Sukarno & Anarkisme: Kritik atas Pandangan Bung Karno Tentang Anarkisme

Soekarno
Soekarno

Indonesia, adalah nama suatu bangsa yang memiliki pluralitas etnis, bahasa, suku, budaya, hingga pandangan hidup yang khas. Basis sosial masyarakat Indonesia tidak dapat dipandang sebagai sesuatu yang tunggal. Justru sebaliknya, basis sosial tersebut memiliki beragam jenis dan karakter yang plural. Dari pluralitas itulah, kemudian muncul tokoh-tokoh penting yang mempunyai pengaruh besar dalam kancah nasional sampai internasional.

Salah satu tokoh penting yang lahir dari rahim Bumi Nusantara ialah Sukarno. Siapa yang tidak kenal Putra Sang Fajar yang namanya tersohor itu. Ia menjadi satu dari sekian banyak tokoh yang mampu membebaskan suatu negeri dari belenggu penjajahan. Maka tidak berlebihan, jika nama Sukarno sering disebut sebagai Bapak Revolusi Indonesia. Kepiawaiannya dalam dunia intelektualisme dan politik, membuat dirinya menjadi pribadi yang tangguh dan berani. Sejak duduk di Sekolah Dasar saja, Sukarno kecil sudah menampakkan kecerdasannya. Melalui pendidikan berbasis Eropa, di Europeesche Lagere School (ELS) dan Hoogere Burger School (HBS), turut membantu Sukarno dalam memperluas cakrawala keilmuannya.

Saat masuk di HBS, Sukarno tinggal di rumah H.O.S Tjokroaminoto, seorang Ketua Sarekat Islam, di Surabaya. Di sini ia bertemu dengan tokoh-tokoh senior pergerakan, dan mulai belajar politik. Selain aktif dalam dunia organisasi pergerakan, Sukarno juga giat menulis. Pada 21 Januari 1921, tulisan Sukarno pertama kali terbit di halaman depan koran Oetoesan Hindia milik Sarekat Islam (Tempo, 2010: 18). Ia bisa dianggap sebagai intelektual organik yang nyaris paripurna. Bagaimana tidak, selain sebagai tokoh pergerakan, ia juga seorang intelektual yang produktif. Dan, gagasan yang ia tuangkan dalam goresan tinta memiliki pengaruh yang besar.

Pemikiran dan gerakan yang dilakukan Sukarno, menurut sebagian orang, sangat cemerlang dan perlu dilanjutkan hingga saat ini. Karena itulah, lambat laun Sukarno menjelma sebagai ideologi baru yang cenderung dikultuskan oleh sebagian besar orang Indonesia saat ini. Misalnya, orang-orang Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan para kader yang aktif di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Dua entitas ini merupakan wadah bagi mereka yang mengaku sebagai anak-anak ideologis Sukarno. Seolah-olah Sukarno menjadi semacam dewa atau raja besar, sehingga pemikirannya lambat laun memfosil dan dianggap kebal dari Sang Batara Kala (Anderson, 2016).

Agar tidak terjerembab ke dalam jurang Sukarnoisme akut, kita perlu membaca pemikiran dan gerakan Sukarno secara kritis. Sekurang-kurangnya dengan membaca tulisan Sukarno yang tersebar di berbagai media, seperti buku, majalah, surat kabar, dan lain sebagainya. Dari pembacaan atas tulisan-tulisan Sukarno itulah, tulisan ringkas ini berusaha untuk membaca tulisan Sukarno secara kritis. Namun, dalam tulisan ini, hanya fokus pada tulisan Sukarno yang bertajuk Anarchisme. Topik itu ditulis Sukarno dalam Majalah Fikiran Ra’jat No. 2, 8 Juli 1932 dan No. 21, 18 November 1932.

Majalah Fikiran Ra’jat: Mengunyah Anarkisme dalam Hidangan Sukarno

Dalam melakukan agitasi dan propaganda, salah satu cara yang digunakan Sukarno di kala masa penjajahan (Imperialisme-Kolonialisme) ialah menulis. Majalah Fikiran Ra’jat (FR) merupakan salah satu media cetak yang memuat tulisan-tulisan Sukarno. Selain itu, keberadaan majalah ini bertujuan untuk mempropagandakan persatuan kaum Marhaen dengan cara memberikan wawasan teori politik. Majalah kaum Marhaen ini terbit pertama kali pada 1 Juli 1932 dengan Sukarno sebagai Pimpinan Redaksi (Gustian, 2011: 41).

