Hidup bagaikan khalayak ramai (life in the crowd)

Bagaimana cara menjadi individu yang orisinil? Filsuf eksistensialis, Kierkegaard dan Heidegger, mencoba memberikan analisis mengapa kita sulit menjadi diri yang sejati.
Narcissus karya John William Waterhouse
Lukisan Narcissus karya John William Waterhouse.

Hidup bagaikan khalayak ramai menurut Kierkegaard

Suatu ide oposisi yang selalu diperdebatkan pada karya Kierkegaard ialah pada dua opsi alternatif untuk menjalani hidup, yakni hidup sebagai seorang individu yang orisinil atau hidup bagaikan khalayak ramai. Pada opsi yang kedua, Kierkegaard memahami bahwa “ketimbang memilih menjadi dirinya, seseorang lebih memilih untuk hanya menjadi sebuah angka, sebagai satu lagi manusia biasa pada umumnya, sebagai satu lagi repetisi dalam ke-sama-an yang tiada habisnya”. Seakan-akan, manusia membiarkan “dirinya untuk selalu ditipu oleh manusia yang lain”. Manusia merasa bahwa adalah suatu hal yang berisiko untuk “menjadi dirinya sendiri, dan lebih mudah serta lebih aman untuk menjadi seperti orang lain, yakni menjadi bagian dari khalayak ramai”. Atau seperti yang disebutkan dalam buku Kierkegaard yang berjudul The Sickness unto Death (11: 150), “(manusia diibaratkan) tampil halus berkilap bak sebuah batu koral, namun hidupnya beredar begitu saja bak sebuah koin bekas yang sudah digunakan”. 

Bagaimana bisa manusia hidup seperti itu? Hal ini terjadi karena para manusia terpenjara oleh aneka ketertarikan mereka yang bersifat duniawi dan temporal. Menjadi seperti khalayak ramai diasumsikan mengikat berbagai keinginan, kesenangan, dan kesengsaraan manusia secara lahiriah terhadap akhiran-akhiran yang relatif sifatnya. Atau dalam kata lain, hal ini seperti sebuah manifold. Manusia seperti inilah yang nantinya akan hanyut dalam manifold ke-duniawi-an, melupakan jati dirinya karena ia terlanjur menenggelamkan dirinya pada sikap dan kelakuan milik orang lain, hingga segala pemikiran, kata-kata, dan perbuatannya akhirnya ikut ditentukan oleh orang lain pula. 

Kierkegaard menggolongkan hidup ini ke beberapa unsur determinasi yang berbeda. Salah satu determinasi yang paling kerap disebut-sebut ialah busyness (unsur kesibukan). Ketika seorang manusia disibukkan oleh sesuatu, maka penting untuk tidak hanya melihat proses kesibukannya melainkan juga objek dari kesibukan tersebut. Sehingga, busyness menurut Kierkegaard bukanlah suatu bentuk determinasi psikologis, melainkan merupakan suatu keadaan ketika seorang manusia bisa damai bertaut dengan suatu manifold kala menyibukkan dirinya.

Namun, dari sini muncullah suatu isu yang berbunyi bahwa seseorang tidak akan bisa membuat sebuah keputusan yang tepat dalam hidup. Sebuah keputusan, secara esensial ternyata tidak hanya dihasilkan oleh pemikiran suatu individu, tetapi juga dihasilkan atas sesuatu yang ada di luar diri individu tersebut. Seperti contohnya, keputusan bisa saja dibuat berdasarkan opini lingkungan sosial, opini publik, hingga gosip-gosip kampung yang beredar di sekitar seorang individu. Atau dalam kata lain, seorang manusia tidak akan pernah bisa bertindak dengan hanya bermodalkan pertimbangan etis saja. 

Lebih jauhnya, manusia condong membandingkan hidupnya dengan hidup orang lain. Ada suatu paradoks yang menarik di mana ketika seseorang memilih jalan hidup bagaikan khalayak ramai, seseorang itu justru ingin menjadi berbeda dari yang lain. Atau lebih tepatnya, menjadi lebih unggul daripada yang lain. Ketika hal ini terjadi, maka Kierkegaard berpendapat bahwa manusia yang seperti itu sejatinya telah menipu dirinya sendiri. Mengapa begitu? Karena yang menyediakan standar perbandingan itu tetap adalah orang lain. Apapun hasil yang keluar dari perbandingan tersebut, entah itu dengan cara menjadi lebih unggul atau menjadi lebih rendah dari yang lain, maka hidup orang tersebut akan tetap “diserahkan” kepada orang lain; sebab merekalah yang telah menyediakan standar yang sudah sama-sama disetujui tersebut.

