Aksi prolife dan prochoice di AS
Aksi prolife dan prochoice dilansir dari thenationalnews.com

Aborsi telah menjadi topik hangat sejak berabad-abad lalu. Ada kubu yang menolak, ada pula yang mendukung. Masing-masing punya alasan tersendiri. Dalam pandangan Gereja Katolik aborsi secara tegas ditolak. Mengapa? Karena aborsi adalah tindakan pembunuhan. Pembunuhan adalah sebuah tindakan yang tidak akan pernah dapat dibenarkan. Meski demikian, perkembangan zaman dan teknologi  yang serentak membawa serumpun persoalan baru yang terus mendesak pelegalan aborsi, dan sejenisnya. Apakah posisi Gereja berubah? Tidak. Gereja tetap pada keputusannya membela kehidupan. Hanya saja ada perubahan refleksi baru seturut perubahan zaman yang tetap membuat Gereja setia dan terus mendampingi umat. Tulisan ini akan berfokus pada pandangan Gereja terhadap aborsi yang disengaja; campur tangan manusia, baik melalui alat mekanik, obat, dan sebagainya.

 Aborsi

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, aborsi adalah pengguguran kandungan. Pada dasarnya, setiap orang dilarang melakukan aborsi berdasarkan Pasal 75 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”). Secara medis, aborsi adalah pengeluaran hasil konsepsi dari uterus sebelum janin bisa hidup di luar kandungan. Aborsi atau pengguguran berarti pengeluaran janin yang mengakibatkan janin tersebut mati yang dilakukan sampai dengan umur 20-24 minggu (dibagi 4 berarti 5 – 8 bulan). Pengeluaran janin yang dilakukan sesudah usia itu disebut pembunuhan (infanticide). 

Aborsi sudah ada sejak 2000 tahun SM. UU tertulis terkait aborsi sudah ada pada 1792-1750 SM di Babilonia. Raja Babilonia, Hammurabi mengeluarkan undang-undang tertulis terkait sanksi bagi pelaku aborsi. Pada zaman Yunani, seorang filsuf, Pythagoras juga dengan tegas menolak aborsi. Menurutnya hal itu sama dengan pembunuhan karena pada saat terjadi pembuahan, nyawa manusia sudah masuk ke dalam tubuhnya. Catatan yang tak kalah penting adalah mengenai sebuah sumpah yang disebut “Sumpah Hippocrates”. Sumpah ini merupakan bentuk reaksi atas maraknya kasus aborsi yang terjadi di masyarakat Yunani Kuno. Isinya ialah larangan untuk memberikan nasehat atau obat-obatan kepada orang yang membuat kematian untuk orang lain. Inilah sumpah yang masih berlaku sekarang bagi semua dokter dan calon dokter di seluruh dunia.

Di zaman modern, perdebatan masih berlangsung. Gerakan feminisme muncul turut menyumbangkan perdebatan mengenai aborsi. Perempuan menekankan hak kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri. Jika ibu tidak menginginkan kehamilan, maka janin bisa digugurkan. Hal ini melahirkan gerakan pro choice yang muncul sesudah kasus aborsi di Amerika oleh Norma McCorvey bersama pengacaranya Henry Wade. Mereka mengajukan permintaan aborsi dan disetujui oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat pada 22 Januari 1973. Dampaknya jelas. Legalisasi aborsi tidak lagi hanya ada karena kasus pemerkosaan, melainkan juga karena pilihan diri sendiri. Pro Choice ini ditentang oleh yang mengatasnamakan diri di sebagai kaum Pro Life yang membela kehidupan janin. 

