Hermeneutika sebagai metode alternatif dalam memahami teks Al-Qur’an

Ketika memaknai dan menafsirkan teks kitab suci dari agama-agama dunia yang diwahyukan kepada para nabi, kadang muncul pertanyaan bagi kita misalnya: apakah bahasa yang digunakan dalam kitab suci tersebut adalah bahasa Tuhan atau, perkataan Tuhan yang dibahasakan oleh nabi sesuai dengan bahasa daerahnya? Faktanya, bahasa yang digunakan dalam kitab suci hingga kini dimengerti oleh manusia. Pertanyaan selanjutnya, di mana letak kesucian kitab suci itu, apakah pada aspek bahasa, simbol, atau maknanya? Setelah kitab suci masuk pada bahasa manusia, akan terjadi perbedaan pemaknaan dan penafsiran yang berimplikasi pada kebenaran yang bersifat relatif. 

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak dimaksudkan untuk meragukan eksistensi kebenaran kitab suci yang telah diyakini selama berabad-abad sejak mengenal agama, tetapi untuk mengetahui posisi kitab suci ketika telah masuk pada wilayah interpretasi dan pamaknaan manusia. Fakta menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan dalam kitab suci tidak terlepas dari bahasa lokal tempat para nabi dilahirkan, seperti kitab suci Weda dalam agama Hindu dengan bahasa Sanskerta, Tripitaka dalam Budha dengan bahasa Pali, Avesta dalam Zoroaster dengan bahasa Persia, Taurat dalam Yahudi dengan bahasa Ibrani, Kitab Suci dalam Kristen dengan bahasa Aramaik dan Yunani, Al-Qur’an dalam Islam dengan bahasa Arab, dan Granth Sahib dalam Sikh dengan bahasa Punjabi. 

Sebagian ulama menilai bahwa kesucian ada pada maknanya, bukan pada substansi bahasanya. Dengan adanya keterbatasan manusia termasuk para nabi dalam menangkap dan memahami grand idea dari kitab suci, kebenaran tidak lagi bersifat absolut, tetapi relatif. Nabi Muhammad sendiri pernah berselisih paham dengan sahabat Umar bin Khattab tentang pelaksanaan perintah al-Qur’an pada pembagian harta warisan dan tawanan perang. 

Umar tidak mau melaksanakan perintah al-Qur’an dalam pembagian harta rampasan perang dan cara memperlakukan tawanan perang, tetapi dia menggunakan rasionalitasnya untuk mempertimbangkan kondisi masyarakat. Berangkat dari kasus ini, tidak selamanya teks relevan dengan konteks atau kondisi sosial, serta harus sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat secara luas. 

Untuk memahami kitab suci, terdapat tiga hal yang perlu diperhatikan ialah: pertama teks itu sendiri, kedua konteks dan, ketiga penafsir. Ketiga unsur tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama lain dan semuanya saling berkaitan. Teks lahir berdasarkan dialektika dengan konteks yang kemudian coba dipahami oleh penafsir. Penafsir teks memegang peran yang besar dalam memaknai teks seperti yang dikatakan oleh Michel Foucault sebagai the reader. Di sini manusia mempunyai otoritas dalam memahami dan menafsirkan, kemudian menerapkannya dalam kehidupan riil di tengah masyarakat. 

Dalam menafsirkan sebuah teks, subjektivitas tidak akan bisa terlepas dari seorang penafsir. Hal ini disebabkan oleh faktor sosio-kultural yang membentuk pola pikir dan karakteristik seorang penafsir. Misalnya ketika seorang penafsir lahir di lingkungan budaya patriarki, maka sedikitnya pola dan karakter tafsiran yang terkonstruksi akan banyak dipengaruhi oleh sosio-kultural patriarkis. Sebaliknya, ketika penafsir lahir dalam komunitas dan budaya matriarki maka, pola dan karakter tafsirannya akan banyak dipengaruhi oleh sosio-kultural matriarkis.

Dalam sejarah Islam, dominasi laki-laki jauh lebih kuat dibandingkan dengan perempuan, di mana mereka memiliki kontribusi besar dalam menafsirkan teks yang dibakukan dalam sebuah  kitab. Namun bagi sebagian orang, kitab hasil tafsiran ulama tersebut kemudian dinyatakan sebagai barang sakral, yang tidak boleh dikritisi, bahkan, diposisikan sebagai kitab suci ketiga agama Islam setelah al-Qur’an dan hadits. 

Melihat fenomena itu, Nasaruddin Umar mengatakan bahwa pada umumnya literatur-literatur klasik Islam yang ditulis oleh para ulama seperti kitab tafsir, fiqh, akhlak, dan tauhid disusun dalam perspektif androsentris, di mana laki-laki menjadi ukuran segalanya. Jika literatur-literatur klasik ini diukur dalam sudut pandang modern, banyak di antaranya dapat dinilai memiliki bias gender. Dalam mengkaji kitab-kitab tersebut diperlukan kesatuan yang koheren antara penulis atau penafsir dengan latar belakang sosial-kulturalnya.

