Kendati Beauvoir tidak mengatakan bahwa dirinya adalah seorang filsuf, namun tak dapat sangkal bahwa ia merupakan salah satu filsuf sekaligus ikon feminis terbesar di abad ke-20. Sarah Bakewell bahkan menyatakan karya Beauvoir yang berjudul The Second Sex sebagai “karya eksistensialis paling transformatif yang pernah ada”. The Second Sex melahirkan sebuah gelombang feminisme baru berdasarkan pengaruhnya yang luar biasa terhadap isu opresi wanita dan legalisasi aktivitas aborsi di Perancis di tahun 1971. Sehingga pada tahun 2016, Simone de Beauvoir pun dinominasikan Time sebagai salah satu penulis paling berpengaruh di abad ke-20 sekaligus salah satu penulis wanita yang karyanya paling banyak dibaca di lingkungan perguruan tinggi.
Berdasarkan hal-hal di atas, nampaknya Beauvoir selalu diidentikkan sebagai kekuatan intelektual yang menggerakkan persamaan hak seksual, dan merupakan seorang figur yang layak untuk mendapatkan penghormatan yang besar. Namun begitu, selama hidup ia banyak dikritik dan memiliki banyak musuh/rival. Saat The Second Sex dipublikasikan, Albert Camus bahkan sempat berpendapat bahwa Beauvoir membuat “Para pria Perancis terlihat konyol”.
Kritik juga datang dari para feminis lainnya yang menuduh Beauvoir mengadvokasi/membela nilai-nilai maskulin dengan mengorbankan nilai-nilai feminin, serta melakukan generalisasi yang berlebihan mengenai pengalaman-pengalaman yang dialami oleh para wanita. Ia pun tak luput dianggap melihat dunia dan sejarah hanya lewat kacamata wanita Paris kulit putih a la kelas menengah-nya. Tetapi bila menilik apa yang terjadi di dunia Barat sekarang, contohnya seperti perubahan legal dan struktural yang membebaskan peran kolot hingga tujuan hidup para pria dan wanita (adanya birth control, no-fault divorce, pernikahan sesama jenis), sejatinya itu merupakan representasi dari kebebasan yang dahulu diperjuangkan oleh Beauvoir. Walaupun begitu, kontribusi Beauvoir tak hanya terbatas tentang ketertarikan historis saja: pandangan Beauvoir akan cinta pun tetap vital sifatnya, sebab Beauvoir mengidentifikasi bagaimana sebuah hubungan dapat membatasi, memodifikasi, hingga memperluas kebebasan kita. Begitu pula Beauvoir menekankan pentingnya untuk membebaskan diri kita dari belitan rantai psikososial— entah itu yang datang dari diri sendiri maupun dipaksakan terhadap kita— agar kita bebas untuk hidup dan mencintai dengan cara-cara yang bermakna secara otentik. Berikut merupakan ide-ide Beauvoir mengenai authentic love.
Authentic Love (Cinta yang Otentik)
Meski dikenal sebagai filsuf yang mendeskripsikan pengalaman cinta, namun Beauvoir sebenarnya lebih mengutamakan persoalan dimensi moral dari cinta. Pada karyanya yang berjudul Ethics of Ambiguity, ia membedakan antara apa yang disebut dengan maniacal loving (mencintai secara tergila-gila) dan generous loving (mencintai dengan tulus/tanpa syarat). Maniacal loving didominasi oleh nafsu untuk memiliki. Sedangkan sebaliknya, generous loving justru merupakan tindakan “menolak segala aksi memiliki” (Beauvoir, 1983: 67). Pada karyanya yang lain yang berjudul The Second Sex, Beauvoir lebih suka menyebutnya dengan istilah cinta yang “otentik”:
Authentic love mesti timbul dari kesadaran resiprokal (saling berbalas) antar dua kebebasan; tiap pasangan nantinya akan mengalami menjadi dirinya sendiri sekaligus menempatkan dirinya sebagai yang lain: tiap pasangan tidak ada yang melepaskan nilai transendensi mereka maupun ‘memutilasi’ diri mereka sendiri; bersama-sama mereka akan mengungkap nilai dan tujuan hidup mereka di dunia. Bagi tiap-tiap dari mereka, cinta akan menjadi penyingkap jati diri melalui aksi diri yang memberi dan pengayaan alam semesta.