Aborsi Secara Global

Besarnya jumlah kasus aborsi tidak lepas dari banyaknya kehamilan yang tidak diinginkan. Di seluruh dunia, sekitar 121 juta kehamilan yang tidak diinginkan terjadi setiap tahun antara 2015 dan 2019.* Dari kehamilan yang tidak diinginkan ini, 61% berakhir dengan aborsi. Dalam analisis yang mengecualikan Tiongkok dan India, yang populasinya besar, tingkat aborsi sebenarnya lebih tinggi di negara-negara yang membatasi akses aborsi daripada di negara-negara yang memberi ruang bagi praktik aborsi. Di negara-negara yang membatasi aborsi, persentase kehamilan yang tidak diinginkan yang berakhir dengan aborsi telah meningkat selama 30 tahun terakhir, dari 36% pada 1990–1994 menjadi 50% pada 2015–2019. Menurut WHO, setiap tahun di dunia diperkirakan ada 40-50 juta aborsi. Ini setara dengan sekitar 125.000 aborsi per hari. Di AS, di mana hampir setengah dari kehamilan tidak diinginkan dan empat dari 10 di antaranya diakhiri dengan aborsi, ada lebih dari 3.000 aborsi per hari. Dua puluh dua persen dari semua kehamilan di AS (tidak termasuk keguguran) berakhir dengan aborsi.

Indonesia

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Guttmacher Institute di Indonesia, dari seluruh kasus kehamilan yang tidak diinginkan, kehamilan tidak diinginkan paling banyak dialami oleh perempuan yang telah menikah (66%), sementara pada perempuan yang belum menikah hanya 34%. Indonesia termasuk negara yang tidak melegalkan aborsi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, pada pasal 31, tindakan aborsi di Indonesia hanya dapat dibenarkan apabila terdapat indikasi kedaruratan medis atau pada kasus kehamilan akibat perkosaan. Indikasi kegawatdaruratan medis yang dimaksud antara lain ialah mengancam nyawa ibu dan atau janin. Diagnosis kegawatdaruratan medis hanya dapat dibuat oleh tim kelayakan aborsi, yang terdiri dari minimal dua tenaga kesehatan dan diketuai oleh dokter yang memiliki kompetensi dan kewenangan. Kemudian, tim akan membuat surat keterangan kelayakan aborsi.

Ajaran Gereja

Dari berbagai macam jenis aborsi, dokumen-dokumen Gereja berbicara secara khusus terkait dua tipe aborsi; langsung dan tidak langsung. Gereja menolak dengan keras  aborsi langsung. Gereja memegang teguh posisi ini sejak awal kehadirannya ketika berhadapan dengan moral Yunani dan Romawi. Dalam perkembangannya, para pemikir Gereja sepakat dengan posisi ini dan pelonggaran selalu ditolak. Paus Paulus VI bahkan tidak ragu-ragu menegaskan bahwa ajaran Gereja ini “tak berubah dan tak dapat berubah.” Kitab Hukum Kanonik (KHK) kanon 1398 juga menyatakan dengan keras “Barang siapa melakukan aborsi, bila berhasil, terkena ekskomunikasi otomatis.”

Gaudium et Spes art. 27 dengan tegas menyebut bahwa aborsi merupakan salah satu tindakan yang jahat pada dirinya sebab bertentangan dengan kemanusiaan. Gereja juga memperhatikan situasi dan kondisi tertentu ketika intervensi medis tidak dapat mencegah terjadinya aborsi. Tindakan medis dilakukan untuk menyelamatkan si ibu dan janin tetapi akibat tak terhindarkan bahwa janin akhirnya mati.

Alasan mendasar penolakan Gereja terhadap aborsi adalah soal martabat manusia. Secara iman, aborsi melukai martabat manusia sebagai ciptaan Allah yang secitra dengan-Nya. Allah menghendaki kehidupan. Kehidupan setiap manusia adalah anugrah dari Allah yang sekaligus harus dipertanggungjawabkan, mengingat kehidupan itu sendiri berasal dari Allah. Hidup yang dihembuskan Pencipta akan diambil lagi oleh-Nya (Kej 2:7; Keb 15:11), dan tidak seharusnya diambil oleh manusia sendiri.