Selain itu untuk mengurangi bias gender dalam pemahaman atau penafsiran teks kitab suci, dibutuhkan sebuah metode yang tepat hingga penafsir dapat memperoleh makna yang objektif. Bagi sebagian tokoh feminis, metode hermeneutik merupakan metode yang representatif dalam mengungkap misteri simbolik dalam teks, meski, istilah hermeneutika sendiri tergolong baru dalam tradisi keilmuan Islam. 

Syahdan, hermeneutika pada awalnya dikembangkan sebagai alat untuk menafsirkan buku-buku suci dan selanjutnya berkembang sebagai alat interpretasi sumber tertulis lain seperti sastra, budaya, sosiologi, dan lainnya. Adapun para pemikir yang mengembangkan metode hermeneutika ialah Friedrich Schleiermacher, Wilhelm Dilthey, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, dan Jacques Derrida. 

Jika ditelisik secara etimologis, kata hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuin yang berarti menafsirkan, dan dalam bahasa Inggris disebut hermeneutic. Dalam studi ke-Islaman, padanan kata yang paling dekat dengan makna hermeneutik adalah tafsir, ta’wil, syarah, dan bayan. Menurut Zygmunt Bauman, hermeneutika merupakan sebuah upaya menjelaskan dan menelusuri pesan serta pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kontradiktif atau masih kabur. Sedangkan Schleiermacher menjelaskan bahwa hermeneutika merupakan sebuah teori tentang penjabaran dan interpretasi teks mengenai konsep-konsep tradisional kitab suci dan dogma. 

Berbeda dengan Schleiermacher, Ricœur menyatakan bahwa hermeneutika merupakan interpretasi terhadap simbol dan sebuah teori pengoperasian pemahaman atas interpretasi terhadap teks. Apa yang diucap dan ditulis mempunyai makna lebih dari satu bila dihubungkan dengan konteks yang berbeda. Ricœur menyebut karakteristik ini dengan istilah polisemi, ialah sifat yang menyebabkan kata-kata mempunyai makna lebih dari satu bila digunakan di dalam konteks yang bersangkutan. 

Schleiermacher membagi dua tugas hermeneutika, ialah interpretasi gramatikal dan interpretasi psikologis. Bahasa gramatikal merupakan syarat berpikir setiap orang, sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan seseorang menangkap setitik dari pancaran pribadi penulis. Karenanya untuk memahami pernyataan pembicara, seseorang harus mampu memahami bahasa sebaik ia memahami kondisi kejiwaannya. Akan tetapi pada kenyataannya untuk memahami bahasa dan kondisi psikologis seseorang tidaklah mudah. Hal ini mendorong Schleiermacher kemudian menawarkan sebuah rumusan positif dalam bidang seni interpretasi, ialah rekonstruksi objektif-historis dan subjektif-historis atas sebuah pernyataan. 

Rekonstruksi objektif-historis dimaksudkan untuk membahas sebuah pernyataan dalam hubungan dengan bahasa sebagai keseluruhan. Sedangkan rekonstruksi subjek-historis dimaksudkan untuk membahas awal mula dari sebuah pernyataan dalam pikiran seseorang. Dari sini dapat diketahui bahwa tugas hermeneutika adalah memahami teks sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri, dan memahami pengarang teks lebih baik daripada memahami diri sendiri.

Menurut Ricœur, tugas sesungguhnya dari hermeneutika dapat digolongkan menjadi dua bentuk, ialah yang pertama mencari dinamika internal yang mengatur struktur kerja di dalam sebuah teks dan yang kedua mencari daya yang memiliki kerja teks untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan teks itu muncul ke permukaan. Sebuah teks selanjutnya tidak bisa terlepas dari tiga unsur ialah pertama intensi atau maksud pengarang, kedua situasi kultural, dan ketiga kondisi sosial pengadaan teks serta untuk siapa teks itu dimaksudkan. Ketiga unsur tersebut memaksa hermeneutika untuk melakukan dekontekstualisasi teks dan rekontekstualisasi teks. Dekontekstualisasi teks adalah materi teks yang melepaskan diri dari cakrawala intensi terbatas dari pengarangnya, sedangkan rekontekstualisasi teks adalah cara sebuah teks membuka diri terhadap kemungkinan dibaca secara luas oleh berbagai pembaca.

Dalam perkembangannya, kelompok feminis Islam mulai menggunakan hermeneutika sebagai alat interpretasi al-Qur’an, utamanya untuk mencari makna yang lebih integral dan holistik. Bagi kaum feminis, apa yang dihasilkan oleh ulama ortodoks dalam menafsirkan al-Qur’an mengandung bias gender, sehingga dibutuhkan sebuah metode baru yang mampu menggali lebih jauh makna tersembunyi dalam teks. 