(Beauvoir, 1983: 706)
Kutipan di atas merupakan definisi inti yang menjadi landasan semua bentuk aksi mencintai menurut Beauvoir. Mencintai berarti mencakup rasa rela memberi, kerendahan hati, ekualitas, dan di atas semuanya, ia mesti merupakan sebuah bentuk “pertukaran tanpa harga” (Beauvoir, 1949: 732).
Bagi Beauvoir, kebebasan bersifat sentral (paling utama): kita wajib bebas dari opresi sosial, ekonomi, dan legal agar dapat bebas menciptakan hubungan yang bermakna secara otentik. Ini secara langsung sejalan dengan maksim/ajaran eksistensial “eksistensi mendahului esensi”: kita terlempar ke dunia bersamaan dengan banyak hal yang tak kita pilih, seperti badan kita dan aneka situasi yang kita alami; namun kita sejatinya (secara fundamental) bebas. Dan kita sepatutnya menyadari kebebasan kita tersebut dengan cara aktif memilih keputusan-keputusan dalam hidup kita, mendorong diri kita pada proyek-proyek/rencana-rencana yang kita pilih sendiri secara sadar, dan berani mengambil berbagai risiko. Dengan kata lain, kita menciptakan dan menemukan makna dalam hidup kita dengan cara “transcending”, yakni dengan melontarkan diri kita kepada dunia seraya melampaui situasi-situasi (faktisitas) yang telah diberikan pada kita, baik itu dalam konteks menjalin hubungan maupun aktivitas-aktivitas lainnya.
Salah satu dari pertanyaan fundamental yang berkenaan dengan filsafat Beauvoir dan eksistensialisme secara umum ialah, hingga batas mana kita bisa membuat pilihan-pilihan hidup yang bermakna secara otentik. Beauvoir memahami bahwa ada banyak ragam limitasi yang tersemat pada kebebasan kita. Pada anak-anak, contohnya, mereka tidak bisa bertanggung jawab atas hidup mereka sendiri hingga mereka melihat diri mereka sendiri sebagai seorang agen dan memahami diri mereka sendiri berdasarkan lika-liku garis hidup mereka di masa lalu, masa kini, dan masa depan (Beauvoir, 1948: 27). Bahkan, sebagai orang dewasa pun, kita masih dihadapkan pada hal-hal yang membatasi kebebasan kita. Contohnya, kita tidak bisa banyak berbuat apa-apa terhadap apa yang namanya bencana alam. Beauvoir percaya bahwa kita mesti menyadari jika musim kekeringan, banjir, atau wabah belalang sekalipun, sederhananya merupakan aspek-aspek dari faktisitas kita— (walau kekurangannya, dalam hal ini Beauvoir mengabaikan perubahan-perubahan iklim yang berasal dari ulah manusia) (Beauvoir, 1948: 81-82).
Kemiskinan, ketidakpedulian, dan opresi juga menjadi belenggu untuk kebebasan kita. Beauvoir utamanya amat memperhatikan bagaimana peran-peran gender wanita yang ada (di masyarakat) merintangi kebebasan mereka. Sepanjang mayoritas sejarah, para pria telah menindas para wanita dan menghalangi para wanita untuk melancarkan kebebasan mereka. Dalam diri para wanita pun telah ditanamkan imanensi (cara berpikir dalam diri), bahwa takdir mereka normalnya ialah mengabdi pada para pria, dan secara utuh menjadi “untuk yang lain” (for-others). Secara umum, para wanita eksis/ada sebagai properti para pria— yang awalnya merupakan milik dari seorang ayah lalu diberikan kepada seorang suami— dan tidak eksis/ada sebagai subjek yang memiliki kendali atas dirinya sendiri.