Karena keberanian dan ketangkasan Sukarno menyoal situasi politik yang terjadi, majalah itu membuat pemerintah jajahan kebakaran jenggot dan merasa terusik. Hingga pemerintah jajahan pernah mengeluarkan perintah bahwa siapapun yang ketahuan membaca Fikiran Ra’jat akan ditahan. Sukarno tak bergeming dengan perintah itu, tak lama kemudian ia menulis brosur “Mencapai Indonesia Merdeka” di majalah yang sama. Oleh pemerintah jajahan, brosur itu dianggap sangat menghasut, sehingga pemerintah menyita dan melarang tulisan itu beredar. Bahkan, banyak brosur yang dirampas dan rumah-rumah digeledah (Adams, 2019: 147).

Dalam majalah itu, Sukarno pernah menulis tentang “Anarchisme” (No. 2, 8 Juli 1932 dan No. 21, 18 November 1932). Untuk memahami pandangan Sukarno tentang Anarkisme tersebut, ada beberapa hal yang menjadi pokok pembahasan: 1) tentang Anarkisme; 2) ihwal gerakan dan organisasi; dan (3) manifesto Anarkis

1) Tentang Anarkisme

Sebagaimana memulai suatu tulisan, Sukarno bermula dari definisi Anarkisme dan menjelaskan bahwa Anarkisme termasuk aliran dari Sosialisme. Dan Anarkisme tidak lain juga musuh Kapitalisme. Seorang Anarkis, tidak sepakat dengan adanya hak milik (eigendom). Sebab, menurut kaum Anarkis, hak milik merupakan cikal-bakal lahirnya Kapitalisme (FR, No. 2). Lebih jauh, Anarkisme memiliki pandangan bahwa tiap-tiap individu dalam masyarakat mempunyai hak atas kemerdekaan yang hakiki. Dengan maksud, tidak ada batasan-batasan yang membelenggu kemerdekaan tersebut.

Kemerdekaan itu diwujudkan dalam realitas kehidupan, misalnya dalam pendidikan dan hubungan laki-laki dan perempuan. Kemerdekaan harus menjadi tumpuan utama hubungan antara laki-laki dan perempuan. Sebab, hal itulah yang melahirkan cinta sejati. Dan cinta yang sejati tidak akan lahir tanpa kemerdekaan memilih. Kemudian, pendidikan yang dikehendaki kaum Anarkis ialah pendidikan yang merdeka. Suatu pendidikan yang menjunjung tinggi kemerdekaan berpendapat, berkumpul, dan mengembangkan potensi diri (FR, No. 2).

Sukarno juga menyebutkan ciri khas perspektif politik Anarkisme, yakni menolak otoritas dalam kehidupan manusia. Sukarno menulis demikian:

“Menurut pahamnya (Anarkisme), pergaulan hidup manusia itu bisa beres jika pemerintahan yang bersendi kepada kekuasaan, dan kekuasaan ini yang melahirkan wet-wet (aturan-aturan—pen.) itu, dihapuskan. Oleh karena itu paham Anarkisme ini anti-gezag, ialah tidak mufakat dengan kekuasaan: antiwettisch, tidak mufakat dengan wet; dan antiregeering, tidak mufakat dengan pemerintahan” (FR, No. 2).

Secara eksplisit, Sukarno juga menyebutkan bahwa Anarkisme tidak sepakat dengan Kapitalisme, agama, dan negara (termasuk institusi negara). Dengan kata lain, kaum Anarkis menolak adanya otoritas yang membatasi kemerdekaan manusia—secara lahir dan batin. Dalam tulisannya Sukarno menulis demikian:

“…Mereka anti pada sesuatu kekuasaan dan sesuatu wet atau aturan-aturan, sebab menurut pendapatan mereka wet-wet atau aturan-aturan itu tidak pernah dibikin untuk melindungi orang yang lemah, dan lagi wet-wet ini mengikat orang-orang dan tidak merdeka” (FR, No. 21).

Selain itu, Sukarno juga membedakan antara Anarkisme dan Marxisme—yang dalam hal ini, keduanya merupakan anak kandung Sosialisme. Ia menegaskan bahwa Anarkisme berlandaskan individualisme, sedangkan Marxisme lebih mengutamakan masyarakat (kolektivisme). Seperti yang ia tulis sebagai berikut:

“Anarkisme itu ialah salah satu isme dari Sosialisme yang mau menyelamatkan pergaulan hidup dengan paham individualisme. Berlainan dengan Marxisme yang bersendikan komunalisme atau kolektivisme, yakni mengutamakan masyarakat daripada individu” (FR, No. 2).

