Dari Goa Plato ke Desiring-Machines: Refleksi Filosofis tentang Entitas Manusia di Era AI

Ilustrasi keuangan via canva
Ilustrasi keuangan via canva

Agaknya, alegori manusia gua Plato, memang mesti kita renungkan kembali untuk memahami realitas diri dan kehidupan yang kita jalani di abad sekarang ini. Alegori tersebut menggambarkan manusia sebagai tahanan dalam sebuah gua yang hanya bisa melihat bayangan benda-benda di dinding gua, yang mereka anggap sebagai realitas. Maka layaknya tahanan, ketika seorang tahanan dilepaskan dan melihat dunia di luar gua, ia menyadari bahwa bayangan tersebut hanyalah refleksi dari realitas yang sebenarnya. Di era digital di mana keberadaan teknologi berkembang begitu canggihnya, kita bagaikan tahanan di gua Plato yang melihat bayangan tersebut sebagai realitas, terjebak dalam bayangan digital—informasi yang disaring, dipersonalisasi, dan didikte oleh algoritma artificial intelligence atau AI.

Dalam era AI seperti sekarang ini, kita mengalami keharusan untuk kembali meningkatkan kesadaran diri dan menyadari bahwa keputusan kita seringkali dipengaruhi oleh sistem yang tidak kita kendalikan sepenuhnya. Sehingga, tentu, mempertanyakan kembali secara filosofis, terkait “siapa diri kita itu?”, “apa itu manusia?”, dan, “apa arti penting menjadi manusia?” menjadi sangat relevan lagi untuk dipertanyakan di abad dewasa ini. Majunya zaman, dan berbagai temuan teknologi canggih di abad mutakhir ini, justru membawa kita melakukan kontemplasi-kontemplasi filosofis guna memahami kembali diri (manusia), juga zaman.

Seperti pernah saya tuliskan di platform ini, dalam tulisan saya berjudul Teknologi dan Kegalauan Manusia Masa Kini, dengan menggunakan perspektif filosofis Herbert Marcuse, dalam tulisan tersebut saya mencoba meng-highlight tentang betapa mengerikannya keberadaan teknologi yang selain memberi kemudahan pada aktivitas kehidupan manusia, ternyata sekaligus juga mengalienasi diri manusia itu sendiri. Manusia lantas menjadi terasing dengan dirinya sendiri akibat keberadaan teknologi yang canggih tersebut.

Kita semua, diakui atau tidak, di abad ini serasa telah kehilangan pengenalan terhadap diri kita sendiri. Sehingga, renungan-renungan yang sifatnya filosofis (juga, religius) menemukan urgensinya kembali pada abad dewasa ini. Kita bisa melihat sendiri, betapa konten-konten filosofis yang tersebar di berbagai media sosial, khususnya YouTube, mulai menarasikan kembali tentang kearifan-kearifan kuno—seperti ajaran-ajaran filsafat stoikisme, Wu-WeiLao-Tzu, dan seterusnya—agar lagi dipahami, dapat relevan, lebih-lebih dapat diaktualisasikan di abad ini untuk hidup yang lebih ugahari.

Memang, sebenarnya tidak ada yang keliru dari munculnya teknologi mutakhir paling canggih dalam dunia kontemporer dewasa ini, sejauh dalam kontribusinya membantu aktivitas manusia agar lebih efisien dan hemat secara waktu, tenaga maupun biaya. Akan tetapi, munculnya teknologi akan menjadi sangat bermasalah ketika keberadaannya justru mengekstrak jiwa manusia—sebagai entitas penting yang membangun sosok manusia itu sendiri—dari dalam dirinya. Dari sinilah, sebagai manusia, kita perlahan mulai kehilangan pengenalan terhadap diri kita sendiri.