Meskipun begitu, tak semuanya bisa dipersalahkan pada pria. Sebab, Beauvoir menekankan bahwa para wanita juga ikut terlibat pada aksi peng-subordinasi-an (pe-nomor dua-an) gender mereka. Pembatasan-pembatasan/larangan-larangan yang telah disebutkan tadi bisa jadi merupakan sesuatu yang justru membuat wanita terlena. Pasalnya, hal-hal tersebut membebaskan wanita dari tanggung jawab akan hidupnya sendiri. Memanglah lebih mudah menjalankan peran yang sudah ‘tertulis’ di masyarakat ketimbang menciptakan jalan milik kita sendiri. Sebagai contohnya, seorang wanita yang meninggalkan pasangannya yang zalim/tiranis akan berisiko terpapar kemiskinan dan kesendirian. Sehingga, ia (si wanita) akan lebih memilih ‘sangkar emas’ tersebut daripada bertumpu pada dirinya sendiri. Beauvoir tidak memungkiri bahwa menjalani eksistensi yang didasarkan pada pilihan sendiri datang dengan harga yang sangat mahal. Namun bergantung pada yang lain pun juga merupakan bentuk devaluasi (pengurangan harkat) terhadap diri sendiri. Lebih jauh lagi, itu merupakan manifestasi dari bentuk kekecewaan dan mauvaise foi (bad faith), karena hal itu merupakan sebuah bentuk pelarian dari pembenaran hidup seseorang.
Pasangan kekasih akan lebih mudah menjadi posesif dan tiranis ketika mereka menjadikan satu sama lain sebagai satu-satunya alasan untuk hidup. Pada kasus sebelumnya, seseorang melemahkan kebebasan mereka sendiri. Hingga pada akhirnya, ia kelak melemahkan kebebasan yang lain. Seseorang bisa memilih untuk tidak memilih, namun Beauvoir menganggap pilihan tersebut sebagai tindakan yang malas dan membinasakan diri sendiri (Beauvoir, 1949: 16). Seseorang ialah cerminan dari tindakan mereka, dan apabila seseorang secara pasif hanya ‘melayang-layang’ sepanjang hidupnya, atau dalam kata lain menolak untuk beraksi secara positif sekaligus menjadi agen bagi hidupnya sendiri, maka ia adalah suatu ketiadaan (Beauvoir, 1949: 270).
Sebaliknya, dalam hubungan yang otentik, baik kedua pasangan umumnya tidak ada yang memberikan definisi-diri nya (semacam memaksakan kehendak) pada satu sama lain. Pada karya novel pertamanya yang berjudul She Came to Stay, Beauvoir menggambarkan hubungan yang ideal sebagai hubungan yang penuh kasih sayang, saling respek, saling percaya— dan ibarat sebuah pertemanan. Yang dimaksud dengan pertemanan di sini adalah saling tahunya kedua belah pihak akan kebebasan masing-masing pasangan, yang mana artinya tidak ada unsur egoisme dan tidak ada keinginan untuk saling mengontrol satu sama lain (Beauvoir, 1943: 303). Cinta memang bisa ada meski jalannya tanpa ibarat sebuah pertemanan. Namun, karakter utama novel ini yang bernama Françoise berkata bahwa cinta semacam ini adalah cinta yang ‘malang’, karena itu ibarat memperlakukan pasangan bak sebuah objek (Beauvoir, 1943: 237).
Penggambaran yang ditawarkan Beauvoir pada She Came to Stay konsisten dengan pandangannya yang lebih luas mengenai hubungan yang ideal. Sebagai contoh, Beauvoir menyatakan bahwa kendati kedudukan cinta cenderung berada di antara garis ketamakan dan kemurahan hati (rela memberi), sejatinya kunci untuk menciptakan hubungan yang otentik adalah dengan menghilangkan nafsu ingin saling memiliki, serta lebih banyak memperjuangkan unsur timbal-balik dan kolaborasi antar satu sama lain. Dalam karya-karyanya, Beauvoir menyebutkan berbagai macam jenis kolaborasi cinta yang memungkinkan untuk dijalani, termasuk membangun sebuah rumah, membesarkan keturunan, atau berbagi dalam sebuah pergumulan/permasalahan (struggle) yang lazim terjadi dalam hidup. Seperti ketika Clarice bertanya pada Jean-Pierre dalam karya novel Beauvoir yang berjudul Who Shall Die, “Bagaimana cara seseorang mencintai ‘di atas muka bumi ini’?”, yang lantas dijawab, “Cukup bergabunglah pada sebuah pertengkaran (rumah tangga) yang biasa terjadi“ (Beauvoir, 1943: 48).