Dalam memberikan pengertian tentang Anarkisme, Sukarno menitikberatkan pada beberapa hal seperti: hak milik, kemerdekaan hakiki, perspektif politik Anarkisme, dan perbedaannya dengan Marxisme. Tampaknya Sukarno dalam tulisan awal ini, hendak memperkenalkan secara umum apa yang dimaksud dengan Anarkisme (pengertian, tujuan, dan selayang pandang).

2) Ihwal Gerakan dan Organisasi

Selain menjelaskan tentang apa itu Anarkisme, dan bagaimana karakteristik pemikiran mereka, Sukarno tidak lupa membahas bagaimana pergerakan yang dibangun kaum Anarkis. Menurut pandangan Sukarno, kaum Anarkis selalu berupaya menghapus segala sesuatu yang bersifat otoritatif. Setelah menghapusnya, maka akan lahir dunia baru. Bahkan, ia memandang Anarkisme memiliki gerakan destruktif. Hal ini seperti yang ditulisnya:

“Cara mereka bekerja adalah dengan kekerasan dan main hancur saja, dan mereka tidaklah sedikit mempunyai kasian (rasa kasihan—pen.) jikalau mereka mengerjakan pekerjaannya, pendek kata untuk mendapat maksudnya mereka tidak segan untuk mengorbankan orang lain yang tidak turut salah, sebab mereka berpendapatan untuk keselamatan yang banyak, tidak mengapa (dengan) mengorbankan yang sedikit” (FR, No. 21).

Dalam Fikiran Ra’jat No. 21 (18 November 1932), Sukarno tidak hanya menjelaskan secara deskriptif tentang Anarkisme. Ia juga membubuhkan pendapatnya, bahwa pemikiran dan gerakan Anarkisme merupakan suatu pendirian yang negatif dan suatu nilai yang kosong. Bahkan, Sukarno menambahkan, jika kaum Anarkis tidak memiliki pijakan terhadap realitas kehidupan, atau keadaan yang sebenarnya terjadi dan hanya suatu pandangan teoritis yang tidak dapat diaktualisasikan. Pendapat Sukarno ini ia tulis sebagai berikut:

“Di dalam pendapatan kita Anarkisme ini adalah satu pendirian negatif, satu azas yang kosong karena segalanya itu tidaklah beralasan pada keadaan yang sebenarnya. Kemerdekaan seseorang yang dimaui oleh kaum Anarkis adalah satu hal yang hanya bisa didapati di dalam teori tapi tidak bisa dijalankan dalam prakteknya, karena sesuatu manusia itu hidupnya adalah tergantung pada rohani atau jasmaninya, jikalau salah satu dari pada ini rusak maka ia pun tergantung penghidupannya pada manusia yang lain, selainnya dari pada itu manusia penghidupannya juga tergantung dengan keadaan yang lain, yang mana sedikit atau banyak harus memperhatikan dan memperindahkan keadaan orang lain dan ini hanya teratur jikalau ada wet-wet atau aturan-aturan yang bisa menghasilkan sanksi di dalam hal ini” (FR, No. 21).

Lebih jauh, menurut Sukarno, dalam pandangan kaum Anarkis terdapat kontradiksi yang jelas. Ia melihat kontradiksi itu ketika kaum Anarkis berusaha menjalankan ide dan gagasannya. Untuk mengaktualisasikan ide dan gagasan Anarkisme, Sukarno menyebut mereka harus mempunyai organisasi. Dan sebagaimana yang telah mafhum, di dalam organisasi memuat aturan-aturan. Tentu adanya aturan itu membatasi manusia. Hal itulah yang dianggap Sukarno sebagai kontradiksi, seperti yang ia tulis:

“…Untuk menjalankan Anarkisme ini tentu haruslah mempunyai organisasi, yang mana sudah tentu takluk pada aturan-aturannya dan kalau aturan-aturan ini ada tentulah ini bertentangan sendiri dengan pendiriannya, sebab mereka tidak menyetujui akan adanya aturan-aturan. Selain daripada itu sebagai orang yang juga termasuk dalam bagian Sosialis tentu sekali adalah mereka harus memperhatikan nasib-nasib kaum proletar atau arbeiders, untuk melepaskan dari kungkungannya Kapitalisme, tetap oleh karena pendiriannya memang sudah negatif dan teorinya yang memajukan perseorang-seorang tentu saja hal ini tidak cocok dan tidak bisa mereka jalankan” (FR, No. 21).