Asma Barlas menyebutkan tiga metode untuk memahami teks al-Qur’an ialah, reading behind the text, reading the text, reading in front of the text. Bagi Barlas, metode hermenutika penting untuk diterapkan dalam rangka memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang maksud dan tujuan teks al-Qur’an yang kadang tanpa didasari memiliki prejudis bias gender. Tak hanya itu, menurut Barlas, Al-Qur’an memiliki dua suara yakni, laki-laki dan perempuan. Tuhan sendiri lintas gender dan tidak memiliki gender. Begitu juga dengan suara-suara yang terdapat dalam kitab suci al-Qur’an. 

Pertama, reading behind the text. It mean to reconstruct the historical ‘context from which the text emerged, bagaimana teks dilihat dalam kaitannya dengan sejarah tempat dan waktu teks itu muncul. Jika seseorang merujuk teks yang lahir masa lampau, teks bukan lagi dimilik oleh sang penyusun, melainkan setiap pembacanya. Pembaca bebas untuk menginterpretasikan hal yang dibacanya dalam sebuah teks. Dalam hal ini, penafsir harus mempertimbangkan faktor di luar teks yang menyebabkan teks itu lahir. Ada beberapa pendekatan yang bisa digunakan, ialah sosiologi, antropologi, dan sumber-bukti sejarah.

Kedua, reading the text adalah bagaimana teks itu diinterpretasi dan bukan pada hal yang di luar teks. Interpreter atau penafsir yang penuh dengan prejudice akan menghasilkan dialog dengan masa sebelumnya sehingga akan muncul penafsiran yang sesuai dengan konteks interpreter. Ketiga, reading in front of the text. It means to recontextualize it in the light of present needs, something that requires a double movement, from the present to the past and back to the present, ialah bagaimana teks bisa menciptakan pandangan-pandangan yang ideal. Ada nuansa-nuansa baru yang sifatnya produktif atau dalam bahasa teks ada keterkaitan antara the world of the text dengan the world of the author dengan the world of audience.

Pendekatan yang ditawarkan oleh Barlas berbeda dengan pendekatan Gadamer dalam memahami teks. Gadamer melihat teks dalam bingkai waktu ialah masa lampau (past), masa sekarang (present), dan masa yang akan datang (future). Dari ketiga pendekatan yang ditawarkan oleh Gadamer, Barlas mempunyai kecenderungan yang berbeda-beda, yang karenanya, ketiganya harus digunakan untuk saling melengkapi satu sama lain. Hasil interpretasi teks akan berbeda ketika hanya menggunakan salah satu dari ketiga pendekatan tersebut. 

Selain tiga pendekatan tersebut, Margot Badran juga menawarkan cara lain yang lebih praktis untuk menghindari bias gender dalam penafsiran teks. Yang pertama, merevisi ayat al-Qur’an untuk meluruskan cerita-cerita yang palsu dalam sirkulasi umum seperti termasuk penjelasan tentang penciptaan dan peristiwa-perstiwa di surga tentang cerita Adam yang menunjukkan klaim atas superioritas laki-laki. Kedua, mengutip ayat-ayat al-Qur’an yang menerangkan secara jelas kesetaraan laki-laki dan perempuan. Ketiga, mendekonstruksi ayat-ayat yang menerangkan perbedaan laki-laki dan perempuan yang secara umum ditafsirkan dengan cara yang cenderung didominasi oleh laki-laki.

Fatima Mernissi juga mempunyai konsep yang sama dengan para tokoh hermeneutika lainnya dalam menafsirkan teks kitab suci, khususnya al-Qur’an. Fatima menekankan pentingnya dekonstruksi sejarah dan penafsiran ulang atas ayat-ayat al-Qur’an. Dekonstruksi sejarah dianggap sangat penting untuk melihat seluruh perdebatan dan pergulatan yang berlangsung di seputar masalah perempuan dan gender. 

Dalam awal sejarah, perempuan Muslim sangat aktif dalam berbagai kegiatan publik mengalami penurunan di berbagai fase berikutnya. Bagi Mernissi, hal ini disebabkan oleh intervensi dan over-control dari penguasa Muslim. Lanjut Mernissi, mereka harus bertanggung jawab atas rendahnya pandangan masyarakat terhadap perempuan.

Tak hanya Mernissi, Amina Wadud juga menawarkan rekonstruksi metodologi tafsir yakni metode hermeneutika al-Qur’an yang selalu berhubungan dengan tiga aspek, ialah pertama, dalam konteks apa teks itu ditulis -atau dalam kaitannya dengan al-Qur’an- adalah dalam konteks apa ayat tersebut diturunkan. Kedua, bagaimana komposisi tata bahasa teks atau ayat tersebut, bagaimana pengungkapannya serta apa yang dikatakannya. Ketiga, bagaimana keseluruhan teks sebagai weltanschaung (pandangan dunia). Dengan hadirnya berbagai metode hermeneutika, diharapkan para pembaca bisa menangkap spirit dan ide-ide al-Qur’an (baik yang tersirat maupun tersurat) secara holistik dan integral, sehingga manusia tidak lagi terjebak pada pemahaman yang bersifat parsial dan bahkan bias gender.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.