Selain itu, dari sisi kemanusiaan, Gereja meyakini aborsi sebagai pelanggaran atas hak manusia untuk hidup. Seperti sudah dikatakan, Gereja meyakini bahwa kehidupan berawal sejak pembuahan. Dengan pembuahan sel telur mulailah hidup baru, yang bukan hidup ayah dan bukan hidup bunda melainkan hidup makhluk baru yang tumbuh sendiri. Pertumbuhan sel telur sebagai kehidupan baru ini juga sudah memiliki hak untuk hidup, hak pertama pribadi manusia. Mengutip Tertulianus “Yang akan menjadi manusia itu sudah manusia.”

Yohanes Paulus II dalam Evangelium Vitae memperbarui refleksi penolakan aborsi pada bentuk-bentuk baru intervensi pada embrio, yang membawa-serta kematian embrio. EV menegaskan bahwa penggunaan embrio atau fetus sebagai objek percobaan merupakan kejahatan melawan martabat manusia, yang mempunyai hak yang sama, yang sudah harus diakui pada anak yang telah lahir dan setiap manusia. 

Seperti sudah dikatakan di atas, perihal aborsi tidak langsung, Gereja berpegang pada “Prinsip Efek Ganda” dalam pembuatan keputusan. Prinsip Efek Ganda terdiri dari empat kriteria; (1) Tindakan itu pada dirinya baik atau tidak berniat jahat, (2) Dampak buruk bukanlah tujuan yang dicapai, (3) Dampak baik tidak terjadi melalui tindakan/dampak buruk, (4) Alasan proporsional dari terjadinya hal buruk (akibat buruk tidak dapat dicegah). Prinsip ini sangat membantu seseorang ketika berada dalam dilema. Terutama dalam hal aborsi, prinsip ini sangat membantu bagi para tenaga medis yang berhadapan dengan dilema-dilema di mana nyawa ibu dan anak terancam.

Berkaitan dengan prinsip efek ganda, John M. Haas menganalisis kembali prinsip ini, terutama dalam penerapannya dalam kasus-kasus vital (vital conflicts). Haas berargumen bahwa Magisterium Gereja perlu memperbarui pemaknaan dari prinsip efek ganda dan “aborsi langsung” yang dulu dibuat dengan ilustrasi prosedur yang tidak pernah dilakukan. Pembaruan pemahaman ini sekiranya mendesak karena saat ini para dokter menghadapi kasus-kasus vital yang sebelumnya hanya diperdebatkan secara teoritis karena memang tidak pernah dilakukan.

Haas berpandangan prinsip efek ganda tidak dapat berlaku pada vital conflicts. Contohnya pada kardiomiopati. Berbeda dengan, misalnya kanker endometrium, kematian janin terjadi sebagai efek yang tidak diinginkan, tetapi tidak terelakkan dari prosedur pengangkatan rahim. Kematian janin dalam kasus kardiomiopati tidak dapat menyelamatkan nyawa ibu. Kematian janin hanya sedikit mengurangi beban pada jantung ibu. Kematian janin dalam kasus kardiomiopati jelas melanggar prinsip efek ganda karena adalah hal tersebut adalah pembunuhan langsung. Prosedur kraniotomi, untuk menangani kardiomiopati, akan dianggap sebagai aborsi langsung karena secara intensional membunuh janin untuk menyelamatkan nyawa ibu. 

Meskipun demikian tidak sedikit pemikir Gereja yang berusaha memperbarui arti “langsung” dan salah satunya adalah P. Martin Rhonheimer. Rhonheimer berpandangan kraniotomi tidak termasuk aborsi langsung karena norma moral tidak dapat diaplikasikan dalam situasi ekstrem di mana ibu dan sama-sama akan akan meninggal. Argumen pendukung Rhonheimer kurang lebih antara lain; kraniotomi hanya tindakan (merely physical event), hanya berbasis intensi, dan beberapa lagi. Meski demikian, Haas menemukan banyak celah dalam pandangan Rhonheimer sehingga pandangan itu tidak dapat dibenarkan begitu saja.