3) Manifesto Anarkis

Karena kontradiksi itulah, setidaknya menurut pembacaan Sukarno, kaum Anarkis tidak lebih dari sekedar pemikiran abstrak atau, dalam istilah Sukarno, pengelamunan semata. Sebab, sebagaimana yang telah dikutip di atas, kaum Anarkis cenderung individualistis. Pendapat ini ia katakan secara tegas sebagai berikut:

“Sebab itu segala apa yang dimajukan Anarkisme itu adalah satu pengelamunan saja dan tidak dapat dikerjakan oleh karena pergaulan hidup kita selamanya tidak mengenal pergaulan hidup di mana satu-satunya orang hidup dengan tidak memperindahkan orang lain, tetapi selamanya adalah penghidupan kita satu sama lain berhubungan, satu sama lain terpaksa harus tunduk kepada aturan persamaan” (FR, No. 21).

Dilihat dari pernyataan ini, Sukarno hendak mengatakan bahwa Anarkisme itu merupakan ideologi atau paham yang hanya ada di dalam angan-angan belaka, namun tidak dapat diwujudkan dalam kehidupan nyata. Karena, menurutnya, tidak mungkin seseorang memiliki pandangan individual-egoistik dan sama sekali tidak memperhatikan orang lain (FR, No. 21). Sehingga, kesimpulan Sukarno, kaum Anarki itu tidak lebih sebatas melamun dan tidak dapat menjalankan konsep serta manifesto gerakannya dalam dunia nyata.

Kritik atas Pandangan Sukarno Tentang Anarkisme

Apa yang dilakukan oleh para pendahulu kita, terutama founding father Republik Indonesia, perlu kita telaah kembali. Pembacaan kritis terhadap pemikiran mereka, baik yang disampaikan melalui lisan maupun tulisan, penting dilakukan sebagai upaya kontekstualisasi dan membongkar narasi yang disampaikan. Akhirnya, dari pembacaan kritis ini, kita dapat terhindar dari apa yang dikhawatirkan Anderson yaitu mengenai pemfosilan, khususnya pemfosilan atau pembekuan pemikiran Sukarno tentang Anarkisme.

Di bagian sebelumnya, kita telah melihat bagaimana Sukarno menulis dan memberi tanggapan terhadap pemikiran dan gerakan Anarkisme. Dua tulisan Sukarno itu perlu diberi serangkaian pertanyaan, antara lain: apakah Anarkisme sama dengan individualisme? Apakah Anarkisme sebuah kekerasan? Apakah dalam menjalankan gagasan-gagasan Anarkisme perlu suatu organisasi? Apakah Anarkisme itu mungkin terwujud?

Beberapa pertanyaan itulah yang akan berusaha dijawab dalam bagian ini dengan mengelaborasi beberapa pendapat filsuf dan aktivis Anarkis sendiri maupun dari referensi lain yang mengulas tentang Anarkisme.

Anarkisme sama dengan individualisme?

Istilah Anarkisme pertama kali dipopulerkan oleh Pierre-Joseph Proudhon dalam karya monumentalnya: What Is Property? (1840). Istilah ini digunakan oleh Proudhon untuk mengkritik situasi ideologi politik dan sosialnya (Ward, 2004: 2). Anarkisme tidak mungkin hanya dipahami secara etimologis dan terminologis sebagaimana yang dilakukan Bung Karno. Sebab, Anarkisme sebagai pemikiran maupun praksis memiliki beragam bentuk dan karakteristik. Menurut Chomsky, memberi batasan-batasan ketat terhadap seluruh tendensi konfliktual dalam teori maupun ideologi Anarkisme adalah usaha yang sangat sulit.

Namun, bukan berarti kita tidak dapat memahami apa itu Anarkisme. Untuk memahami Anarkisme, ada dua model yang dominan dalam tradisi Anarkisme: Anarkis Individual dan Anarkis Kolektif. Secara ontologis dan aksiologis, keduanya memiliki persamaan, yakni menolak subjek yang berada di luar atau terpisah dari dunia dan menolak otoritas sentral yang memaksakan kepatuhan terhadap masyarakat. Sedangkan, dalam wilayah epistemologis, terdapat perbedaan esensial mengenai posisi subjek dalam tatanan masyarakat (Sheehan, 2007: ix).

Dalam pandangan Bung Karno, Anarkisme berlandaskan pada paham individualisme. Jika menelusuri sejarah Anarkisme, memang terdapat pemikiran yang lebih fokus pada individu dalam suatu masyarakat. Salah satu tokoh yang paling tersohor dalam Anarkis Individualis ini ialah Max Stirner, seorang filsuf Anarkis asal Jerman. Menurut Stirner, setiap individu mempunyai kebebasan untuk menentukan dan memutuskan sesuatu yang terbaik bagi dirinya, apa yang dikehendaki, dan hanya individu yang dapat menilai benar-salah, sebab individu memiliki nilai yang unik di dalam dirinya (Guerin, 1970: 27). Pendapat Stirner ini menegaskan bahwa setiap individu sudah seharusnya tunduk pada dirinya sendiri, bukan orang lain atau entitas lain. Akan tetapi, Stirner juga berpendapat bahwa individu tidak terlepas dari individu-individu lain dalam suatu masyarakat.

