Ilustrasi Immanuel Kant

Sistem filsafat Immanuel Kant disebut sebagai kritisisme yaitu filsafat yang memulai kajiannya pada pengenalan terhadap hal-hal yang bisa dilakukan oleh rasio dan batasan kemampuannya. Kritisisme, sebagai sistem filsafat atau sebagai aliran filsafat dibangun oleh Kant setelah menekuni Rasionalisme Jerman dan Empirisme Inggris.

Rasionalisme sebagai aliran filsafat lebih dulu ada dibandingkan dengan empirisme, tokohnya yang terkenal adalah Rene Descartes. Rasionalisme meyakini sepenuhnya -dalam arti hanya membenarkan- bahwa pengetahuan yang dapat dipercaya secara pasti benar itu diperoleh melalui akal budi. Indera bagi rasionalisme, hanya merupakan pengantar manusia untuk mengetahui sesuatu, namun indera tidak lagi dapat dipercaya sebab indera tidak mampu memverifikasi ataupun memvalidasi sesuatu. Akal budi-lah yang mampu melakukan itu, jadi rasionalisme mengatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh dari indera adalah pengetahuan yang kabur. Dalam sistem epistemologinya, Descartes mengatakan bahwa manusia memiliki tiga ide bawaan, yaitu ide pemikiran, ide keluasan, dan ide Allah.

Ketiga ide ini akan memberikan implikasi yang begitu kuat dalam sistem epistemologi Kant, sebab dari ketiga ide inilah Kant menyusun apa yang disebutnya sebagai 12 kategori penilaian.

Penekanan Kant terhadap rasionalisme begitu kuat. Kant mendapat pendidikan rasionalisme terlebih dahulu dibandingkan dengan empirisme. Walau demikian, berdasarkan pengakuannya sendiri bahwa “Aku dibangunkan dari tidur dogmatisku setelah bertemu Hume”,pun agaknya sistem empirisme Hume hanya berlaku pada tataran epistemologinya saja, itu pun hanya pada tahap pertama, yakni tahap pengamatan.

Kant tertarik pada empirisme Hume. Kita dapat temukan dalam sistem filsafat Hume sebuah empirisme yang amat elok dan radikal. Hume, misalnya, menolak sebab-akibat, baginya sebab-akibat sebagai metode atau sebagai pengetahuan tidak dapat memberikan pengetahuan yang pasti-benar, seperti kritiknya terhadap Locke yang mengatakan bahwa jika hari ini matahari terbit dari sebelah timur, maka esok hari pun akan terbit di sebelah timur pula. Bagi Hume, proposisi tersebut tidak bisa dipercaya kebenarannya, sebab perkataan ‘esok’ adalah sesuatu yang hanya bersifat kepercayaan belaka, belum dialami, karenanya tidak bisa dipercaya kebenarannya. Oleh karena itu Hume meyakini bahwa pengalamanlah yang menjadi satu-satunya sumber pengetahuan manusia, lainnya tidak dan sudah pasti keliru.

Walau begitu, Hume kurang konsisten ketika menjelaskan bahwa akal bekerja berdasarkan tiga prinsip, salah satu prinsip itu adalah prinsip sebab-akibat, di mana sesuatu ‘yang akan datang’ mungkin akan diketahui atau dirasakan ketika ‘saat ini’ kita sedang mengalami sesuatu. Sebagai contoh, kita merasakan kepedihan yang mendalam ketika melihat foto mantan kekasih yang cantik. Perasaan pedih itu adalah akibat dari aktivitas melihat foto yang merupakan sebab.

Dua aliran filsafat ini berpengaruh besar bagi Immanuel Kant, namun sekalipun Kant menyebut rasionalisme dan empirisme keduanya benar tapi berat sebelah, sebetulnya Kant juga berat sebelah, yakni berat kepada rasionalisme, sebab porsi empirisme dalam sistem filsafatnya amatlah sedikit, baik dalam sistem epistemologi maupun etika.

Sistem epistemologi dan etikanya, Kant mencoba untuk membuat rumusan yang pasti, karenanya dia menyebut ada 12 kategori penilaian, tiga ide transendental, dan tiga postulat rasio praktisnya. Semua ini dilakukannya agar filsafat memiliki sistem yang bersifat pasti, namun hal ini tentu saja bukanlah hal yang baru, Descartes tampaknya lebih dahulu melakukan hal ini daripada Kant. Agaknya, Revolusi Copernicus lebih baik disandang oleh Descartes dibandingkan Hume, sebab jauh sebelum Hume, Descartes telah menyatakan bahwa diperlukan suatu metode yang secara pasti harus berlaku bagi ilmu pengetahuan dan filsafat, yaitu metode kesangsian.