Berdasarkan analisisnya atas argumen-argumen Rhonheimer, Haas menemukan Rhonheimer tampak ingin mereduksi faktor-faktor yang berperan dalam tindakan memilih prosedur kraniotomi menjadi hanya sekadar intensi. Proses pemotongan (dismemberment) bayi di dalam rahim dipandangnya hanya sebagai peristiwa fisik (physical event). Haas mengacu pada teori hylomorphic, yang sering menjadi acuan Gereja, bahwa tindakan dan intensi adalah sebuah kesatuan. Sebuah tindakan tidak bisa direduksi menjadi sekadar tindakan atau juga dinilai hanya dari intensinya. Di sini jelas bahwa Rhonheimer tidak dapat diterapkan dalam tindakan karena tindakannya jelas secara langsung membunuh janin.

Selain itu, beberapa topik yang juga menjadi perdebatan dalam pandangan Gereja adalah soal hak perempuan. Perkembangan gerakan feminisme pada zaman ini telah sampai kepada kesadaran bahwa perempuan memiliki otoritas atas tubuhnya. My body, my authority. Argumen ini menjadi argumen pendukung aborsi karena kehamilan terjadi dalam tubuh perempuan, yang berarti dalam yurisdiksi otoritas perempuan. Apapun yang terjadi pada janin adalah keputusan sang perempuan.

Gereja setuju bahwa perempuan memiliki otoritas atas tubuhnya, sama dengan manusia lainnya. Meski demikian, janin yang terbentuk dalam tubuh perempuan adalah entitas yang lain sama sekali, bukan ibu, bukan ayahnya. Entitas janin adalah entitas independen dari ibu dan ayahnya. Sebagai sebuah entitas, atau bisa disebut juga sebagai persona, janin memiliki hak untuk hidup. Ibu akan melanggar hak ini ketika melakukan aborsi. 

Tetapi dalam kasus lain, perempuan tidak memiliki banyak pilihan ketika janin dalam rahim adalah akibat dari pemerkosaan. Gereja mengakui bahwa trauma seorang korban pemerkosaan adalah sebuah trauma yang sangat berat. Meski demikian, Gereja tetap berpegang teguh pada posisi menolak aborsi. Gereja tetap tidak merestui aborsi dengan alasan hak anak dan juga kesehatan mental ibu. 

Jika alasan menggugurkan menggugurkan bayi adalah karena balas dendam dan sigma “anak haram,” maka jelas ini salah alamat. Selain itu, asal-usul biologis anak tidak menentukan nilai intrinsiknya sebagai seorang anak manusia seperti yang lain yang adalah baik sebagai ciptaan Allah. Alasan beban psikologis (demi menghilangkan ingatan akan peristiwa buruk tersebut) pun tidak bisa dibenarkan. Jika ibu mengalami gangguan psikologis setelah pemerkosaan, maka bantuan psikolog profesional adalah solusi dan bukan aborsi. Untuk menyelamatkan seseorang bukan berarti harus membunuh yang lain. Ada banyak hal lain yang bisa dilakukan. Dari banyak cerita aborsi demi mendapat ketenangan atau menghilangkan ingatan justru membawa trauma lebih besar lagi karena secara intrinsik menyadari bahwa ia telah membunuh janin itu.