Seorang Anarkis, menurut Stirner, memiliki pemahaman atas dirinya sendiri dan dapat menciptakan hubungan dengan orang lain. Ia bahkan berpendapat bahwa individu juga membutuhkan bantuan orang lain, seperti berkumpul untuk meningkatkan kualitas diri, memenuhi kebutuhan, dan lain sebagainya. Hanya saja, Stirner membedakan antara masyarakat yang sudah terbentuk (society) yang cenderung bersifat membatasi dengan asosiasi (association) yang bersifat tindakan sukarela (Sheehan, 2007: xvii). Dari pendapat Max Stirner itu dapat dipahami bahwa, meski individu menjadi subjek utama dalam kajian Anarkis Individualis, namun tidak mengabaikan individu lain atau masyarakat. Sehingga seorang Anarkis (dalam hal ini Anarkis Individualis) tidak eksklusif dalam masyarakat, dan tetap menyadari akan kebutuhan antar-individu.

Oleh karenanya, pendapat Bung Karno mengenai kaum Anarkis yang berlandaskan individualisme tidak tepat, jika memahami pemikiran Max Stirner di atas. Belum lagi, melihat bagaimana pandangan Anarkis Kolektif. Maka dari itu, adalah suatu upaya reduksionis, jika memandang Anarkisme hanya berlandaskan pada paham individualisme belaka—tanpa memperdulikan orang lain. Atau barangkali, Bung Karno hanya melihat dengan sebelah mata, sehingga pemahamannya tentang Anarkisme bisa dianggap setengah-setengah.

Anarkisme sebuah kekerasan?

Ketika mendengar istilah “Anarkis” atau “Anarkisme”, masih banyak sebagian orang menganggap bahwa istilah itu merujuk pada kekerasan, penghancuran, atau tindakan destruktif an sich. Padahal, Anarkisme justru musuh bebuyutan kekerasan itu sendiri. Alexander Berkman, seorang penulis dan aktivis Anarkis asal Rusia, mengemukakan pendapat yang mampu menangkis tudingan tanpa dasar tersebut. Bagi Berkman, Anarkisme merupakan keteraturan tanpa pemerintah dan keadilan tanpa kekerasan. Berbeda dengan Kapitalisme dan pemerintah, di mana dua hal ini mempertahankan ketidakteraturan dan kekerasan secara sistemik (Berkman, 2017: 8).

Tuduhan bahwa Anarkisme adalah sebuah kekerasan berangkat dari nalar yang terlalu menggeneralisasi kasus tertentu. Sebab, menurut Berkman, jika terdapat beberapa kaum Anarkis yang menggunakan kekerasan, apakah itu berarti bahwa Anarkisme adalah kekerasan? Apakah hanya karena beberapa orang melakukan kesalahan, lantas semua orang yang ada di dalam suatu komunitas masyarakat tertentu menjadi salah semua? Adalah hal yang dangkal ketika kita membenarkan cara pandang generalisasi semacam ini. Justru yang diperangi kaum Anarkis ialah segala kekerasan dan penghancuran yang ada di dalam masyarakat. Goldman menandaskan, jika elemen kekerasan dalam masyarakat itu ketidaktahuan dan kekuatan penghancuran (misalnya sistem kapitalistik) menjadi hal yang diperangi oleh Anarkisme. Bahkan, Anarkisme tidak bermaksud menghancurkan jaringan yang sehat, melainkan hendak memangkas pertumbuhan parasit yang memakan esensi kehidupan masyarakat (Goldman, 2017: 4).

Senada dengan pernyataan Goldman tersebut, Saul Newman mengatakan bahwa Anarkisme merupakan kisah tentang manusia (proses evolusi dari keadaan seperti binatang ke keadaan kebebasan, keberadaan yang rasional dan etis, di mana manusia akhirnya dapat melihat dirinya sebagai manusia seutuhnya. Selain itu, kritik terhadap kekuasaan dan otoritas yang menindas dan antagonistik merupakan usaha kaum Anarkis untuk menghancurkan hubungan harmonis dengan masyarakat, dan menghambat perkembangan rasionalitas dan moralitas (Newman, 2001: 37).