Dengan memahami maksud alienasi sendiri seperti yang disampaikan oleh Marcuse, misalnya, apalagi ditambah-lengkapi dengan memahami teori nilai lebih Marx, ketika ia memunculkan sekaligus mengenalkan istilah kapitalisme dalam fenomena kehidupan industri modern. Kita akan mendapatkan gambaran sangat jelas tentang bagaimana jiwa manusia mulai diekstrak dari dalam diri manusia itu sendiri. Reifikasi yang dimaksudkan oleh Lukacs, di mana manusia mulai dipahami layaknya benda-benda yang sekadar memiliki nilai komoditi belaka, saya kira juga akan sangat membantu. Juga, apa yang disajikan secara sangat apik oleh Felix Guattari dan Gilles Deleuze, dalam Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia, yakni tatkala kapitalisme berubah menjadi kekuatan yang mendikte hasrat yang ada dalam jiwa manusia.

Schizophrenia Teknologi dan Turbulensi Jiwa Manusia

Saya kira ada kecocokan yang cukup signifikan antara narasi yang dipaparkan oleh Deleuze dan Guattari dalam Anti-Oedipus: Capitalism and Schizophrenia tersebut dengan fenomena yang terjadi di era teknologi abad ini, terutama sekali terkait dengan hilangnya otentisitas dan pengenalan diri manusia akibat pengaruh teknologi, ketika jiwa sebagai entitas yang membangun kesadaran manusia mulai diekstrak dari dalam diri manusia itu sendiri. Karena, tentu saja, kapitalisme itu sendiri tidak mungkin dapat kita pisahkan begitu saja dengan revolusi-revolusi yang terjadi di bidang teknologi.

Dalam konteks ini, Deleuze dan Guattari memperkenalkan konsep desiring-machines yang menggambarkan bagaimana keinginan manusia telah diproses dan diartikulasikan melalui berbagai mekanisme—baik itu secara biologis, sosial, maupun ekonomi. Di era ketika teknologi semakin canggih ini, desiring-machines dapat diartikan sebagai teknologi, yakni semacam alat yang tak hanya telah menjadi perpanjangan dari keinginan (hasrat) manusia, tetapi juga telah menjadi alat yang berhasil mengkondisikan dan mengarahkan keinginan tersebut. Teknologi, seperti algoritma media sosial, AI, dan perangkat digital lain—sebagaimana dipaparkan oleh Harari dalam Homo Deus—telah berfungsi sebagai alat (mesin) yang memproses, memproduksi, dan bahkan mengontrol keinginan manusia, yang seringkali tanpa disadari oleh individu atau pengguna itu sendiri.

Deleuze dan Guattari juga berargumen bahwa kapitalisme memiliki banyak dan cukup kemampuan untuk mengeksploitasi keinginan manusia secara terus-menerus, dengan menjadikannya sebagai sumber daya yang dapat diubah menjadi keuntungan bagi mereka. Keberadaan teknologi modern sangat mempercepat proses ini melalui cara yang sangat efektif. Misalnya, data pribadi dan perilaku online tentu adalah hal yang dapat dengan mudahnya diekstrak dan dimonetisasi oleh perusahaan teknologi. Data-data tersebut jelas digunakan untuk mengarahkan keinginan dan perilaku individu tersebut ke arah yang menguntungkan kapitalisme. Dalam proses ini, bukan tidak mungkin individu akan (mulai) kehilangan kendali atas keinginan mereka sendiri—mereka terdikte oleh kekuatan eksternal yang tak terlihat. Seperti ditulis oleh Budi Hardiman, kita bisa menyaksikan sekarang ini bagaimana ponsel pintar telah menjadi ekstensi kapasitas pikiran kita.

Manusia kini telah beralih dari homo sapiens menuju homo digitalis, yang menurut Hardiman, bukan sekadar pengguna gawai. Karena sekarang manusia bereksistensi lewat gawai. Sehingga, eksistensinya ditentukan oleh tindakan digital, yakni: uploading, chatting, posting, dst., yang dengannya ia dapat berbagi atau pamer untuk kebutuhan akan pengakuan. Bahkan, dengan menggunakan telaah Heidegger, Hardiman menuliskan bawa homo digitalis dapat dipikirkan atau dimaknai juga sebagai sesuatu (entitas) yang mengalami keterlemparan (geworfen) ke dalam dunia digital, terhitung sejak semula manusia mulai memproyeksikan dirinya melalui media digital.