Tanggapan Kritis  

Pertama, Argumen pro-choice. Argumen ini intinya menjelaskan bahwa setiap orang punya kebebasan untuk menentukan pilihan, mau apa dengan tubuhnya itu urusan pribadi yang bersangkutan. Meskipun demikian, bila diteliti lebih lanjut, argumen ini tidak bisa diterima begitu saja. Apabila berbicara tentang hak memilih (choice) perlulah dipertanyakan, pandangan hak memiliki itu muncul sejak kapan? Kalau menuntut kebebasan atas diri sendiri, hal itu berarti orang pun harus bertanggung jawab atas kebebasan dan hak orang lain. Apabila mengacu pada standar kedokteran yang bertolak dari Pythagoras, melakukan aborsi sejak perjumpaan sperma dan sel telur di rahim itu tidak bisa dibenarkan. Sebab, itu sudah merupakan pribadi yang memiliki jiwanya sendiri. Jika sudah merupakan pribadi maka, janin itu sudah memiliki seperangkat hak layaknya manusia biasa. Karenanya, jika kaum pro-choice membela kebebasan mereka untuk mau melakukan aborsi, pada saat yang sama mereka menentang prinsip pilihan mereka sendiri yang berjuang membela kebebasan setiap orang. Tentu argumen ini akan disanggah dengan gagasan bahwa bisa jadi anak yang di dalam kandungan belum tentu mau dilahirkan dalam kondisi orang tua yang seperti itu ditambah dengan konsekuensi lainnya yang bisa membawa kerugian bagi anak di kemudian hari. Argumen ini memang nampak baik dan mulia, tetapi gagasan seperti ini tidaklah seimbang. Basis pertimbangannya berbeda. Janin pada posisi tidak bisa memilih, sedangkan oknum yang mau melakukan aborsi punya kebebasan untuk memilih. Selain itu, penelitian membuktikan bahwa mayoritas perempuan yang pernah melakukan aborsi mengalami depresi dan tekanan psikologis rasa bersalah. Ini tidaklah mudah karena bagaimanapun juga aborsi adalah pembunuhan yang dilakukan secara sadar dan tentu tindakan yang tidak benar seperti itu akan senantiasa menghantui melalui rasa bersalah yang tak tertahankan. 

Kedua, Argumen Pro-life. Argumen ini berbasis pada hak tiap individu untuk hidup. Manusia punya seperangkat HAK yang tidak bisa dikurangi. Dalam konteks aborsi sudah jelas posisi para pejuang pro-life; aborasi ditolak. Yang menjadi persoalan adalah argumen pro-life yang dibasiskan pada HAK tidak bisa terlepas dari bias gender. Sebab, bagaimanapun juga yang menanggung akibat-konsekuensinya adalah perempuan. Dia yang harus mengandung, melahirkan, dan merawat. Dalam konteks kehamilan dari pemerkosaan, dan sejenisnya, perempuan menjadi pihak korban. Korban di sini dalam arti menjadi orang yang harus menjalani hidup, bertanggung jawab mengandung dan menjamin hidup anak yang dilahirkan. Hal-hal yang praktis dan sejenisnya menjadi tanggung jawab perempuan, bukan laki-laki. Di sinilah letak persoalan yang terus menjadi persoalan hingga hari ini. Pertanyaannya adalah bagaimana argumen pro-life itu bisa bebas dari bias gender dan apa yang harus dilakukan para pengusung prolife sebagai bentuk tanggung jawab atas pilihannya memperjuangkan kehidupan sehingga bisa meringankan korban? 

Ketiga, Negara. Indonesia merupakan negara yang mayoritas masyarakatnya menolak aborsi. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa pelarangan aborsi secara hukum hanya masuk akal bila didukung dengan sejumlah aturan dan pelayanan oleh Negara dalam bentuk informasi dan fasilitas kesehatan reproduksi yang memadai yang dijamin oleh negara, layanan adopsi, fasilitas negara yang menjamin pemberian hak dasar anak dan pendidikannya, sehingga anak tersebut bisa tumbuh dan berkembang. Pelarangan aborsi tanpa perlindungan sosial yang memadai bagi perempuan dan bagi anak merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM. Sebagai negara yang menolak aborsi, pemerintah Indonesia wajib menyiapkan sarana fisik maupun psikologis yang menjamin kehidupan ibu dan anak.

