Dunia modern dengan perkembangan teknologi yang pesat adalah hasil dari perjalanan panjang pengalaman manusia. Semula manusia hanya bisa berburu dan meramu kini manusia bisa melampaui itu. Dengan bantuan teknologi yang diciptakan, manusia semakin mudah meraih kebutuhan hidupnya. Perkembangan kapasitas manusialah yang membuat semua itu dapat terwujud. Bukan hanya pada tataran objek fisik hasil kreativitas manusia, paradigma dan budaya pun turut berkembang – atau tak sekadar berkembang bahkan berubah. Kebutuhan primer dan sekunder yang semula adalah hal pokok yang harus dimiliki, sekarang nilainya sudah berbeda. Pakaian sebagai kebutuhan pokok, kini berganti dengan style atau gaya hidup yang harus ditingkatkan melebihi nilai fungsi pakaian itu sendiri.
Dahulu, manusia cukup dengan memiliki tempat tinggal, pakaian, dan makanan tanpa melihat nilai yang ada di balik itu. Semakin berkembangnya industri, nilai-nilai kebutuhan tersebut silih berubah. Pakaian yang semula berfungsi untuk menutupi atau menghangatkan badan, kini pakaian memiliki standar tersendiri untuk bisa dikatakan layak pakai. Standar tersebut mulai dari model, warna, atribut, hingga trend yang sedang naik perlu diperhatikan sebelum membeli. Standar tersebut juga membuat asumsi publik seolah mengatakan “Ih, pakaianmu norak.” ketika pakaian yang dikenakan adalah pakaian yang ketinggalan zaman. Tentunya, standar tersebut muncul karena konstruksi sosial. Ketika ada budaya pop yang sedang trending, maka publik berusaha mendapatkan dan menyamakannya terhadap budaya tersebut.
Kemajuan industri adalah asal dari penyebab kejadian ini. Industri yang semula sebagai tempat produksi barang, kini telah mengontrol sosio-ekonomi. Pabrik dengan merek terkenal seakan menjadi momok bagi merek kecil lain. Upaya hegemoni masyarakat kelas atas yang membeli produk dengan merek terkenal tersebut bisa memancing kelas masyarakat di bawahnya agar meniru gaya hidup mereka. Dengan demikian, tempat-tempat industri berlomba-lomba mengiklankan produknya sekreatif mungkin, seperti menghadirkan tokoh publik atau influencer, yang harapannya dapat menggiring selera publik. Dari sini dapat dilihat bahwa industri berperan mengontrol publik dalam pemaknaan suatu barang. Suatu barang akan selalu bermakna sehingga dapat mengantar konsumen ke rentetan motivasi berbelanja yang lebih banyak.
Manipulasi Tanda dalam Barang Konsumsi
Kapitalisasi pada industri membuat nuansa baru dalam dunia konsumsi. Rasionalisasi yang dilakukan oleh industri melalui kapitalisme menyeragamkan kesadaran manusia melalui kebutuhan-kebutuhan palsu. Sebagaimana yang disampaikan Jean Baudrillard, seorang filsuf postmodern, bahwa masyarakat dalam kapitalisme yang memiliki nilai-guna dan nilai-tukar dikalahkan oleh nilai baru, yakni nilai-tanda dan nilai-simbol. Dalam hal ini, perhatian utama diarahkan pada tanda, citra, dan sistem tanda bukan terletak pada manfaat komoditas. Di samping itu, masyarakat justru lebih mementingkan makna tanda dari pada kegunaan. Melalui konsumsi tanda, manusia tidak lagi diatur oleh kebutuhan dan kenikmatan tapi manusia diatur oleh pengakuan sosial.
Seperti halnya yang sering kita jumpai ada beberapa mall yang hanya bisa dijangkau oleh kelas sosial tertentu. Ketika ada seseorang yang memasuki mall tersebut, maka ia mendapatkan hasrat dan menjadi tanda integrasi sosial bahwa ia layak untuk bisa naik kelas sosial. Contoh lainnya adalah ketika ada seorang anak buah yang membeli jam tangan Rolex yang sama dengan bosnya, maka ia akan mendapat teguran atau intimidasi. Jadi, barang konsumsi tersebut bukan sekadar menjadi kegunaan tapi juga berfungsi sebagai pembeda kelas sosial. Untuk itu, pabrik-pabrik berusaha menempatkan diri untuk membidik kalangan elit sebagai konsumennya.
Gengsi sebagai Wujud Eksistensi
Melalui adanya fenomena baru yang mendewakan barang sebagai simbol kelas sosial melahirkan sifat baru manusia. Sifat tersebut adalah berusaha menjadi eksis dengan menginvestasi nilai fisik. Seseorang yang telah berjuang mendapatkan barang-barang dengan nilai budaya yang sedang naik di kalangan masyarakat akan memperoleh pengakuan dan menjadikan keber-Ada-annya berfungsi – mampu mengontrol masyarakat. Orang rela menderita, olahraga keras demi mendapatkan perut six packs, merawat kecantikan sesuai standar sosial, mengonsumsi obat-obatan untuk mendapatkan tubuh yang diinginkan. Makna konsumsi menjadi semakin bias, bukan lagi pada sekadar nilai kebutuhan tapi juga sebagai bentuk mempertahankan jati diri.
Di balik daripada itu, konsumerisme dapat mengubah seorang pemalas menjadi pekerja keras karena dorongan konsumsi untuk mendapatkan legitimasi sosial. Memang semua wujud fenomena atau budaya sosial baru tidak seharusnya selalu dipandang pesimistik, tapi juga perlu mengambil sudut pandang yang optimistik untuk menciptakan iklim diskursus yang sehat. Budaya konsumerisme ini kalau bisa dimanipulasi untuk hal-hal yang bersifat mendorong masyarakat supaya mau bekerja lebih giat demi memperoleh kebutuhan eksistensi.