Metode kesangsian Descartes, sebetulnya lebih menarik dibandingkan sistem kritisisme Kant, sebab metode kesangsian tidak dibuat rumit terlebih dahulu dengan adanya tahap-tahap pengetahuan sebagaimana dalam epistemologi kritisisme, metode kesangsian lebih mudah dipahami dan dipraktikkan oleh setiap manusia, yakni dia harus meragukan segalanya. Dari sini ia menemukan sesuatu yang pasti-benar, yaitu dia yang sebut sebagai ragu-ragu. Hal ini adalah kebenaran absolut, tapi dalam sistem epistemologi kritisisme, orang perlu dahulu mengategorikan data-data indrawi yang diperolehnya berdasarkan 12 kategori untuk membuat putusan, katakanlah setelah data dikategorikan terdapat banyak sekali putusan, tapi putusan itu harus ada satu yang benar, kebenaran itu pun harus berdasarkan tiga ide transendental, yaitu ide jiwa, ide dunia dan ide Tuhan.

Walau demikian, paling tidak sistem kritisisme lebih canggih dan lebih rinci dibandingkan sistem rasionalisme dan -terlebih- empirisme. Dalam kritisisme, kita diberi tahu oleh Kant bahwa setiap benda yang ditangkap oleh indera bukanlah benda itu sendiri, melainkan gejala benda, kemudian gejala benda ini memperoleh bentuknya di dalam ruang, ruang adalah sesuatu yang apriori dalam diri manusia, ruang ada begitu saja dalam kesadaran manusia. Bentuk yang ditangkap indera itu, jika sifatnya lahiriah, seperti gambar api, maka ia akan berada di dalam ruang, adapun jika sifatnya adalah batiniah, seperti rasa panas, maka ia akan berada di dalam waktu. Ruang dan waktu adalah unsur apriori dalam sistem epistemologi kritisisme Kant, dan ini adalah keunggulan sistem epistemologi Kant dibandingkan Descartes.

Immanuel Kant juga memberikan sumbangan pemikiran terhadap metafisika. Menurut Kant, metafisika tradisional itu keliru, sebab metafisika tradisional hendak mengetahui sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh akal, Tuhan, misalnya. Bagi Kant, akal hanya mampu bekerja berdasarkan 12 kategori yang ditentukannya dan dibaginya menjadi empat: kuantitas, kualitas, relasi dan modalitas. Kant mengklaim bahwa Tuhan adalah transenden, Dia tak terbatas, sedangkan akal terbatas, karenanya tidak mungkin sesuatu yang terbatas memahami sesuatu yang tidak terbatas, terhadap Tuhan itu, maksudnya Keber-ada-an Tuhan, kita perlu kembali kepada iman.

Adalah menarik juga mengulas etika dalam sistem kritisisme. Di sini, Kant hendak mengatakan bahwa etika itu tidak dapat didefinisikan sekaligus tidak dapat dijelaskan, karenanya etika tidak dapat di verifikasi, dari itu, kita dapat memahami bahwa sistem etika kritisisme adalah preskriptif.

Kenapa akal tidak mampu memahami etika? Sebab Kant beranggapan bahwa etika itu dapat bekerja sebagai sebuah sistem berdasarkan tiga postulat: kehendak bebas, imortalitas jiwa dan adanya Tuhan. Ketiga ide ini harus ada begitu saja, menerima ide ini disebut sebagai iman. Agaknya dalam hal ini Kant tidak bisa memisahkan dirinya dengan agama.

Ada hal penting yang perlu diketahui dalam filsafat kritisisme, pemahaman terhadap hal ini akan membuat kita mengerti sistem epistemologi dan etika dari filsafat kritisisme. Hal itu adalah berkenaan dengan pandangan Kant yang membedakan antara akal dan rasio. Menurut Kant, kemampuan akal adalah mengolah data-data inderawi melalui pengamatan indera terhadap gejala sesuatu, itulah kemampuan akal, kinerja akal sebagai pengolah data itu tunduk pada 12 kategori, itulah batas kemampuan akal.

Putusan hasil olah akal itu kemudian perlu dibuat kesimpulan, dan kesimpulan itu dibuat berdasarkan tiga ide transendental, kesimpulan itu dibuat pada tahap rasio, pada tahapan ini, 12 kategori sudah tidak lagi berlaku, dan tahap rasio adalah tahap tertinggi dalam proses manusia untuk mengetahui dan membenarkan secara pasti pengetahuannya.

Rasio yang terdapat dalam sistem epistemologinya disebut oleh Kant sebagai rasio murni. Kemudian dalam menjelaskan sistem etikanya, kant menyebut rasio praktis. Dalam rasio praktis, tidak terdapat tahapan pengetahuan, rasio praktis langsung bekerja berdasarkan tiga postulat. Di sinilah kita dapat memahami mengapa etika Kant itu sifatnya imperatif kategoris atau preskriptif, karenanya urusan etika ini sebaiknya diserahkan kepada agama.

Tapi perlu diketahui, ini bukan berarti rasio ada dua. Rasio itu tetap satu, namun jika konteksnya adalah pengetahuan maka ia disebut sebagai rasio murni, jika konteksnya adalah tindakan maka ia disebut rasio praktis. Perlu pula diketahui bahwa Kant membagi imperatif menjadi dua, yaitu imperatif kategoris dan imperatif hipotetis. Imperatif kategoris sifatnya adalah mutlak, tidak bisa tidak, harus dilakukan, sedangkan imperatif hipotetis sifatnya adalah mungkin, bisa dilakukan dan bisa tidak dilakukan. Dalam sistem etikanya, Kant tetap mengatakan bahwa manusia memiliki kehendak bebas, bisa melakukan atau malah meninggalkan. Kehendak bebas itu apriori pada diri manusia, jika itu tiada, maka bukan lagi disebut manusia, bisa batu, mineral atau hal-hal lainnya.

Perihal kehendak bebas ini, amatlah penting bagi manusia. Kini kita dapat mengetahui berbagai informasi bahwa murid di kelas dibelenggu oleh gurunya, guru dibelenggu oleh kepala sekolah, kepala sekolah dibelenggu oleh orang dinas pendidikan, orang dinas pendidikan dibelenggu oleh orang-orang kementerian, sedangkan menteri pendidikan pura-pura tidak tahu apa yang terjadi di bawahnya. Dalam sistem etika yang dirumuskannya, Kant menyatakan bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Namun konsep ini memiliki permasalahan kontekstual, misalnya ketika seorang guru memiliki kehendak bebas untuk mengajarkan materi di luar kurikulum, ia terpaksa tunduk dengan kurikulum yang berlaku karena keharusan profesional. Kurikulum merdeka menjadi sebuah proyek kementerian untuk mencairkan dana program yang habis dilahap manusia yang tidak tunduk pada ide transendental. Ada apa dengan negeriku?

Kant meyakini adanya sebuah kehendak bebas, namun kehendak bebas itu dibatasi dengan kehendak Tuhan, dan secara imperatif kita perlu mengikuti kehendak Tuhan tanpa perlu bertanya ini dan itu, mengapa begini dan mengapa begitu, tak heranlah kiranya jika pak Sapardi dalam karyanya mengatakan: Bilangnya begini maksudnya begitu.

Ini agaknya lebih baik, sebab manusia hanya memiliki satu tuan dalam hidupnya yaitu Tuhan. Daripada yang terjadi pada sebagian orang yang kehendak bebasnya dibatasi dengan kehendak atasan, misalnya. Orang jenis kedua ini pada gilirannya akan terbelenggu dan akan terhinakan dimensi kemanusiannya.

Kehendak bebas yang tunduk pada selain ide-ide transendental akan melahirkan perbudakan, dan perbudakan itu amatlah keji dan jahat. Philip Kitcher, seorang naturalis, pernah menuliskan artikel yang berjudul Naturalising Kant yang diterbitkan oleh Kantian Journal. Philip Kitcher menyatakan bahwa setiap manusia memiliki kecenderungan dan keinginan masing-masing yang bersifat khas. Semua keinginan itu selanjutnya menjadi pertimbangan bagi negara untuk menyusun produk hukum yang tepat bagi semua pihak, baik bagi pembuat hukum maupun sasaran hukum. Walau demikian, Kitcher mengatakan bahwa harus ada satu tujuan yang hendak dicapai oleh setiap orang yang tujuan itu disepakati juga oleh orang lain, akhirnya tujuan itu menjadi tujuan bersama, walaupun dalam praktiknya akan berbeda, katakanlah keadilan sebagai tujuan bersama, pada praktiknya akan ada keadilan ekonomi, keadilan sosial dan keadilan lainnya yang pada tataran tertentu juga akan berbeda levelnya, walau demikian keadilan itu sendiri menjadi tujuan bersama suatu masyarakat, dan ide mengenai keadilan itu haruslah diperoleh melalui observasi dan dialog bersama seluruh lapisan masyarakat, walaupun sulit, ini harus tetap dilakukan, bagi Kitcher, untuk memuliakan manusia. (Kitcher, 2022)

Bahkan seorang naturalis pun tidak menghendaki adanya perbudakan, bagaimana dengan seorang muslim di negeri ini misalnya, yang meyakini bahwa manusia itu secara kemanusiaannya adalah sama, yakni khalifah Allah yang mengemban tugas untuk memakmurkan bumi, dan bagaimana seseorang hendak memakmurkan bumi apabila kehendak bebasnya direnggut? dibelenggu? oleh suara-suara bisu tak bertuan? Apakah mereka tidak mengerti? Ataukah sengaja melakukan ini? Apa mereka berpikir bahwa bunyi-bunyi yang kita suarakan kepada mereka itu ada atas izin dari mereka? Mereka pikir merekalah yang memiliki Indonesia beserta isinya. Bahkan mereka mungkin saja berpikir bahwa kehendak bebas itu diberikan dahulu oleh mereka, padahal kehendak bebas tidak perlu diberikan, ia ada pada rasio praktis manusia.

Muhammad Rifki Ramdhani

Mahasiswa Pascasarjana Filsafat Islam di Sekolah Tinggi Filsafat Islam Sadra Jakarta. Penulis buku Humanisme ZIS Chapter I: Risalah 700 Umat Terberdayakan, Humanisme ZIS Chapter II: Risalah Raga dan Rasa, dan Kupinang Kau dengan Filsafat.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.