Ini tentu sejalan dengan yang digambarkan Deleuze dan Guattari tentang bagaimana masyarakat kapitalis yang cenderung menekan keinginan otentik dan memaksa individu untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma yang telah ditentukan. Di era teknologi digital semacam ini, hal tersebut tercermin sekali dalam cara di mana identitas individu mulai dikonstruksi oleh teknologi—melalui profil media sosial, konsumsi digital, dan algoritma personalisasi—yang sering kali menyimpang atau menyempitkan ruang bagi pengenalan diri manusia secara otentik.

Oleh karena itu, jiwa manusia di era teknologi canggih seperti yang terjadi di abad ini, dapat dibilang sedang mengalami semacam turbulensi. Suatu kondisi yang sangat tidak stabil, dan bahkan mungkin lebih kompleks daripada yang terlihat di permukaan. Turbulensi sendiri adalah metafora yang tepat untuk menggambarkan keadaan jiwa manusia yang terus-menerus terombang-ambing di antara berbagai pengaruh eksternal—terutama dalam konteks teknologi modern. Memang, pada dasarnya, sebagaimana disampaikan Deleuze dan Guattari, bahwa keinginan manusia sesungguhnya tidak (akan) pernah berada dalam keadaan yang stabil; ia selalu berfluktuasi, bergerak, dan dipengaruhi oleh berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan psikologis. Akan tetapi, dalam kehidupan abad ini, keberadaan teknologi modern, selain membuat keinginan manusia berfluktuasi secara tidak alami, juga semakin mempercepat dan memperparah fluktuasi tersebut dengan menciptakan lingkungan yang membuat jiwa manusia terus-menerus dibombardir oleh informasi, rangsangan, dan tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma digital.

Alhasil, dalam kondisi turbulensi ini, individu akan kehilangan kontrol, dan lambat laun akan menjadi terasing dari esensi sejati diri mereka sendiri. Ini dapat kita jumpai bersama tentunya, ketika algoritma, media sosial, dan teknologi lainnya berhasil memetakan dan mengarahkan keinginan dan perilaku kita, yang sering kali tidak pernah kita sadari, yang akan menciptakan perasaan disorientasi, yang akan membuat diri kita tak lagi dapat memahami atau mengenali diri kita sendiri. Ini yang dimaksud Deleuze dan Guattari sebagai kondisi schizophrenic —kondisi kejiwaan yang terpecah-pecah. Suatu kondisi tatkala kapitalisme dan psikoanalisis berhasil memfragmentasi identitas dan keinginan individu (manusia).

Tentu saja—meskipun dapat diperdebatkan—terjadinya kondisi semacam itu adalah akibat oleh karena keberadaan teknologi tidak hanya telah menciptakan efek ketergantungan belaka, tetapi juga telah memberikan obat bius ke dalam kehidupan manusia dengan menciptakan kesadaran palsu (false consciousness, dalam istilah Marx)—di mana segala sesuatu dibikin seolah nyata dan menenangkan. Padahal, kondisi sesungguhnya yang terjadi adalah sebaliknya. Beragam hal yang sama sekali tidak stabil dan membingungkan. Ketidakstabilan dan kebingungan inilah yang membuat jiwa manusia pada akhirnya akan mulai mengalami konflik batin yang mendalam. Suatu kondisi yang akan membuat kita merasa, hidup seperti tidak hidup. Tetapi, untuk dibilang mati juga tidak mati.