Dan apapun yang terjadi setelah melakukan sebuah perbandingan hidup dengan orang lain, entah itu menjadi sosok yang lebih unggul atau menjadi lebih rendah, maka hasilnya akan tetap mengarah ke rasa kekhawatiran yang hebat akan kehidupan. Pasalnya, ketika seseorang menjadi lebih rendah, kekhawatirannya akan berkisar pada bagaimana cara untuk menjadi/mencapai “sesuatu” di dunia. Sedangkan ketika seseorang menjadi lebih unggul, kekhawatirannya berubah menjadi bagaimana cara untuk menjadi lebih unggul lagi dari sebelumnya atau ketakutan akan “jatuh” dari posisi keunggulannya yang sekarang.

Hidup bagaikan khalayak ramai ibaratnya sebuah aksi fanatis, yakni aksi untuk hidup dalam sebuah fantasi di mana seseorang hanya bisa lepas dari fantasi tersebut ketika ia mencoba menghindari jalan hidup yang biasa dipakai oleh orang lain. Hidup bagaikan khalayak ramai sama buruknya dengan ingin mengetahui lebih banyak mengenai diri sendiri namun lewat relasi perbandingannya dengan kehidupan orang lain. Dengan begini, seorang manusia tidak pernah menjadi dirinya sendiri, dan justru semakin menjauhkan diri dari dirinya sendiri. Perlu diketahui pula, bahwa adapun hal yang lebih dungu lagi ialah ingin mengetahui tentang diri sendiri berdasarkan pengetahuan diri yang disampaikan oleh orang lain. Sebab orang lain saja tidak mengetahui soal dirinya sendiri, alias mereka hanya tahu soal cerminan kehidupan orang lain. Sebagaimana Heidegger menyebutnya: “one” is “no one”.      

Masih berhubungan erat dengan pernyataan sebelumnya, dapat digambarkan bahwa hidup ini adalah sebuah hidup yang penuh akan khayalan. Hidup bagaikan khalayak ramai, utamanya dalam konteks kehidupan sosial, mengarah pada berbagai ilusi. Dalam bukunya Works of Love, Kierkegaard mengungkapkan bahwa kehidupan sosial (kehidupan yang terikat dengan ikatan komunal) terdiri atas sebuah khayalan akan apa itu cinta. Dilihat dari perspektif ikatan komunal, self-love (rasa cinta pada diri sendiri) adalah suatu fenomena akan rasa egois dalam sebuah isolasi. Sementara cinta secara umum dipahami sebagai aktivitas saling egois yang dilakukan bersama-sama dengan yang lainnya. Pada akhirnya, hidup dalam ikatan komunal memang mengharuskan kita untuk melakukan pengabdian dan bahkan mungkin pengorbanan, dan dunia memberikan ilusi bahwa itulah cinta, tanpa mempertimbangkan bahwa ada unsur egoisme dalam pengorbanan tersebut (karena pada dasarnya pengorbanan itu dilakukan untuk kepentingan si pelaku pengorbanan). Sebagai contoh, ketika orang tua mengorbankan diri mereka untuk anak-anak mereka, maka umumnya itu sudah pasti disebut sebagai rasa cinta, hanya karena seseorang melihatnya sebagai bentuk aksi pengorbanan, tanpa mempertimbangkan bahwa orang tua melakukan itu karena anak tersebut adalah ibarat (jika ditinjau dari perspektif yang ekstrim) properti milik orang tua.