Dari uraian di atas dapat kita pahami, bahwa Anarkisme bukan suatu paham yang menjalankan kekerasan dan penghancuran secara fisik. Apa yang mereka hancurkan ialah, kekerasan dan penghancuran yang bersifat esensial, yakni ketidaktahuan dan penindasan yang dilakukan oleh entitas tertentu. Sebuah kesimpulan yang dangkal, jika mengatakan cara kerja atau tindakan kaum Anarkis itu adalah kekerasan dan penghancuran sebagaimana yang disampaikan Bung Karno. Bagaimana jika tuduhan itu dilayangkan kepada para Marhaenis? Misalnya, beberapa Marhaenis melakukan tindakan vandalisme dalam suatu gerakan. Dengan mengikuti nalar Bung Karno, berarti Marhaenisme adalah sebuah manifesto kekerasan. Atau, kita juga bisa mengatakan, bahwa cara kerja Marhaenisme adalah manipulatif, menindas secara sistemik, dan jauh dari membela kepentingan rakyat. Sebab, saat ini, banyak orang yang mengaku Marhaenis, justru menyimpang dengan paham Marhaenisme (Mastono, 2016).

Dengan demikian, kita dapat mengatakan, jika pernyataan Bung Karno tentang Anarkisme sebagai suatu kekerasan merupakan pendapat yang dihasilkan dari nalar yang terlalu menggeneralisasi kasus tertentu. Dan, cara berpikir semacam itu sangat menindas.

Anarkisme memerlukan organisasi?

Menurut Bung Karno, terdapat kontradiksi dalam paham Anarkisme. Dalam menjalankan konsep dan tujuan Anarkisme, perlu suatu organisasi. Sedangkan organisasi itu memuat aturan-aturan yang ditolak oleh kaum Anarkis. Hal itu dikatakan secara eksplisit oleh Bung Karno: “…Untuk menjalankan Anarkisme ini tentu haruslah mempunyai organisasi, yang mana sudah tentu takluk pada aturan-aturannya dan kalau aturan-aturan ini ada tentulah ini bertentangan sendiri dengan pendiriannya, sebab mereka tidak menyetujui akan adanya aturan-aturan” (FR, No. 21).

Di muka sudah sedikit disinggung tentang dua aliran Anarkisme yang dominan, yakni Anarkis Individualis dan Anarkis Kolektif. Untuk mengetahui bagaimana kaum Anarkis menjalankan konsep dan tujuan mereka, pemikiran Anarkis Kolektif-lah yang mampu menjawab. Proudhon adalah tokoh Anarkisme klasik yang percaya bahwa gerakan Anarkisme harus disandarkan pada kekuatan gerakan massa. Berkenaan dengan gerakan massa ini, Proudhon belajar dari Revolusi Perancis 1848 yang menunjukkan bahwa massa adalah sumber kekuatan dalam suatu revolusi sosial (Sheehan, 2007: xvii). Revolusi sosial, menurut Proudhon, sama sekali tidak membutuhkan kepemimpinan atau kenabian, sehingga yang menjadi poin penting ialah bagaimana kekuatan massa (kolektif) dapat menjadi basis kekuatan gerakan revolusi.

Salah seorang tokoh Anarkisme masyhur asal Rusia, Mikhail Bakunin, juga meyakini bahwa revolusi sosial tidak dapat diorganisir dari atas (melalui pola struktural), dan hanya bisa diciptakan dan dikembangkan sepenuhnya oleh spontanitas dan keberlanjutan aksi massa, kelompok, dan asosiasi masyarakat (Dolgoff, 1971: 263). Menurutnya, revolusi adalah tekanan yang disebabkan oleh keadaan tertentu. Pendapat Bakunin ini terpengaruh oleh gerakan Komunis Paris (The Paris Commune) yang menjadi potret nyata dari sebuah revolusi yang berlangsung dari bawah, spontan, dan basis kekuatan gerakan ini ialah massa (Sheehan, 2007: xviii). Sehingga, gerakan massa atau gerakan sosial di sini bukan suatu organisasi yang dipimpin oleh seseorang atau segelintir orang, tetapi gerakan massa berupa asosiasi. Asosiasi merupakan koordinasi untuk mencapai tujuan bersama dengan cara dan sarana yang telah disepakati bersama tanpa ada dominasi dan pemaksaan (FARJ, 2023: 117).