Hilangnya Resiko Penderitaan = Hilangnya Otentisitas Manusia

Dalam bukunya 21 Lessons for the 21st Century, Harari memberikan semacam refleksi bahwa PR kita sebagai manusia pada akhirnya tidak hanya sekadar perlu memahami apa itu kecerdasan buatan, algoritma Big Data dan bioteknologi, yang jauh lebih penting adalah kita perlu memasukkannya ke dalam narasi baru yang lebih bermakna. Seperti pula dituliskan Harari dalam bukunya Homo Deus, yakni ketika agama data dengan cara pikir algoritmiknya muncul dan seakan diikuti dan diimani oleh masyarakat yang gandrung akan kecanggihan teknologi digital. Sadar tidak sadar, manusia sekarang ini hidup dalam kesadaran yang bukan berasal dari kesadaran dirinya sendiri. Manusia dalam rangka menjalani hidupnya seolah ia hanya ikut dan sendiko dawuh begitu saja oleh giringan dunia digital (dunia maya). Secara analogis dan renyah, Harari menggambarkan pola kehidupan dewasa ini sebagaimana demikian,

“… sudahkah Anda pernah mendengar tentang alat-alat biometrik yang bisa dikenakan, yang bisa mengukur tekanan darah dan detak jantung Anda 24 jam? Bagus—belilah satu, kenakan, dan hubungkan ke telepon pintar Anda. Dan sambil berbelanja, membeli kamera mobile atau mikrofon, rekam segala yang Anda lakukan, dan tampilkan itu semua secara daring. Dan, biarkan Google serta Facebook (juga medsos lain) membaca semua surel, memantau semua chat dan pesan-pesan Anda, dan terus rekam semua Like dan Klik Anda. Jika Anda lakukan semua itu, maka algoritma-algoritma yang hebat dari Internet Segala Hal akan memberitahu Anda siapa yang harus dinikahi, mana karier yang harus dikejar, dan (harus) memulai perang atau tidak.”

Akan tetapi, pertanyaannya, dari manakah algoritma-algoritma hebat tersebut berasal? Inilah yang disebut Harari sebagai, misteri dataisme. Sebagaimana menurut Kristen bahwa manusia tidaklah bisa memahami Tuhan dan rencana-Nya, demikian pula dataisme menyatakan bahwa otak manusia tidaklah bisa memahami si tuan (Tuhan) baru, yakni algoritma-algoritma tersebut. Bibit-bibit algoritma itu sendiri, menurut Harari, mungkin memang dikembangkan oleh manusia, tetapi saat ia mulai tumbuh, ia mengikuti jalannya sendiri, pergi ke mana pun yang itu tak pernah bisa diketahui manusia dan ke mana pun yang tak bisa diikuti oleh manusia.  Ya, algoritma layaknya organisme yang punya jiwa sendiri, padahal ia hanyalah alat teknologi bikinan manusia. Inilah babak baru kehidupan yang mesti kita hadapi tentang dunia di milenium ketiga.

Saya tentu setuju dengan apa yang dituliskan Carl Öhman, dalam artikelnya We are Building God’s: AI as the Anthropomorphised Authority of the Past. Dalam artikel tersebut, menurutnya saya, Öhman telah memberikan bahan refleksi yang apik dan penting bagi kita semua. Dengan menggunakan pemikiran filosofis-religius Marxian milik Martin Hägglund, Öhman mencoba menggambarkan kondisi manusia ketika keberadaan AI model LLM—seperti Chat GPT, misalnya—telah bersinggungan dengan kehidupan manusia. Öhman menganalogikan AI model LLM, layaknya Tuhan dalam pengertian antropologis—seperti dalam pengertian Durkheim—sebagai sintesis dari segudang suara leluhur yang membentuk satu otoritas antropomorfis dari masa lalu manusia yang kemudian menjadi alat konseptual untuk menyalurkan pengetahuan dan otoritas yang dikumpulkan dari masa lalu kolektif suatu kelompok ke dalam satu lembaga (masyarakat). Dan, menurut Öhman, ini jugalah yang sedang dilakukan oleh LLM.