Keempat, Gereja. Penting untuk dicatat bahwa semua ajaran dan anjuran Gereja adalah sesuatu yang amat mulia. Penghormatan akan hidup dan kemanusiaan membuat Gereja tidak goyah pada pilihannya untuk teguh membela kehidupan. Sebagaimana sudah diketahui, bahwa dalam ajaran agama, khususnya Katolik, ketika sel sperma dan sel telur perempuan bersatu di situ sudah dimulai kehidupan. Artinya sudah ada seorang pribadi/individu yang lahir. Eksistensinya tidak bisa direduksi begitu saja. Ia tetap perlu dihargai sebab dia adalah manusia sebagaimana yang lainnya. Argumen-argumen yang dikemukakan Gereja pada saat yang sama kuat dan mulia, meskipun perlu terus disempurnakan. Persoalan sering muncul ketika ajaran-ajaran itu dibenturkan pada realitas sosial masyarakat yang pelik-dinamis. Memang sebagai sebuah institusi agama, Gereja perlu memberi arah dan ajaran yang jelas akan ke mana umatnya harus melangkah. Meskipun demikian, Gereja pun tidak bisa berhenti di situ. Perlu ada langkah lanjutan yang mampu meyakinkan umat bahwa dengan mengikuti apa yang menjadi kehendak Gereja mereka tidak akan dirugikan baik secara ekonomis-psikologis. Dengan kata lain, bagaimana Gereja tetap perlu hadir menemani dan menguatkan korban-keluarga.

Perdebatan terkait boleh tidaknya aborsi terus berlangsung hingga hari ini. Gereja Katolik tetap teguh pada ajaran Imannya untuk tetap menolak dan membela kehidupan. Kehidupan itu suci, setiap manusia setara, dan hanya Allah sajalah yang berhak mengambil nyawa seseorang. Meskipun demikian, Gereja sering dituduh menjadi tukang perintah dan membuat larangan aborsi. Gereja dianggap tidak memberi solusi karena toh bukan Gereja yang menanggung beban hidup, psikis, dan perawatan ibu dan anak. Tentu jelas pandangan ini tidak bisa dibenarkan karena hadirnya ajaran dan aturan adalah untuk membela kehidupan; manusia. Jika aturan-aturan itu dipahami secara kritis dan bijak tentu akan umat akan sadar apa yang harus dilakukan, mana yang harus dihindari, dsb karena aturan itu dibuat agar kehidupan umat sungguh menjadi sumber kegembiraan bersama. Tidak boleh dilupakan pula bahwa, bagaimana pun juga umat perlu sadar bahwa mereka tetap harus bertanggung jawab atas hidup mereka sendiri. Tidak bisa begitu saja melemparkan masalah kepada Gereja begitu saja. Dan Gereja pun bagaimana pun juga tetap perlu hadir, menemani, meneguhkan, dan membantu umat yang sedang ditimpa masalah. Mengapa? Karena itu tugas kegembalaan Gereja. Pada akhirnya, umat adalah bagian dari Gereja itu sendiri dan keduanya perlu terus berdialog, mendukung, dan menguatkan satu sama lain. Hanya dengan itu hidup yang berbuah dan bermartabat sesuai ajaran Kasih Kristiani dapat terwujud. 

 

Referensi

Kusmarianto, SCJ. Bioetika. 2005. Kanisius: Yogyakarta. 

Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi. 2014 p. 1–34.

Guttmacher Institute. Aborsi di Indonesia. Aborsi di Indonesia 2008;(2):1–6.

Yohanes Paulus II. 1996. Evangelium Vitae.

Kongregasi Suci Ajaran Iman. 18-11-1974. Pertanyaan Tentang Aborsi.

Haas, John M. “Moral theological analysis of direct versus indirect abortion.” The Linacre quarterly vol. 84,3 (2017): 248-260. doi:10.1080/00243639.2017.1320888 https://www.worldometers.info/abortions/  

Source: Bearak J et al., Unintended pregnancy and abortion by income, region, and the legal status of abortion: estimates from a comprehensive model for 1990–2019, Lancet Global Health, 2020, 8(9), http://www.thelancet.com/journals/langlo/article/PIIS2214-109X(20)30315-6/fulltext 

KBBI https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/aborsi

Viktor D. Engelbert

Pecinta Filsafat dan Ilmu Sosial. Suka membaca, mengamati, merenung, dan bersahabat dengan masalah.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.