Namun, belakangan, kaum Anarkis juga berusaha membentuk suatu organisasi. Menurut kaum Anarkis, organisasi bisa diwujudkan melalui cara otoritarian dengan sarana dominasi, atau melalui cara libertarian dengan menggunakan sasaran asosiasi yang merdeka. Pada model organisasi yang kedua inilah, kaum Anarkis menjalankan ide dan gagasan mereka. Lebih jauh, kaum Anarkis mempunyai dua syarat dalam membentuk apa yang mereka sebut “Organisasi Rakyat”, antara lain: pertama, sejauh apa yang disebut organisasi itu sebagai asosiasi untuk mencapai tujuan dengan cara dan sarana yang telah disepakati bersama; dan kedua, organisasi yang dibangun atas kehendak bersama, kekuatan massa yang tertindas, dan tanpa ada dominasi (FARJ, 2023: 125-7). Pengembangan organisasi ini mempunyai tugas untuk memberikan pengaruh pada level sosial agar memiliki bentuk dan cara yang memadai.

Dengan merujuk pada Proudhon dan Bakunin, apa yang disebut sebagai “gerakan massa”, “asosiasi”, atau “organisasi rakyat” sama sekali tidak kontradiktif dengan paham Anarkisme. Sebab, organisasi dalam pandangan Anarkisme berbeda dengan organisasi mainstream. Organisasi atau asosiasi itu tidak memerlukan pemimpin, ketua, atau nabi sekalipun. Ia berjalan atas basis massa yang memiliki tujuan bersama. Demikian pula dengan strategi yang dilakukan. Kendati merujuk pada Max Stirner dengan Anarkis Individualis-nya, ia tetap menyadari adanya orang lain dan berkumpul dengan mereka untuk mengembangkan kualitas dan memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, apa yang dianggap Bung Karno sebagai kontradiksi, dalam hal ini, tidak terbukti sama sekali.

Apakah Anarkisme mungkin?

Bung Karno mengatakan, bahwa Anarkisme itu hanyalah suatu pandangan teoritis yang tidak dapat diaktualisasikan dan merupakan sebuah pengelamunan belaka (FR, No. 21). Pendapat ini terkesan terburu-buru dalam memandang manifesto Anarkisme. Di dalam Fikiran Ra’jat Nomor 21 tersebut, Bung Karno terjebak ke dalam social proof (mengikuti pendapat umum yang belum tentu kebenarannya). Bagaimana mungkin seseorang yang disebut sebagai tokoh revolusioner, seorang Sosialis, dan dedengkot kaum Marhaen bisa terjebak dalam bias kognitif (cognitive bias) semacam itu?

Untuk menjawab apakah Anarkisme itu mungkin diwujudkan dalam kehidupan nyata, menghadirkan beberapa argumentasi Alexander Berkman (2017) sangat relevan di sini. Namun, perlu dipahami sebelumnya, penolakan Anarkisme terhadap negara atau otoritas yang sentralistik disebabkan oleh pembacaan mereka bahwa negara adalah suatu tubuh bagi semua bentuk penindasan, eksploitasi, perbudakan, dan degradasi manusia. Terlebih lagi, menurut kaum Anarkis, kemunculan borjuis sebenarnya merupakan refleksi dari negara, bukan negara adalah refleksi dari hubungan-hubungan borjuis. Bahkan, dalam pandangan Bakunin, negara adalah rumah jagal (Dolgoff, 1971: 269). Kemudian, hal yang juga penting dipahami ialah, dasar kaum Anarkis memandang negara sebagai horor atau rumah jagal itu bukan dalam arti anti-keteraturan, melainkan lebih pada suatu pandangan filosofis dan politis yang berpendapat bahwa keteraturan yang diciptakan negara dibangun atas dasar pemaksaan (Sheehan, 2007: xiv).

Sehingga jelas, bahwa negara dalam hal ini berimplikasi pada pengaturan subjek, pembatasan, penindasan, dan seterusnya. Misalnya, dalam suatu masyarakat yang ada di bawah kendali negara, terdapat kemiskinan dan kejahatan. Untuk menangani kemiskinan itu, negara mendirikan rumah derma, rumah orang-orang miskin, atau panti asuhan yang dibangun oleh pajak masyarakat. Sedangkan, untuk mencegah kejahatan dan menghukum penjahat, masyarakat harus mendukung lembaga kepolisian, hakim, penjara, pengawas hukum, dan lain sebagainya. Dan mereka semua itu, dibiayai oleh dana yang dikumpulkan dari pajak masyarakat (Berkman, 2017: 37-38). Dan contoh-contoh lain yang bisa kita lihat dalam kehidupan negara saat ini.