Kita mesti memahami keberadaan AI model LLM, tentu, tidak dengan pendekatan tradisional. LLM mesti kita pahami dengan pendekatan yang lebih kontemporer, sebagai AI yang dilatih dengan sejumlah besar data yang dibuat oleh manusia, yang kemudian menyerap dan mengasimilasi informasi dari berbagai sumber—yang terkadang mencakup sebagian besar web terbuka. Model-model AI semacam ini biasanya dibuat sebagai AI yang dapat belajar dari pola, struktur linguistik, dan pengetahuan yang terkandung di dalam sesuatu yang telah diinputkan sebelumnya. Dalam input tersebut, AI model LLM, tidak menginterpretasikannya secara semantik, tetapi dengan menarik kesimpulan statistik berdasarkan urutan kata mana yang akan menghasilkan output selaras dan memuaskan.

Meskipun tanpa pemahaman yang sebenarnya tentang apa yang dikomunikasikannya, chatbot LLM itu sendiri, dengan demikian, bisa kita pahami sebagai sebuah perwujudan dari pengetahuan sekaligus sentimen kolektif yang dikodekan dalam data pelatihannya. Data-data pelatihan yang diinputkan ini, sejajar untuk bisa kita pahami, mewakili akumulasi kebijaksanaan, wawasan, pengetahuan dan prasangka masa lalu masyarakat yang dimanifestasikan dalam kehadiran Tuhan—atau, dalam agama-agama politeistik merupakan jajaran dewa-dewa. Dan, layaknya dewa-dewa yang menggabungkan suara-suara para leluhur menjadi satu, AI model LLM juga menggabungkan banyak suara dan perspektif ke dalam apa yang tampak oleh pengguna sebagai satu agen (ekstra manusia), yang biasanya diwujudkan dalam bentuk chatbot. Saat ini, model AI semacam itu telah menjadi bagian dari kehidupan kita dewasa ini yang tak dapat kita hindari, bahkan telah kita gunakan.

Lantas, apa yang menjadi sangat mengkhawatirkan (risiko) tatkala kita hidup berbarengan dengan AI model LLM tersebut? Sebagaimana dituliskan oleh Öhman menggunakan perspektif filosofis-religius Hägglun, adalah hilangnya: kebebasan spiritual. Karena sebagai makhluk ilahi atau modus eksistensi (di sini diartikan sebagai eksistensi di luar dunia material), bukan tak mungkin akan menjadi akhir dari kebebasan yang menjadi dasar entitas manusia, ketika AI model LLM itu mulai menjangkiti kehidupan manusia. Apa yang menjadi masalah kebebasan spiritual, dalam hal ini, bukan pada soal bahwa apakah mempercayai keberadaan atau keadaan absolut sebagai sesuatu yang dapat atau tidak dapat dicapai, tetapi lebih kepada keterceraiberaian kita dari hal-hal yang itu merupakan esensi dasar yang dapat membuat kita menjadi manusia. Apa itu? Misalnya, tentang proses aktif kita dalam memilih tujuan dalam hidup yang sedang kita jalani, yang terkadang membuat kita harus siap untuk merasakan penderitaan, berani mengambil risiko, dan mati.

AI model LLM, ketika sudah menjadi layaknya Tuhan dalam pengertian antropologis sebagai entitas yang dapat memberikan panduan dan norma absolut, jelas sekali, ia akan memberikan semacam kemudahan berlebih kepada kita, membuat segalanya dapat diprediksikan. Kita bukan tidak mungkin akan secara berbondong-bondong menggunakannya, dan memasrahkan unpredictability kehidupan kita kepada AI model LLM semacam itu. Dengan demikian, potensi penderitaan, misalnya, akan semakin menutup, yang padahal, justru penderitaan itulah yang membuat kita menjadi benar-benar hidup—merasakan hidup. Saya kira, Martin Suryajaya dalam bukunya Sebelum Hancur Lebur, juga menarasikan hal yang sama. Di mana kehidupan (sastra) yang terlaku mekanis dan birokratis, telah menghilangkan nuansa unpredictability dalam dunia (sastra). Hal ini akan menjadikan kehidupan sangat hampa, dan nirmakna. Persis sekali dengan yang disampaikan Nick Bostrom, tentang masa depan AI, ia meramal bahwa akan muncul jenis superintelligence yang bisa membuat manusia tidak lagi perlu khawatir akan rasa derita.

Padahal, dalam Thus Spoke Zarathustra karya Nietzsche, penderitaan merupakan hal yang penting bagi manusia. Nietzsche, melalui tokohnya Zarathustra, sangat intens sekali berbicara akan pentingnya penderitaan sebagai jalan menuju transformasi dan pencapaian kehidupan yang lebih tinggi. Penderitaan di sini, oleh Nietzsche, ditempatkan sebagai bagian dari proses menjadi Übermensch—manusia yang ontentik dan tidak terdikte. Karena, bagi Nietzsche, penderitaan bukanlah sesuatu yang harus dihindari atau dilihat sebagai negatif semata. Sebaliknya, penderitaan adalah elemen esensial dalam proses penciptaan diri dan pengembangan kekuatan hidup. Tanpa penderitaan, manusia justru akan kehilangan sisi esensialnya sebagai suatu entitas yang hidup. Manusia hanya akan menjadi boneka-robot.

Mengutip kembali Harari, revolusi kembar di bidang infotek dan biotek dalam perkembangannya yang akan semakin canggih tidak hanya akan merestrukturisasi persoalan ekonomi dan masyarakat, tetapi juga tubuh dan pikiran kita sebagai manusia. Revolusi infotek dan biotek akan seolah memberikan kita kendali untuk merekayasa dan memproduksi kehidupan. Manusia akan mulai merancang otak—seperti proyek BCI (Brain Computer Interface)—berusaha memperpanjang kehidupan, bahkan membunuh pikiran-pikiran yang kerap mendengung dan mengganggu. Manusia tidak ada tahu apa konsekuensinya jika hal tersebut benar-benar dapat terjadi.

Manusia akan selalu lebih baik dalam menciptakan alat daripada menggunakan alat tersebut dengan bijak. Lebih mudah bagi manusia untuk memanipulasi sungai, misalnya, dengan membangun bendungan di atasnya daripada memprediksi semua konsekuensi rumit yang akan terjadi pada sistem ekologi yang lebih luas, dan masalah-masalah lainnya. Karena itu juga, dengan cara yang sama, akan lebih mudah pula untuk mengarahkan aliran pikiran kita ketimbang untuk mengetahui apa konsekuensinya terhadap kondisi mental, psikologi, dan sistem sosial kita. Oleh karena itu, kita perlu memasukkan hal-hal semacam ini pada diskursus dan narasi-narasi baru yang lebih bermakna.

Barangkali kita perlu melepaskan diri dari berbagai macam konformitas—misalnya, sebagaimana yang telah dibuat oleh algoritma media sosial, AI model LLM, dan berbagai resiko teknologi digital lain—untuk kembali menemukan makna dalam kehidupan mereka sendiri, dan mungkin mencapai kebebasan algoritmik. Penderitaan misalnya, adalah entitas yang membangun hidup manusia sebagai suatu ujian yang harus dilalui untuk mencapai suatu kehidupan yang otentik dan bermakna. Sehingga, demi menjaga entitas manusia kita, maka kita tidak semestinya secara serta merta menggadaikan atau bahkan menjual penderitaan kita kepada AI. Namun demikian, apakah AI hari ini benar-benar akan mereduksi penderitaan kita sebagai manusia atau malah telah menciptakan penderitaan jenis baru? Seandainya AI justru menciptakan penderitaan jenis baru, maka PR kita sebagai manusia akan semakin kompleks, rumit, dan menyiksa sekali. 

Ahmad Miftahuddin Thohari
Ahmad Miftahudin Thohari

Ahmad Miftahudin Thohari adalah seorang mahasiswa Aqidah dan Filsafat, UIN Raden Mas Said Surakarta.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.