Sayangnya, meski Beauvoir mendewakan konsep pertemanan sebagai sebuah fondasi ideal untuk cara mencintai yang otentik, ia hanya memberikan sedikit analisis filosofis mengenai hal itu. Beauvoir meninggalkan fakta bahwa pertemanan dalam hubungan romantik pun juga rawan akan permainan kekuasaan dan manipulasi. Terlebih lagi, contoh konkrit akan hubungan otentik yang terbukti berhasil tak banyak ditemukan dalam tulisan Beauvoir. Sebagai contoh, walau Françoise dan Pierre dalam novel She Came to Stay mengilustrasikan elemen-elemen dari hubungan yang otentik— termasuk unsur kebebasan romantik, saling respek, dan adanya kebebasan rencana-rencana pribadi— novel tersebut cenderung kebanyakan menggarisbawahi tantangan-tantangan dan kecemasan-kecemasan dalam hubungan yang akarnya datang dari rasa posesif, rasa cemburu, dan keinginan akan rasa aman (Beauvoir, 1943: 159). Hal-hal yang telah disebutkan lantas didampingi dengan solusi-solusi yang sangat problematis, seperti contohnya pembunuhan. Di karya novelnya yang lain, The Mandarins, Anne dan suaminya, Robert, juga saling respek terhadap kebebasan satu sama lain. Namun begitu, hal ini masih jauh dari status hubungan ideal: novel ini berakhir dengan Anne yang menganggap bahwa profesinya adalah sebuah lelucon, bahwa Robert akan sama saja bahagianya apabila bersama wanita lain atau melajang, sehingga akhirnya Anne pun berpikiran untuk bunuh diri (Beauvoir, 1943: 607, 610).
Namun bahkan jika mencintai secara otentik tetaplah hanya bersifat hipotetis, ia tetaplah sebuah ide yang layak untuk diperjuangkan. Mencintai secara otentik menghadirkan lebih banyak tantangan terhadap para wanita ketimbang para pria karena situasi opresif yang mereka alami, dan inilah yang menjadi fokus Beauvoir dalam The Second Sex. Ia berpendapat bahwa para wanita telah berusaha untuk melancarkan kebebasan mereka, baik dengan cara merangkul penjara maternal dan pertalian suami-isteri yang mereka dapatkan, maupun melalui ranah cinta seksual. Akan tetapi, selama para wanita masih bergantung pada para pria, strategi-strategi ini akan tetap terjebak dalam kubangan sadomasokisme (Beauvoir, 1949: 664).
Daftar Pustaka
Bakewell, Sarah. At the Existentialist Cafe. New York: Other Press, 2016
Beauvoir, Simone de. She Came to Stay (1943). Diterjemahkan oleh Yvonne Moyse dan Roger Snhouse. London: Fontana, 1975
Beauvoir, Simone de. Who Shall Die? (1945). Diterjemahkan oleh Claude Francis and Fernande Gontier. Florissant, MO: River Press, 1983.
Beauvoir, Simone de. The Ethics of Ambiguity. Diterjemahkan oleh Bernard Frechtman. Secaucus, NJ: Citadel Press, 1948.
Beauvoir, Simone de. The Second Sex (1949). Diterjemahkan oleh Constance Borde and Sheila Malovany-Chevallier. New York: Alfred A. Knopf, 2011.
Beauvoir, Simone de. The Mandarins (1954). Diterjemahkan oleh Leonard M. Friedman. New York and London: W. W. Norton & Company, 1991.
Artikel ini ditulis oleh Skye C. Cleary dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Karina Puspita Sari.
satu Respon