Hubungan pemikiran Kiekegaard dan Heidegger tentang hidup bagaikan khalayak ramai

Ide oposisi mengenai dua opsi alternatif untuk menjalani hidup, yakni hidup sebagai seorang individu orisinil atau hidup bagaikan khalayak ramai, juga memiliki peran yang sama pentingnya dalam filosofi Heidegger. Ide posisi ini – yang mana senada dengan ide perbedaan antara eksistensi yang otentik dan tak otentik – dapat ditemukan di sepanjang pemikiran Heidegger. Heidegger mengibaratkan eksistensi yang tak otentik bak objek dalam suatu idle talk (pembicaraan yang “tak hidup”). Berbicara pada dasarnya bertujuan untuk mengajak para audiens pada sebuah relasi terbuka akan pemahaman terhadap objek yang dibicarakan. Suatu pembicaraan bahkan dapat dimengerti tanpa perlu membuat si pendengar harus membawa dirinya pada relasi orisinilnya terhadap objek pembicaraan. Ini dikarenakan pemahaman atau proses memahami pada seseorang dapat dibedakan ke dalam dua macam rupa, yaitu memahami dapat menjadi relasi terbuka seseorang terhadap objek yang dibicarakan; dan ada juga memahami secara rata-rata: seseorang membagikan pembicaraan dengan orang lain dan pemahaman yang didapatkan dari mendengarkan pembicaraan itu hanyalah pemahaman yang dangkal.   

Si pembicara pun juga begitu; ketika unsur orisinalitas objek tidak tersampaikan, maka pembicaraan tersebut hanyalah bertindak sebagai pembicara yang repetitif dan parroting (mem-beo). Pembicaraan pun berubah menjadi idle talk. Pembicaraan semacam ini tentu terbilang gersang karena tidak membawa pertanyaan maupun perdebatan dalam bentuk apapun. Interpretasi objek pun menjadi tak dinamis alias mengambang begitu saja. Guna menghindari hal ini, maka dalam setiap idle talk dibutuhkan pendamping rasa ingin tahu yang tinggi. Dengan begini, idle talk akan berubah menjadi lebih berwarna secara intelektual. 

Kita memang tidak bisa menghindar dari yang namanya idle talk, namun ketika ia digabungkan dengan rasa ingin tahu, itulah yang membuat kita bisa saling mengerti tentang kehidupan masing-masing individu (meski tidak sepenuhnya mengerti). Kombinasi tersebut juga menghasilkan manusia-manusia yang memiliki rasa percaya diri untuk membuka tabir atau menghargai berbagai kesempatan yang terbentang luas di depannya. Lagi-lagi, hal ini akan berhubungan dengan konsep busyness yang telah dibahas di awal tulisan ini. Heidegger pun menambahkan bahwa seorang manusia tidak bisa hidup tanpa mempedulikan suatu hal atau yang lain, karena manusia seyogyanya hanya memiliki dirinya sendiri. Dengan memiliki tanggung jawab atas dirinya sendiri tersebut, maka eksistensi dirinya menjadi amatlah penting. Oleh sebab itu, manusia akan cenderung menyibukkan/mengisi dirinya dengan (peduli pada) berbagai hal yang ada di dunia karena rasa tanggung jawab atas eksistensi dirinya tersebut. 

Kesimpulan

Ditilik dari pemaparan-pemaparan di atas, sudah tentu dapat dikatakan bahwa pemikiran Kierkegaard dan Heidegger saling melengkapi satu sama lain. Walau begitu, masih ada perbedaan prinsip di antara mereka dalam memaknai hidup sebagai individu yang orisinil. Kierkegaard mempunyai basis etika dan teologi yang kuat sebagai landasan pemikirannya, sementara Heidegger justru lebih netral terhadap basis-basis semacam itu. Bisa dibilang pemikiran Heidegger lebih condong kepada analisis filosofi murni akan eksistensi manusia. 

Perbedaan prinsip yang lainnya juga dapat ditemukan pada aspek presuposisi/praanggapan keduanya mengenai hidup bagaikan khalayak ramai. Pada pemikiran Heidegger, presuposisinya terletak pada kondisi eksistensi manusia sebagai (seseorang dengan) rasa peduli atau cura. Sementara pada pemikiran Kierkegaard, presuposisinya adalah bagaimana manusia akan selalu terjebak dengan merelasikan dirinya pada akhiran-akhiran relatif yang dimiliki/dikejar oleh orang lain. Sehingga, manusia meleburkan dirinya pada kepentingan-kepentingan yang bersifat temporal dan duniawi.

(Diterjemahkan ke Bahasa Indonesia oleh Karina Puspita Sari dari terjemahan Robert Stern (Bahasa Inggris) pada artikel Løgstrup: Kierkegaard’s and Heidegger’s Analysis of Existence and its Relation to Proclamation. Oxford University Press (2020))

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content