Berkenaan dengan keteraturan, ketertiban, dan perdamaian dalam kehidupan sosial, menurut Berkman, hal itu sama sekali tidak berhubungan dengan negara. Keteraturan dan perdamaian, disebabkan oleh akal sehat yang baik dari usaha masyarakat secara bersama-sama. Kita tahu, manusia adalah makhluk sosial; tidak dapat hidup sendiri dan hidup di dalam masyarakat. Antara satu individu dengan individu yang lain berinteraksi dan saling membutuhkan satu sama lain, dan berusaha menciptakan keamanan dan kenyamanan bersama. Kerja sama ini bersifat bebas dan sukarela atau tanpa tekanan (Berkman, 2017: 40). Kemudian, karena manusia adalah makhluk sosial, pasti memiliki kecenderungan untuk membuat asosiasi agar dapat saling melindungi dan membantu satu sama lain.

Mengenai kejahatan (kriminalitas), hal ini dipandang sebagai hasil dari kondisi ekonomi dan ketidakadilan sosial yang hal itu disebabkan oleh adanya pemerintah dan monopoli segelintir orang. Dan, mereka (pemerintah) tidak pernah mampu mencegah kejahatan itu. Satu-satunya solusi untuk mengatasi problem tersebut, menurut Berkman, ialah dengan menghapuskan sebab-musababnya, dan hal itu tidak mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah (negara). Mengapa? Karena negara-lah yang memelihara sebab-musabab itu (Berkman, 2017: 42). Oleh karena kemiskinan, ketidakadilan, dan penindasan tersebut dihasilkan oleh adanya otoritas tertentu, maka sebuah kemustahilan untuk membebaskan mereka dari kemiskinan dan penindasan jika otoritas tadi tidak dihilangkan.

Poin utama untuk mewujudkan Anarkisme ini, menurut Berkman, adalah kesadaran kolektif. Dari kesadaran bahwa kita saat ini tengah terbelenggu oleh kemiskinan, dihimpit oleh kekuasaan, dan diperlakukan secara tidak adil, maka akan muncul suatu protes atau pemberontakan. Sebab, manusia lebih tahan lapar daripada harus ditindas dan diperlakukan tidak adil (Berkman, 2017: 46). Sikap protes adalah sesuatu yang alamiah dalam diri manusia. Sebagai contoh: seseorang mengatakan “Saya tidak sepakat dengan pernyataan Anda” atau “hal itu tidak benar”. Demikian adalah contoh sederhana bahwa protes merupakan sesuatu yang alamiah.

Setelah manusia sadar akan ketertindasan yang dilakukan oleh otoritas tertentu, dikeluarkan dari kebodohan dan pertentangan kelas, maka yang timbul adalah semangat kebenaran dan keadilan yang merupakan bawaan dari dalam diri manusia. Akhirnya, pembawaan itu akan menemukan bentuk ekspresi baru, suatu bentuk yang tertuju pada persaudaraan dan kemauan baik yang lebih besar. Sehingga, hal tersebut, dapat menciptakan perdamaian dan harmoni sosial (Berkman, 2017: 50). Dengan demikian, Anarki (mewujudkan Anarkisme dalam kehidupan sosial) adalah situasi ideal yang tidak hanya untuk kelas sosial atau komunitas masyarakat tertentu. Sebab, Anarki memiliki tujuan untuk kepentingan manusia secara umum, semua masyarakat yang ada di muka bumi ini. Anarki tidak memandang gender tertentu, baik laki-laki maupun perempuan, akan merasakan hal yang sama.

Oleh karena itu, pengelamunan yang disampaikan Bung Karno dalam mengomentari Anarkisme yang bernada peyoratif itu, merupakan suatu pendapat dari seorang Sosialis yang bernalar dangkal. Sebab, Sosialisme yang dibanggakan Bung Karno (ketika membandingkan dengan Anarkisme), justru masih menimbulkan polemik dan sistem yang timpang. Hal ini pernah dikhawatirkan Kropotkin ketika Partai Komunis telah menjadi kekuasaan tunggal dan menempatkan soviet-soviet berada di bawahnya dalam suratnya yang ditujukan kepada Lenin pada tahun 1920 (Sheehan, 2007: xiii).

Dengan nada optimistik, Alexander Berkman mengatakan: “Setiap orang yang menderita karena ketidakadilan, karena kejahatan, korupsi, dan kekotoran kehidupan kita sekarang ini, secara instingsif akan bersimpati kepada Anarki. Setiap orang yang hatinya belum tertutup untuk kebaikan, kasih sayang, dan simpati terhadap kawan tentu akan tertarik memajukannya. Setiap orang yang harus bertahan terhadap kemiskinan dan kesengsaraan, tirani dan penindasan, akan menyambut datangnya Anarki. Setiap laki-laki dan perempuan yang mencintai kebebasan dan keadilan akan membantu mewujudkannya” (Berkman, 2017: 51).

Dendy Wahyu Anugrah

Mahasiswa Aqidah & Filsafat UIN Sunan Kalijaga

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses