fbpx

Apa itu Ruang?

Semua hal ada di dalam ruang. Tubuh kita mengisi sebagian dari ruang. Kita bergerak melalui ruang. Tapi apa itu sebenarnya ruang?
Astronaut di dalam ruang
Astronaut

Pegunungan tinggi yang terlihat begitu saja menghampar. Paus bagi banyak orang masih dianggap sebagai ikan. Jarak antara bintang-bintang mengisi luasnya angkasa. Semua hal ini ada di dalam ruang, dan begitu juga dengan kita (manusia). Tubuh kita mengisi sebagian dari ruang. Ketika kita berangkat menuju tempat kerja, kita bergerak melalui ruang. Tapi apa itu sebenarnya ruang? Bahkan, apa yang dimaksud dengan entitas? Pada tahun 1717, sebuah polemik berlangsung untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Bahkan terus berlanjut hingga 300 tahun kemudian.

Anda mungkin berpikir bahwa para fisikawan telah berhasil “memecahkan” permasalahan mengenai Ruang. Orang-orang seperti matematikawan Hermann Minkowski dan fisikawan Albert Einstein mengajari kita untuk memahami Ruang dan Waktu sebagai kesatuan kontinuitas, membantu kita memahami bagaimana hal-hal yang sangat besar dan sangat kecil seperti pergerakan atom-atom. Meskipun begitu, kita belum dapat memecahkan pertanyaan tentang apa itu Ruang. Pikirkanlah pertanyaan ini, jika Anda menyedot semua materi dari alam semesta, apakah ruang akan tetap tinggal (tetap ada)?

Fisika abad ke-21 bisa dibilang kompatibel dalam menjawab pertanyaan mengenai Ruang, dengan dua penjelasan yang sangat berbeda: melalui pandangan “Relationisme dan “Absolutisme”. Kedua pandangan ini berhutang kepada Caroline dari Ansbach (1683-1737), seorang Ratu Inggris Raya kelahiran Jerman, yang karenanya, kedua aliran tersebut dapat dikenal luas.

Caroline adalah seorang filsuf yang dikenal ambisius dalam mendalami filsafat. Sifat ambisiusnya terlihat dengan keterlibatannya dalam memulai sebuah polemik filsafat. Di awal abad ke-18, ia secara sengaja mengadu dua aliran filsafat yang sedang terkemuka pada masa itu. Di Eropa daratan, para filsuf mengalami kebuntuan dengan “rasionalisme”, yang membangun keseluruhan teori pengetahuannya secara a priori. Sementara itu, para filsuf Inggris sedang mengembangkan “empirisisme” yang diilhami sains – teori pengetahuan yang berlandaskan observasi langsung. Para filsuf Inggris ini mengagumi ilmuwan seperti Robert Boyle dan Isaac Newton.

Caroline memulai polemiknya dengan cara, meminta dua filsuf untuk saling bertukar surat. Salah satunya adalah filsuf Jerman Gottfried Leibniz, seorang filsuf rasionalis yang sangat terkenal. Seorang filsuf lainnya ialah Samuel Clarke, seorang filsuf yang berteman dekat dengan Newton. Kedua orang itu setuju untuk memenuhi permintaan Caroline, dan hasil dari pertukaran surat mereka – yang berisikan diskursus mengenai Ruang – diterbitkan pada tahun 1717 yang diberi judul A Collection of Papers. Judul yang terdengar kurang menarik untuk sebuah esai filosofis yang bernilai revolusioner. Dan salah satu isu sentral mereka di dalam esai itu adalah mengenai Sifat Ruang.

Kesegalaan atau ketiadaan?

Apakah terdapat ruang di antara bintang-bintang di angkasa? Leibniz – yang seorang relasionalis – berpendapat bahwa Ruang adalah hubungan spasial antara hal-hal yang bersifat fisik. Australia adalah “selatan-nya” Singapura. Pohon itu “berjarak tiga meter dari” semak tersebut. Sean Spicer ada “di balik” semak. Itu berarti Ruang, sebagaimana penjelasan Leibniz, tidak akan ada secara independen dari hal-hal yang dihubungkannya – Ruang memiliki fungsi sebagai penghubung antar satu hal ke hal lainnya. Bagi Leibniz, jika segala hal tidak ada, maka tidak akan ada hubungan spasial. Jika alam semesta kita hancur, maka Ruang pun tidak akan ada.

Sebaliknya, Clarke – yang mana ialah seorang absolutis – berpendapat bahwa Ruang adalah semacam substansi yang ada di mana-mana. Ruang adalah wadah raksasa, berisi semua hal di alam semesta; bintang-bintang, planet-planet, makhluk hidup; termasuk kita manusia. Ruang memungkinkan kita memahami bagaimana benda bergerak dari satu tempat ke tempat lain, juga mengenai bagaimana seluruh alam semesta material kita dapat bergerak melalui Ruang. Terlebih lagi, Clarke berpendapat bahwa Ruang adalah sesuatu yang bersifat ilahi; Ruang adalah kehadiran Tuhan di dunia. Di satu sisi, Ruang adalah Tuhan. Bagi Clarke, jika alam semesta telah hancur, maka Ruang akan tetap ada. Sama seperti Anda tidak dapat menghapus Tuhan, Anda juga tidak dapat menghapus Ruang.

Surat-surat Leibniz-Clarke – yang berisikan diskursus mengenai Ruang – sangat mempengaruhi pemikiran awal abad ke-18, di Eropa. Pemikir besar seperti Newton, yang sudah terlibat dalam perdebatan tersebut, semakin terlibat lebih dalam. Newton berpendapat bahwa Ruang lebih dari sekedar hubungan antara objek material. Dia berpendapat Ruang adalah entitas mutlak, bahwa segala sesuatu bergerak dalam kaitannya dengan Ruang. Hal ini menyebabkan perbedaan antara gerakan “relatif” dan “mutlak”. Bumi bergerak relatif terhadap benda-benda material lainnya, seperti matahari, tetapi juga bergerak secara mutlak – berkaitan dengan Ruang.

Filsuf lainnya yang kemudian turut terlibat, adalah Immanuel Kant. Ia percaya, bahwa Ruang hanyalah sebuah konsep yang digunakan manusia untuk memahami dunia, bukan sebuah entitas yang nyata. Bukan hanya para filsuf dan fisikawan saja yang memiliki pandangan mengenai Ruang. Berbagai macam orang dengan profesi yang berbeda-beda juga memiliki pendapatnya masing-masing.  Terdapat satu pandangan yang sangat menarik, dikarenakan tidak seperti diskursus mengenai Ruang sebelumnya, yang dapat ditemukan di dalam karya Thomas Amory pada tahun 1755 – Memoirs: Containing the Lives of Several Ladies of Great Britain.

Permasalahan dengan Tuhan

Orang-orang sangat gelisah mengenai pandangan Clarke yang berpendapat bahwa Ruang adalah Tuhan. Dan pertanyaan-pertanyaan kritis pun bermunculan sebagai tanggapan atas pendapat Clarke mengenai Ruang; Apakah itu berarti kita bergerak melalui Tuhan sepanjang waktu? Tuhan tidak hanya melihat segalanya, Dia juga ada di mana-mana? Mereka juga menjadi khawatir dengan segala sesuatu yang berukuran besar; Seperti paus yang menempati lebih banyak Ruang daripada para Nabi, apakah itu berarti paus lebih suci? Karena gunung juga memiliki ukuran yang begitu besar, apakah berarti gunung seperti Tuhan?

Bertrand Russell – filsuf besar abad ke-20 – pernah menuliskan pendapatnya bahwa kita tidak boleh menilai sesuatu dari ukurannya saja, “Sir Isaac Newton berukuran jauh lebih kecil dibandingkan kuda nil, tetapi kita tidak akan menilai dia (Newton) lebih rendah derajatnya dibandingkan binatang yang memiliki ukuran lebih besar darinya,” tulisnya. Beberapa pemikir abad ke-18 pasti akan tidak setuju dengan tanggapan atas pandangan Clarke yang seperti itu – mereka khawatir karena harus memuja kuda nil daripada Newton.

Hari ini, konsep Tuhan menghilang dari perdebatan macam itu. Namun beberapa filsuf kontemporer, seperti Tim Maudlin dan Graham Nerlich berpikir bahwa teori-teori fisika saat ini memang mendukung pandangan Clarke (tanpa mengikut sertakan argumentasi dari sudut pandang agama). Ruang-Waktu adalah satu wadah besar, dan kita semua bergerak di dalamnya.

Filsuf lainnya, seperti Kenneth Manders dan Julian Barbour, menganggap teori fisika – mengenai Ruang – saat ini sudah memiliki penjelasan terbaik dan sesuai dengan kedua pandangan tersebut, dan ada alasan lain untuk menerima bahwa teori Leibniz benar. Jika fisika benar-benar cocok dengan absolutisme atau relasionalisme, maka mungkin kita harus memilih relasionalisme sebagai teori yang lebih sederhana? Lagi pula, mengapa menempatkan entitas berukuran besar yang bertindak seperti wadah jika kita tidak perlu melakukannya?

Sebagai sejarawan yang berfokus pada subjek Ruang dan Waktu, saya terpesona oleh bagaimana perdebatan tersebut telah berkembang, bagaimana sesuatu yang dimulai 300 tahun yang lalu telah berkembang begitu pesat. Jelas, meskipun esai Leibniz-Clarke tidak populer di luar studi filsafat, perdebatan yang mereka mulai terus berlanjut hingga saat ini. Caroline dari Ansbach memiliki banyak jawabannya.


Ditulis oleh Emily Thomas (Associate Professor of Philosophy, Durham University) dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Ginayuh Rais Anggito. Sumber artikel https://theconversation.com/what-is-space-the-300-year-old-philosophical-battle-that-is-still-raging-today-85628.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content